JODOH SI MATA KERANJANG
DAFTAR ISI
jilid 1
Pegunungan Cin-ling-san berderet panjang dengan puncak-puncaknya yang tinggi menembus awan, dari barat ke timur. Terletak di perbatasan tiga propinsi, yaitu Propinsi Kan-si dan Shen-si di utara, dan Propinsi Secuan di selatan. Dari pegunungan inilah mengalir air sungai Wei-ho di sebelah utara yang kemudian memuntahkan airnya ke sungai Huang-ho, dan di selatan mengalir sungai Han-sui yang kemudian bergabung dengan sungai Yang-ce. Karena adanya sumber-sumber air yang besar, maka permukaan gunung Cin-ling-pai nampak kehijauan, tanahnya subur dan para penghuni dusun-dusun di daerah itu tak pernah kekurangan makan. Pemandangan alamnya amat indah, bahkan ada beberapa bukit yang ditumbuhi banyak macam tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat. Pegunungan Cin-ling-san bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, kesuburan tanahnya dan kesejukan hawanya, akan tetapi bagi dunia kang-ouw terutama sekali karena disitu terdapat sebuah perkumpulan para pendekar yang bernama Cin-ling-pai. Perkumpulan orang gagah ini berada di sebuah lereng dekat puncak, lereng yang subur dan landai. Karena banyak anggauta cin-ling-pai tinggal disitu, maka lereng ini merupakan suatu perkampungan tersendiri dimana terdapat bangunan-bangunan yang dikelilingi pagar tembok. Tidak kurang dari seratus orang anggauta Cin-ling-pai berkumpul disitu, bersama keluarga mereka. Di tengah perkumpulan ini berdiri sebuah bangunan tua yang paling besar, berdiri seperti bersandar pada sebuah bukit, dan ini merupakan rumah tinggal keluarga ketua Cin-ling-pai. Cin-ling-pai amat terkenal di dunia kang-ouw karena banyak pendekar dari perkumpulan ini membuat nama besar di dunia ramai dan mengangkat nama tinggi Cin-ling-pai sehingga perkumpulan itu diakui sebagai sebuah perkumpulan-perkumpulan besar di waktu itu. Pada waktu itu, perkumpulan orang-orang gagah lainnya yang terkenal adalah Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Im-yang-pai dan masih banyak partai atau perkumpulan lain akan tetapi semua itu merupakan cabang atau pecahan dari perkumpulan-perkumpulan besar itu. Sejak beberapa turunan, Cin-ling-pai dipimpin oleh keluarga Cia. Keluarga ini terkenal sebagai ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi. Banyak macam ilmu silat tinggi yang hebat-hebat dimiliki keluarga ini sehingga nama Cin-ling-pai menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi karena sepak terjang keluarga ini selalu menentang kejahatan dengan gigih, maka mereka dikenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang bernama Cia-Bun-Houw, seorang yang membuat nama besar sehingga bukan hanya namanya yang terkenal, melainkan juga dia membawa nama Cin-ling-pai menjadi terkenal di seluruh dunia persilatan. Yang menggantikan Cia Bun Houw sebagai ketua Cin-ling-pai adalah Cia Kong Liang yang pada waktu itu telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh dua tahun dan tidak aktif lagi melainkan lebih banyak bertapa di dalam kamarnya di bagian belakang bangunan keluarga ketua Cin-ling-pai yang besar itu. Cia Kong Liang digantikan oleh puteranya, Cia Hui Song yang membuat nama Cin-ling-pai semakin harum dengan sepak terjangnya sebagai pendekar yang gagah perkasa. Pada waktu itu, biarpun Cia Hui Song baru berusia kurang lebih empat puluh empat tahun, namun dia telah mengundurkan diri dari Cin-ling-pai. Memang dia tidak berbakat menjadi seorang ketua, lebih suka hidup bebas dan berkelana bersama isterinya, yaitu Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Dan kedudukan ketua Cin-ling-pai di serahkan kepada ketua baru yang dipilih melalui ujian dan pertandingan. Akhirnya, kedudukan ketua baru dipegang oleh puterinya, yaitu Cia Kui Hong, seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa pula. Cia Kui Hong baru berusia sembilan belas tahun ketika ia menjadi ketua Cin-ling-pai, hampir dua tahun yang lalu. Sesungguhnya, sebagai seorang gadis pendekar yang memiliki darah petualang yang sama seperti ayahnya. Kui Hong tidak suka menjadi ketua. Kalau ia ikut dalam pemilihan ketua, hal itu ia lakukan karena ia melihat seorang murid baru Cin-ling-pai yang tak disukanya di calonkan oleh kakek Cia Kong Liang menjadi ketua. Ia tidak suka kepada Tan Cun Sek, murid itu, dan untuk mencegah agar orang yang bukan keluarga Cia ini menjadi ketua baru, Kui Hong mengikuti pemilihan ketua. Ia berhasil mengalahkan Tan Cun Sek dan gadis inilah yang dipilih menjadi ketua baru menggantikan ayahnya! Kemudian ternyata bahwa Tan Cun Sek memang bukan orang baik-baik. Setelah ia dikalahkan Kui Hong dalam pemilihan ketua Cin-ling-pai, dia minggat dan mencuri pusaka Cin-ling-pai, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Akhirnya, dalam pertempuran melawan para pendekar, Tan Cun Sek tewas dan pedang Hong-cu-kiam kembali ke tangan Cia Kui Hong. Semua peristiwa itu di ceritakan dalan kisah SI KUMBANG MERAH. Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai hampir dua tahun yang lalu, ia menyerahkan kepengurusan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu tokoh Cin-ling-pai yang masih susiok (paman seperguruan) sendiri. Ia sendiri pergi merantau untuk mencari Tang Cun Sek dan merampas kembali pusaka Hong-cu-kiam. Gouw Kian Sun ternyata cukup pandai memimpin Cin-ling-pai. Apalagi masih ada kakek Cia Kong Liang yang menjadi pengawas dan penasihat, walaupun kakek ini lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Dan Gouw Kian Sun yang usianya empat puluh dua tahun dan belum berkeluarga itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia telah menguasai semua ilmu dari Cin-ling-pai, kecuali beberapa ilmu rahasia yang tidak di kuasai sembarang murid. *************** Diantara ilmu-ilmu silat dari keluarga Cia di Cin-ling-pai, yang paling ampuh antara lain adalah ilmu Toat-po-san, semacam ilmu kekebalan yang membuat kulit tubuh keras dan kuat menahan pukulan dan bahkan bacokan senjata tajam. Thian-te Sin-ciang merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya. Siang-bhok-kiam-sut adalah ilmu pedang khas Cin-ling-pai yang asalnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu akan tetapi kini dapat pula dimainkan dengan pedang baja yang ringan. Thai-kek Sin-kun adalah ilmu silat yang amat halus namun kokoh kuat, bukan saja dapat dipergunakan untuk memperkuat tubuh sebagai latihan senam lahir batin, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai ilmu bela diri yang ampuh. Di samping ilmu silat tangan kosong Thai-kek Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, Cin-ling-pai memiliki pula ilmu silat tangan kosong San-in Kun-hwat (Silat Awan Gunung) dan Im-yang Sin-kun. Juga ilmu tongkat pasangan Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga) amat tangguh. Akan tetapi, semua ilmu silat Cin-ling-pai itu merupakan ilmu silat tinggi yang tentu saja masih ada tandingannya, yaitu ilmu-ilmu dari partai-partai persilatan besar. Hanya ada satu ilmu Cin-ling-pai yang amat ditakuti semua tokoh kang-ouw. Ilmu itu di sebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Kekuatan Mengganti Semangat). Ilmu ini sebenarnya merupakan kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang bekerja di tubuh orang yang menguasai ilmu itu, dan hebatnya, setiap kali bagian tubuh lawan menempel pada tubuh pemilik ilmu ini, maka tenaga sin-kang lawan akan terhisap dan pindah ke dalam tubuh si pemilik ilmu. Ilmu ini amat di takuti orang, karena orang yang lebih tinggi ilmu silatnya pun dibuat tidak berdaya kalau menghadapi ilmu “menyedot sin-kang lawan” ini. Sayang tidak sembarang orang mampu menguasai ilmu ini. Untuk menguasainya, dibutuhkan bakat yang besar dan juga keadaan tubuh yang sesuai. Oleh karena itu, jarang tokoh Cin-ling-pai menguasai Thi-khi-i-beng. Hanya ayah dari mendiang Cia Bun Houw yang bernama Cia Keng Hong yang dapat menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Bahkan Cia Bun Houw juga tidak mampu mewarisinya. Apalagi Cia Kong Liang putera Cia Bun Houw, dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng. Puteranya yang lebih lihai, yaitu Cia Hui Song, juga tidak dapat menguasai ilmu luar biasa itu, apalagi Cia Kui Hong. Seolah-olah ilmu yang amat hebat itu telah lenyap dari Cin-ling-pai karena tidak ada lagi keturunan Cin-ling-pai yang menguasainya. Untuk masa itu, kiranya hanya satu orang saja yang menguasainya, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang menjadi majikan penghuni Pulau Teratai Merah! Demikianlah sedikit catatan mengenai Cin-ling-pai dan para tokohnya. Pada waktu itu, ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong, sudah lama meninggalkan Cin-ling-pai dan yang mewakilinya mengatur perkumpulan itu adalah Gouw Kian Sun. dia dibantu oleh seorang murid Cin-ling-pai lain yang termasuk murid keponakannya bernama Ciok Gun, murid berusia tiga puluh dua tahun yang sudah terkenal karena kegagahannya. Berkat kesungguhan hati dua orang inilah maka biarpun Cin-ling-pai ditinggalkan ketuanya sampai lama, namun semua murid Cin-ling-pai taat dan mematuhi peraturan, dan selalu menjaga nama baik perkumpulan dengan setia. Pagi yang cerah sekali. Matahari sudah mulai memancarkan cahayanya yang hangat. Ciok Gun bersama dua orang anggauta Cin-ling-pai yang lain memasuki sebuah hutan di bukit sebelah barat perkampungan mereka dengan membawa busur dan anak panah. Pagi hari itu Ciok Gun keluar sendiri untuk berburu di hutan. Bulan itu banyak terdapat ayam hutan dan kelinci di hutan yang mereka masuki itu. Hanya pada bulan-bulan tertentu banyak kelinci gemuk dan ayam hutan berkeliaran di situ dan itulah waktu untuk berburu. Ciok Gub adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang bertubuh jangkung dan tegap. Di antara murid Cin-lingpai tingkat kedua, dialah merupakan murid terpandai, maka dia dipercaya oleh sesioknya, Gouw Kian Sun, untuk menjadi wakil dan pembantu utamanya. Bahkan untuk mengamati dan memimpin latihan silat, Ciok Gun mewakili susioknya itu. Dua orang temannya adalah para sutenya yang juga bertingkat dua dan mereka telah memiliki ilmu silat Cin-ling-pai yang cukup tangguh. Mereka berdua itu adalah Teng Sin yang berusia duapuluh lima tahun dan Koo Ham berusia dupuluh tujuh tahun. Teng Sin berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar, sedangkan Koo Ham tinggi kurus dengan kulit kehitaman. Mereka berdua itu walaupun belum setangguh Ciok Gun, namun sudah merupakan dua orang pendekar yang berkepandaian tinggi dan sukar dikalahkan. Tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu pada pagi hari ini berburu, selain untuk bersenang-senang, juga hasilnya nanti akan mereka serahkan kepada susiok mereka, Gouw Kian Sun dan para susiok lain, yaitu para murid tingkat pertama dari Cin-ling-pai. Diantara tiga orang murid tangguh Cin-ling-pai itu, hanya Koo Ham yang sudah menikah walaupun dia dan isterinya belum mendapatkan turunan. Teng Sin dan Ciok Gun belum berumah tangga, masih membujang walaupun Teng Sin sudah berusia duapuluh lima tahun dan Ciok Gun bahkan sudah tiga puluh dua tahun. Setelah memasuki hutan, Teng Sin yang wataknya gembira itu berbisik. “Lihat di pohon besar sana itu ada ayam-ayam hutan. Mari kita berlomba, siapa diantara kita yang dapat lebih dulu menjatuhkan seekor!” Koo Ham tersenyum. “Hemm, mana engkau menandingi Ciok-suheng yang ahli menggunakan panah?” Ciok Gun tersenyum pula. “Aih, belum tentu. Hasil-hasil berburu tidak di tentukan sepenuhnya oleh keahlian memanah. Juga nasib memegang peran penting. Yang bernasib terang dalam berburu, setiap langkah kakinya membawa dia berhadapan langsung dengan binatang buruan, sebaliknya kalau bintang sedang gelap, sehari penuh tak pernah bertemu dengan seekorpun binatang buruan.” Setelah dekat dengan pohon besar itu, mereka melihat ada tiga ekor ayam hutan bertengger di cabang pohon dan bergerak-gerak dengan gesitmya. Mereka segera mengambil tempat yang enak, mempersiapkan busur dan anak panah lalu membidik dan menyusup dekat. Mereka sudah menarik tali busur. Akan tetapi milik Ciok Gun meluncur lebih dulu dan lebih cepat dan sasarannya terkena dengan tepat. Seekor ayam hutam jatuh ke bawah dengan leher ditembusi anak panah. Dua ekor ayam hutan melayang jatuh pula dengan perut tertembus anak panah yang dilepas Teng Sin dan Koo Ham. Mereka bertiga cepat mengambil ayam hutan itu dan saling memperlihatkan kepada teman. “Nah, kau lihat! Mana kita mampu menandingi kepandaian Ciok-suheng?” kata Koo Ham sambil tertawa. Teng Sin harus mengakui keunggulan suhengnya itu. Anak panahnya dan anak panah Koo Ham menembus perut ayam hutan sedangkan anak panah Ciok Gun menembus leher! Tentu saja yang menembus leher itu lebih baik karena daging badan ayam tidak rusak oleh anak panah dan masih utuh, tidak seperti bidikan mereka yang menembus perut dan tentu saja hal ini merugikan karena sebagian daging ayam itu menjadi rusak. Akan tetapi untuk membidik ke arah leher sungguh tidak mudah. Sedikit saja selisihnya akan gagal! Mereka masih belum sanggup membidik leher dan mengenai dengan tepat seperti yang dilakukan suheng mereka. Bagaimanapun juga, memanah ayam hutan yang gerakannya demikian lincah dan gesit, bukan pekerjaan yang mudah dan mereka bertiga itu sudah membuktikan kelihaian mereka. Apalagi memanah lawan seorang manusia, betapa akan mudahnya untuk merobohkan lawan itu bagi mereka! Belum setengah hari lamanya, tiga orang murid Cin-ling-pai yang gagah ini telah membunuh dua puluh lebih ayam hutan dan belasan ekor kelinci. Mereka lalu bersepakat untuk pulang ke perkampungan mereka karena hasil buruan itu sudah cukup banyak. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari hutan, di lereng bukit yang sunyi itu, tiba-tiba mereka berhadapan dengan dua orang yang entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah berada di depan mereka seperti setan. Tentu saja tiga orang murid Cin-ling-pai itu terkejut sekali. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah banyak pengalaman, maka mereka dapat menduga bahwa tentu dua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga gerakan mereka amatlah cepatnya. Mereka lalu mengamati penuh perhatian karena belum pernah mereka melihat dua orang ini di daerah itu. Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kekuning-kuningan namun cukup tampan, mulutnya tersenyum mengandung ejekan. Rambutnya yang masih hitam itu digelung ke atas dan mengkilap oleh minyak, di jepit jepitan rambut dari emas, dan pakaiannya adalah jubah pendeta. Di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Adapun orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang wanita yang usianya sekitar duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Sukar menaksir usia wanita ini sebenarnya karena wajahnya yang cantik manis itu tertutup bedak tebal. Bibir dan pipinya di warnai merah. Kalau pria itu cukup pesolek, wanita muda ini lebih pesolek lagi. Pakaiannya gemerlap indah, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya di ukir dan diwarnai indah, gambar bunga-bunga dan kupu-kupu. Wanita inipun tersenyum manis dan agaknya ia yang menjadi juru bicara karena temannya, pria yang berpakaian seperti pendeta tosu (pendeta agama To) itu diam saja, hanya mengelus jenggot sambil tersenyum mengejek. “Kalian bertiga adalah murid-murid Cin-ling-pai yang terkenal itu, bukan?” tanya si wanita dan ketika ia bicara, gerak bibirnya jelas menunjukkan kegenitannya. Mulut itu memang nampak penuh gairah menantang dan ketika ia bicara, bibirnya bergerak-gerak memikat, nampak giginya berderet rapi dan putih, dan rongga mulutnya yang merah. Lidah yang kecil panjang berwarna merah muda itu kadang menjilat bibir penuh daya pikat. Namun tiga orang murid Cin-ling-pai itu adalah tiga orang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin bersih dan teguh. Ciok Gun segera menjawab dengan pandang mata penuh selidik dan alis berkerut karena dia merasa tidak suka melihat sikap wanita cantik itu yang jelas bukan seorang wanita sopan. “Memang benar kami murid-muri Cin-ling-pai dan pada saat ini kami berada di daerah kami sendiri. Sebaliknya ji-wi (anda berdua) adalah orang asing. Ji-wi siapakah, dari mana dan ada keperluan apa berada di daerah ini?” Pertanyaan ini cukup tegas dan tidak ramah walaupun nadanya halus dan sopan. Wanita itu tertawa, tertawa bebas sehingga mulutnya terbuka lebar namun karena ia memang cantik, sikapnya ini tidak membuat ia nampak buruk. “Heh-heh-heh, alangkah gagahnya! Tentu engkau yang bernama Ciok Gun, murid utama Cin-ling-pai dan engkau yang membantu Gouw Kian Sun memimpin Cin-ling-pai, bukan?” Diam-diam Ciok Gun terkejut. Wanita asing ini agaknya tahu segala tentang Cin-ling-pai. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan wanita ini seorang sahabat baik ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong yang kini sedang merantau dan belum pulang, pikirnya. Dia harus berhati-hati dan tidak bersikap kurang hormat. “Benar sekali nona. Ketua kami, yaitu Cia-pangcu, tidak berada di rumah dan yang mewakilinya adalah su-siok Gouw Kian Sun, sedangkan saya hanya diperintahkan untuk membantu su-siok.” Wanita itu tersenyum manis, lalu memandang kepada Teng Sin dan Koo Ham. “Dan dua orang ini murid-murid Cin-ling-pai tingkat rendahan?” Wajah Ciok Gun berubah merah. Sahabat ketuanya atau bukan, wanita ini sikapnya amat buruk, lancang mulut dan sombong. “Mereka adalah dua orang suteku!” katanya, tidak begitu hormat lagi. “Sesungguhnya, siapakah ji-wi dan ada keperluan apa…….” “Ciok Gun, mulai saat ini engkau tidak membantu Gouw Kian Sun atau Cia Pangcu (Ketua Cia) lagi, melainkan membantu aku!” “Ba ….. baik….. eh, apa artinya ini?” Ciok Gun terkejut bukan main karena di luar keinginannya, begitu saja dia menyanggupi untuk menjadi pembantu wanita yang tidak di kenalnya itu! Hanya dengan memaksa hatinya memberontak dia dapat menahan diri dan kini dia memandang dengan mata terbelalak. “Nona, apa maksudmu? Apa artinya semua ini?” Kembali wanita itu tertawa. “Ha-ha-heh-heh! Artinya, laki-laki yang gagah, bahwa mulai saat ini akulah yang berkuasa dan engkau harus mentaati semua perintahku!” Selagi Ciok Gun masih tertegun karena bukan saja terheran mendengar ucapan itu, akan tetapi juga karena ucapan itu ditujukan kepadanya, dia seperti terpengaruh kekuatan yang aneh, dua orang sutenya yang tidak terpengaruh sudah menjadi marah bukan main. “Sungguh lancang mulut!” bentak Teng Sin marah sambil mengepal tinju dan melangkah dekat. “Siapakah engkau ini wanita yang berani bersikap kurang ajar terhadap suheng?” Koo Ham juga membentak sambil melangkah maju. Wanita itu memandang kepada mereka dengan tersenyum mengejek, lalu ia mengibaskan tangannya ke arah mereka seperti orang mengusir lalat sambil berkata, “Huh, kalian ini dua orang anak kecil tahu apa?” Tentu saja dua orang murid Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Mereka adalah tokoh-tokoh Cin-ling-pai tingkat dua yang sudah memiliki kegagahan dan kepandaian tinggi, dan kini diperlukan seperti dua orang anak kecil oleh seorang perempuan muda! “Nona, kami adalah pendekar-pendekar yang tidak sudi menyerang wanita, kecuali kalau wanita itu seorang penjahat yang patut dibasmi. Karena itu, kalau engkau seorang wanita baik-baik, pergilah dari sini dan jangan sampai membuat kami marah!” kata Teng Sin dengan sikap gagah. Bagaimanapun marahnya, dia masih ingat bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita dan tidak ada alasan bagi mereka untuk saling bermusuhan. Wanita itu tersenyum memandang kepada Teng Sin dari kepala sampai ke kaki seperti orang yang sedang menaksir sebuah benda dagangan. “Hemmm, engkau ini anak kecil mengaku pendekar? Kalau aku bukan orang baik-baik dan tidak mau pergi dari sini, engkau akan bisa berbuat apakah?” “Keparat! Kalau begitu terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan!” bentak Teng Sin. “Hi-hik, kukira engkau tidak mampu, cucuku!” wanita itu mengejek. Ini sudah keterlaluan dan Teng Sin menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Tentu saja dia masih belum tega untuk mencelakai wanita itu, hanya ingin memberi hajaran saja, maka dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dia menampar ke arah pundak kiri wanita itu. Biarpun dia murid tingkat dua, akan tetapi Teng Sin telah dapat menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang cukup kuat sehingga ketika tangannya menyambar dengan tamparan itu, terdengar suara dan angin menyambar keras. “Wuuuuttt…….. plakk!” Tamparan itu mengenai pundak kiri wanita itu karena memang tidak di tangkis atau dielakkan. Teng Sin terbelalak karena merasa khawatir sekali melihat betapa tamparannya itu mengenai pundak lawan tanpa di tangkis atau dielakkan. Kiranya wanita itu tidak pandai ilmu silat! Akan tetapi dia semakin menjadi heran karena tangannya mengenai pundak yang begitu lunak seperti segumpal daging tanpa tulang saja dan tenaga Thian-te Sin-ciang itu seperti tenggelam dan lenyap pada saat itu tangan kiri wanita itu bergerak secepat kilat sehingga tidak nampak. Tangan itu dengan jari terbuka menusuk ke arah dada Teng Sin. “Hukkkk…..!” Teng Sin terjengkang dan darah segar muncrat dari mulutnya. Koo Ham dan Ciok Gun terkejut sekali. Mereka berlutut memeriksa dan…… ternyata Teng Sin telah tewas! Di ulu hatinya nampak tanda merah kehitaman, bekas telapak tangan wanita itu dan baju bagian dada itu hancur! Dengan mata terbelalak Koo Ham memandang sutenya yang tewas, lalu dia melompat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. “Iblis betina, engkau berani membunuh saudaraku?” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, dan karena dia maklum betapa lihainya wanita itu, begitu menyerang dia memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah dipelajarinya, walaupun belum sempurna benar. Sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran pedang, wanita itu berseru. “Aih, inilah Siang-bhok Kiam-sut? Kaku sekali!” Kembali ia mengelak sampai tiga kali berturut-turut ketika Koo Ham mendesaknya dengan serangan pedang. “Tentu saja kaku, karena selain ilmunya itu belum sempurna, juga seharusnya untuk ilmu itu dipergunakan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum)!” tiba-tiba pendeta yang sejak tadi hanya memandang saja, menjawab ucapan wanita itu. “Wah, kalau begitu bocah ini tidak ada gunanya!” kata wanita itu dan pada saat itu, pedang di tangan Koo Ham sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung. Wanita itu menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Pedang meluncur ke dekat lambung dan begitu tangan kirinya bergerak, ia telah menangkap pedang itu dengan tangan kiri! Koo Ham yang merasa marah karena kematian Teng Sin tidak peduli dan cepat dia menarik pedangnya untuk membuat tangan wanitu itu tersayat. Akan tetapi pedangnya tidak bergerak seolah di jepit bukan dengan tangan melainkan dengan jepitan baja yang amat kuat! Kembali dia mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya, dan pada saat itu, tangan kanan wanita itu bergerak. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga Koo Ham tidak menduganya. “Takk!” jari-jari tangan yang kecil halus itu menampar pelipis kepalanya dan tubuh Koo Ham terpelanting roboh di dekat mayat Teng Sin. Ketika Ciok Gun memandang, ternyata Koo Ham telah tewas pula dan di pelipis kepala yang tertampar itupun terdapat tanda bekas jari tangan merah kehitaman! Ciok Gun maklum betapa gawatnya keadaan. Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati sekali melihat betapa dua orang sutenya tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa agaknya orang itu memusuhi Cin-ling-pai, maka dia menahan kemarahannya dan ingin tahu siapa mereka dan mengapa begitu kejam membunuh dua orang murid Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa wanita ini lihai bukan main, Ciok Gun sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang melintang di depan dada, dia memandang wanita itu dengan mata tajam penuh selidik. “Siapakah sesungguhnya engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Wanita itu terkekeh lalu menoleh kepada tosu yang sejak tadi berdiri diam saja itu. “Suhu, lihat betapa gagahnya dia! Hayo suhu, kenapa engkau sejak tadi diam saja? Membiarkan seorang wanita bekerja kelelahan. Sekarang giliranmu untuk menghadapi Ciok Gun ini. Akan tetapi ingat, jangan bunuh dia, suhu, sesuai dengan rencana kita.” “Hemm, untuk mengurus cacing ini saja harus aku turun tangan sendiri?” Tosu itu mengomel, akan tetapi dia melangkah maju menghadapi Ciok Gun. “Ciok Gun, seperti telah dikatakan oleh muridku tadi, mulai saat ini engkau harus menjadi pembantu kami. Ketahuilah bahwa kami akan menjadikan Cin-ling-pai bangkit kembali menjadi perkumpulan besar yang akan merajai seluruh perkumpulan dan partai persilatan. Dan engkau akan membantu kami!” “Aku tidak sudi!” Ciok Gun membentak. “To-tiang, engkau ini agaknya seorang pendeta, kenapa bersikap begini kejam membiarkan muridmu membunuh dua orang suteku? Siapakah engkau?” “Aku bernama Kim Hwa Cu, masih ada dua orang suhengku bernama Siok Hwa Cu dan Lan Hwa Cu. Ia adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, murid kami bertiga. Sekarang mau tidak mau engkau harus menjadi pembantu kami!” Ciok Gun belum pernah mendengar nama tiga orang pendeta itu, akan tetapi dia merasa pernah mendengar di dunia kang-ouw disebutnya nama Tok-ciang Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun). “Biar sampai mati aku tidak sudi! Sekarang kalian harus mempertanggung jawabkan kematian dua orang suteku!” berkata demikian, diapun menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada tosu di depannya itu. Tosu yang bernama Kim Hwa Cu itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. Dia menggerakkan tangan menangkis dan ujung lengan baju yang lebar dan panjang menyembunyikan tangannya itu menyambut pedang. “Plakk!” Ciok Gun berseru kaget karena tangkisan ujung lengan baju itu sedemikian kuatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya lagi dan terpental lepas dari tangannya dan terlempar sampai jauh! Hampir dia tidak percaya akan apa yang dialaminya. Dua orang surtenya, masing-masing dalam segebrakan saja tewas di tangan wanita cantik genit itu, sedangkan dia sendiri dalam segebrakan saja sudah kehilangan pedangnya melawan tosu yang tinggi kurus ini. Bagaimana mungkin ini? Ketuanya sendiripun tidak mungkin dapat membuat dia melepaskan pedang dalam segebrakan saja! Ciok Gun adalah murid tingkat dua yang sudah ahli. Bahkan diantara para murid setingkat dia yang paling lihai dan diapun ahli dalam ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung). Maka, biarpun pedangnya sudah terlempar, dia tidak mau menyerah dan kini dia sudah menyerang dengan kedua tangan kosong, memainkan ilmu silat San-in Kun-hoat! Dua kali pukulan dan tendangannya dihindari tosu itu dengan elakan. “Bi Hwa, perhatikanlah. Inilah San-in Kun-hoat!” kata kakek itu sambil terus mengelak, seolah memberi kesempatan kepada Ciok Gun untuk mempertontonkan ilmu silat itu. “Hemm, sudah lumayan gerakannya.” Wanita itupun memberi komentar. “Tapi jangan kau lukai dia, suhu. Dialah yang akan membantu kita.” “Ha-ha-ha, jangan khawatir, Bi Hwa. Nah, kurobohkan dia!” kata tosu itu. . Tentu saja Ciok Gun yang mendengarkan percakapan itu terkejut dan diapun cepat memasang kuda-kuda untuk membela dirinya yang akan di robohkan tosu itu. Akan tetapi pada saat itu, dua ujung lengan baju menyambar dari kanan kiri. Demikian cepatnya dan demikian dahsyatnya sehingga biarpun Ciok Gun berusaha untuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan, tetap saja pundaknya tersentuh ujung lengan baju dan diapun roboh tertotok dan pingsan! Ciok Gun membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Ketika nanarnya hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar, dia terkejut dan dia segera teringat akan peristiwa di dalam hutan itu. Mimpikah dia! Mimpi buruk tentang kedua orang sutenya yang tewas? Dimana dia? Dia bangkit duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat dan tadi tubuhnya tertutup selimut. Dan ada yang bergerak di sebelahnya. Dia menoleh dan Ciok Gun berseru kaget. Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam “mimpi” telah membunuh dua orang sutenya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang amat lihai dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan! “Keparat……!” serunya dia hendak meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba wanita itu merangkulnya dan diapun tidak mampu meronta. “Ciok Gun, hendak kemana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aih, engkau memang gagah…..” Wanita itu mendekap dan mencium. Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan diapun seperti tenggelam ke dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuat dia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia telah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya. Setelah semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak wajar itu terpuaskan, diapun ingat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala. Dia meronta dan teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat. Membunuh dua orang sutenya. Menawan dia bahkan kini menggunakan cara yang amat keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi kesadarannya. “Jahanam kau!” Dan diapun mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan mata itu. “Wokkk!” Bukan kepala wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu membuat dia roboh lemas di atas pembaringan. “Hi-hik, Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena tidak mampu bergerak untuk menghindar. Bahkan sisa hawa panas yang membuat dia dibakar hasrat itu masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi tubuhnya! Dia hendak meronta, hendak menolak, namun tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak dapat dikuasainya. Karena tubuhnya kini tertotok dan tidak mampu bergerak, maka terjadi perang perasaan di dalam dirinya antara melayani rayuan dan belaian wanita itu dan menolaknya. Dan tiba-tiba ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, totokan pada tubuhnya dibebaskan dan diapun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi. Setelah ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa demikian tidak berdaya sehingga dia menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam yang menghancurkan segala martabatnya itu. Dan wanita itu merangkul dan membelainya, menghiburnya. “Ciok Gun, sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihmu, bukan? Nah, mulai sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang…..” “Tidak……! Tidak sudi…..!” Ciok Gun meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Dia maklum bahwa menghadapi wanita ini, dia tidak berdaya dan kalau dia menyerangpun dia tidak akan menang. Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia lalu meloncat ke arah dinding dan bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu agar kepalanya pecah. Mati lebih baik daripada apa yang dia alami waktu itu! “Plakk!” Kepalanya tidak membentur dinding melainkan di tahan oleh tangan lembut wanita itu dan di lain saat, diapun sudah roboh kembali karena di totok secara aneh oleh wanita yang bukan main lihainya itu. “Hemm, keras kepala!” Kini wanita itu tidak lagi bersikap lembut. Ia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sudah tidak mampu bergerak dan melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Ia lalu mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar. Dengan rambut masih awut-awutan, bedak luntur dan pemerah bibir dan pipi juga “berserakan”, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas dimana duduk tiga orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang diantara mereka adalah pendeta yang tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu. Melihat munculnya wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan iri dan tak suka hati. “Bagus! Kami menunggu disini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan tawananmu, ya?” Wanita itu cemberut, lalu dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan menuangkan arak dalam cawan lalu meminumnya sampai tiga kali. Sikapnya sama sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu! Siapakah mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya sekitar lima puluh tahun. Adapun dua orang tosu lainnya adalah dua orang suhengnya (kakak seperguruan). Yang berperut gendut pendek bermuka hitam dan bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia limapuluh enam tahun. Tosu ketiga yang paling tua, usianya sekitar enampuluh tahun bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita. Tiga orang ini boleh jadi tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apalagi di daerah Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini di kenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat berkedok agama yang suka memberontak terhadap pemerintah. Pek-lian-kauw memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga diantara para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar di cari tandingan! Adapun wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, dimana aturan dan kesusilaan oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat. Su Bi Hwa, gadis berusia duapuluh lima tahun itu, sejak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu tiga orang sakti itu telah dipelajarinya dalam kejahatan dan kekejian, gadis ini tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga ia mendapat julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)! Ia seorang wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara terang-terangan ia membiarkan dirinya menjadi kekasih tiga orang gurunya, terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul diantara mereka bertiga, juga ia begitu menyerahkan diri kepada pria manapun yang disukainya. Tiga orang gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah “kebebasan” yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, dimana tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Akan tetapi justeru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan diantara mereka! Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan Pek-lian-kauw selalu gagal dimana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah, melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya. Maka, tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka tidak dapat menguasai para pendekar, tidak dapat merajai dunia kang-ouw, akan sukarlah bagi mereka untuk mengalahkan pemerintah. Dan Pek-lian Sam-kwi kini mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan cara apapun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih maupun golongan hitam. Para pucuk pimpinan Pek-lian-kauw yakin akan kesanggupan dan kemampuan Pek-lian Sam-kwi yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw yang selain lihai ilmu silatnya dan kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang dalam hal ilmu silat, hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun ia memiliki kecerdikan yang mengalahkan semua gurunya. Su Bi Hwa yang mengatur untuk menguasai dan “meminjam” nama Cin-ling-pai untuk mengacau dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Disitu mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia. cerita silat online karya kho ping hoo Mereka telah mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari itu, mereka telah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai yang mereka kubur secara rahasia, dan menawan Ciok Gun. Mereka hendak menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu sebagai boneka mereka! Demikianlah keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa mendongkol, kecewa dan marah sekali melihat betapa bujuk rayunya terhadap Ciok Gun telah gagal! Biarpun dengan penggunaann obat bius dan obat perangsang dia telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, namun bukan ini yang menjadi tujuannya. Ia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta dan taat kepadanya. Kiranya pria gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, bahkan hampir saja mau membunuh diri! Maka, dengan hati mendongkol ia lalu menotok Ciok Gun dan setelah melemparnya ke atas pembaringan, ia lalu menghampiri ruangan dimana tiga orang gurunya berada. Dan ia di sambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak membayangkan perasaan cemburu! Hal ini membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Ia duduk di atas kursi, menghadapi tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa ia hanya bersenang-senang dengan tawanan. “Sam-suhu (guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!” “Ehhh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit. Diantara Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita manapun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang gadis cantik. “Dia keras kepala. Sampai bagaimanapun tidak mau tunduk malaupun pengaruh obat itu telah membuat dia meniduriku. Akan tetapi, perasaan hatinya tak pernah tunduk, bahkan tadi hampir saja dia membunuh diri.” “Huh-huh! Kalau begitu bunuh saja dia. Tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak kasar, keras dan kejam. Kim Hwa Cu juga mengagguk-angguk. “Benar, kalau tidak dibunuh, untuk apa?” Bi Hwa makin cemberut. “Ji-suhu (guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa menggunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau menuruti kata-kata kalian.” Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui bahwa menghadapi murid ini, mereka tidak berdaya, karena mereka tidak dapat menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik itu. “Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil kau bujuk untuk membantu kita, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya terhadap dia?” “Twa-suhu (guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita jadikan mayat hidup dan melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan Cin-ling-pai. Dapat diatur begini ……” Gadis itu lalu bicara berbisik-bisik walaupun mereka merasa yakin bahwa disitu tak mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan pandang mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan penuh kagum. Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari. Dilereng yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam. Seorang kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya. Kakek itu biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat. Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia Kui Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu. Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena wanita ini adalah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang kepandaiannya setingkat dengan suaminya! Akan tetapi, Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin. Baru kemarin Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya. Tentu saja kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan. Cuaca masih gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya. Kesenangan melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut. “Kong-kong (kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit. “Heii, Kui Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!” Kakek itu berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh, ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi. Cia Kong Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu. Kijang itu melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka. Cia Kong Liang berhenti dan memandang. “Haii, Ciok Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan Koo Ham?” Ciok Gun nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu. “Sukong, sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.” Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun. “Suheng…..!” serunya gembira. Karena berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira. “Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?” tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun. Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari kedalam hutan. “Heii, Ciok-suheng, kita kemana….?” Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali. “Ciok Gun, berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar. Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja. Kakek itu memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya. Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum. “Selamat datang di pondok kami, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil tersenyum manis sekali. Kakek itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sikap hormat, diapun membalas penghormatannya dan berkata. “Siapakah nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.” “Ci-lo-cian-pwe, sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.” Biarpun sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja. “Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!” Bukan main hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok. “Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!” Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun, “Baik, Su Siocia!” Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar! “Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?” Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat. “ha-ha-hi-hi-hik! Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.” “Akan kuambil sendiri cucuku kalau begitu!” Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu. “Nona, minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa. “Lo-cian-pwe, ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum. Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali. “Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak menahannya di dalam pondokmu ini?” “Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat. “Hemm, tidak semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!” Bi Hwa tertawa. “Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!” “Keparat!” Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok. Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita itu ke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong. “Plakk!” Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh. Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah! “Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!” Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut. “Haiiiiitttt…….!” Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa. Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan. “Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru. “Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu. Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik “Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah. Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat. “Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji. Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai. Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu! Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka. Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya. Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau! Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya, “Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!” Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api. “Tahan….!” Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul. “Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.” “Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?” Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya. “Orang tua, urusan kami tidak perlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu.” Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya, “Katakan, apa permintaanmu itu?” “Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu. Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya. “Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!” Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah. “Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal. Kim Hwa Cu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu. “Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji. “Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong. Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah. "Dukk!" Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itupun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka. Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak. "Plakk!" kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting! Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan. Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan. Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah. "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!" "Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorangpun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng." "Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!" Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka iapun tidak berusaha untuk meronta. "Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?" Bi Hwa menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan iapun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah. "Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!" "Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah menjadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu.".......
Jilid 2
"Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu. "Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya. "Tarr-tarrr……. !" Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari mulut anak kecil. Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan menangis. "Tahan…..!!” teriak Cia Kong Liang. Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan. "Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!" Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih. "Rawat dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," katanya lirih. Dengan senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak bergerak seperti arca itu. "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!" Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong. "Baik Su Siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar. Diam-diam Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi kalau mengingat bahwa .puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya disini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya. “Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu, aku tidak mau bicara." Bi Hwa tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apapun yang ia minta tentu akan dipenuhi olehnya! "Hemmm, apakah dua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang. "Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bun." "Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!" "Dan ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!" Bi Hwa tertawa dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, kemudian iapun menjawab. "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu." "Aku tidak mengenal nama-nama itu……." kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat. "Mereka bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi." "Ahhh………! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!" Cia Kong Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li." "Hemmm………" Cia Kong Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada merekapun tidak akan merugikan Cin-ling-pai dan terutama sekali untuk menyelamatkan cucunya. “Nah, sekarang katakan dimana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itupun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap. "aku tidak tahu……” Cia Kong Liang menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal. "Tua bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?" Cia Kong Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin! "Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu dimana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!" "Bohong! Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk kedua kalinya!" Cia Kong Liang menarik napas panjang. "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu dimana pusaka itu kini berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi dimana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihatpun belum, apalagi memilikinya.” Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. "Karena Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?" "Mungkin saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya." , "Kenapa?" "Mengingat pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut." Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih, "Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk. "Sekarang tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi. "Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu." “Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi-i-beng itu! Dimana kitab itu?” Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat mereka miliki. "Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya." katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang. "Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!" "Sudah kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid." "Dan Thi-khi-i-beng?" "Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan. "Hemm, jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek. "Pertama, karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiripun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya." Bi Hwa saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap! "Jadi di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnyapun tidak ada?" Tiba-tiba Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah! "Kurasa di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah." "Pendekar Sadis.……..??” Empat orang itu serempak berseru kaget. Cia Kong Liang tersenyum senang! "Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu." "Heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa. "Kau…… kau…….. melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina……!" "Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan. "Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat." kata Bi Hwa dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka. Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup karena senja telah tiba. Pria itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya. Wanita itu isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Selain keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang diantara Delapan Dewa. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka. Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang. "Sungguh aneh, kemanakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa sampai sehari dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel. "Apakah malam tadi beliau tidak mepesan sesuatu kepadamu?" tanya isterinya. “Tidak, hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?" "Pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketika mereka berangkat pagi tadi." Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat. Wanita itupun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham, yang tinggal di bagian belakang. "Kebetulan sekali, suheng dan toa-so berada disini. Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)." Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat. "Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka. "Suheng, isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi." "Hemm, kemanakah mereka bertiga pergi?" "Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah bermalam. Kalaupun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi buruk." Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja. "Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu. "Saya….. saya melihat suami saya mandi dengan…… darah…… " Biarpun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri. “Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya. "Tidak, suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?" Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya. "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sutenya." Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan menjaga anaknya dengan baik dan selama ini di Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah. Setelah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh. Setelah menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi. Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya. "Suhu……!” Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song. "Ciok Gun, engkau? Kemana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?” "Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui dimana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari…..!” Dan Ciok Gun lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui dimana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini. Seperti juga yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok disitu! "Pondok siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut. "Ssttt…… teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari…….!" bisiknya dan diapun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka. Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia telah dapat "merasakan" adanya sesuatu yang tidak beres, maka diapun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya. Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya. "Ayah! Kui Bu……!” Dia berseru dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghadang empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya. Hui Song juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja! “Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wanita itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!" Hui Song mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka. "Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?” Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu kesini.” “Ciok Gun…….? Dia…… dia…….. hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!” "Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!” "Keparat akan kubebaskan sendiri mereka!" Dan Hui Song bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang. "Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan diapun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya ,sambil mengerahkan tenaganya. "Dukkk…….! Aihhh……!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling. Akan tetapi ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya. "Ciok Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama sekali seolah tidak mendengar perintah itu. “Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!" bentaknya dan diapun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis. "Dukkk ……..!!" Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan diapun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini, Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya. "Dukkk!" Kembali dia tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya. Yang lebih kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi. “Hyaaatttt…………..!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya. Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!" Karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan! "Cia Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan, terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!" Sebelumnya, Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara. "Ayah…….! Ayah………!!” Kui Bu memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan. Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!" , "Ayah…….., Kui Bu dalam bahaya……" Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi. "Lawan mereka! Kalau engkau menyerahpun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak. ."Dukk!" Kim Hwa Cu menotok dan kakek itupun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu. "Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan. Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi bagaimana mungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di depannya? "Katakan dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan." katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi. "Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan…… eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati permintaan-permintaan kami." "Hemm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?" "Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kamipun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga." Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih, lalu kepada tiga orang pendeta itu. "Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji, nona, terus terang aku tidak percaya." "Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa. Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya. "Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan." Hui Song tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak perduli. Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka. "Akupun berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!” “Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!" "Baik, Su Siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ. "Ayah……!” "Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik." kata Hui Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas. "Awas kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi. "Hi-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis. Kini ia menyebut tai-hiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu membunuh anaknya dan ayahnya. "Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu.” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang ,berjalan di depannya, sedangkan tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan diapun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan disana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka. Maka diapun menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu. cerita silat online karya kho ping hoo Lorong itu cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain. "Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat disana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Setelah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi. “Nanti dulu!" Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?" Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ……..” Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?” Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hik, engkau cerdik, tai-hiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!" Hui Song tidak menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih banyak lagi yang berada di luar. Dugaan Hui Song memang benar. Ada tiga puluh orang-anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka. Ciok Gun telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apapun yang diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya itu! Akan tetapi, belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak. Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. "Hui Song…..!” Pendekar itu menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruji menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam keadaan sehat saja. "Ayah ……..!" Kui Bu juga berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja. Hatinya merasa lega. "Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega. "Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?" "Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat berbuat sesuatu." jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Biarpun hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, diapun dapat memaklumi sikap puteranya. "Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada disini bersamaku." "Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan. Agaknya karena melihat ayahnya berada disitu dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng. Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi. "Ayah…….!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam. "Kui Buuuu…….!!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar. "Song-ko (kanda Song) ………!!" kembali suara itu melengking dan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Bahkan suara jengkerik dan belalang malam yang tadinya meramaikan malam, segera terhenti sejenak karena terkejut oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian, barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi. Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Yang aneh-aneh terjadi di Cin-ling-pai sejak pulangnya kesitu dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula, Ciok Gun, Teng Sin dan Koo Ham, tiga orang murid Cin-ling-pai yang pergi berburu, sampai dua hari semalam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu dan kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka dan sampai kini, menjelang tengah malam, suaminyapun belum kembali! Maka, setelah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, ia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka. Sudah sejak tadi ia mencari-cari, memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya, dan anaknya, namun tidak ada yang menjawab. Padahal, ketika berteriak memanggil, ia sudah mengerahkan khi-kang sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya, suaminya tentu mendengarnya dan kalau begitu, kenapa suaminya tidak menjawab? Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga ia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari. Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia memiliki ilmu Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat ia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata! Hatinya menjadi semakin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni belum juga ia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika ia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik. "Selamat malam, pendekar wanita Ceng Sui Cin!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul. Sui Cin terkejut dan merasa heran. Ia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Dan mereka telah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentu ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu. "Siapakah kalian?" tanyanya. "Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa. Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal. "Aihh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?" Sui Cin terkejut. Ternyata apa yang dikhawatirkannya benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang! "Dimana mereka? Siapa kalian?" bentaknya. Bi Hwa tersenyum. "Siapa adanya kami tidaklah penting bagimu, li-hiap. Yang penting, kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, dan puteramu dalam keadaan selamat." *************** Wajah Sui Cin seketika menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?" Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat." "Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal kedua tinju tangannya. "Hemmm, engkau galak benar, li-hiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?" "Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian kalau tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!" “Ho-ho-ha-ha, betapa sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin. "Ceng Sui Cin, engkau bertemu dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa cu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata, untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir. Sui Cin tiba-tiba merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi ia segera tahu bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Tidak percuma ia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka, tentu saja dari ayah ibunya selain ilmu silat, ia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir. Ia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut lenyap. Sebaliknya, dengan marah sekali ia lalu menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena ia marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin sudah menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang! Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu ini merupakan ilmu andalan ayahnya yang mempelajarinya dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Begitu tubuhnya merendah, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong. Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebetulnya, dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, akan tetapi, sudah menjadi ciri orang yang menjadi budak nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup untuknya. Akan tetapi, dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artinya, maka dengan sombong dia menghadapi dengan kedua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu. "Desssssss …….!” Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, namun terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah! Akan tetapi Sui Cin tidak berhenti sampai disitu saja. Ia kini tahu bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka setelah tosu gendut pendek itu roboh, iapun terus menyerang lagi, kini ia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara. Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya bukan mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dah muntah darah! Akan tetapi biarpun ilmu kepandaian Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serangan Ceng Sui Cin, maka dia tidak sebodoh gurunya kedua tadi. Ia tidak berani langsung menghadapi serangan itu, melainkan cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun, jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin. "Jahanam! Kubunuh, kalian semua kalau tidak cepat membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biarpun ia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang musuhnya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagaikan seekor naga betina yang marah. "Tahan dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring. “Perempuan rendah, mau bicara apalagi engkau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!" "Lihiap, harap tenang dulu. Kami bukan bermaksud buruk, tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami mengundangmu baik-baik sebagai tamu kami, dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!" "Bedebah! Engkau mengancam dan memerasku?" .. "Bukan mengancam kosong atau memeras, melainkan merupakan pilihan bagimu. Engkau menyerah baik-baik dan keluargamu selamat atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dulu." Akan tetapi, sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak! "Siluman betina dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telingamu dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan! Bukan di tangan-tangan kotor kalian. Bagiku, aku lebih senang melihat mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah, daripada hidup menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!" Bukan main kerasnya ucapan ini, dan tahulah Bi Hwa bahwa ia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan! Akan tetapi, biarpun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan mampu merobohkan wanita itu, mereka masih terancam bahaya bahwa seorang diantara mereka mungkin akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini! "Kalau begitu, sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" Bi Hwa berseru jengkel. "Iblis betina, engkau yang akan kubunuh lebih dahulu!" Sui Cin membentak dan menyerang dengan dahsyat. Bi Hwa sudah mengelak cepat, namun gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat ia terhuyung. Tiga orang gurunya sudah menyerang Sui Cin dengan senjata mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang. Biarpun ia sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia mengamuk mati-matian. Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. Maka, tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar. Tiba-tiba yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru, “Pergi …….!!” Ini merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap. Sui Cin terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu kemana arah yang ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung. Selagi ia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, dimana sinar bulan sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah kemana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Biarpun ia mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila, mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat. Akan tetapi, baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang. "Su-pek-bo (uwa guru)......!" Sui Cin membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu, maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun! Ciok Gun terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba. "Su-pek-bo......" "Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan dimana....... " "Ssttt, supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu dimana mereka menawan su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)." Dia berbisik. "Bagus ……..!" Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik. "Dimana mereka? Apakah mereka semua selamat?" "Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka." Sui Cin tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan. Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali. "Supek-bo, teecu tahu dimana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja." Sui Cin mengangguk. Sedikitpun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan. Sebuah pintu kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itupun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya. *************** Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, kalaupun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekalipun, tentu ia akan mampu menghindarkan diri. Karena hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan. Dalam keadaan tegang gembira itu, ia kehilangan kewaspadaan. Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun. Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji besi yang juga terbuka. "Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang kesana. supek-bo dulu, teecu takut ……." Masih juga Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan iapun melangkah terus. Ciok Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas. Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu disana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu. "Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang, terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih! "Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu …….!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat. Ia melihat Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya! Ia membalik dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya. Ia segera membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi, kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapapun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih inipun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun. Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan iapun tidak dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih. “Sui Cin …….!” Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada disana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja. "Mana ayah dan Kui Bu?" Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya. "Mereka di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat." kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"......
Jilid 3
"Aku terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan." "Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka." "Eh? Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini. "Mereka lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yang mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir dan racun." "Ahhh....! Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita ?" "Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya." "Hemm, sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi mereka mau apa……?” "Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk." "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?" Sui Cin merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat demikian mudahnya tertawan? Hui Song menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi diapun tidak dapat berbohong. "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku menyerah." "Hemm.....!" Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh? "Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar, aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!" "Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat. "Hi-hi-hik, sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!" Terdengar suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api. "Perempuan hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul. "Nyonya yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu." "Huh! Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!" Biarpun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan yang mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi. "Tenanglah, lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh. Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja. Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya." Setelah berkata demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa menghilang. "Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu." "Hemm, menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke neraka sekalipun!" Hui Song yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka. Akan tetapi diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada disana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya! "Aduh, sungguh berbahaya sekali……!" Berkali-kali gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam perahu kecil. "Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah tinggal disini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu diantara batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan banyak batu yang tidak nampak di permukaan air.” Perahu itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air. Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itupun sukar didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Dan bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang, diantara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh. Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet. Ibunya seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang pria Han, seorang tokoh besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An. Gadis ini bernama Mayang dan iapun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi diantaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi! Ada pun pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu diantara batu-batu karang itupun seorang pemuda yang amat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di dalam sinar matanya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan. Akhirnya, dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah! Dia ingin menghadap suhu dan subonya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah). Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal akan keadaan disitu dan tahu benar bagaimana harus mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang. "Pada musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Disini kita harus berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari.....!" Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik! "Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan." Kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu. Mayang mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu. Memang hebat permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itupun kembali ke tengah. "Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak. "Sekarang kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus membereskan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya. "Aih, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko." kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup. Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimanapun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya! "Tentu saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tentang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?" Mayang mengangguk dan bergidik. "Mereka itu tentu menyeramkan, aku agak…….. takut, Liong-ko." "Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kau lakukan di depan mereka ?" "Aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku." "Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang." kata Ki Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau. "Liong-koko, kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka mengamati kita." Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena pegang ular. Dia mengangguk, "Mari kita kesana, Mayang." Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan diantara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang berbunga. "Aduh, indahnya.....!" Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah. "Jangan……!” Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya. Tentu saja Mayang terkejut sekali "Eh ? Kenapa, Liong-ko?" "Kau tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau dikeramatkan dan tak seorangpun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?" "Ihhh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.” Ki Liong tersenyum. "Lupakah engkau akan julukan suhu?" "Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!” "Hushh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Engkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku." Akan tetapi, baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri. Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin. Seorang diantara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus. "Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?" "Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong……" "Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!" Dan tiga orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun, mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka kalah jauh. Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikut marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka. Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berani lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, iapun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring. "Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!" "Mayang, jangan bicara sembarangan!" Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan. Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Diapun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahian tadi. Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja. Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa. "Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?" Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar, "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !" "Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!" Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gais ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani. Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet. "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!" "Subo ……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah. "Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!" Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, iapun tidak berani bersikap tidak sopan. "Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorangpun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus disini? Kalau ji-wi keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang kesini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!” Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja disitu tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong. "Hemm, bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang kesini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!” "Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku." Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya. "Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beraninya mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren. “Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukumam apapun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan diapun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut. Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya. Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan diapun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang. "Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu. "Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran. Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu. “Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?" "Aku tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi disini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?” "Mayang! Jangan kurang ajar engkau!" Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali. "Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut. Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi disini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.” "Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!” "Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain." "Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san." jawab Mayang. Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati. Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan. "Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!" "Lo-cian-pwe, jangan…….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. , "Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?" Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia beranggapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan. "Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperigatkan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!" Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang. "Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong. “Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko disini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?" Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya kesini." Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar. Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut. "Terserah lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.” "Hemm, siapakah kakakmu itu?” Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu. "Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, diantaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan. "Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang kesini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja. "Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali kesini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko." "Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak. Mayang bersungut-sungut. "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!" Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut. Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi. Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, diapun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya. "Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?" Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang. Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali. "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman." "Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!” Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat. "Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!” Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong. "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.” Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ! "Aih, betapa kejamnya…….!” Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai dimana dia menyimpan perahunya tadi. "Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur." "Hemm, kemana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang. Ki Liong memanggul perahunya. "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.” Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut. "Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita." "Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang." Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam dimana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka diantara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet. Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itupun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah. Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap. “Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.” Mayang cemberut. “Tidak! Sampai matipun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.” “Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apapun lagi yang…….” “Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kitapun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu.” "Ayah ibuku telah tiada, Mayang." "Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.” Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka iapun mendiamkannya saja. “Ciok Gun ……!” Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu. Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau. Tentu saja dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka. Dia telah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daun jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar . "Siapa ……?” Gouw Kian Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula! "Teecu datang, suhu, harap dibukai jendela!" , Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini. "Ciok Gun, engkau? Apa…… apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung. Ciok Gun memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan diapun bicara dengan suara lirih. "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu dimana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka." Dapat dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, diapun mengangguk dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai. Malam telah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, disitu tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya. "Hati-hati, suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu ……" Biarpun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu, diapun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tak lama kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia melihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas. Setelah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang kepada muridnya. "Cik Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka disini dan apa yang telah teriadi?" Saking khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu. "Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu." kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan. Ruangan ini luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk disitu, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah! “Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!" Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, diapun terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara. "Maafkan saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam. Wanita itu yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih. "Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii." Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja sudah diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata. "Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya." "Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi." Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw! "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah ?” "Hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah." Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang aneh dia temui disini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk akal. “Ciok Gun, kesini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi yang dibentaknya itu sedikitpun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerakpun tidak, berkedippun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu. "Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya dia membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya. "Hi-hik, Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.” Kin Sun bangkit berdiri, wajahnya berubah merah, "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!" Bi Hwa tertawa. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami." "Tidak sudi!" "Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua , yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?" “Aku pilih mati!" Gouw Kian Sun membentak dan diapun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa, dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dalam hantamannya. "Brakkkk !" Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba. Kim Hwa Cu, tosu termuda diantara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum mengejek dan mengelus jenggotnya. "Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja, untuk mencapai maksud tujuan kami." "Tosu Pek-lian-kauw keparat!" Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat diapun sudah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te sin-ciang yang amat kuat. "He-he, ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!" Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan diapun dengan berani menyambut pukulan kedua tangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan kedua tangan pula....
Jilid 4
"Desss ……..!” Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuah tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit. Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja, dia sudah kalah tenaga. Dan tadipun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu. Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai tidak ada, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Cin-ling-pai adalah dia. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan setuju. Maka, diapun menjadi nekat dan tanpa memperdulikan kehebatan lawan, dia sudah menubruk maju lagi. Kini, Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya dan tiba-tiba saja terdengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya. Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek. "Hi-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suhengmu, juga puteri Pendekar Sadis, telah dapat kami tawan. Apalagi kamu!" "Bunuh saja aku!" bentak Kian Sun. "Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu. sebaliknya kalau engkau hidup, merekapun akan tetap hidup." Kian mengerutkan alisnya yang tebal. "Maksudmu?" "Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau menyambut uluran tangan kami untuk, bekerja sama, mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami takkan mengganggu selembar rambutpun dari mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya dan meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin." Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib empat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka. "Engkau membual, Mo-li! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya mencoba, karena bagaimanapun juga, dia tidak percaya kalau gurunya, suhengnya dan isteri suhengnya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini. "Hi-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Di setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Kalau kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyol karena kebodohan dan kekerasan kepalamu?" Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada saat itupun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suhengnya, isteri suhengnya dan putera suhengnya? Tiba-tiba dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar dapat membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu. "Ciok Gun, dimana Teng Sin dan Koo Ham ?" teriaknya untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi, seperti juga tadi, Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung! "Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tidak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik." Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan iapun berkata dengan suara yang lembut merayu. “Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!" Kini Ciok Gun mengangkat mukanya dan menoleh ke arah gurunya, dan sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka gurunya sendlri! Tentu saja Kian Sun terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh. "Dukk ……….!" Dua buah lengan bertemu keras sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan pada lengan tangan muridnya itu besar sekali, tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri, akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa, "Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menanti perintahku!" Dan Ciok Gun tidak memperdulikan lagi kepada Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi. "Ciok Gun! Kau…… kau……!” Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. Tentu Ciok Gun telah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya. "Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Kalau engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi semua permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tidak ada gunanya dan telah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggauta Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tiada seorangpun yang akan selamat!" "Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baik aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku tidak sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, daripada kami orang-orang Cin-ling-pai dipaksa melakukan perbuatan jahat, lebih baik kami mati semua!" "Aiiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan." "Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?" "Sederhana saja, Pangcu. Pertama, engkau cepat umumkan dan kirim undangan kepada para ketua semua perkumpulan dan partai persilatan besar untuk menghadiri pemikahanmu pada tanggal satu bulan depan." Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya? "Moli! Apapula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti." “Engkau yang akan menikah, Pangcu." Kini Kian Sun benar-benar kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. "Menikah dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa, sambil terkekeh genit. "Aahhh...?? Aku.... menikah dengan... dengan kau? Apa artinya ini? Kita... kita tidak .... eh, maksudku aku tidak.... " “Hi-hik, jangan bingung, Pangcu. Kau lihat bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi untuk menjadi kekasihku, apalagi suamiku. Dan engkau kelihatan begitu bingung? Hi-hik!" “Bukan begitu, akan tetapi aku…….. kita…….. bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?" Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek. "Gouw Kian Sun, engkau masih ingin membangkang? Perintah yang begini menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pemikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau ingin aku tidak menjadi naik darah dan membunuh seorang diantara tawananku!” Diingatkan tentang tawanan itu, wajah Kian Sun seketika berubah pucat. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, akan tetapi dia tidak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya. "Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta." Akhirnya dia berkata sambil menarik napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya genit. “Kalau engkau sudah menjadi suamiku dan bersikap baik dan penurut, aku akan benar-benar melayanimu sebagai isteri dan engkau akan berbahagia sekali." Kian Sun diam saja, walaupun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua, dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis macam Tok-ciang Bi Moli ini? Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah bukanlah gadis itu, melainkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun. Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri. Biarpun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yang temama berdatangan. Diantara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu. Para tamu yang berdatangan itu menjadi semakin heran ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai. Akan tetapi karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai. Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah. Rombongan Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, diantara pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat, rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari dua malam mereka akan tinggal disitu sampai hari perayaan tiba. Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar dimana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah. Pondok kedua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Tiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang diantara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut. Puterinya bemama Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut. Di sebelah timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah. Di sekitar pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering. Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat perkumpulan besar itu. Pada keesokan harinya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang ia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga amat indah. Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang seperti tarian itu. Setelah selesai, iapun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga bermain-main diantara tubuh yang padat dan langsing itu. Juga dalam latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu. Liu In lalu meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering, lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, iapun melanjutkannya dengan siulian. Pada saat ia mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya. "Poa Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur…..” Liu In terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya iapun menyerah. Ia tertidur dalam keadaan masih bersila! Karena tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka iapun sama sekali tidak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya pergi dari situ. Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat. Tak seorangpun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok. Matahari telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah mendatangkan kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya, membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suara yang masuk dari luar tempat itu. "Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!" Liu In terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah ditotok dan pingsan! Setelah mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia akan melumuri dirinya dengan aib, mengaku bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang berjalan-jalan, iapun menahan perasaannya. "Liu In…….!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih silat. Melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali, tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir. "Liu In, kemana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?" Poa Cin An dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. “Ayah …….!" Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya. "Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An. Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada ,suheng mereka. “Mari kita pulang ke pondok dan bicara disana." Biarpun ia sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan merekapun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya. Setelah mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah. Poa Cin An mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya. "Liu In, kemana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu." Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara hampir tidak terdengar ia berkata, “Ayah…… aku ……. aku……… diperkosa orang…….." Bagaikan dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. "Apa? Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!” Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk. Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang. "Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!" "Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui…….." "Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!" Poa Cin An berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran. "Suheng, ada apakah?” “Keparat Cin-ling-pai ……!” Poa Cin An terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya. Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu, “ ……..ayaahhh…….” Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan…….. Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai dimana gadis itu rebah miring. “Liu In……..!” Poa Cin An hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya. Liu In masih dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah dan lirih, "……. aku malu………. ayah……… balaskan…….” dan lehernya terkulai, nyawanya melayang. "Liu In…….!” Ayah itu menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri! "Cin-ling-pai keparat! Tenanglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi, dua orang sutenya cepat menangkap lengannya. “Suheng, tahan dulu…..!” Poa Cin An rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah. "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!" “Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balaspun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi, kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya, kepada namanya?” Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang. "Kalian benar, Sute. Maafkan aku …….! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku ……." Setelah dia mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai. Di pintu gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang diantara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka menyambut dengan ramah. "Selamat pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?” “Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu. Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah. "Lo-cian-pwe, saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan tamu." "Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An. "Sabarlah, Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi menanti sebentar…..” "Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!" Para murid itu terkejut. Tadipun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak marah, dan sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu. Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar disitu, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang murid keponakannya, dua diantaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami. Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena mereka sendiripun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saja kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya GouW Kian Suh. Akhirnya, orang yang dinanti-nanti itupun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yang pandai dan setia, dan yang menjadi pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung inipun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu. Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan tetapi dengan ramah diapun menghampiri kursinya, memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali. Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah. “Selamat pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!” Kata Gouw Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah. "Kami harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan……” "Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh. Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanyapun memandang kosong saja! Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan. “Omitohud ……..! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?" Dan muncullah Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar sudah berkumpul disitu pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada sutenya dan diapun mengelus jenggotnya yang panjang. "Omitohud………., kiranya semua orang telah berkumpul disini?" Kian Sun segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu. "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan ji-wi duduk." Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan merekapun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan. Agaknya Yang Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung. “Gouw Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!” Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri. “Saya melihat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi, sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?" cerita silat online karya kho ping hoo Yang Tek Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun. "Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!” Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang amat setia dan juga dia sedikitpun tidak mengira bahwa ada murid Cin-Ling-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan diapun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah. "Harap Totiang tidak menuduh yang tidak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang telah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman kalau memang benar!" katanya dengan suara lantang. “Gouw-pangcu! Setelah melihat keadaan dua orang murid keponakanku, masih minta bukti lagi?” Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah, "Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!" Dua orang murid Kun-lun-pai itu mengangguk dan seorang diantara mereka yang lukanya tidak terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja, mereka meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng bukit, dimana terdapat beberapa dusun. Dua orang murid Kun-lun-pai itu adalah murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan Cin-lihg-pai. Akan tetapi setiba mereka di luar dusun dimana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar jerit tangis seorang wanita. Mereka cepat mengejar dan melihat lima orang laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu segera turun tangan menegur. Akan tetapi, lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang diantara mereka mengatakan bahwa sebagai tamu, dua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan murid-murid Cin-ling-pai. Terjadi perkelahian dan karena dua orang itu dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena lima orang yang mengaku murid Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka. Untung mereka dapat melepaskan diri dan lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai dan malam itu mereka mendapatkan pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam hari itu, menanti sampai keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memprotes kepada pimpinan Cin-ling-pai. "Nah, Pangcu mendengar sendiri. Apakah patut kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu? Mereka berlima hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Ketika dua orang murid keponakanku menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Kami minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!" sebelum Gouw Kian Sun yang memandang terbelalak saking kaget dan herannya mendengarkan penuturan murid Kun-lun-pai itu, terdengar Tiong Gi Cinjin pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang. "Perbuatan mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh lima orang itu masih belum berapa hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!" Semua orang terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun. "Tidak mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka sendiri?" "Hemm, Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih rebah di atas dipan dan masih hangat!” Saking kagetnya, Kian Sun bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan murid-murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu, Poa Cin An bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah meloncat dan berdiri di depan Gouw Kian Sun, menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu. "Gouw Pangcu, jangan pergi dulu! Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka kedua muridnya, Bu-tong-pai menderita kematian seorang murid yang dikeroyok. Akan tetapi aku, aku orang Go-bi-pai yang selama hidupku tidak pernah menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi hari tadi telah menderita yang teramat hebat dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!" Wajah Kian Sun menjadi agak pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari Go-bi-pai ini, datang bersama dua orang sutenya dan puterinya, seorang gadis muda yang cantik. Dan sekarang, tokoh ini hanya muncul dengan dua orang sutenya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan darah! "Lo-cian-pwe……. apa ……. apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya terdengar penuh kegelisahan. "Apa yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi berlatih sendirian dan sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang, Gouw Pangcu juga tidak percaya dan minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walaupun nyawanya telah melayang, ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang ia pergunakan untuk membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk itu, jangan salahkan kalau Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!" Wajah Gouw Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpipun tidak pernah dia bahwa murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan yang dituduhkan oleh tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Otomatis, seperti orang mencari pembela, dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai. "Omitohud …….!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak tahunya telah terjadi perbuatan-perbuatan yang begitu jahatnya. Hemm, apakah artinya semua ini, Gouw Pangcu?" “Maaf, Lo-suhu. Apakah juga terjadi sesuatu yang membuat Losuhu menjadi marah?" tanya Gouw Kian Sun, semakin tidak enak perasaan hatinya dan dia seperti mendapat firasat yang amat tidak baik. "Omitohud, pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari segala macam daging, juga arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan Cin-ling-pai yang genit-genit pula. Bukankah itu berarti suatu penghinaan yang disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?" "Aih, mana mungkin begitu? Kami sudah mempersiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!" "Hemm, Gouw Pangcu. Arak dan masakan itu masih berada di pondok kami, belum tersentuh. Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?" Kian Sun menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Akan tetapi, kalau untuk percaya begitu saja, diapun masih ragu-ragu karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat seperti itu. Cin-ling-pai memegang keras peraturan, dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit saja pasti dihukum berat. Apalagi sampai melakukan penghinaan kepada tamu, bahkan pembunuhan dan perkosaan! "Cu-wi Lo-cian-pwe, bagaimana kami dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda sekalian)? Akan tetapi, beritahulah kepada kami siapa saja pelaku-pelaku kejahatan itu diantara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!” "Mereka yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka.” kata dua orang murid Kun-lun-pai itu. “Muridku Gu Kay Ek sebelum menghembuskan napas terakhir sudah pinto tanyai, akan tetapi dia mengatakan bahwa para pengeroyoknya hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai, tidak ada yang menyebut namanya." kata pula Tiong Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai. "Murid Cin-ling-pai jahanam yang melakukan perbuatan terkutuk kepada puteriku mengaku bermarga Lui!" kata poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk dipakai sembahyang di depan jenazah atau makam puteriku!” Kian Sun mengerutkan alisnya, “She Lui? Akan tetapi, rasanya tidak ada yang she Lui diantara murid Cin-ling-pai……..” “Maaf, Suhu. Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang gadis dusun. Teecu tegur dan ketika hendak menangkapnya untuk diseret ke depan Suhu agar menerima hukuman, mereka melarikan diri." Tiba-tiba Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada di ruangan itu. Kian Sun terbelalak memandang kepada muridnya itu. "Ciok Gun! Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?" “Mereka itu Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda beberapa tahun." "Gouw Pangcu, jelas bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dia yang telah melakukannya. Cepat Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!” Kian Sun merasa kepalanya pening. Tentu saja dia meragukan sekali keterangan yang keluar dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini telah menjadi seperti mayat hidup yang dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka itu melakukan semua ini? Ah, dia tahu sekarang! Kiranya Pek-lian-kauw yang hendak menguasai Cin-ling-pai adalah suatu siasat untuk mengadu domba Antara Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya. Jantungnya berdebar keras. Otaknya dikerjakan. Kalau begitu, setelah pertentangan memuncak, tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Semakin merugikan. Pertama, tentu para tamu tidak percaya, karena buktinya, dia yang masih duduk sebagai pimpinan di Cin-ling-pai. Dan ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia terancam. Kalau siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw takkan segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yang sudah dipenjarakan itu. Dia menarik napas panjang. Dia harus mampu mengulur waktu, mencari kesempatan untuk menyampaikan semua itu kepada gurunya, dan kepada suhengnya, Cia Hui Song. "Cu-wi Lo-cian-pwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan teliti dan akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!”, Gouw Kian Sun diiringkan oleh Ciok Gun, bersama semua rombongan tamu itu lalu meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok Bu-tong-pai. Disini mereka melihat Gu Kay Ek, murid dari Tiong Gi Cin-jin, telah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka, rebah telentang di atas pembaringan. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Lui In, murid Go-bi-pai dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai. Setelah menyaksikan sendiri, Gouw Kian Sun kembali lagi ke ruang tamu Cin-ling-pai, diikuti oleh mereka yang kini penuh semangat untuk menuntut balas. Kembali mereka duduk di ruangan tamu yang luas itu dan wajah Gouw Kian Sun muram sekali. Dia telah menyaksikan sendiri kebenaraan semua laporan dan tuntutan para tamunya yang terhormat. Diam-diam dia merasa khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, melainkan khawatir akan nama baik Cin-ling-pai. Kini dia dapat menduganya dan hampir yakin bahwa memang inilah yang dikehendaki Pek-lian-kauw, yaitu mengadu domba antara Cin-ling-pai dengan para perguruan besar! Buktinya, yang terkena musibah hanyalah empat perguruan besar sehingga mereka semua merasa penasaran kepada Cin-ling-pai. sedangkan para tamu lain, tamu biasa, tidak mengalami gangguan apapun. Kini para tamu yang sudah duduk semua memandang kepada Gouw Kian Sun dengan sinar mata penuh tuntutan. Wakil ketua Cih-ling-pai itu, yang sejak beberapa pekan ini telah kehilangan bobot banyak sekali sehingga nampak pucat dan kurus, berulang-ulang menghela hapas panjang. Kemudian dia mengangkat mukanya yang sejak kembalinya dari pemeriksaan tadi menunduk saja memandang kepada semua tamu. "Cu-wi Lo-cian-pwe dan Eng-hiong (pendekar), saya telah melihat sendiri bukti dari semua yang cu-wi ceritakan. Saya tidak dapat menyangkal lagi bahwa memang cu-wi mendapatkan gangguan-gangguan hebat di Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang ini saya belum dapat menangkap murid-murid Cin-ling-pai yang berdosa, dan saya akan menyelidikinya dengan teliti. Pula, terdapat kemungkinan bahwa ada yang sengaja hendak merusak nama baik Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk di akal kalau murid-murid Cin-ling-pai melakukan kejahatan sekeji itu." "Bagus!” Poa Cin An bangkit dan berseru keras. "Jadi setelah menyaksikan dengan mata sendiri jenazah puteriku, Gouw Pangcu masih hendak melindungi murid Cin-ling-pai? Sekarang juga kami menuntut agar jahanam she Lui murid Cin-ling-pai itu ditangkap dan diserahkan kepada kami! Akan kami penggal lehernya agar kepalanya dapat kami pakai menyembahyangi jenazah Liu In!" "Benar sekali itu!" teriak pula Tiong Gi Cin-jin. "Semua murid Cin-ling-pai harus dipaksa mengaku, kalau perlu disiksa, siapa yang telah membunuh Gu Kay Ek murid pinto (aku) dan harus menerima hukuman yang adil!" "Sian-cai! Apa yang dikatakan para wakil Go-bi-pai dan Bu-tong-pai itu benar sekali!" kata Yang TeK Tosu "Penghinaan ini harus dibayar lunas! Kalau pemimpin Cin-ling-pai hendak mengelak, akan kami hajar semua murid Cin-ling-pai untuk mengaku!" Berkata demikian, Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali itu meloncat dari atas bangkunya dan berdiri dengan dua tangan terkepal. "Totiang, tahan bicaramu itu!" tiba-tiba Ciok Gun membentak dan diapun sudah melompat dan berdiri di depan Yang Tek Tosu. "Ingat bahwa engkau adalah seorang tamu yang tidak layak bersikap sembarangan dan seenaknya saja!" Melihat ini, Gouw Kian Sun terkejut dan heran, juga amat gelisah. Dia terkejut melihat sikap muridnya itu, dan juga heran karena muridnya ini memiliki watak yang pendiam, akan tetapi sekarang jadi pandai bicara! Dan diapun tahu bahwa muridnya ini "dikendalikan" oleh orang-orang Pek-lian-kauw, agaknya sengaja untuk memperuncing keadaan yang sudah gawat itu. Yang Tek Tosu sudah marah sekali, dan mendengar ucapan Ciok Gun, diapun membentak, “Memang pinto seorang tamu seperti yang lain, akan tetapi ingat, kami adalah tamu-tamu yang diundang, tamu terhormat, bukan tamu liar! Sepatutnya kalau tuan rumah menghormati kami, bukan malah menghina dan membunuh. Apakah Cin-ling-pai kini berubah menjadi perkumpulan pembunuh dan penjahat keji?" “Totiang, engkau sungguh menghina kami!" bentak Ciok Gun. "Sudah kami katakan bahwa kami hendak menyelidiki urusan ini, tapi Totiang mendesak. Kalau saat ini kami belum dapat menyerahkan mereka yang bersalah, habis Totiang mau apa? Akan menghajar kami? Hemm, aku khawatir Totiang tidak ada kemampuan untuk itu!" "Jahanam kau!" Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali kehilangan kesabarannya lagi dan diapun mendorongkan tangan kanannya ke arah dada Ciok Gun, dengan niat untuk membuat orang muda itu terpelanting agar dapat berurusan sendiri dengan wakil ketua Cin-ling-pai yang pada waktu itu merupakan orang pertama di Cin-ling-pai. Akan tetapi, Ciok Gun tidak mengelak, bahkan diapun mendorongkan tangan kanannya menyambut pukulan itu. Dua buah tangan yang jari-jarinya terbuka bertemu dengan kuatnya. "Dessss…….!!" Ciok Gun terdorong mundur dua langkah, akan tetapi juga Yang Tek Tosu terdorong ke belakang dua langkah pula. Diam-diam Kian Sun terkejut. Yang Tek Tosu adalah tokoh tingkat dua di Kun-lun-pai, akan tetapi pukulan tangan kosong yang mengandung sin-kang amat kuat itu dapat ditahan bahkan diimbangi oleh muridnya! Juga Yang Tek Tosu terkejut dan semakin marah. "Siapakah engkau?" bentaknya. "Namaku Ciok Gun dan aku pembantu utama suhu .Yang menjadi wakil ketua Cin-ling-pai. Kalau perlu, aku dapat mewakili suhu menghadapi siapa saja yang hendak mengganggu Cin-ling-pai!" Tentu saja diam-diam semua orang terkejut. Tak mereka sangka bahwa wakil ketua Cin-ling-pai demikian lihainya sehingga muridnya saja mampu mengimbangi tenaga tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pai! "Ciok Gun, jangan kurang ajar!" Tiba-tiba Gouw Kian Sun tidak dapat menahan dirinya lagi dan dia meloncat ke depan, Ciok Gun membalik dan kini guru dan murid itu berdiri berhadapan. Mula-mula Ciok Gun memperlihatkan sikap melawan, akan tetapi tiba-tiba saja, seperti ada yang membisikinya, dia mundur dan duduk kembali. Gouw Kian Sun kini berdiri di tengah ruangan itu, dan dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu. "Saya mengerti akan kemarahan cu-wi (anda sekalian). Karena tidak mungkin bagi saya untuk cepat-cepat dapat menangkap para murid yang melakukan perbuatan keji itu, biarlah saya sebagai pimpinan Cin-ping-pai yang bertanggung jawab. Nah, cu-wi majulah dan hukumlah saya, saya tidak akan melawan. Saya mewakili dan menanggung dosa semua murid Cin-ling-pai!" Gouw Kian Sun memang sudah nekat. Nama baik Cin-ling-pai berada di ambang kehancuran. Permusuhan dengan perguruan-perguruan besar akan meledak, dan semua keluarga Cia masih berada dalam cengkeraman Pek-lian-kauw. Dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghindarkan keluarga Cia dari malapetaka! Maka, diapun hendak mengorbankan diri saking putus asa. Sikapnya ini diterima salah oleh Yang Tek Tosu, Tiong Gi Cinjin dan Poa Cin An. Mereka menganggap bahwa sikap ini berarti melindungi para murid yang telah melakukan kejahatan besar. Mereka semua mengenal Cia Kong Liang sebagai ketua Cin-ling-pai yang keras dan adil, juga mengenal puteranya yang pernah menjadi ketua Cin-ling-pai pula, yaitu Cia Hui Song yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Jelas kalau ada kedua orang itu, tidak ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan. Akan tetapi sekarang, yang menjadi pimpinan adalah Gouw Kian Sun dan terjadilah semua kejahatan itu. Agaknya Gouw Kian Sun inipun bukan orang baik-baik! "Bagus, kalau murid-muridnya jahat dan keji, tentu ketuanya lebih jahat lagi dan memang pantas dihukum mati!" bentak Yang Tek Tosu. Juga Tiong Gi Cin-jin dan Poa Cin An sudah maju, siap untuk menyerang Gouw Kian Sun. "Omitohud, harap saudara sekalian suka menahan diri, jangan menuruti nafsu amarah dan dendam." tiba-tiba Thian Hok Hwesio berseru dan bersama sutenya, Thian Khi Hwesio, dia sudah melangkah maju melerai. Yang Tek Tosu memandang kepada dua orang hwesio itu dengan sinar mata yang masih diliputi kemarahan. "Hemm, sahabat-sahabat dari siauw-lim-pai mempunyai petunjuk yang bagaimana?" Ucapan ini bukan hanya mengandung pertanyaan, akan tetapi juga celaan mengapa dua orang hwesio yang juga mengalami penghinaan itu maju melerai. "Omitohud, pinceng (aku) tidak menyalahkan kalau cu-wi marah-marah dan hendak menuntut balas. Akan tetapi harap diingat bahwa saat ini, para tokoh besar Cin-ling-pai, yaitu keluarga Cia, tidak ada yang berada disini. Dan bagaimanapun juga, jelas bahwa semua kejahatan dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, bukan oleh Gouw Pangcu. Biarpun dia harus bertanggung jawab, akan tetapi kita harus memberi waktu kepadanya. Kita tidak bisa memaksanya untuk sekarang juga melunasi hutang itu. Apalagi kita sebagai tamu harus ingat bahwa Gouw Pangcu menghadapi hari pernikahannya besok. Sungguh tidak tepat kalau kita harus mengeruhkan tempat ini dengan pembalasan dendam. Urusan ini dapat diselesaikan kapanpun juga. Maka, sebaiknya kalau kita memberi waktu kepada Gouw Pangcu untuk menangkapi murid-muridnya yang berdosa selama satu bulan. Biarlah dia melaksanakan pernikahannya dulu dan mengerahkan murid-muridnya untuk menagkapi mereka yang berdosa. Sebulan lagi, tanggal satu bulan depan , kita datang kesini untuk minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu. Pinceng harap cu-wi setuju dengan usul pinceng ini, karena pinceng percaya bahwa cu-wi adalah orang-orang bijaksana. Bagaimanapun juga Gouw-pangcu tidak akan dapat lari dari kita, bukan?" Tiong Gi Cinjin, Poa Cin An, Yang Tek Tosu dan kawan-kawan mereka saling pandang, berbisik dan akhirnya mereka semua terpaksa menyetujui usul itu. Kalau mereka dapat membunuh Gouw Pangcu sekalipun, hal ini belum berarti membalaskan kematian murid dan puteri mereka. Dan memang semua peristiwa ini terjadi di luar tahu sang ketua, maka tentu membutuhkan waktu untuk membongkarnya dan menangkap yang bersalah! Selam itu mereka juga harus mengurus jenazah Poa Liu In dan Gu Kay Ek. "Baik, sebulan lagi kami balik kesini!” kata Tiong Gi Cinjin yang mengajak murid-murid untuk meninggalkan tempat itu. "Gouw Pangcu, sebulan lagi aku datang menerima pembunuh puteriku!" kata pula Poa Cin An yang juga mengajak murid-murld Go-bi-pai yang lain untuk pergi. "Kamipun akan kembali sebulan lagi. .Mari kita pergi!" kata Yang Tek Tosu kepada murid keponakannya. Kini tinggal dua orang hwesio itu yang berada disitu. Gouw Kian Sun yang masih berdiri seperti patung, kini menghadapi dua orang hwesio itu. Dia memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas bantuan ji-wi Lo-suhu sehingga saya masih hidup sampai sekarang." "Omitohud, tidak ada pertolongan, karena sebulan lagi Pangcu harus menghadapi mereka, juga kami sebulan lagi akan datang. Kalau benar Cin-ling-pai menyeleweng, kami harus menentangnya, dan kami ingin bertemu dengan keluarga Cia untuk minta penjelasan." Dua orang hwesio itu juga meninggalkan tempat itu dan pada hari itu juga, rombongan dari empat perguruan besar ini meninggalkan Cin-ling-pai, membawa jenazah murid masing-masing.....
Jilid 5
Gouw Kian Sun menghadapi Su Bi Hwa di dalam kamar itu dengan muka merah dan mata melotot karena marahnya. Mereka hanya berdua saja dan Bi Hwa menghadapi Kian Sun dengan senyum dan kerling yang genit sekali. Kian Sun melotot dengan marah dan menudingkan telunjuknya ke arah Bi Hwa. "Moli, kenapa kau lakukan ini semua? Kenapa?” Bi Hwa mendekat dan menyentuh lengan pria itu dengan gaya yang manja dan genit. "Suamiku yang baik, apa yang telah kulakukan? Ingat, besok kita menikah, jangan kau marah-marah, sayangku." "Tak usah berpura-pura. Aku tahu engkaulah yang telah mendatangkan malapetaka itu, engkau yang menyuruh orang-orangmu memperkosa dan membunuh dan mengaku sebagai murid-murid Cin-ling-pai! Para murid Cin-ling-pai yang asli tidak akan sudi melakukan perbuatan terkutuk itu!” "Gouw Kian Sun, ingat bahwa engkau akan mentaati semua perintahku kalau kau ingin melihat keluarga Cia selamat. Dan kamipun tidak mengganggu Cin-ling-pai, kenapa engkau ribut-ribut?" Kini Bi Hwa bersikap dingin dan mengancam. "Akan tetapi engkau telah melakukan hal yang amat merusak! Engkau menjerumuskan Cin-ling-pai sehingga akan dimusuhi oleh banyak pihak. Nama baik Cin-ling-pai akan tercemar!" Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. "Hi-hik, suamiku yang gagah. Kenapa takut? Ada kami disini!", "Tidak! Tidak! Kau bunuh saja aku, Moli. Aku sudah tidak tahan lagi!" "Hemm, tidak usah banyak tingkah lagi, Kian Sun. Keluarga Cia yang kami bunuh kalau kau bertingkah, bukan engkau. Engkau akan menjadi suamiku, ingat?” "Aku tidak sudi menikah, biar kau paksa dan kau bunuhpun, aku tidak sudi menikah denganmu!" "Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan pipi Kian Sun sudah ditamparnya, membuat wakil ketua Cin-ling-pai yang tidak menduga-duga itu kena ditampar dan diapun terhuyung ke belakang. "Hemm, Gouw Kian Sun. Ingat, kau sudah menyebar undangan kepada semua tokoh persilatan. Kalau engkau batalkan pernikahan kita, bukankah engkau sendiri yang akan mencemarkan namamu dan nama Cin-Iing-pai, sehingga Cin-ling-pai dan pemimpinnya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan dunia persilatan?" Wanita itu tertawa dan bagi Kian Sun, dia melihat sebuah wajah yang mengerikan, seperti wajah iblis sendiri. Padahal dalam keadaan biasa, atau terlihat oleh mata umum, Su Bi Hwa adalah seorang wanita yang cantik dan memiliki daya tarik yang besar dan kuat. Mendengar ucapan itu, Kian Sun merasa tubuhnya menjadi lemas seketika dan merasa tidak berdaya. Diapun menjatuhkan diri di atas kursi dan memandang kepada wanita itu dengan gelisah. "Moli, engkau memang sungguh jahat seperti iblis! Karena engkau sudah mencengkeram aku, maka sebaiknya engkau katakanlah apa yang akan kau lakukan selanjutnya dan mengapa pula kau lakukan semua ini?" "Engkau tidak perlu tahu mengapa aku melakukan semua itu, akan tetapi kau boleh mengetahui apa yang selanjutnya kami lakukan dengan harapan engkau tidak akan banyak bertingkah kalau engkau ingin melihat keluarga Cia selamat semua. Besok, pernikahan kita langsungkan dengan meriah, dan demi menjaga baik nama Cin-ling-pai, engkau harus memperlihatkan wajah gembira, tidak muram." "Hemm……… lalu bagaimana tanggal satu bulan depan?" "Aha, kau takut akan kedatangan empat perguruan besar itu?" "Tentu mereka akan mengirim wakil-wakil yang tangguh, bahkan mungkin ketua mereka sendiri yang akan muncul! Bagaimana aku akan menghadapi mereka?" "Haa-ha, tidak perlu takut. Ada kami yang akan menghadapi mereka." Diam-diam Kian Sun merasa girang. Iblis betina ini dan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Pek-Iian-kauw, akan menghadapi para utusan empat perguruan besar. Tentu iblis betina ini dan kawan-kawannya akan dapat dibunuh! "Kalau begitu bagus sekali! Aku mengharapkan bantuanmu untuk menghadapi mereka Moli." katanya girang. Wanita itu tersenyum mengejek. "Hai, jangan mimpi, Kian Sun! Jangan salah sangka. Aku hendak menghadapi mereka sebagai isterimu, ingat?" Wajah yang tadinya gembira dan penuh harapan, menjadi muram lagi. Kalau iblis betina ini menentang para utusan itu sebagai isterinya, berarti makin celaka lagi bagi nama baik Cin-ling-pai! "Sudahlah! Biar aku mati di tangan mereka!" katanya menarik napas panjang. "Jangan cemas, suamiku sayang. Serahkan saja kepada isterimu ini dan semua akan berjalan dengan beres." Kata pula Bi Hwa dan wanita itu menjatuhkan diri di atas pangkuan Kian Sun. Pria ini tidak mampu berbuat apa-apa. Selain dia tahu bahwa dia tidak bisa mengalahkan wanita ini dengan mudah, juga andaikata dia mampu membunuhnya, disana masih ada tiga orang guru wanita ini yang lebih lihai lagi, yang setiap waktu akan dapat membunuh seluruh keluarga Cia yang menjadi tawanan mereka. Diapun lalu menyerah saja, menyerahkan segalanya kepada Tuhah. Bagaimanapun juga, dia hanya mengharapkan agar keluarga gurunya semua selamat, juga agar nama baik Cin-ling-pai tidak sampai tercemar. Untuk semua itu, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya sendiri. Pada keesokan hariliya, pernikahan itu dirayakan dengan, meriah dan semua tamu memuji kecantikan pengantin wanita dan mereka memberi selamat kepada Gouw Pangcu yang dikatakan beruntung sekali, dalam usianya yang sudah empat puluh dua tahun mendapatkan jodoh seorang gadis yang masih muda dan amat cantik itu! Tak seorangpun diantara para tamu, tentu saja bukan tamu yang menjadi kaki tangan dan bahkan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyamar sebagai tamu, tahu bahwa di balik wajah cantik jelita dan bentuk tubuh yang menggairahkan itu bersembunyi iblis sendiri yang amat keji, jahat dan kejam! Setelah Bi Hwa secara sah menjadi isterinya, terjadilah perubahan besar-besaran di Cin-ling-pai! Belasan orang murid Cin-ling-pai lenyap secara aneh tanpa meninggalkan bekas dan kini Bi Hwa menerima lebih dari dua puluh orang anggauta Cin-ling-pai baru yang bukan lain hanyalah anak buah Pek-lian-kauw yang menyelundup dan diterima sebagai anggauta baru Cin-ling-pai. Tentu saja Kian Sun menjadi gelisah bukan main. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan murid-murid Cin-ling-pai yang lenyap, dan yang lenyap itu adalah murid-murid Cin-ling-pai pilihan yang setia kepada Cin-ling-pai! Dia merasa dikepung musuh, tidak mempunyai seorangpun yang dapat diajak bicara dan dimintai bantuan. Bahkan Bi Hwa mengancam jika dia menghubungi seorang murid Cin-ling-pai dan bicara mencurigakan, maka murid itu akan dibunuh. Maka, Kian Sun sama sekaLi tidak berdaya. Ciok Gun yang menjadi seperti mayat hidup itu oleh Bi Hwa ditugaskan untuk memata-matainya, sehingga setiap gerak-geriknya, kalau tidak bersama Bi Hwa, tentu diamati oleh Ciok Gun yang kini menjadi orang yang sama sekali tidak dapat dia percaya itu. Kalau dia menuntut agar keluarga Cia dibebaskan seperti yang dijanjikan Bi Hwa, selalu wanita itu mengatakan urusannya di Cin-ling-pai belum selesai. “Tunggu sampai tanggal satu bulan depan. Sesudah itu, tentu keluarga gurumu itu akan kami bebaskan," kata Su Bi Hwa. Akan tetapi wanita ini tidak menolak kalau Kin Sun minta agar dia membuktikan dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga gurunya masih selamat. Melalui lubang, mengintai dan melihat dengan hati lega bahwa kakek Cia Kong Liang, suhengnya Cia Hui Song dan isteri suhengnya, Ceng Sui Cin, dan putera mereka, Cia Kui Bu, memang dalam keadaan sehat. Bahkan tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu nampak bersiulian, mungkin untuk mengumpulkan tenaga dan menjaga kesehatan tubuh mereka. Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan tanggal satu yang ditunggu-tunggu itupun tibalah! Sejak tiga hari yang lalu Kian Sun sudah amat gelisah, tidak enak makan tidak nyenyak tidur, menanti hari itu dengan hati tegang. Dia bukan tegang akan ancarnan terhadap dirinya, melainkan merasa tegang akan nasib keluarga Cia dan juga nasib nama dan kehormatan Cin-ling-pai. Dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan kecuali mentaati perintah Bi Hwa yang kini telah menjadi “isterinya”. Pagi-pagi sekali Bi Hwa telah menyuruh Kian Sun memanggil semua anggauta Cin-ling-pai hadir dan Kian Sun tahu banwa diantara mereka, sedikitnya ada dua puluh orang anggauta baru yang tentu saja merupakan anak buah Bi Hwa yang diselundupkan! Diapun seperti telah dipesan oleh Bi Hwa yang saat itu juga berdiri di samping kanannya sedangkan Ciok Gun berdiri di samping kirinya, memesan kepada semua anak buah untuk bersiap-siap dengan senjata mereka dan ikut menyambut tamu. "Akan tetapi, kalian dilarang untuk bergerak, kecuali kalau ada perintah dariku!" Kian Sun menutup pesannya dan penutup pesannya itu keluar dari hatinya sendiri, bukan seperti yang dikehendaki Bi Hwa. Akan tetapi wanita itu hanya mengangguk-angguk saja. Sebelum matahari nampak, para murid Cin-ling-pai sudah siap siaga, dengan senjata tergantung di pinggang, mereka membentuk barisan yang berjajar dari pintu gerbang sampai ke depan bangunan induk yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Sisanya membentuk barisan di belakang sang wakil ketua. Gouw Kian Sun yang selalu didampingi isterinya, Su Bi Hwa, dan pembantu utamanya, Ciok Gun, sudah duduk di ruangan depan, menanti datangnya tamu. Tidak lama mereka menanti. Rombongan tamu-tamu itu datang. Dan kiranya mereka Itu seperti sudah berjanji lebih dahulu, datang bersama-sama. Rombongan Go-bi-pai yang kini terdiri dari sepuluh orang, tetap dipimpin oleh Poa Cin An, rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang dipimpin oleh Tong Gi Cin-jin, rombongan Kun-lun-pai terdiri dari lima orang tosu dipimpin oleh Yang Tek Tosu dan rombongan dari Siauw-lim-pai masih tetap dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio. Mereka memang merupakan rombongan-rombongan tersendiri dan berkelompok, namun mereka datang pada waktu yang sama dan berbondong mereka memasuki pintu gerbang yang di kanan kirinya terjaga oleh murid-murid Cin-ling-pai yang berdiri dikanan kiri seperti menyambut datangnya tamu agung. Setelah rombongan tiba di pelataran yang luas dari rumah induk Cin-ling-pai, mereka berhenti dan dari dalam keluarlah Gouw Kian Sun yang didampingi Su Bi Hwa disebelah kanannya dan Ciok Gun disebelah kirinya. Wajah Kian Sun nampak agak pucat dan alisnya berkerut, akan tetapi isterinya Su Bi Hwa, tersenyum dan wajahnya cerah dan nampak cantik sekali. Disebelah kiri wakil ketua itu, Ciok Gun berdiri seperti patung yang wajahnya dingin. Gouw Kian Sun berhenti dianak tangga teratas, lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu yang berkelompok, berdiri dengan tegak di pelataran itu. "Selamat datang, cu-wi telah datang memenuhi janji dan terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya selama satu bulan……” “Gouw Pangcu, cukup tak perlu berpanjang lebar!" bentak Poa Cin An tak sabar. "Kami telah memberi waktu satu bulan. Cepat keluarkan jahanam she Lui itu untuk kupakai bersembahyang depan makam puteriku!" "Pinto juga minta agar para pembunuh murid pinto diserahkan kepada pinto!” kata Tiong Gi Cinjin. "Benar! Mereka yang mengeroyok dan melukai murid Kun-lun-pai juga harus cepat diserahkan sekarang juga!” kata pula Yang Tek Tosu penuh semangat. "Omitohud! Gouw Pangcu, apakah para murid Cin-ling-pai. yang telah melakukan penghinaan terhadap pinceng berdua sudah diberi hukuman?" tanya pula Thian Hok Hwesio. Kembali Kian Sun mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Wajahnya semakin muram, akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali bersikap dan bicara seperti yang telah dipesankan Bi Hwa kepadanya. "Harap cu-wi sudi memaafkan saya. Kalau ada murid Cin-ling-pai yarig bersalah, dia pasti dihukum. Pelaksanaan hukum itu hanya kami yang berhak melakukan dan urusan para murid Cin-ling-pai adalah urusan dalam kami sendiri. Harap cu-wi tidak mencampuri dan percayalah kepada kami. Kami pasti akan menghukum murid-murid kami yang bersalah." "Omongan apa itu? Keluarkan mereka yang bersalah! Setidaknya, kami ingin melihat dia yang membunuh murid pinto!" kata Tiong Gi Cinjin yang galak. "Akupun ingin melihat macamnya dia yang telah menyebabkan kematian anakku!" Poa Cin An juga berseru marah. "Keluarkan mereka yang bersalah!" Yang Tek Tosu juga berkata dan anggauta semua rombongan mengacung-acungkan tangan menuntut agar para murid Cin-ling-pai yang bersalah dikeluarkan disitu. "Omitohud!" Thian Hok Hwesio berseru lantang, namun amat lembut. “Apakah Gouw Pangcu masih hendak melindungi mereka yang bersalah walaupun murid sendiri?" Kini Bi Hwa yang melihat "suaminya" tidak mampu bicara lagi, mengangkat kedua tangan depan dada lalu bersuara nyaring karena ia menggunakan tenaga khi-kang. "Cu-wi adalah orang-orang gagah di dunia persilatan, mengapa hendak menggunakan tekanan kepada suamiku yang tidak berdaya? Cu-wi tentu tahu bahwa suamiku hanyalah seorang wakil ketua. Sebaiknya cu-wi menanti sampai ketua Cin-ling-pai datang, yaitu keluarga Cia yang sejak turun-temurun telah menjadi ketua Cin-ling-pai. Harap jangan mendesak suamiku!". Sejenak semua orang diam karena dari suaranya saja mereka tahu bahwa isteri Gouw Pangcu ini juga pandai ilmu silat. Dan ucapannya itu agaknya masuk di akal dan beralasan. Juga para murid Cin-ling-pai yang asli menganggap bahwa isteri Gouw Pangcu itu ternyata setia pula terhadap Cin-ling-pai! Akan tetapi, seperti sudah diduga sebelumnya oleh Bi Hwa yang cerdik, para pemimpin rombongan itu, terutama rombongan Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang kematian murid mereka, tidak mau menerima alasan itu begitu saja. "Kami sudah memberi waktu sebulan! Pembunuh anakku harus diserahkan sekarang juga!" teriak Poa Cin An. "Benar, kamipun menuntut agar pembunuh murid pinto diseret kesini sekarang. Yang bertanggung jawab adalah Gouw Pangcu, bukan para tokoh pimpinan Cin-ling-pai yang waktu itu tidak berada disini!" Diam-diam Bi Hwa girang sekali karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. "Hemm, cu-wi terlalu mendesak. Sebagai wakil ketua, suamiku tentu saja tidak berani mendahului ketua dan pelaksanaan hukum terhadap para murid menanti sampai ketua datang. Kalau suamiku tidak dapat menyerahkan murid-murid Cin-ling-pai, cu-wi hendak melakukan tindakan apakah?" Pancingan ini segera mendapat sambutan, mula-mula dari Poa Cin An sendiri. "Aku menuntut agar pembunuh anakku diseret kesini dan diserahkan kepadaku. Kalau tidak, terpaksa kami akan membunuh semua murid Cin-ling-pai karena pembunuh anakku tentu seorang diantara mereka!" “Benar sekali! Kamipun akan bertindak, membasmi Cin-ling-pai yang menyeleweng!" Tadi Kian Sun sudah memesan kepada para murid Cin-ling-pai agar jangan bergerak sebelum dia perintahkan, akan tetapi tiba-tiba saja, belasan orang murid Cin-ling-pai sudah menghunus pedang dan mereka berlompatan ke depan. Melihat ini, Kian Sun terkejut sekali dan beberapa kali dia membentak agar para murid itu mundur. Akan tetapi, mereka tidak mau mundur bahkan maju dan bersikap hendak menyerang rombongan para tamu yang tentu saja menjadi marah dan merekapun siap untuk melawan. Bi Hwa tersenyum. Inilah yang ia kehendaki dan memang ia yang memesan kepada anak buahnya yang diselundupkan menjadi anggauta Cin-ling-pai untuk mendahului menyerang para tamu. Kalau nanti terjadi pertempuran, dan akibatnya banyak murid Cin-ling-pai tentu tewas, bahkan Kian Sun juga akan ia usahakan supaya tewas, baru ia akan membebaskan keluarga Cia! Dan kalau melihat betapa Cin-ling-pai dibasmi oleh orang-orang dari empat perguruan besar itu, pasti keluarga Cia tidak akan mau sudah begitu saja dan akan terjadilah permusuhan yang semakin hebat. Inilah yang dikendaki para pimpinan Pek-lian-kauw. Sudah terlalu sering para pendekar Cin-ling-pai, juga keluarga Cia, membikin rugi Pek-lian-kauw dimana-mana, menentang dan menjatuhkan banyak tokoh Pek-lian-kauw. Melihat para murid Cin-ling-pai maju dan bersikap menantang, para murid rombongan tamu itupun berlompatan maju dan terjadilah perkelahian yang hebat. *************** Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat disusul seruan nyaring melengking, "Tahan semua senjata! Aku ketua Cin-ling-pai datang dan dengarkan dulu kata-kataku!" Melihat seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun muncul begitu tiba-tiba dengan suara yang amat nyaring, semua orang terkejut. Rombongan tamu yang tadinya sudah mulai bertempur, ketika mendengar teriakan ini, berlompatan ke belakang menghehtikan serangan mereka. Akan tetapi, belasan orang murid Cin-ling-pai masih belum mau berhenti bergerak, bahkan karena gadis itu menghalangi mereka, kini lima orang diantara mereka menggerakkan pedang menyerang gadis itu! Gadis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong. Melihat lima orang yang nampaknya seperti orang-orang Cin-ling-pai menyerangnya dengan pedang, ia menjadi kaget, heran dan juga marah sekali. Gadis itu bergerak cepat laksana burung walet, tubuhnya berkelebatan diantara sinar pedang lima orang itu dan begitu kaki tangannya bergerak cepat, lima orang itu berpelantingan kekanan kiri dan mengaduh-aduh sambil meringis kesakitan dan pedang merekapun terlempar. Kui Hong melihat betapa masih ada belasan orang yang agaknya hendak menyerangnya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita. "Hentikan perkelahian!" Dan belasan orang itupun berloncatan mundur, berbaur dengan para murid Cin-ling-pai yang lain. Kui Hong cepat menoleh dan melihat bahwa yang membentak tadi adalah seorang wanita cantik yang berdiri di sebelah kanan susioknya atau juga wakilnya, yaitu Gouw Kian Sun. Kian Sun cepat memberi hormat kepada murid keponakan itu, karena biarpun tingkatnya lebih muda, Kui Hong adalah ketua Cin-ling-pai. "Pangcu baru pulang?" katanya dan suaranya menggetar karena ada keharuan, kegembiraan dan juga kegelisahan terkandung dalam suaranya itu. "Susiok, apa artinya semua ini? Siapa wanita itu?" Kui Hong menuding kepada Bi Hwa yang tersenyum manis. “Ia... ia ini.... adalah .... isteriku pangcu." "Isterimu ..?? Hemm, dan siapa pula orang-orang yang menyerangku ini?" "Mereka .. para murid Cin-ling-pai ...” Kui Hong melangkah maju dan lima orang itu yang melihat betapa kini para murid Cin-ling-pai menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu dan menyebut "pangcu", juga berlutut dan mereka ketakutan melihat ketua itu melangkah mendekati mereka. "Murid-murid Cin-ling-pai? Kenapa aku tidak pernah melihat mereka? Dan kalau murid-murid Cin-ling-pai, mengapa menyerang aku, ketua mereka sendiri? Apakah kalian sudah gila semua?" Kui Hong marah bukan main. "Maafkan mereka, Pangcu. Mereka adalah anggauta-anggauta baru, maka belum mengenal Pangcu." Bi Hwa sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Hong. Akan tetapi, dengan alis berkerut Kui Hong tidak menanggapinya, sebaliknya gadis perkasa ini meloncat ke atas serambi dan berdiri di depan Kian Sun, lalu membalikkan tubuh membelakangi wakilnya itu, menghadapi rombongan para tamu. Ia agak terkejut ketika mengenal para tokoh itu. Dengan terheran-heran ia memandang kepada mereka, lalu wajahnya yang tadinya muram itu menjadi cerah, dan ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada mereka. "Aih, kiranya ji-wi Lo-suhu (kedua guru tua) Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio dari Siauw-lim-pai, To-tiang (sebutan pendeta To) Ting Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai, Totiang Yang Tek Tosu dari Kun-lun-pai dan juga Lo-eng-hiong (orang tua gagah) Poa Cin An dari Go-bi-pai yang hadir! Selamat bertemu dan selamat datang, cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah) dan maafkan Cin-ling-pai yang telah bersikap tidak selayaknya terhadap cu-wi. Sebenarnya, apakah yang terjadi? Nampaknya cu-wi marah dan menuntut sesuatu!" "Omitohud ………! Cia-lihiap (pendekar wanita Cia), sudah lama pinceng mengenal keluarga Cia sebagai pimpinan Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar. Akan tetapi, apa yang terjadi sebulan yang lalu sungguh mengejutkan hati pinceng." kata Thian Hok Hwesio. "Losuhu, apa yang telah terjadi?" "Omitohud, tanyakan saja kepada mereka dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai. Pinceng berdua sesungguhnya lebih sebagai saksi saja karena yang kami alami tidaklah ada artinya." "Poa Lo-enghiong, apakah yang telah terjadi dengan Go-bi-pai disini sebulan yang lalu?" Poa Cin An mengepal tinju. "Aihhhh…….. sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Sebulan yang lalu kami datang kesini dengan rombongan sebagai tamu atas undangan Gouw Pangcu yang akan melangsungkan pernikahannya. Akan tetapi pada pagi hari itu, sehari sebelum hari pernikahan dilangsungkan, terjadi sesuatu yang merupakan aib dan juga menghina kam, aib dan penghinaan yang hanya dapat ditebus oleh darah pelakunya!" Kui Hong terkejut. "Lo-enghiong, katakanlah, apa yang telah terjadi?” Poa Cin An menarik napas panjang. "Puteriku yang bernama Poa Liu In, telah ditangkap seorang murid Cin-ling-pai she Lui, dibawa ke pondok dan diperkosa! Lui In lalu membunuh diri setelah menceritakan malapetaka itu kepadaku. Nah, katakan, nona ……. eh, Pangcu, tidak pantaskah kalau aku menuntut agar jahanam she Lui itu diserahkan kepada kami?” Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Kalau bukan seorang tokoh Go-bi-pai yang dikenalnya sebagai seorang yang gagah perkasa itu yang bicara, tentu ia akan marah dan tidak percaya sama sekali, menganggap ucapan itu sebagai fitnah keji. Sejenak ia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking terkejut dan herannya. "Cia-lihiap, bukan kekejian itu saja yang dilakukan murid Cin-ling-pai, akan tetapi juga murid pinto yang bernama Gu Kay Ek telah mereka keroyok sehingga tewas ketika berada disini sebagai anggauta rombongan kami, sebagai tamu yang seharusnya disambut dengan baik. Kami datang memenuhi undangan Gouw Pangcu, mengingat akan nama besar keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Siapa kira, baru sehari tiba disini, kami kehilangan seorang anggauta kami yang dibunuh oleh murid-murid Cin-ling-pai! Dan sekarang kami datang menuntut Cin-ling-pai menyerahkan pembunuh-pembunuh itu setelah kami memberi waktu satu bulan kepada Gouw Pangcu." Kui Hong kini menjadi bingung. Murid-murid Cin-ling-pai memperkosa seorang tamu wanita dan mengeroyok sampai mati seorang tamu lain? Sungguh tak masuk di akal! Selamanya, sejak ia lahir disitu, sampai sekarang ia berusia dua puluh satu tahun, belum pernah ia mendengar ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan seperti itu! Makin besar keinginan tahunya dan iapun menahan desakan dalam hati untuk minta keterangan dari susioknya, Gouw Kian Sun yang bertanggung jawab selama kepergiannya. Ia harus mendengar keterangan semua pihak selengkapnya. "Dan apa yang terjadi dengan rombongan Kun-lun-pai, Totiang?" tanyanya sambil memandang kepada Yang Tek Tosu. "Siancai …….! Kami selalu menganggap Cin-ling-pai sebuah perguruan yang dipimpin oleh orang-orang bijaksana. Akan tetapi sekarang ternyata telah berubah sama sekali pandangan kami. Dua orang murid Kun-lun-pai ketika menjadi tamu disini, dikeroyok oleh banyak murid Cin-ling-pai sehingga luka-luka." "Dan bagaimana dengan rombongan Siauw-lim-pai, Lo-suhu?" tanya Kui Hong kepada dua orang hwesio itu. "Omitohud, sebetulnya, apa yang menimpa pinceng berdua tidak perlu pinceng ributkan. Akan tetapi karena Li-hiap ingin tahu, baiklah pinceng ceritakan apa yang telah terjadi sebulan yang lalu ketika pinceng bersama sute Thian Khi Hwesio menjadi tamu disini. Malam pertama kami berada disini, kami disuguhi hidangan masakan daging dan arak, bahkan yang membawa hidangan adalah wanita-wanita yang genit dan tidak sopan. Biarpun urusan kecil, namun pinceng yakin bahwa kalau Lihiap berada disini, hal yang aneh itu tidak akan mungkin terjadi." Mendengar ini bagaikan akan meledak rasanya dada Kui Hong. Ia membalik dan kini ia memandang kepada Gouw Kian Sun yang menundukkan mukanya yang pucat. "Gouw Susiok, engkau sebagai wakilku, engkau bertanggung jawab selagi aku pergi. Nah, katakan, benarkah semua laporan para lo-cian-pwe tadi?" Kian Sun mengangkat mukanya yang pucat. Ingin ia berteriak bahwa semua itu dilakukan oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang kini menguasai Cin-ling-pai. Akan tetapi dia tidak berani melakukan hal ini, tidak mampu, karena dia harus menjaga keselamatan keluarga Cia! Maka dia begitu bingung sekali. Melihat suaminya menjadi bingung dan tidak mempu menjawab, Bi Hwa lalu memegang lengannya dan mengguncangnya. “Sun-ko, mengapa engkau diam saja? Koko, ceritakanlah saja kepada pangcu apa yang selama sebuan ini membuat engkau bingung karena engkau tidak berhasil menangkap…….” “Diam!" Kui Hong membentak. Dalam keadaan seperti ini, ketika Cin-ling-pai berada dalam bahaya, ia dapat bersikap keras terhadap siapapun juga. “Susiok, jangan seperti anak kecil! Ceritakan apa yang terjadi!" . Dibentak seperti itu, Bi Hwa mundur dan nampak gemetar, walaupun di dalam hatinya ia marah sekali kepada Kui Hong. Akan tetapi wanita cerdik ini tahu bahwa Kui Hong adalah seorang yang keras hati dan lihai bukan main. Menghadapi lawan seperti ini, harus menggunakan muslihat dan kelembutan, tidak boleh dengan kekerasan. “Maafkan saya, saya hanya ingin membantu suami……" katanya lirih. “Pangcu, saya memang telah menyaksikan sendiri dan semua laporan itu memang benar. Akan tetapi, selama sebulan ini saya telah gagal menemukan mereka yang bertanggung jawab, gagal menemukan mereka yang telah melakukan semua kejahatan itu." Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam penuh selidik kearah muka Kian Sun yang ditundukkan. Tidak biasanya susioknya ini bersikap selemah ini. Ia mengerling kearah Bi Hwa, wanita cantik yang menjadi isteri susioknya. Wanita itu memandang kepada suaminya dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Kemudian, pandang matanya menatap wajah Ciok Gun dan iapun teringat bahwa Ciok Gun merupakan murid dan pembantu utama Gouw Kian Sun yang boleh dipercaya akan kesetiaannya. "Suheng Ciok Gun!" Tiba-tiba ia membentak. “Engkau menjadi pembantu utama susiok. Apa saja yang kau kerjakan? Apakah engkau tidak ikut melakukan penyelidikan dan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda siapa kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?" Ciok Gun mengangkat muka memandang Kui Hong dan gadis ini diam-diam terkejut bukan main. Wajah itu! Ia mengenal Ciok Gun dengan baik, karena selama ini Ciok Gun amat sayang kepadanya. Akan tetapi wajah ini! Memang wajah Ciok Gun, akan tetapi wajah itu demikian dingin, seperti topeng saja dan dia tidak menemukan lagi keramahan dan pandang mata sayang mata wajah itu. "Maaf, Pancu. Sayapun tidak menemukan apa-apa." jawab Ciok Gun dengan suara kaku dan dingin. Ini juga bukan suara Ciok Gun yang dahulu! Diam-diam Kui Hong bergidik ngeri. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang belum dapat ia duga apa, akan tetapi sesuatu yang membuat sikap Gouw Kian Sun dan Ciok Gun seperti itu! Lalu ia teringat kepada kakeknya, karena ibu dan ayahnya tentu masih berada di pulau Teratai Merah. “Gouw susiok, apa kata kong-kong menghadapi semua peristiwa ini?" Mendengar pertanyaan ini, wajah Kian Sun menjadi semakin pucat. Dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu dan menggeleng kepalanya. "Suhu tidak ada……. beliau…… beliau meninggalkan Cin-ling-pai dan hanya mengatakan bahwa beliau ingin berjalan-jalan…… eh, merantau………” Berdebar rasa jantung Kui Hong. Kakeknya itu biasanya hanya berdiam saja di kamar, seperti pertapa. Kenapa mendadak pergi meninggalkan Cin-ling-pai yang sedang kosong? Sungguh amat mencurigakan. Akan tetapi, saat ini para tamu sedang menanti dengan tidak sabar, maka iapun cepat menghadap ke arah para tamu. “Cu-wi sudah mendengar sendiri keterangan wakilku. Ada sesuatu di balik semua ini. Aku berjanji kepada cu-wi untuk membongkar rahasia ini dan menangkap semua pelaku kejahatan itu dan menyerahkan kepada cu-wi. Kuharap cu-wi suka melihat mukaku dan suka menanti selama tiga hari. Dalam waktu tiga hari tiga malam, aku akan melakukan penyelidikan dan setelah tiga hari kemudian, silakan cu-wi datang lagi kesini!" Para pimpinan rombongan itu nampak tidak puas. Mereka sudah memberi waktu satu bulan dan sekarang harus menanti lagi? Agaknya, Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai yang selama ini menjadi sahabat baik keluarga Cia, melihat hal ini dan diapun bertanya dengan suara lembut namun terdengar oleh semua orang. "Cia Lihiap, pinceng ingin sekali tahu. Bagaimana kalau lewat tiga hari Lihiap juga tidak berhasil menangkap penjahat-penjahat itu, seperti halnya Gouw Pangcu?" Semua orang setuju sekali dengan pertanyaan itu dan mereka mengangguk-angguk dan semua orang menanti jawaban gadis itu. "Losuhu tentu sudah mengenal akan watak kami sebagai pimpinan Cin-ling-pai sejak turun-temurun, kami adalah orang-orang yang bertanggung jawab! Kalau dalam waktu tiga hari aku masih juga tidak berhasil menangkap mereka yang bersalah, maka wakil ketua Cin-ling-pai Gouw Kian Sun dan pembantu utamanya, Ciok Gun harus bertanggung jawab dan aku akan menyerahkan mereka kepada cu-wi untuk diadili!" Semua orang saling pandang dan akhirnya mereka setuju. Dengan wajah masih penasaran empat rombongan perguruan besar itu meninggalkan Cin-ling-pai dan menuruni puncak itu. Mereka tidak mau lagi tinggal di Cin-ling-pai, tidak mau bersahabat dengan Cin-ling-pai sebelum urusan itu menjadi terang dan yang salah menerima hukuman yang adil. "Pangcu baru datang sudah rnenghadapi urusan yang menjengkelkan. Harap Pangcu beristirahat dan akan lebih baik kalau kita bicara saja di dalam. Bagaimana pendapat Pancu?” kata Su Bi Hwa dengan ramah. Kui Hog mengangguk dan melangkah masuk, diam-diam mencatat bahwa wanita cantik ini mempunyai dua kemungkian. Memang ia pandai membawa diri dan mencintai suaminya, atau ia seorang yang cerdik dan berbahaya sekali, yang mempunyai rahasia dibalik keramahannya. Kui Hong merasa yakin bahwa semua rahasia itu agaknya tersembunyi di dalam hati tiga orang ini. Gouw Kian Sun, Ciok Gun, dan isteri Gouw Kian Sun ini. Entah rahasia apa, ia belum bisa menduganya. Akan tetapi ia mengambil keputusan bahwa dalam tiga hari ini ia harus dapat membongkarnya, karena agaknya rahasia tentang peristiwa aneh yang terjadi di Cin-ling-pai, yaitu dilaporkannya kejahatan yang katanya dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, berada di tahgan tiga orang ini! Mereka masuk ke dalam dan dengan penuh keramahan Su Bi Hwa mempersilakan Kui Hong memasuki kamarnya yang selama ini ia rawat baik-baik. Selama sebulan tinggal disitu, memang Bi Hwa merawat rumah itu dengan baik sehingga semua perabot rumah nampak bersih, lantaipun bersih dan semua teratur rapi. Akan tetapi hanya sebentar saja Kui Hong memasuki kamarnya, hanya untuk menyimpan buntalan pakaiannya dan untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia termenung. Sejak ia tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san, hatinya sudah merasa tidak enak dan hal ini ia katakan kepada Hay Hay. Cia Kui Hong, gadis perkasa itu, biarpun menjadi ketua Cin-ling-pai, namun pekerjaan itu tidak disukainya. Ia suka merantau dan bertualang. Petualangannya yang terakhir adalah ketika bersama para pendekar ia membantu pemerintah menyerbu perkumpulan Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot) yang sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh orang-orang sesat, diketuai oleh Tang Bun An yang terkenal dengan julukan Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Dalam perjuangan ini ia bertemu lagi dengan seorang pendekar yang diam-diam memang telah merebut kasih di hatinya, yaitu Tang Hay. Sebetulnya, pendekar ini adalah putera kandung mendiang Ang-hong-cu Tang Bun An sendiri, namun berbeda dengan Si Kumbang Merah, Tang Hay atau lebih dikenal dengan nama Hay Hay berwatak pendekar. Hanya ada satu hal yang kadang membuat hati Kui Hong panas dan cemburu, yaitu watak Hay Hay yang mata keranjang sehingga dia dijuluki orang Pendekar Mata Keranjang! Walaupun sikap ini hanya lahiriah saja, yaitu tidak pernah Hay Hay sungguh-sungguh menggauli wanita, melainkan terdorong oleh rasa sukanya kepada wanita yang cantik, namun tetap saja dia dianggap sebagai seorang laki-laki mata keranjang, dan sudah seringkali hati Kui Hong yang mencintanya menjadi panas karenanya. Setelah berhasil membasmi gerombolan Ho-han-pang, Tang Hay dan Cia Kui Hong menemukan kenyataan bahwa mereka saling mencinta. Merekapun saling mengaku dan keduanya merasa bahagia sekali. Itulah sebabnya mengapa kini Hay Hay melakukan perjalanan bersama Kui Hong, karena Kui Hong memang mengajaknya ke Cin-ling-pai untuk memperkenalkan kekasihnya itu kepada ayah ibunya dan kakeknya. Dan didalam perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari sebulan ini, Kui Hong mendapat kenyataan bahwa biarpun sikapnya yang mata keranjang pernah membuat kekasihnya itu dituduh menjadi pemerkosa wanita, namun sikap Hay Hay kepadanya tidak pernah melewati atau melanggar batas kesusilaan. Hal ini membuat ia merasa semakin berbahagia, dan cintanya menjadi semakin mantap. Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di dusun di lereng bukit Cin-ling-pai, mereka bertemu dengan seorang gadis dusun yang ditemani ayah ibunya, sedang menuruni lereng itu. Akan tetapi, begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay, tiga orang itu terkejut lalu lari ketakutan melalui jalan setapak itu. Bahkan gadis dusun itu sampai tersaruk-saruk saking takutnya. cerita silat online karya kho ping hoo Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan hati Kui Hong. Bersama Hay Hay ia lalu melakukan pengejaran dan hanya dengan beberapa loncatan saja dua orang muda perkasa ini dapat menyusul bahkan mereka meloncat ke depan mereka, menghadang. Begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay berkelebat dan menghadang di depan mereka, ayah ibu dan anak itu menjadi semakin terkejut dan mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar. "Cia Siocia (Nona Cia), maafkan kami…….ah, ampunkan kami dan jangan bunuh kami…….” Tentu saja Kui Hong terkejut dan heran mendengar ini. Ia dikenal oleh semua penduduk dusun-dusun di sekitar Cin-ling-pai dan dipanggil Nona Cia sejak kecil. Akan tetapi orang ini yang juga mengenalnya, mengapa begini ketakutan!. "Paman, apa kau kira aku ini seorang pembunuh?" "Ha-ha-ha, kalian ini lucu. Nona Cia ini disuruh membunuh tikuspun tidak tega!" Hay Hay tertawa geli melihat kekasihnya dianggap pembunuh kejam. Akan tetapi, kini tiga orang itu memandang kepadanya dan kembali laki-laki itu meratap, "Cia Siocia, ampunkanlah kami. Anak kami hanya seorang ini saja, jangan biarkan dia memperkosa anak kami……" Kini ayah itu menuding ke arah Hay Hay dan tentu saja kini Hay Hay yang terbelalak memandang kepada mereka. Akan tetapi segera dia dapat menguasai dirinya dan kembali dia tertawa. "Aih, jangan main-main, Paman! Apa kau kira aku ini tukang perkosa? Biarpun anakmu ini memang manis sekali, akan tetapi aku tidak pernah memperkosa wanita!” kata Hay Hay. Kui Hong mengerutkan alisnya dan sekali ia menggerakkan tangan, dia sudah menarik lengan ayah itu sehingga bangkit berdiri dengan paksa. "Hayo ceritakan apa yang terjadi sehingga kalian bersikap begini. Kalian ini hendak pergi kemanakah dan mengapa begini ketakutan, menuduh kami pembunuh dan pemerkosa?" Melihat sikap Kui Hong, agaknya ayah ibu dan anak itu menjadi heran. Mereka saling pandang dan sungguh aneh, setelah Kui Hong marah-marah, malah mereka kelihatan lega dan tidak begitu ketakutan lagi. “Agaknya siocia baru pulang dan tidak tahu apa yang terjadi disini? Aih, maafkan kami, Cia Siocia. Kami hendak melarikan diri karena akhir-akhir ini terjadi banyak kejahatan di sini, terutama sekali kejahatan memperkosa dan membunuh gadis-gadis dusun. Sudah kurang lebih satu bulan kejahatan itu merajalela dan para pelakunya adalah para murid Cin-ling-pai…..” "Heiiiiit…….. ??" Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Tanpa banyak bertanya lagi, ia lalu menarik tangan Hay Hay dan diajaknya lari cepat menuju ke puncak, ke perkampungan Cin-ling-pai. Setelah tiba di luar perkampungan Cin-ling-pai, mereka melihat rombongan Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai memasuki pintu gapura. Kui Hong mengajak Hay Hay untuk bersembunyi dan mengintai. Setelah melihat sikap para anggauta rombongan, ia berbisik kepada pemuda itu. "Hay-ko, pasti terjadi hal yang luar biasa di Cin-ling-pai. Mungkin ada bahaya besar. Sabaiknya kita berpencar. Aku menyelidiki dari dalam dan engkau dari luar. Mereka tidak mengenalmu. Nanti diam-diam kita mengadakan pertemuan disini." Hay Hay mengangguk, mengerti akan maksud kekasihnya. Memang, kekasihnya adalah ketua Cin-ling-pai, maka persoalan Cin-ling-pai harus ia tangani sendiri. Sedangkan dia hanya "orang" luar", tidak baik kalau mencampuri urusan Cin-ling-pai dan dia akan melakukan pengintaian secara sembunyi saja untuk membantu Kui Hong. Tak lama kemudian, terjadilah ketegangan antara para rombongan tamu dan para anak buah Cin-ling-pai sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi, melihat ini, Kui Hong segera berbisik kepada Hay Hay. "Aku harus bertindak. Kau tunggu saja, aku pasti akan mencarimu disini, atau di dalam hutan sana.” Ia menuding ke arah lereng berhutan. Tanpa menanti jawaban, karena takut kalau perkelahian itu menjadi berlarut-larut, Kui Hong meloncat, lari dan ia berhasil menghentikan perkelahian itu sebelum jatuh korban. Demikianah, ketika mendengar tuduhan para wakil empat perguruan besar itu, tentu saja Kui Hong menjadi semakin terkejut dah terheran-heran. Kini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kong-kongnya (kakeknya) pergi meninggalkan Cin-ling-pai, dan susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi wakil ketua, tiba-tiba saja menikah tanpa setahu keluarga Cia. Ia tidak membiarkan lamunannya berlarut-larut, dan cepat ia keluar dari kamar, lalu memanggil susioknya untuk bicara di ruangan dalam. Gouw Kian Sun muncul dari dalam kamarnya, diikuti isterinya dan tak lama kemudian Ciok Gun juga muncul dari belakang. Memang Kui Hong ingin bicara dengan tiga orang ini, maka ia memberi isyarat kepada mereka untuk menutup pintu dan jendela, kemudian mengajak mereka duduk menghadapi meja besar. "Pangcu, sebelum bicara, sebaiknya kuhidangkan dulu makanan dan minuman yang sudah saya sediakan. Begitu tadi Pangcu pulang, saya sudah menyuruh siapkan dan tentu sekarang sudah selesai. Biar saya sendiri yang membawa hidangan itu kesini." kata Bi Hwa dengan ramah dan sebelum Kui Hong menjawab, wanita itu sudah pergi meninggalkan ruangan itu, tidak lupa untuk menutupkan kembali daun pintu dari luar. Kini tinggal Kian Sun dan Ciok Gun saja yang berada di kamar itu dengannya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. "Ciok-suheng dan Gouw-susiok, sebenarnya apakah yang telah terjadi disini? Sekarang hanya ada kita bertiga. Nah, ceritakanlah sejujurnya kepadaku!" Suara Kui Hong mengandung perintah dan ketegasan. Juga sepasang mata yang tajam dari Kui Hong memandang penuh selidik kepada dua orang itu. Ia melihat betapa Kian Sun nampak gugup dan gelisah, akan tetapi Ciok Gun nampak tenang saja, bahkan wajahnya tidak membayangkan perasaan apapun. Dingin! "Bagaimana, Gouw Susiok? Apakah engkau takut akan sesuatu yang menekanmu? Katakanlah!" Kian Sun mengangkat, muka, memandang kepada gadis itu, lalu menunduk kembali. "Tidak ada apa-apa kecuali yang sudah kau ketahui, Pangcu. Memang terjadi hal-hal itu, akan tetapi aku telah gagal melakukan penyelidikan. Tidak ada bukti bahwa murid-murid kita melakukannya." "Hemm, dan engkau, Ciok Suheng?" Ciok Gun mengangkat mukanya dan kembali Kui Hong merasa ngeri. Wajah suhengnya ini seperti kedok! "Akupun tidak tahu, Pancu. Aku sudah membantu sedapat mungkin melakukan penyelidikan, akan tetapi tidak berhasil menangkap pelaku-pelaku itu." Kui Hong bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Hemm, tidak mungkin, pikirnya. Suhgguh aneh! Yang ia rasakan aneh bukan peristiwa itu sendiri, melainkan sikap dua orang ini! Diam-diam, sambil berjalan hilir-mudik seperti orang sedang berpikir, dikerlingnya dua orang itu dan ia melihat betapa Kian Sun masih menunduk dengan gelisah, dan Ciok Gun tetap tenang saja seperti patung! "Susiok!" Tiba-tiba saja ia menepuk pundak paman gurunya itu. "Ehh……..? Ahh …….. ada …….. ada apakah, Pangcu?" Jelas bahwa susioknya itu terkejut dan gugup sekali ketika tiba-tiba ia panggil dengan bentakan. “Susiok, katakan siapakah wanita yang menjadi isterimu itu?” Akan tetapi kini Kian Sun sudah tenang kembali. Dia yakin bahwa keselamatan keluarga Cia yang menjadi tawanan berada di dalam tangannya. "Aih, isteriku itu? Ia bernama Su Bi Hwa." “Dari mana ia datang dan bagaimana bisa menjadi isterimu?” seperti seorang hakim yang melakukan penyelidikan, Kui Hong mengajukan pertanyaan dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik. "Ia datang dari sebelah selatan pegunungan Cin-ling-san. Ayah dan ibunya tewas oleh gerombolan perampok dan ketika ia tiba di lereng Cin-ling-san, pada suatu siang aku melihat ia hendak membunuh diri. Aku melihat dan menolongnya. Kami berkenalan dan aku kasihan kepadanya, Kemudian kami menikah…….." Tentu saja cerita ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Bi Hwa yang sudah mempersiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin dilontarkan ketua Cin-ling-pai itu. Tadipun, dengan dalih mempersiapkan makanan dan minuman, Bi Hwa sengaja meninggalkan ruangan itu untuk memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk "memeriksa” suaminya. Ia tidak khawatir kalau Kian Sun akan mengkhianatinya. Wakil ketua itu sudah tunduk kepadanya karena keselamatan keluarga Cia harus dia lindungi. Pula, disana terdapat Ciok Gun yang menjadi mata-mata yang setia. Pemuda itu sudah menjadi seperti mayat hidup yang akan menuruti semua petunjuknya karena pengaruh sihir dan racun, juga pengaruh rayuan dan rangsangan yang diberikan Bi Hwa kepadanya! Kui Hong memutar otaknya. Tentu saja ia tidak dapat menelan mentah-mentah ketarangan dari Kian Sun itu. Akan tetapi, andaikata Kian Sun berbohong, apa alasannya? Susioknya ini merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan amat setia, maka ia percaya kepada susioknya itu untuk mewakilinya menjadi ketua Cin-ling-pai. Tiba-tiba ia menggerakkan tangannya dengan gerakan menyerang ke arah Ciok Gun! Jari tangannya menusuk dengan serangan totokan ke arah pundak kanan suhengnya itu, merupakan sebuah jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), satu diantara ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Kui Hong tahu benar bahwa suhengnya itu merupakan seorang ahli dalam ilmu ini, maka ia sengaja menyerang dengan ilmu itu untuk membuat suhengnya terkejut. Akan tetapi diserang secara tiba-tiba itu, Ciok Gun sama sekali tidak kelihatan gugup atau heran. Dengan tenang saja dia miringkan tubuh sambil menangkis dan meloncat dari kursinya. Tangkisan itu terasa kuat sekali oleh Kui Hong dan ketika ia memandang kepada Ciok Gun yang kini sudah berdiri, pemuda itu sama sekali tidak terkejut atau penasaran, hanya memandang kepadanya dengan wajah dingin. "Pangcu, mengapa menyerangku?" Pertanyaan itu diajukan, akan tetapi sikap kaki tangan Ciok Gun menunjukkan bahwa dia siap untuk berkelahi! Hal ini tidak lepas dari pengamatan Kui Hong. "Aku hanya ingin bertanya, Suheng. Dengan adanya Suheng membantu Gouw Susiok, bagaimana rnungkin kalian sampai tidak mampu membongkar rahasia ini? Banyak murid Cin-ling-pai dituduh memperkosa dan membunuh, mengeroyok dan menghina para tamu kehormatan dan kalian sama sekali tidak mampu menangkap seorangpun diantara mereka? Rasanya mustahil sekali ini!" "Pangcu, kami sudah berusaha sekuat tenaga namun gagal." kata Ciok Gun. Pada saat itu, Bi Hwa masuk sambil membawa hidangan yang masih panas. "Pangcu, masakan sudah siap. Mari, silakan, Pangcu. Selagi masih panas, silakan makan minum dulu. Pangcu habis melakukan perjalanan jauh, tentu lapar." Dan ia melirik kepada suaminya dan kepada Ciok Gun, "Mari kalian temani Pangcu makan." Dengan ramah wanita ini mengatur hidangan di atas meja. Ia pura-pura tidak tahu betapa sejak tadi Kui Hong mengamatinya dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Melihat betapa baik Kui Hong maupun suaminya dan Ciok Gun kelihatan tegang dan tidak gembira, Bi Hwa menghampiri suaminya. "Eh, kenapa kalian nampak bingung? Silahkan makan minum, baru bicara lagi.” Kian Sun terpaksa menjawab. “Kami sedang membicarakan ancaman tiga hari mendatang dan ……” “Aih, sun-ko, kenapa murung? Setelah pangcu pulang, apalagi yang ditakutkan? Engkau pernah bercerita bahwa pangcu biarpun terhitung murid keponakanmu, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau orang-orang yang tidak tahu aturan itu berani mengacau Cin-ling-pai dan menuduh yang bukan-bukan lalu hendak menyerang, tentu pangcu akan sanggup mengalahkan mereka.” “Pangcu!” kata Ciok Gun penuh semangat. “Para utusan itu memang keterlaluan. Mereka hanya menuduh, akan tetapi kami tidak dapat menemukan buktinya. Memang ada murid mereka yang tewas, akan tetapi apa buktinya bahwa murid-murid Cin-ling-pai yang melakukannya? Kalau mereka mendesak, biar aku yang akan melawan sekuat tenaga!” Kui Hong tersenyum dan waspada. Dari ucapannya tadi, ia tahu bahwa isteri Gouw Kian Sun itu seorang wanita yang amat cerdik, walaupun nampaknya halus dan ramah. "Ciok Gun Suheng, engkau tidak boleh bertindak tanpa perintahku! Sudahlah, kita bicarakan lagi nanti, aku ingin beristirahat." kata Kui Hong, dan ia membalik hendak pergi ke kamamya sendiri. "Aih, Pangcu. Apakah engkau tidak makan dulu? Sudah kuhidangkan semua ini….” Kui Hong menghadapi wanita itu dengan sinar matanya mencorong penuh selidik. "Enci," katanya dengan suara tegas, "engkau bukan murid Cin-ling-pai maka tidak perlu menyebut aku pangcu. Namaku Kui Hong, Cia Kui Hong, dan pada saat ini aku tidak lapar. Terima kasih atas keramahanmu. Aku hendak beristirahat di kamarku dan menenangkan pikiran. Aku tidak mau diganggu siapapun!" Kui Hong meninggalkan ruangan itu, akan tetapi setelah tiba di luar ruangan itu, ia menyelinap ke balik pilar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan tiga orang didalam itu. “Ahhh, ia marah sekali," Kui Hong mendengar suara Kian Sun, suara yang mengandung kedukaan dan kekhawatiran. "Sudahlah, biarkan ia yang memikirkan hal itu. Ia ketua Cin-ling-pai. Yang penting, engkau tidak bersalah dan tidak ada bukti bahwa murid-murid Cin-ling-pai melakukan semua itu.” terdengar suara Bi Hwa yang halus merdu, seolah menghibur suaminya. "Benar, Suhu. Kalau mereka datang menyerang, ada pangcu disini. Dan kita dapat mengerahkan seluruh murid Cin-ling-pai untuk melawan mereka. Aku sendiri akan menghadapi mereka dengan mati-matian!" terdengar suara Ciok Gun. Ketika mereka itu tidak bicara lagi dan terdengar langkah kaki mereka hendak meninggalkan ruangan, Kui Hong menyelinap dan pergi ke kamarnya. Ia tidak tahu betapa Bi Hwa memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut kepada Kian Sun dan Ciok Gun agar mereka tidak bicara lagi! Setelah memasuki kamarnya, Kui Hong mengunci semua daun pintu dan jendela kamarnya, kemudian ia duduk termenung di atas kursi. Ia yakin bahwa rahasia semua peristiwa itu pasti berada di tangan Kian Sun, Ciok Gun dan Bi Hwa. Dua orang murid Cin-ling-pai itu nampak tidak wajar, tidak seperti biasa yang sudah dikenalnya. Kian Sun nampak seperti orang yang tertekan dan menderita duka dan kegelisahan. Ciok Gun nampak begitu dingin dan penuh perhitungan, seolah-olah kepribadiannya telah berubah sama sekali. Dan wanita itu, walaupun kelihatan cantik dan ramah, namun ia dapat menduga bahwa di balik keramahannya itu tersembunyi kecerdikan luar biasa. Yang amat mengherankan adalah Ciok Gun. Dia berubah sama sekali! Ada apakah ini? Pengaruh apakah? Sihir? Sihir! Ah, mengapa tidak? Mungkin sekali dan membayangkan kemungkinan penggunaan sihir, segera ia teringat kepada Hay Hay. Tentu Hay Hay dapat membantunya memecahkan rahasia yang mengancam nama dan kehormatan Cin-ling-pai ini. Kui Hong lalu mengangkat muka, memandang ke langit-langit kamarnya penuh perhatian. Kemudian, sekali ia meloncat ke atas, tubuhnya melayang naik dan dengan tangan kiri menangkap balok melintang, ia bergantung disana dan memeriksa sebatang paku besar yang menancap di balok itu sepetti paku penyambung antara dua balok. Ia meneliti paku itu dan sekelilingnya masih diliputi debu, tidak ada tanda pernah dijamah orang. Ia lalu mendorong paku itu dengan jari tangannya sambil mengerahkan tenaga. Lantai di bawah pembaringan di kamar itu bergeser dan terbuka sebuah lubang di bawah pembaringan itu, yang tidak nampak dari luar. Kui Hong meloncat turun, merangkak ke bawah pembaringan dan memasuki lubang itu. Ternyata di bawah lubang terdapat terowongan bawah tanah. Ia menggerakkan kembali lantai di bawah pembaringan dengan menarik besi panjang di dalam terowongan dan lantai itupun pulih kembali menutupi lubang. Lubang ini merupakan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga Cia saja, tidak ada murid lain yang mengetahuinya. Sambil meraba-raba, Kui Hong merangkak di dalam terowongan kecil itu dan kurang lebih dua ratus meter kemudian, terowongan itu menembus sebuah retakan lebar yang tertutup batu di tebing gunung. Ia menggunakan sinkangnya mendorong batu itu sehingga bergeser dan keluar dari lubang retakan, kemudian dari luar ia mendorong kembali batu itu sehingga menutupi lubang. Batu itu sendiri tertutup oleh semak belukar sehingga tidak mungkin ada orang luar dapat menggunakan terowongan rahasia itu, selain harus mengenal rahasianya, juga harus memiliki tenaga sin-kang untuk menggeser batu besar. Setelah mengintai dari balik semak-semak di depan pintu besar dan tidak melihat seorangpun manusia, Kui Hong melompat keluar dan ia melangkah ke tepi hutan. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke sekeliling, untuk melihat apakah ada orang yang membayanginya, namun tempat itu sepi dan tidak nampak orang lain. Biarpun demikian, Kui Hong yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam petualangannya di dunia persilatan, begitu tiba di hutan lalu memilih pohon yang besar dan tinggi, melompat ke atas dan bersembunyi di puncak pohon rindang itu, memandang ke sekeliling. Dari puncak pohon ini ia dapat melihat sekelliling sampai agak jauh sehingga kalau ada orang yang membayanginya, biarpun dalam jarak jauh, tentu akan dapat dilihatnya. Ia amat hati-hati karena ia menghadapi urusan besar, bahkan bahaya besar yang mengancam Cin-ling-pai. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Bagaikan seekor burung garuda, bayangan itu meluncur ke arah pohon dimana Kui Hong bersembunyi. Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main dan ia sudah siap menghadapi lawan yang lihai. Akan tetapi, wajahnya yang tadinya tegang berubah cerah ketika ia mengenal siapa bayangan itu. Bukan lain adalah Hay Hay! “Ihh, kau mengagetkan orang saja!” tegurnya cemberut, akan tetapi pandang matanya tertawa. “Bagaimana hasilnya? Uhh, orang-orang Cin-ling-pai itu sungguh aneh. Bagaimana para murid itu bahkan berani menyerangmu?” Kui Hong menarik napas panjang. “Aihh, panjang ceritanya. Yang lebih aneh lagi, pada saat tidak ada seorangpun keluarga Cia di Cin-ling-pai, tahu-tahu mendadak Gouw-susiok telah menikah!” dan Kui Hong menceritakan semua pengalamannya tadi. Hay Hay mendengarkan penuh perhatian, “Tentu ada sesuatu yang mereka rahasiakan,” dia menanggapi. Kui Hong mengangguk. “Yang mencurigakan hatiku ada tiga orang. Pertama adalah Gouw-susiok sendiri. Dia yang biasanya pendiam dan tenang, setia dan bijaksana, kenapa sikapnya seperti orang yang selalu dalam ketakutan dan kebingungan, seolah-olah terhimpit sesuatu. Kemudian isterinya itu, wanita muda yang cantik. Bagaimana ia bisa muncul tiba-tiba dan menjadi isteri Gouw-suiok? Alasan yang susiok yang menceritakan pertemuan di antara mereka meragukan. Dan wanita itu, biarpun cantik, halus dan ramah, namun jelas pandang matanya membayangkan kecerdikan yang luar biasa. Wanita itu bisa berbahaya!” “Aku sudah melihatnya dari pengintaian. Biarpun agak jauh, aku dapat melihat bahwa ia memang cantik menarik. Terutama sekali mulutnya…..” Kui Hong mengerutkan alis dan memandang kepada kekasihnya dengan cemberut. “Kenapa mulutnya?” “Mulutnya memiliki bentuk yang menggairahkan, mulut itu pasti pandai merayu.” “Huh, kalau melihat perempuan, yang kau perhatikan hanya kecantikannya saja, ya? Dasar mata keranjang!” Kui Hong meruncing bibirnya. Hay Hay tersenyum. “Bukan begitu, Hong-moi. Akan tetapi dari wajah seseorang, kita dapat menjenguk isi hati dan wataknya. Dan wajah cantik seperti yang menjadi isteri susiokmu itu, dapat mencerminkan kecerdikan dan kelicikan yang berbahaya sekali. Wajah itu tidak dapat dipercaya.” Kui Hong tidak cemberut lagi. “Engkau benar. Aku yakin pasti ada sesutu di balik ini semua, dan yang tahu rahasianya hanya tiga orang itu. Gouw-susiok kelihatan begitu berduka dan gelisah juga amat lemah, tidak seperti biasanya. Dan yang aneh sekali adalah suheng Ciok Gun. Sekarang dia berubah menjadi manusia berwajah topeng, begitu dingin, seperti mayat hidup sehingga beberapa kali bulu tengkukku berdiri kalau kami bertemu pandang.” Hay Hay tertawa. “Aih, aku belum pernah melihat bagaimana bulu tengkukmu berdiri, Hong-moi. Kulihat di tengkukmu sebelah atas hanya ada anak rambut dan bulu yang halus sekali, begitu lembut, bagaimana bisa berdiri……?” Merasa betapa tengkuknya diraba oleh jari tangan Hay Hay, Kui Hong menggelinjang dan melengak mundur. “Ihh! Aku bicara serius, engkau hanya main-main dan merayu!” Ia merajuk. “Kalau engkau serius, aku malah tigarius, Hong-moi!” Hay Hay berkelakar. “Aku juga bersungguh-sungguh ketika memuji tengkukmu, bukan main-main. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau lakukan, atau apa yang harus kulakukan?” “Justeru aku ingin engkau membantuku mencari jalan keluar, Hay-ko. Aku memberi waktu tiga hari kepada para lo-cian-pwe dari partai-partai besar itu. Sebelum tiba batas waktu itu, aku harus sudah dapat menangkap biang keladi semua peristiwa yang memburukkan nama baik Cin-ling-pai ini.” “Hemm, menurut ceritamu tadi, agaknya suhengmu bernama Ciok Gun itu yang paling mencurigakan. Agaknya sikapnya dingin, wajahnya yang membuatmu ngeri seperti kedok itu sama sekali tidak wajar. Mungkin dia telah dikuasai sihir atau racun oleh orang-orang yang sengaja hendak mempergunakan dia.” “Aku pikir demikian pula, Gouw-susiok agaknya ditekan, maka dia gelisah dan berduka. Dan suheng Ciok Gun agaknya berada dalam kekuasaan pengaruh yang aneh dan jahat.” “Kurasa tidak ada lain jalan kecuali mencoba untuk mengorek rahasia dari pengakuan mereka. Kau cobalah dulu agar susiokmu itu mau mengaku. Tentu saja sebaiknya kalau kau ajak dia bicara empat mata. Kemudian, kalau tidak berhasil, bujuklah agar engkau dapat membawa Ciok Gun itu keluar dari Cin-ling-pai dan kau ajak kesini. Biar aku yang menghadapinya.” Mereka mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Kemudian, Kui Hong meninggalkan Hay Hay dan kembali ke lereng Cin-ling-pai melalui jalan terowongan yang menembus sampai kedalam kamarnya. Tidak sukar bagi Cia Kui Hong untuk mengajak Gouw Kian Sun bicara empat mata dengannya. Sengaja ia mengajak susioknya itu bicara ketika mereka bersama Bi Hwa dan Ciok Gun selesai makan siang. Ia hendak melihat bagaimana sikap dua orang itu. “Susiok, aku ingin bicara empat mata denganmu. Ada hal yang amat penting ingin kubicarakan denganmu. Marilah kita masuk ke kamar belakang dan kita bicara berdua saja.” Diam-diam Kui Hong melirik ke arah Bi Hwa dan Ciok Gun untuk melihat sikap mereka. Ciok Gun nampak tenang dan dingin saja seolah-olah ucapannya itu tidak mengandung arti sama sekali. Sedangkan Bi Hwa malah tersenyum maklum. “Kenapa kalian tidak bicara saja di ruangan ini? Biarlah kami yang akan pergi meninggalkan kalian disini. Mari, Ciok Gun, kita keluar. Pangcu hendak bicara dengan suhumu.” Ciok Gun membantu isteri suhunya membawa keluar mangkuk piring yang habis dipergunakan makan siang dan tak lama kemudian Kui Hong sudah duduk berdua saja dengan Gouw Kian Sun. Setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka, Kui Hong bersikap sungguh-sungguh. Ia duduk berhadapan dengan susioknya dan berkata dengan nada suara tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja disini, susiok. Tidak ada orang lain yang mendengarkan.” Kian Sun nampak gelisah, bahkan terang-terangan dia menoleh ke sekeliling seolah ada yang ditakutinya. Melihat ini, Kui Hong menjadi tidak sabar lagi. “Gouw Susiok! Pandanglah aku! Kenapa engkau menjadi begini? Engkau telah mengenal aku sejak aku masih kecil, dan aku tahu bahwa susiok adalah seorang pendekar sejati yang gagah perkasa. Sekarang engkau menjadi seorang penakut, ini tentu ada sebabnya! Susiok, engkau tahu bahwa aku dapat mengatasi semua persoalan, kuat menghadapi lawan yang manapun. Kenapa tidak berterus terang? Tidak ada orang lain yang melihat kita. Katakan siapa yang kau takuti dan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai?” Gatal-gatal rasanya lidah Kian Sun. alangkah mudahnya untuk membuat pengakuan dan alangkah lega hatinya kalau dia lakukan itu. Dia akan merasa bebas dari tekanan yang amat menghimpit perasaannya. Akan tetapi diapun tahu bahwa nyawa gurunya, kakek Cia Kong Liang, juga nyawa suhengnya dan isteri serta putera suhengnya, tergantung dari sikapnya saat ini. Kalau dia membuka rahasia itu kepada Kui Hong, empat orang yang amat disayang dan dihormatinya itu tentu akan dibunuh tanpa dia dapat mencegahnya sama sekali! Tidak, dia lebih suka mengorbankan dirinya daripada mereka mati konyol. Betapa dia ingin bebas dari semua ini. Dapat saja dia membunuh diri, akan tetapi hal itupun tidak akan menolong mereka. Maka, dia semakin menjadi bingung dan gelisah, kemudian mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan tegas, dengan maksud agar pendiriannya itu dapat di dengar Bi Hwa dan kawan-kawannya. “Aku tidak takut apa-apa, Pangcu. Tidak ada apa-apa yang janggal disini!” Kui Hong marah sekali dan ia membanting-banting kaki kananya. Kian Sun yang sudah mengenal baik watak dan kebiasaan murid keponakan yang amat lihai ini maklum bahwa Kui Hong marah sekali kepadanya. Gadis yang amat lihai dan cerdik ini tentu telah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat di Cin-ling-pai! “Engkau bohong, Susiok! Sungguh aku tidak mengerti, bagaimana seorang seperti engkau, yang dipercaya oleh Kong-kong, dipercaya ayah, lalu kupercaya, dapat berbohong kepadaku dan mengkhianati Cin-ling-pai dimana engkau tinggal dan mendapatkan segalanya sejak kau kecil sampai sekarang!” Pucat sekali wajah Gouw Kian Sun mendengar umpatan ini. “Tidak, sama sekali tidak. Sungguh mati, aku tidak berkhianat kepada Cin-ling-pai, Pangcu. Kalau Pangcu tetap menuduhku, biarlah Pangcu jatuhkan hukuman mati kepadaku, dan aku dengan rela akan menyerahkan nyawaku!” Kian Sun lalu berlutut di depan Kui Hong dan menundukkan kepala, menyerah! Sikap susioknya ini membuat Kui Hong tertegun! Bukan begini sikap orang yang ketakutan. Paman gurunya ini tetap gagah dan tidak takut mati! Akan tetapi, kenapa tidak mau berterus terang kepadanya? Tentu ada sesuatu yang memaksanya bersikap seperti itu dan jelas bahwa susioknya bersikap seperti bukan karena takut ancaman terhadap dirinya sendiri. Pada saat itu, Su Bi Hwa dan Ciok Gun bergegas memasuki ruangan itu dan mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Kui Hong....
Jilid 6
“Pangcu, harap ampunkan suamiku!” kata wanita itu. “Pangcu, suhu tidak bersalah apa-apa, harap Pangcu suka memberi ampun,” kata pula Ciok Gun. Munculnya dua orang ini membuat Kui Hong semakin marah. “Bagus!” bentaknya. “Kalian mengintai?” “Tidak, Pangcu. Sama sekali tidak.” Kata Su Bi Hwa dengan suara sungguh-sungguh. “Akan tetapi suara Pangcu dan suami saya begitu nyaringnya sehingga terdengar dari luar dan mendengar suami saya hendak menyerahkan nyawa, saya terkejut dan nekat masuk. Harap Pangcu suka memaafkan seorang isteri yang mengkhawatirkan keselamatan suaminya.” Tiba-tiba Kui Hong bergerak ke depan dan tangannya menyambar ke arah kepala wanita itu. Tentu saja ia hanya menguji, bukan menyerang sesungguhnya walaupun gerakannya yang cepat tidak menimbulkan keraguan. Dan serangannya luput ketika wanita itu membuang diri ke samping lalu melompat berdiri. “Hemm, engkau pandai silat?” tanya Kui Hong sambil memandang tajam penuh selidik. Su Bi Hwa baru menyadari bahwa ketua Cin-ling-pai itu hanya mengujinya, maka cepat ia memberi hormat. “Saya pernah mempelajari sedikit ilmu silat, Pangcu.” “Hemm, bagus. Hendak kulihat sampai dimana kehebatanmu!” bentak Kui Hong. “Maaf, Pangcu. Saya tidak berani melawan. Kalau tadi saya mengelak, hal itu hanya karena saya terkejut.” Kata Bi Hwa yang maklum bahwa ketua itu hanya ingin mengujinya. Kini ia menunduk dan tidak mau melawan. Watak Kui Hong yang gagah melarang ia menyerang orang yang tidak mau melawan. Ia mengerutkan alisnya. Agaknya sukarlah membongkar rahasia itu melalui Gouw Kian Sun dan Bi Hwa. Tinggal seorang lagi, yaitu Ciok Gun. “Suheng Ciok Gun apakah engkau masih mengakui aku sebagai ketua Cin-ling-pai?” tiba-tiba ia bertanya kepada Ciok Gun yang masih berlutut. Ciok Gun mengangkat muka memandang, “Tentu saja Pangcu.” “Dan engkau siap mentaati semua perintahku sebagai ketuamu?” “Ya, tentu saja,” jawab Ciok Gun dengan singkat dan dengan sikap tenang dan muka dingin. “Kalau begitu, mari engkau ikut denganku dan jangan bertanya kemana kita pergi dan apa keperluannya. Mari!” Ciok Gun nampak meragu dan mengerutkan alisnya. Pada saat itu, selagi dia bingung karena perintah ketua itu demikian tiba-tiba dan dia belum “diisi” mengenai hal ini, Su Bi Hwa yang berdiri didekatnya berkata lembut. “Ciok Gun, ketua telah memberi perintah. Tunggu apa lagi? Taatilah perintahnya!” Mendengar ini, Ciok Gun bangkit dengan cepat dan tentu saja hal ini tidak terlewat begitu saja oleh perhatian Kui Hong. Diam-diam ia mencatat betapa taatnya Ciok Gun terhadap ucapan wanita cantik itu! Akan tetapi karena tidak ada bukti sesuatu yang mencurigakan, dan ucapan itu seperti bujukan halus agar murid suaminya itu mentaati perintah ketua, sikap yang wajar sekali, Kui Hong juga tidak dapat berbuat sesuatu. “Mari kita pergi!” katanya dan iapun keluar dari dalam rumah itu, diikuti oleh Ciok Gun. Kui Hong berlari cepat keluar dari Cin-ling-pai, menuruni puncak menuju ke lereng bukit dimana terdapat sebuah hutan. Di hutan itulah ia berjanji untuk bertemu dengan Hay Hay. Akan tetapi sambil menunggu munculnya Hay Hay, ia ingin mencoba untuk memaksa suhengnya itu mengaku. Maka, setelah tiba di dalam hutan, iapun berhenti dan Ciok Gun juga berhenti. Mereka berhadapan. Ciok Gun berdiri dengan sikapnya yang terlalu tenang dan dingin, menundukkan mukanya dengan sikap menanti. “Nah, Suheng. Sekarang kita berada di tengah hutan, hanya berdua saja. Katakan, apa yang kau ketahui tentang segala peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai? Siapakah orang-orang yang mengatur semua ini? Siapa yang membuat Gouw Kian Sun ketakutan, dan siapa yang melempar fitnah kepada Cin-ling-pai dengan melakukan semua perbuatan keji terhadap para tokoh partai besar itu?” Sikap Ciok Gun masih tenang saja, dan wajahnya dingin, sedikitpun tidak membayangkan sikap bersalah ketika dia menjawab. “Aku tidak tahu, Pangcu. Aku tidak tahu apa-apa.” Kui Hong mengerutkan alisnya. Sekarang baginya tinggal Ciok Gun ini satu-satunya harapan untuk membongkar rahasia itu. Ia harus memaksa orang ini untuk membuka rahasia. Maka, iapun lalu membentaknya, “Suheng, apakah aku harus menggunakan kekerasan?” Sepasang mata itu menatapnya dan Kui Hong terkejut. Mata itu sama sekali tidak memancarkan perasaan, seperti orang mati. “Terserah kepadamu!” jawaban itupun sama sekali tidak mencerminkan sikap Ciok Gun yang dahulu selalu sayang dan hormat kepadanya. “Bagus! Kau sambut ini!” bentak Kui Hong yang segera menyerang dengan cepat, menotok ke arah pundak Ciok Gun. Namun, dengan gerakan sigap, Ciok Gun mengelak sambil membalas serangan dengan cengkeraman ke arah perut Kui Hong. Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya! Ini pun luar biasa! Bagaimana mungkin suhengnya itu mendadak membalas dengan serangan maut terhadap dirinya? Kui Hong meloncat ke belakang dan maju lagi mengirim serangan bertubi-tubi. Ia ingin cepat menotok roboh suhengnya itu agar dapat membujuk dan kalau perlu memaksanya membuka rahasia yang ia yakin diketahui suhengnya itu. Akan tetapi ia terkejut dan merasa heran sekali melihat kenyataan bahwa ternyata Ciok Gun dapat menandinginya dengan baik! Padahal ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan suhengnya itu. Demikian cepatkah dia memperoleh kemajuan? Ia merasa penasaran bukan main! Setelah lewat tiga puluh jurus dan ia belum mampu merobohkan Ciok Gun, Kui Hong semakin penasaran. Hal ini sudah tidak mungkin sama sekali! Cepat ia mengubah gerakannya dan dengan tubuh merendah, ia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan bentakan dahsyat sambil memukul dengan dorongan kedua tangan. Itulah sebuah jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menaklukan Naga). Ilmu silat dahsyat yang pernah ia pelajari dari kakeknya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Angin dahsyat menyambar ke arah Ciok Gun yang menyambutnya dengan kedua tangan di dorongkan ke depan. “Desss……!” Akibatnya, tubuh Ciok Gun terjengkang dan bergulingan. Kui Hong meloncat ke depan mengejar untuk melihat keadaan suhengnya. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika tubuh yang sudah terkena sambaran hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang itu, yang setidaknya tentu akan pingsan, tiba-tiba meloncat bangun dan sudah menyambutnya dengan serangan lagi! “Ehhh ……?” Kui Hong yang lincah dapat mengelak ke kiri dan matanya terbelalak. Ini sama sekali tidak mungkin! Bagaimana suhengnya yang roboh dilanda hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang tidak menderita apapun dan begitu roboh dapat bangun kembali dan menyerangnya dengan dahsyat? Ia pun mengeluarkan kepandaiannya, bersilat dengan amat cepat karena ia memainkan Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuhnya berkelebatan di delapan penjuru dan tangannya tiba-tiba meluncur dan mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di punggung lawan. “Tukk!” Tubuh Ciok Gun terkulai roboh. Akan tetapi kembali Kui Hong terbelalak karena begitu roboh, Ciok Gun yang terkena totokannya itu sudah bangkit kembali! Suhengnya itu seperti tidak merasakan akibat totokannya! “Wah, dia lihai sekali!” tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan pemuda itu sudah berhadapan dengan Ciok Gun. Ciok Gun nampak bingung ketika melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian biru yang matanya mencorong dan tersenyum-senyum. “Siapa kau?” bentak Ciok Gun sambil siap untuk menyerang. Hay Hay tertawa dan diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang kepada Ciok Gun, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka murid Cin-ling-pai itu. “Ha-ha-ha, Ciok Gun, apakah engkau lupa kepada kakekmu? Aku kakekmu! Hayo engkau memberi hormat dan berlutut kepadaku!” Seketika Ciok Gun nampak bingung. Dia terbelalak memandang kepada Hay Hay dan menggagap. “Ehh….? Apa kau bilang? Kakekku….. engkau kakekku …..?” Dan kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hati Hay Hay. Ciok Gun hanya sebentar saja nampak bingung, lalu tiba-tiba menyerangnya dengan geraman seperti seekor binatang buas. Murid Cin-ling-pai itu tidak terpengaruh sihirnya! Dan serangannya sungguh liar berbahaya! Akan tetapi, tentu saja Hay Hay dapat menghadapi serangan itu dengan mudah. Tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, maka begitu melihat Ciok Gun menyerang dengan cengkeraman kedua tangan ke arah leher dan perutnya, diapun menggeser kakinya, tubuhnya miring dan serangan itu luput. Kemudian dari samping, dia menyapu kedua kaki lawan. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Ciok Gun terpelanting! Sebelum dia dapat bangkit, Hay Hay sudah membentaknya dengan pengerahan sihirnya. “Ciok Gun, rebah dan engkau tidak mampu bangun kembali!” Suaranya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, amat berpengaruh sehingga sejenak Ciok Gun hanya terbelalak, tidak mampu bangkit. Akan tetapi, hanya sebentar ia terpengaruh, karena dia segera bangkit kembali walaupun dengan susah payah. Seolah dia bersitegang diantara dua kekuatan yang tidak tampak, yang satu memaksa dan menekannya agar rebah terus, yang kedua mendorongnya agar bangkit dan menyerang! Melihat ini, Hay Hay dapat merasakan getaran yang kuat, yang melawan kekuatan sihirnya. Maka diapun berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, cepat kau cari orang yang menguasainya dengan sihir. Tak jauh dari sini…….!” Hay Hay menyambut bangkitnya Ciok Gun dengan totokan yang membuat tubuh murid Cin-ling-pai itu terkulai kembali. Karena maklum tubuh Ciok Gun sudah memiliki kekebalan yang tidak wajar, dan pengaruh totokannya itu hanya sebentar saja, Hay Hay lalu cepat menelikung kedua tangan Ciok Gun ke belakang dan mengikat kedua pergelangan tangan dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Juga kedua kakinya diikat sehingga kini, biarpun pengaruh totokan sudah membuyar kembali, Ciok Gun tidak mampu bergerak, hanya mengeluarkan suara menggereng dan mencoba meronta sambil matanya melotot memandang ke arah Hay Hay. Beberapa kali Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menaklukkan semangat perlawanan pada diri Ciok gun akan tetapi hanya sebentar orang itu tunduk, lalu melawan kembali dan bersikap liar. Jelas bahwa ada kekuatan rahasia yang mengendalikan Ciok Gun! Sementara itu, begitu mendengar seruan Hay Hay, Kui Hong segera berkelebat lenyap diantara pohon-pohon di hutan itu. Ia maklum apa yang dikatakan kekasihnya itu. Tentu ada orang ketiga yang bersembunyi dan mengendalikan Ciok Gun dengan ilmu sihirnya. Dan tentu orang itu biang keladi semua kejadian yang penuh rahasia di Cin-ling-pai! Kiranya ketika ia tadi memasuki hutan mengajak Ciok Gun, ada orang yang membayanginya. Tadipun ia sudah waspada selalu menyelidiki keadaan sekeliling, namun tidak menemukan sesuatu. Hal itu saja menunjukkan bahwa kalau memang benar ada orang yang membayanginya, tentu orang itu lihai sekali, sehingga ia tidak dapat melihat atau mendengarnya. Setelah mencari-cari di sekitar tempat itu, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya! Seorang tosu bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambut di gelung ke atas dan mengenakan jubah pendeta, sedang duduk bersila seorang diri diatas petak rumput diantara pohon-pohon. Tosu itu sedang dalam samadhi, matanya dipejamkan, mulutnya berkemak-kemik dan telunjuk tangan kanannya mencorat-coret tanah di depannya. Ada beberapa batang hio (dupa biting) mengepulkan asap di samping kirinya. “Pendeta palsu! Kiranya engkau yang mengacau di Cin-ling-pai!” seru Kui Hong dengan marah. Sekali pandang saja ia merasa yakin bahwa pendeta inilah yang mempengeruhi Ciok Gun. Pendeta itu bukan lain adalah Lan Hwa Cu, seorang diantara tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terkenal dengan julukan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw) yang bersama Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa bertugas untuk mengadu domba para tokoh partai besar dengan Cin-ling-pai. Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Ketika tadi Ciok Gun di ajak pergi, Su Bi Hwa cepat memberi tahu kepada tiga orang suhunya dan Lan Hwa Cu segera membayangi ketua Cin-ling-pai yang mengajak Ciok Gun keluar itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Lan Hwa Cu berhasil membayangi Kui Hong tanpa diketahui. Dia tahu bahwa Ciok Gun telah menjadi mereka. Murid Cin-ling-pai yang tadinya setia itu telah dicekoki racun pembius dan telah dikuasainya dengan ilmu sihir sehingga selain tubuh Ciok Gun menjadi kebal, juga dia dapat dikendalikan dari jauh dengan kekuatan sihir. Biarpun Lan Hwa Cu sudah percaya bahwa Ciok Gun telah menjadi seperti boneka hidup yang akan setia sampai mati kepada Pek-lian Sam-kwi dan Su Bi Hwa, namun dia tetap merasa khawatir. Karena itu, setelah melihat Kui Hong berhenti di tengah hutan, diapun memilih tempat tersembunyi dan cepat duduk bersila untuk menguasai Ciok Gun sepenuhnya dengan sihirnya. Karena bantuannya inilah maka Ciok Gun menjadi makin kuat, sehingga sukar ditundukkan oleh sihir Hay Hay! Ketika Lan Hwa Cu mendengar bentakan itu, dia cepat membuka mata dan memandang dan terkejutlah dia melihat Cia Kui Hong telah berdiri di depannya, dalam jarak empat lima meter dan gadis itu nampak begitu anggun dan berwibawa, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan sepasang mata mencorong seperti mata naga! Maklum bahwa keadaannya telah ketahuan orang, diapun mengambil keputusan cepat. Gadis ini harus dibunuhnya, atau ditawannya. Kalau tidak, semua usaha kelompoknya terancam bahaya kegagalan. “Haiiiiiiittttt ……..!!” Dia meloncat berdiri dan tangan kirinya terayun. Serangkum sinar menyambar ke arah Kui Hong. Gadis ini maklum bahwa ia diserang senjata rahasia jarum. Ia sendiri adalah ahli senjata rahasia jarum yang dipelajarinya dari neneknya, maka tentu saja dengan mudah ia dapat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangan kirinya juga digerakkan dan nampak sinar merah menyambar ke arah lawan! Lan Hwa Cu terkejut bukan main. Dengan mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang, dia mampu meruntuhkan semua jarum merah itu dan yang membuat dia terkejut adalah melihat kelihaian wanita muda itu. Bukan saja mampu mengelak dari serangan jarumnya, bahkan membalas dengan jarum yang lebih hebat, karena ketika dia mengebutkan ujung lengan bajunya tadi, dia mencium bau harum yang kuat, tanda bahwa jarum-jarum merah itu mengandung racun yang ampuh! Maklum bahwa lawannya lihai, Lan Hwa Cu yang merupakan tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang biasanya memandang rendah lawan, segera melompat ke depan dan sabuknya yang panjang dengan kedua ujungnya dipasangi bola dan bintang saja, sudah menyambar-nyambar dengan ganasnya. Karena ingin tahu siapa lawannya, Kui Hong kembali mengelak dengan loncatan ke belakang. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya. “Tahan senjata! Totiang katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula menyerangku!” Akan tetapi, tentu saja Lan Hwa Cu tidak mau banyak bicara lagi. Dari pertanyaan itu, tahulah dia bahwa ketua Cin-ling-pai ini hanya menduga saja bahwa dia yang mengacau di Cin-ling-pai. Gadis itu belum mengenalnya dan belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cin-ling-pai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan membongkar rahasia Pek-lian-kauw dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganasnya, menggunakan sabuknya. Ujung bola dan bintang baja itu beterbangan menyambar-nyambar dalam serangan yang dahsyat sehingga Kui Hong terpaksa berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu. Gadis sakti itupun terkejut karena dari sambaran senjata itu, iapun dapat mengukur tenaga lawan dan tahu bahwa lawannya ini selain pandai ilmu sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang kuat. Maka, iapun cepat mencabut sepasang pedangnya. Begitu sepasang pedang itu tercabut, nampaklah sinar-sinar hitam yang menyilaukan mata. Lan Hwa Cu terkejut. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang amat ampuh. Tanpa disadarinya, pendeta itu mengeluarkan seruan tinggi seperti jerit seorang wanita, Kui Hong terheran karena suara pendeta itu sungguh seperti jerit seorang wanita! Akan tetapi karena lawan terus menyerangnya, iapun menggerakkan sepasang pedangnya, menangkis dan balas menyerang. “Singgg ……!” Bintang baja itu menyambar ke arah pelipis kiri Kui Hong dengan gerakan melingkar dan menyerong dari atas. Serangan ini berbahaya sekali. Namun, Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang telah matang ilmunya. Bukan saja ia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayah ibunya yang juga merupakan sepasang suami isteri pendekar, bahkan gadis ini telah digembleng oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti di pulau Teratai Merah. Tingkat kepandaian Kui Hong kini bahkan telah melampaui tingkat kepandaian ayahnya dan ibunya! Ketika bintang baja itu menyambar ke arah pelipisnya, Kui Hong menggerakkan pedang di tangan kiri, mencoba untuk membabat putus sabuk itu. Akan tetapi, sabuk itu tidak terbabat putus, bahkan melibat pedang dan ujungnya masih menyambar sehingga kini bintang baja itu menyambar ke arah mukanya. Kui Hong menarik kepalaya ke belakang dan pada saat itu, bola baja di ujung kedua sabuk lawan menyambar ke arah perutnya! Bukan main lihainya tosu itu. Akan tetapi, Kui Hong tidak menjadi gugup. Ia menggerakkan pedang kanannya membacok ke arah bola baja, sedangkan pedang kirinya masih terlibat sabuk. “Trangggg ……!!” Bola baja itu terpental dan Lan Hwa Cu kembali mengeluarkan jerit wanita karena tangannya terasa panas sekali dan bola baja itu hampir saja mengenai kepalanya sendiri. Terpaksa dia meloncat kebelakang dan melepaskan libatan sabuknya. Melihat lawannya meloncat ke belakang, Kui Hong yang sudah penasaran itu mengejar dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam yang dahsyat sekali, bagaikan dua ekor naga hitam mengamuk! Lan Hwa Cu menangkis dan membalas, namun menghadapi gelombang serangan sepasang pedang hitam yang ampuh itu, dia merasa kewalahan juga. Permainan pedang ketua Cin-ling-pai itu amatlah hebatnya sehingga kalau dia terus melawan, besar kemungkinan dia akan terancam bahaya maut. Kembali ujung pedang kanan di tangan Kui Hong sudah meluncur dan hampir saja mengenai pundaknya, Lan Hwa Cu melompat ke belakang dan ketika tangan kirinya terayun, terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Kui Hong meloncat ke belakang, khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Ketika ia berloncatan mengitari asap itu, ternyata lawannya sudah lenyap. Kui Hong tidak mengejar karena maklum bahwa selain hal itu sia-sia karena ia tidak tahu kearah mana lawan pergi, juga amat berbahaya dan ia ingin melihat bagaimana hasilnya Hay Hay menguasai Ciok Gun. Iapun cepat lari ke tempat tadi ia meninggalkan Ciok Gun. Lega hatinya melihat betapa Ciok gun sudah dapat dikuasai Hay Hay, sudah rebah dengan kaki tangan terbelenggu. Melihat Ciok Gun seperti orang pingsan, ia berkata, “Hay-ko, cepat sadarkan dia agar terbebas dari pengaruh jahat dan dapat menceritakan semua rahasia kepada kita.” “Nanti dulu, Hong-moi. Justeru dalam keadaan terbius dan tersihir, dia akan dapat menceritakan segala rahasia kepada kita. Kalau dia sadar, mungkin dia melupakan segalanya.” Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu menotok pundak dan tengkuk Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai itu mengeluh dan membuka mata. Pada saat itu, Hay Hay sudah mengerahkan tenaga sihirnya, memandang wajah Ciok Gun dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata. “Ciok Gun, engkau selalu mentaati kami! Engkau membantu kami menghadapi orang-orang Cin-ling-pai. Ingat?” Ciok Gun sejenak memandang kepada Hay Hay seperti orang kehilangan semangat, akan tetapi kemudian dia mengangguk. “Aku….. aku ingat…..” Ciok Gun seperti termenung, lalu terdengar jawabannya lirih. “Pek-lian Sam-kwi….. aku harus taat kepada Pek-lian sam-kwi…….” Kui Hong mengepal tinjunya. Krianya Pek-lian-kauw yang menjadi biang keladinya! Kini tahulah ia bahwa tosu yang lihai tadi adalah orang Pek-lian-kauw tentu seorang diantara Pek-lian Sam-kwi, tiga iblis dari Pek-lian-kauw yang sudah pernah di dengar namanya akan tetapi belum pernah dijumpainya itu. “Siapa lagi selain Pek-lian Sam-kwi? Hayo jawab sesungguhnya!” “Tok-ciang Bi Moli ……” “Ah, Su Bi Hwa itu?” tanya Kui Hong. Mendengar pertanyaan ini, Ciok Gun tidak menjawab. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mengenal satu suara saja, yaitu suara orang yang menguasainya lewat kekuatan sihir dan pada saat itu, Hay Hay yang menguasai setelah pengaruh sihir para tosu Pek-lian-kauw menipis. Tadi Lan Hwa Cu masih mengendalikan Ciok Gun, maka sukar bagi Hay Hay untuk menguasainya. Hal ini adalah karena sudah terlalu lama dan mendalam Ciok Gun dicengkeram dalam kekuasaan sihir para tosu Pek-lian-kauw itu. Kini, setelah Lan Hwa Cu diganggu Kui Hong dan terpaksa melarikan diri, cengkeraman itu mengendur dan dalam keadaan lemah ini, dengan mudah Hay Hay dapat menguasai Ciok Gun. “Ciok Gun, katakan siapa nama Tok-ciang Bi Moli itu!” kata Hay Hay dengan suara mengandung perintah. “Namanya Su Bi Hwa ….” Tentu saja Kui Hong menjadi semakin marah. Kiranya isteri Gouw Kian Sun itu berjuluk Tok-ciang Bi Moli dan merupakan seorang diantara gerombolan yang mengacau di Cin-ling-pai. “Ciok Gun, engkau tahu tentang mengapa Gouw Kian Sun begitu taat kepada Tok-ciang Bi Moli Su BI Hwa dan mau menerimanya sebagai isteri? Ceritakan semua dengan jelas!” Kini Ciok Gun sepenuhnya sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay, maka tanpa ragu lagi diapun menjawab dengan lancar. “Keluarga Cia ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau suhu Gouw Kian Sun menolak, keluarga itu akan dibunuh.” Pucat wajah Kui Hong mendengar ini. “Siapa yang ditawan? Siapa?” Kembali Ciok Gn tidak menjawab dan kelihatan bingung. “Ciok Gun,” kata Hay Hay. “Katakan siapa saja yang di tawan orang Pek-lian-kauw.” “Kakek guru Cia Kong Liang, su-pek (uwa guru) Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin dan putera mereka, Cia Kui Bu …..” “Keparat jahanam ……!!!” Kui Hong berseru karena terkejut dan marah bukan main. Kakeknya, ayah ibunya dan adiknya telah ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Kiranya susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi lemah tak berdaya dan terpaksa menurut saja kemauan orang-orang Pek-lian-kauw karena mereka mengancam akan membunuh keluarga Cia! Orang-orang Pek-lian-kauw menekan Kian Sun dengan ancaman, dan menguasai Ciok Gun dengan bius dan sihir! Jelas mereka akan menghancurkan Cin-ling-pai dan mengadu domba dengan partai-partai besar di dunia persilatan! Sekali memerintahkan Ciok Gun untuk tidur, murid Cin-ling-pai yang sepenuhnya sudah dikuasai Hay Hay itupun pulas. “Kita harus membebaskan ayah dan ibu sekarang juga, dan kita basmi orang-orang Pek-lian-kauw itu!” bentak Kui Hong dengan muka yang menjadi kemerahan saking marahnya. “Tenangkan hatimu, Hong-moi. Menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang licik dan curang, penuh tipu muslihat, kita harus cerdik dan menggunakan siasat.” “Aku tidak takut! Kita tunggu apalagi? Sudah jelas mereka menawan kong-kong, ayah, ibu dan adik Kui Bu. Mereka mempengaruhi Gouw Susiok dan suheng ini, mereka menguasai Cin-ling-pai dan hendak menghancurkan Cin-ling-pai, mengadu domba dengan partai-partai lain! Mari kau bantu aku menghancurkan dan membasmi gerombolan jahat ini, hay-ko!” “Tenang dan ingatlah, Hong-moi. Ingat bahwa kong-kongmu, juga ayah dan ibumu, mereka bertiga adalah yang berkepandaian tinggi. Namun tetap saja mereka sampai tertawan! Tentu Pek-lian-kauw menggunakan akal busuk! Kita harus cerdik dan jangan sampai tertipu. Pula, andaikata kita sekarang menggunakan kekerasan, bagaimana engkau akan menghadapi para tokoh partai besar itu besok lusa?” “Akan kuhancurkan gerombolan itu dan akan kupaksa mereka mengaku di depan para lo-cian-pwe bahwa Pek-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan itu!” “Hemm, mudah dibicarakan akan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang jahat dan licik. Bagaimana kalau mereka itu sempat meloloskan diri? Tetap saja Cin-ling-pai yang akan dituduh melakukan semua pembunuhan itu. Kita harus menangkap basah mereka, kita hadapi kelicikan mereka dengan siasat.” Kui Hong diam-diam tertegun. Ia dapat melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Biarpun hatinya tidak sabar, terpaksa ia mengangguk. “Lalu apa yang akan kita lakukan, Hay-ko? Aku khawatir sekali akan keselamatan keluargaku.” “Kita pergunakan Ciok Gun untuk memancing! Kalau tadinya Ciok Gun menjadi alat mereka, kini kita menyadarkan Ciok Gun hingga dia dapat membantu kita memancing mereka itu melanjutlan perbuatan mereka sampai besok lusa. Di depan para lo-cian-pwe itu, kita telanjangi mereka, kita buka rahasia mereka sehingga mereka tidak sempat mengelak atau melarikan diri.” “Tapi, aku khawatir sekali akan nasib keluargaku!” “Tidak perlu khawatir, Hong-moi. Mereka menawan keluargamu hanya dengan maksud agar keluargamu tidak sempat menghalangi rencana mereka.” “Tapi, bagaimana kalau nanti suheng Ciok Gun mereka kuasai lagi? Bisa hancur berantakan semua siasatmu!” “Jangan khawatir, Hong-moi. Kalung batu kemala ini akan mampu melindunginya dari pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-kauw.” Hay Hay mengeluarkan kalung itu lalu memasangnya di leher Ciok Gun, disembunyikan di balik bajunya. “Terserah kepadamu, Hay-ko. Akan tetapi, hati-hati jangan sampai gagal. Ini menyangkut keselamatan kakek, ayah, ibu dan adikku, juga menyangkut nama baik Cin-ling-pai.” “Aku mengerti, hong-moi jangan khawatir.” Hay Hay lalu membebaskan totokan Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai ini telah dibebaskan dari belenggunya, dan setelah totokannya bebas, dia tersadar, membuka mata, memandang dengan heran wajah Hay Hay yang tidak dikenalnya. Kemudian dia melirik ke kiri dan begitu melihat Kui Hong, dia cepat bangkit duduk dan memandang heran. “Sumoi….. eh, Pangcu! Dimana kita? Apa yang terjadi dan siapa…… siapa saudara ini…..?” Lega rasa hati Kui Hong. Dari sikap, pandang mata dan suaranya, jelas bahwa suhengnya telah kembali normal. “Hemm, suheng Ciok Gun. Apakah engkau tidak ingat lagi apa yang telah kau lakukan selama ini sehingga engkau mencelakakan keluarga kong-kong dan membahayakan keadaan Cin-ling-pai?” tanya Kui Hong dengan suara penuh teguran. Ditanya demikian, Ciok Gun termenung dan meraba-raba dahinya, mengingat-ingat. seperti bayangan yang samar-samar, ada sebagian peristiwa yang diingatnya, terutama sekali kakek gurunya, uwa gurunya dan keluarga Cia Kui Bu yang kini meringkuk dalam tempat tahanan! Dan begitu teringat akan keadaan dirinya, betapa dia tidak mampu menolak dan tunduk serta taat akan semua kehendak Tok-ciang Bi Moli yang hina, wajahnya berubah merah sekali. “Pangcu, apakah yang telah terjadi? Seperti mimpi buruk saja ….. dalam mimpi itu aku melihat betapa kakek guru, juga ayah ibumu dan adikmu, menjadi tawanan dan aku … aku….. mengapa aku membantu iblis betina dan kawan-kawannya itu? Apa yang sesungguhnya terjadi atas diriku?” “Tenanglah, Ciok-toako (kakak Ciok), engkau hanya menjadi korban kekuatan sihir dan bius orang-orang Pek-lian-kauw,” kata Hay Hay menghiburnya. Ciok Gun memandang ke arah Hay Hay dengan alis berkerut. “Siapakah engkau? Pangcu, apakah orang ini boleh dipercaya? Di Cin-ling-pai sekarang berkeliaran banyak orang jahat!” Kui Hong makin maklum bahwa jalan pikiran suhengnya masih kacau. “Ketahuilah, Suheng. Dia adalah Pendekar Tang Hay, sahabat baikku yang boleh dipercaya. Bahkan engkau dapat pulih kembali pikiranmu karena pertolongannya. Dia yang mengusir pengaruh sihir dan pembius yang tadinya meracunimu, dan membuat engkau menjadi hamba dan alat dari iblis betina itu dan kawan-kawannya.” Mendengar ini, Ciok Gun segera memberi hormat kepada Hay Hay. “Ah, maafkan aku, Tai-hiap (pendekar besar). Aku….. aku masih bingung…..” “Toako, kau raba kalung yang kugantungkan di lehermu itu. Sembunyikan kalung itu baik-baik di balik bajumu. Mustika itu kupinjamkan kepadamu dan selama engkau mengenakan mustika itu sebagai kalungmu maka orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak dapat mempengaruhimu dengan sihir lagi.” “Pek-lian-kauw …..?” Ciok Gun terkejut. “Benar, suheng. Kita telah terancam oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Seperti kau katakan tadi, ketika engkau masih dalam pengaruh sihir dan dicengkeram mereka, agaknya Pek-lian-kauw mengirim Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli untuk mengacau Cin-ling-pai. Mereka datang kesini dan entah dengan akal bagaimana mereka dapat menawan kong-kong, ayah, ibu dan adikku. Mereka dapat menguasaimu dengan bius dan sihir sehingga engkau menjadi alat mereka. Dan susiok Gouw Kian Sun mereka kuasai dengan jalan mengancam dia bahwa kalau dia tidak tunduk, maka keluarga Cia akan dibunuh!” “Ah, aku ingat sekarang! Dalam mimpi buruk itu… aku …. Aku membantu mereka. Aku yang memancing dan menjebak….. ah, apa yang telah kulakukan? Benarkah semua itu terjadi? Aku….. aku menjadi pengkhhianat, aku membantu orang jahat menangkapi orang-orang yang kuhormati dan kumuliakan?” “Semua itu telah terjadi, diluar kesadaranmu karena engkau terbius dan tersihir, Suheng. Dan bukan itu saja. Orang-orang Pek-lian-kauw telah memaksa Gouw Susiok menikah dengan Su Bi Hwa itu, dan juga mengadu domba Cin-ling-pai. Mereka membunuh dan memperkosa murid-murid para tokoh partai besar dan menggunakan nama murid Cin-ling-pai….” “Ah, benar …..! Aku ingat sekarang! Aduh, Pangcu. Dosaku besar sekali. Aku mengaku berdosa, aku siap menerima hukuman. Hukumlah, bunuhlah aku, Pangcu. Dosaku tak dapat diampuni lagi…..” Dan Ciok Gun, orang yang biasanya tenang dan pemberani itu, kini menangis seperti anak kecil! “Ciok-taoko, hentikan tangismu yang tidak ada gunanya itu,” kata Hay Hay. “Engkau melakukan semua itu diluar kesadaranmu, oleh karena itu tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu. Yang terpenting sekarang adalah melakukan sesuatu untuk menebus semua itu, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan menghancurkan para penjahat. Maukah engkau membantu kami?” Ciok Gun mengusap air matanya dan dengan penuh semangat dia berkata, “Tang Taihiap, aku siap mengorbankan nyawaku untuk menebus dosa, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai!” “Bagus! Kalau begitu, dengarkan rencana kami baik-baik.” Mereka lalu berbisik-bisik mengatur rencana mereka seperti yang dikemukakan Hay Hay. Mereka tidak lama berunding disitu karena Hay Hay dan Kui Hong segera pergi meninggalkan Ciok Gun agar jangan sampai pertemuan mereka itu diketahui oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Perhitungan Hay Hay memang tepat. Tak lama setelah dia dan Kui Hong pergi, muncul Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu, Kim Hwa Cu dan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa di hutan itu. Empat orang ini tadi berindap-indap memasuki hutan dan setelah mereka mengintai dan hanya melihat Ciok Gun seorang disitu, mereka segera berloncatan menghampiri. Mereka melihat Ciok Gun dalam keadaan pingsan tertotok. Dengan gelisah Su Bi Hwa lalu membebaskan totokan itu dan Ciok Gun siuman kembali. Dia bangkit duduk dan memandang mereka dengan sikap biasa, siap menanti perintah! Akan tetapi, Su Bi Hwa masih merasa khawatir dan curiga, maka ia memberi isyarat kedipan mata kepada tiga orang gurunya. “Ciok Gun, berdirilah engkau!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berseru dengan suara garang. Bagaikan boneka hidup, Ciok Gun bangkit berdiri dengan tegak, wajahnya dingin, matanya tidak membayangkan perasaan dan sikapnya siap siaga. Bi Hwa maju menghampirinya, lalu merangkulnya dan mencium pipinya. Ciok Gun tetap tidak membuat gerakan melawan atau menyambut, seperti arca batu saja. Lalu Bi Hwa melepaskan rangkulannya dan mengayun tangan. “Plakk!” Keras sekali tamparan itu dan akibatnya, tubuh Ciok Gun terhuyung. Akan tetapi tetap saja dia tidak melawan, dan berdiri lagi dengan tegak. Empat orang itu saling pandang dan mengangguk. Lalu Bi Hwa memegang tangan Ciok Gun. “Ciok Gun, duduklah dan ceritakan apa yang telah kau alami ketika engkau diajak pergi Cia Kui Hong tadi.” cerita silat online karya kho ping hoo Mereka duduk diatas tanah berumput di bawah pohon dan Ciok gun bercerita dengan suara yang wajar, seperti biasa. “Pangcu membawaku kesini dan ia memaksaku mengaku. Kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa, bahkan disini semua biasa dan wajar. Ia membujuk dan mengancam, bahkan menghajarku, akan tetapi aku tidak mengatakan sesuatu diluar kehendak kalian. Ia menyerangku, menotok dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, aku tertotok dan tidak ingat apa-apa lagi.” Lan Hwa Cu mengangguk-angguk. “Gadis itu memang lihai bukan main. Agaknya setelah merobohkan Ciok Gun, ia mencariku dan menyerangku. Ia berbahaya sekali.” “Sebaiknya kalau kita tangkap gadis itu juga,” kata Kim Hwa Cu. “Ya, dan berikan ia kepadaku. Akan kubebaskan ia dari keliarannya!” kata Siok Hwa Cu sambil tersenyum kejam. “Aih, sam-wi Suhu terlalu sembrono. Serahkan saja kepadaku.” “Ha-ha, Bi Hwa. Apakah engkau ditulari pengakit suheng Lan Hwa Cu? Dia seorang pria yang hanya suka kepada pria, tidak menyukai wanita. Apakah sekarang seleramu juga beralih kepada sesama wanita?” Siok Hwa Cu mengejek. “Bukan begitu maksudku, ji Suhu (guru ke dua). Cia Kui Hong itu lihai ilmu silatnya. Hal itu lebih baik lagi. Kalian tentu ingat bahwa lusa adalah hari yang dijanjikan Kui Hong kepada para pemimpin partai-partai persilatan besar itu. Tentu akan terjadi pertandingan hebat dan kalau mereka saling bertanding, berarti mereka akan kehilangan tenaga. Kalau sudah loyo semua, mudah bagi kita untuk membabat mereka. Bukankah begitu? Untung bahwa Ciok Gun masih teguh dan menjadi pembantu kita yang setia. Rencana kita dilanjutkan. Kita menanti sampai lusa dan selama dua hari ini, kita tinggal bersembunyi saja dan pesan kepada anak buah agar jangan melakukan sesuatu yang akan menggoncangkan keadaan. Cia Kui Hong pasti tdiak akan menemukan apa-apa sampai esok lusa.” “Bagus, dengan anak buah kita, kita akan berjaga-jaga. Kalau mereka semua sudah saling serang dan menjadi lemah, kita turun tangan,” kata Lan Hwa Cu. “Akan tetapi bagaimana dengan Ciok Gun? Kalau kita bertempur, tentu saja kami bertiga tidak dapat mengendalikannya.” Bi Hwa menoleh kepada Ciok Gun yang duduk seperti patung. Selama berada dibawah pengaruh sihir tiga orang tosu itu, memang dia seperti boneka hidup dan hanya akan mengadakan reaksi kalau empat orang itu mengajaknya bicara. “Ciok Gun!” kata Bi Hwa sambil memegang lengannya. Ciok Gun menoleh dan memandang kepada Bi Hwa dengan pandang mata kosong. “Apa yang dapat kulakukan untukmu, Moli?” tanyanya. “Esok lusa kalau terjadi pertempuran, apa yang dapat kau lakukan untuk kami?” “Aku akan membantu dengan taruhan nyawa!” katanya kaku. “Membantu apa?” “Apa saja! Kalau perlu, aku dapat menjaga para tawanan itu, atau membunuh mereka kalau kalian kehendaki,” kata pula Ciok Gun. “Bagus!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berkata. “Memang sebaiknya dia diberi tugas untuk menjaga dan membunuh mereka semua kalau sampai usaha kita gagal. Mereka itu berbahaya dan kita tidak dapat mempercayakan kepada anak buah kita. Ciok Gun yang paling tepat dan dapat diandalkan untuk menjamin agar mereka tidak sampai dapat meloloskan diri.” Mereka semua bersepakat untuk mengatur siasat, yaitu membiarkan para tokoh partai persilatan besar memperebutkan kebenaran dan bentrok dengan Cin-ling-pai, apalagi kalau sampai gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu terbunuh atau setidaknya terluka. Kalau sudah sejauh itu, membebaskan keluarga Cia juga tidak mengapa, bahkan lebih baik karena para tokoh Cin-ling-pai itu pasti tidak tinggal diam dan permusuhan akan menjadi semakin menghebat. Kalau sudah begitu, maka tugas mereka untuk mengadu domba dan menghancurkan Cin-ling-pai berhasil baik. Akan tetapi, andaikata siasat mengadu domba itu gagal dan Cin-ling-pai tidak sampai bertempur melawan partai-partai lain, masih belum terlambat untuk membunuh para tawanan itu. Dan untuk tugas ini, Ciok Gun yang telah menjadi seperti boneka hidup itu pasti akan mampu melaksanakannya dengan baik. Asap beracun akan dapat disemprotkan dari luar kamar tahanan dan betapapun lihainya, keluarga Cia itu takkan mampu membela diri, apalagi melepaskan diri. Hari yang telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itupun tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Sepuluh orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai, sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para mereka yang nampak penasaran dan marah. Cia Kui Hong juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarangan yang luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi, dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka. Para anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta Cin-ling-pai yang asli. Kui Hong tahu akan hal ini dan iapun diam saja, pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai yang asli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama. Selama dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai. Setelah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul disebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa. Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah. Setelah tiba di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan iapun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya. “Dimana suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia disini?” Para anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan iapun menoleh kepada Gouw Kian Sun. “Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Dimana dia?” Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata, “Ah, apa engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, demam.” Kui Hong mengangguk-angguk. “Ah, kiranya dia sakit.” Lalu dengan tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. “Kiranya cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada disini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.” “Pangcu, sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An. “Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak. “Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu. Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu mengeluarkan suara penasaran. Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas. “Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!” Mendengar ucapan ini, tentu saja semua orang tertarik dan merekapun diam, memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap. “Cu-wi,” Kui Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada diantara kita!” Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang. “Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!” Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia. Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana tegang dan menggelisahkan. “Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang pimpinan mereka!” “Omitohud……, keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja, Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai. “Tiga orang tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada disini! Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!” Melihat kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu, diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri di sebelahnya. “Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!” Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak akan berani melawannya. Begitu melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang! Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betina itu dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang. Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada disitu, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!” Kui Hong memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek. “Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka, dan semua locianpwe yang berada disini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?” Kembali Su Bi Hwa tertawa, “Ha-ha-hi-hi-hik, kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?” “Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Diapun sudah mencabut pedangnya. “Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!” Kini bukan saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka. Mendengar ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu? Akan tetapi, Kui Hong tersenyum lebar. “Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani bicara besar?” Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu! Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali. Seperti yang direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan! Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya. Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah. “Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?” Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik. “Ciok Gun, aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!” Ciok Gun memandang kepada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam saja dan dengan kuncinya dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu terkejut dan heran, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya dilantai. “Teecu Ciok Gun telah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari. Akan tetapi sekarang teecu telah sadar dan teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang menimbulkan semua kekacauan ini. Harap Su-kong, Supek, Supek-bo dan Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.” Dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong telah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkanCiok Gun. Demikianlah, mereka yang “digiring” oleh Ciok Gun yang memegang pedang telah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Melihat munculnya Ciok Gun yang menggiring empat tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya terkejut dan heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai telah keluar dari tahanan! “Ciok Gun, kuperintahkan kau! Bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun. Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apapun mendengar ucapan Su Bi Hwa, akan tetapi ia melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa mengira bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, ia berteriak lagi dengan suara melengking, “Ciok Gun, pergunakan pedangmu …..!” “Baik, kupergunakan pedangku!” Tiba-tiba Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa! Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi ia memang lihai, dan biarpun serangan itu amat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka datangnya, ia masih dapat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang. “Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw. “Suheng, jangan…..!” Kui Hing berseru karena ia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu. Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak memperdulikan teriakan itu dan ia menyerang mati-matian. Tiga orang tosu itupun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat! Tiga orang Pek-lian-kauw itu kini mengerti bahwa pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap, entah bagaimana, dan tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga menggerakkan tangan menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan, dan ada pula yang menyerang. “Tranggg…. Dukkk……!” Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itupun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh dan tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu selagi Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu dan nyawanya terengut seketika. Melihat ini, marahlah Kui Hong. Ia sendiri tidak menyangka bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, kemudian pada pagi hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa dan tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu. Sebelum ia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat kedua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya, mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali. “Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!” Terjadilah keanehan. Para anggauta Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Terjadi kekacauan dan pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang yang tertawa bergelombang, disusul suara yang nyaring melengking. “Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!” Dan para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua menghentikan gerakan dan memandang bingung. Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara ketawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang memakai pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut menyambut dengan bentakan. “Anjing dari mana berani datang menentang kami?” Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring. “Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!” Dalam suara ini terkandung getaran yang amat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan. Hay Hay merasa betapa kekuatan yang dahsyat memaksanya sehingga dia tidak dapat mempertahankan lagi dan diapun jatuh berlutut dan berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing! Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan main. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi ia hendak ke depan untuk menyerang, lengannya disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya. “Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.” Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, memandang puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan merekapun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing. Tang Hay atau biasa disebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biarpun demikian, andaikata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat maupun sihir, menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi. Kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, diapun teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu. Dia meraba dan menekan tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika diapun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dan diapun, dalam keadaan masih merangkak, tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang. “Ha-ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Mari kita bermain-main, kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlumba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!” Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong! “Hung-hung-haunggg …… huk-huk-hunggg ……!” Dan semua orang terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut dan merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Dan terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu kini saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina! Dan Hay Hay terus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit sampai pakaian mereka koyak-koyak! Sedangkan Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak! Sungguh merupakan penglihatan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, diapun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Kalau tadi semua orang nonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu. Setelah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay meloncat berdiri dan diapun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itupun menghentikan gerakan mereka. Su Bi Hwa melompat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itupun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapai Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang! Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar, Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi, juga sudah mengelurkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya bola dan bintang baja. Sementara itu, Tok-ciang Bi Moli maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Kini merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka, iapun sudah mencabut pedangnya, lalu meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring. “Cia Kui Hong, bagaimanapun juga, masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” berkata demikian, pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu. Kui Hong memang sudah siap siaga, maka iapun tadi sudah mencabut sepasang pedangnya. “Tranggg….. !!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat. “Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong dan iapun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya. “Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggauta Cin-ling-pai!” Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteriak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka sangka sebagai anggauta-anggauta baru pilihan ketua dan isteri ketua! Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi juga orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian. Adapun Pek-lian Sam-kwi sendiri maju mengepung Hay Hay yang amat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam.....
Jilid 7
Akan tetapi, nampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, sedangkan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu. Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam. Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai tidak bersalah, dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan dan semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali. Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu duapuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi, para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggauta Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak. Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang ia bertemu tanding yang benar-benar membuat ia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main, dan pantas menjadi ketua Cin-ling-pai. Kiranya Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun. Sudah mati-matian Su Bi Hwa melakukan perlawanan, bahkan ia perkuat dengan kepandaian sihirnya, namun semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan makin lama ia semakin terdesak. Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika ia dapat melirik ke arah mereka, ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka. Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Dengan sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat ia sudah dapat mencari jalan keluar. Su Bi Hwa kini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu. Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pedang kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset dan iapun jatuh terpelanting. Ia bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong. Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Ia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan ia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dan anak itu sudah di tangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri! Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu. Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang diantara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga ikut membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw. Dalam keributan itu, tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja? “Kalau kau kejar, akan kubunuh anak ini!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri. Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam seperti itu, ia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu akan benar-benar dibunuhnya Kui Bu kalau ada yang berani menghalangi larinya. Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya dan bayangan itu nekat merangkul pinggangnya sehingga terseret sampai beberapa meter. “Lepaskan, keparat!” Su Bi Hwa berseru, akan tetapi bayangan itu yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun, sudah menangkap kedua lengannya dan menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu sudah menggelundung lalu meloncat dan lari. Dengan kemarahan meluap, Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun terkulai mandi darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri. Kui Hong hendak mengejar, akan tetapi melihat keadaan Kian Sun, ia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi ia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi. “Gouw Susiok …..” katanya sedih. “Pangcu…. aku….. aku berdosa…… aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu…… maafkan aku…. lebih baik aku mati….” katanya dengan sukar dan lehernya terkulai. Gouw Kian Sun tewas. Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tidak bersalah. Kalau Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukan hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susioknya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik. Ia dapat membayangkan betapa kalau terus hidup, susioknya akan selalu menderita batin hebat sekali. Bagaimanapun alasannya, tetap saja dimata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan. *************** Pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang makin terdesak hebat. Dua puluh anggauta Pek-lian-kauw, tidak seorangpun mampu lolos! Semua tewas ditangan para anggauta Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar. Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin, sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Biarpun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu meringankan tubuh yang membuat tubuhnya ringan dan selincah burung walet, sepasang pedang Kim Hwa Cu tak dapat berbuat banyak. Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang. Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang amat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, selalu pemuda bercaping itu membuyarkannya dengan suara atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun inipun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak. Pedang kiri di tangan Kim Hwa Cu telah terlepas dan terlempar, dan karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya. Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, diapun memiliki sinkang yang dapat membuat lengannya mulur panjang. Masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang waktu itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimanapun juga, dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi, menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apalagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur. Adapun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik dan suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja. Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara bersuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar, namun lawannya adalah seorang pendekar yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang matang. Cia Hui Song bukan saja murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, seorang diantara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song memiliki gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangannya luput. Akan tetapi, Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong. Maka, ketika pada suatu saat, kedua ujung sabuk itu, yaitu bola dan bintang baja menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuh ke belakang, berpok-sai (bersalto) sampai lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah, dia sudah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah. Banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat. Dengan toya ditangan, dia menyambut datangnya lawan yang sudah mengejar dan menyerang lagi. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut. Toya itu tidak takut akan sabuknya. Bahkan ketika dia sengaja melilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan menotok ke arah dadanya! Dia terpaksa melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang. Namun, kini dia terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tak lama kemudian, punggungnya kena dihantam toya sehingga dia menjerit seperti wanita, jatuh bergulingan. Akan tetapi karena memang dia kebal, dia dapat meloncat bangun dan menyerang mati-matian. Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu paling lihai diantara Pek-lian Sam-kwi. Biarpun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga mempunyai sin-kang yang amat dahsyat. Kalau dia sudah berjongkok dan mengeluarkan sin-kangnya, tiada ubahnya seekor katak buduk yang besar dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkokok, sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun! Selain ini, diapun amat kejam, senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang). Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu rambutnya. Rambut yang sudah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat ia pergunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dia seperti dua orang saudaranya, diapun seorang ahli sihir. Akan tetapi lawannya adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu! Tentu saja kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya. Andaikata dia dikeroyok tiga sekalipun, belum tentu dia kalah. Apalagi satu lawan satu. Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan di pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak segera merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apalagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir, dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan dan hanya menjadi penonton, dia semakin mempermainkan lawannya. “Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Sungguh tak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kiri dan ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu. “Blukk!” Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang, Hay Hay sengaja memegangi kaki kanannya yang menendang tadi, berjingkrak seperti orang kesakitan. “Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!” Melihat kelucuan ini, para murid Cin-ling-pai tertawa-tawa. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka, kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki! Kalau dia mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya! “Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.” Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping! Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini. Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali. Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut. “Hemmm …..!” Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali. “Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang. Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri. “Brettt!” Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu. “Heiii, siapa mau membeli ekor babi?” Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu. Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali. “Haiiii, sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas. Siok Hw Cu mengejar dengan goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya. Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi. Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh. Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itupun terlepas dan jatuh ke atas tanah. Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan! Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia sama sekali tidak tahu betapa diantara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu. Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, iapun diam saja dan hanya menonton. Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini diantara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar. Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya. “Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan disini! Kotor dan bau menjijikkan!” Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu. “Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay. “Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan. Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua tangan didorongkan ke depan dan diapun mengeluarkan suara seperti lawannya. “Kok-kok-kokk!” Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga. “Dukk!!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling. Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah. “Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!” Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini. “Sampai matipun aku tidak sudi minta ampun!” Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya! “Heii, mau berak lagi?” Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk. Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Diapun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya! “Capp!” Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbelalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas! “Pergilah!” Hay Hay mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir. “Krekkk!” Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan diapun tewas seketika. Banyak anak buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang. “Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!” Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan, diapun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri. “Saya telah banyak mendengar nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian).” katanya. “Kong-kong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.” Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka cukupp tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu, maka merekapun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang. “Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.” “Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau bertemu dengan saya dimanapun tentu mereka akan saya tantang karena mereka selalu melakukan kejahatan-kejahatan.” “Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari lamanya.” Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab. “Baiklah, antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.” “Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song. Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan. Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi saksi dan merekapun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan merekapun ikut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka merekapun tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai! cerita silat online karya kho ping hoo Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan. Karena merasa bahwa merekapun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song. “Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga." “Pendekar Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut. Tiong Gi Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu. “Apakah li-hiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi….” “Ah, kau maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin. “Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.” “Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?” “Maklumlah,” kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang. “Sikapnya selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.” “Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yabg terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin. “Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.” “Ahhh….?” Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu. “Dia…. dia putera Ang-hong-cu?” Ting Gi Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena tidak sanggup mengalahkannga dengan keroyokan. “Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia seorang diantara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.” “Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh.” “Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh diri. Sudahlah, taihiap dan lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan Cia-pangcu, puteri taihiap. Selamat tinggal.” Tiong Gi Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka kepada pemuda itu. “Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!” “Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.” “Sudahlah kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang kesini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,” kata Sui Cin. Setelah selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, merekapun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay. “Untung ada engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia. Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu. “Hushh, diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.” “Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap angauta kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.” Wajah Hay Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam wajah kekasihnya. “Akan tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu.” Sinar mata gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay. “Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?” “Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.” “Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, diapun bersikap demikian. Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.” Hay Hay mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata, “Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi oleh kewajiban dan tugas yang berat.” Kui Hong menunduk dan menarik napas panjang. “Tadinya akupun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali.” “Biarpun sudah menikah?” “Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?” “Dan suamimu….. eh, aku?” “Dengan sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan, Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang dahulu.” Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai. Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan. Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai. Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas kepalanya. Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasih walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarga Cia atau Cin-ling-pai. Kui Hong juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay! Biarpun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu! “Enci hebat! Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!” Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya, “Kelak engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!” Mendengar ini, Cia Kong Liang berkata, “Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.” Kui Hong memandang kepada ayahnya. “Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!” “Hemm, jangan engkau berkata begitu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka diantara orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggauta.” “Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tidak sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?” Biarpun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya. Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan kangsung saja bicara tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Tentu saja sebagai seorang ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu. Kui Hong memandang ibunya, iapun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga nama baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya, bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi. “Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja ia memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu. Akan tetapi Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk menghadapinya, seperti panitya hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata dengan lembut. “Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa saya dengan lancang berani datang kesini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.” “Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali. “Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?” Hui Song menegur puterinya. Mendapatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut. “Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar?” kata ibunya. “Hemm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi masih tersenyum saja, walaupun disudut hatinya, diapun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu. “Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka…..” “Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit. “Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak kesini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?” Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, suka berterus terang. “Kong-kong, siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena kuajak, kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!” Hui Song dan isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai. Melihat yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin.” Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi! Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu. “Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?” Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah, tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah! Lebih baik berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan. “Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri. Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!” “Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.” Kui Hong memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya. “Nama ayah saya she Tang bernama Bun An,” kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang. “Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar tentang adik seperguruanmu Ling Ling…. apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?” Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah iapun menjawab, “Benar sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh …..” “Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah dibunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay. “Benar sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!” Mendengar pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali. “Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah engkau sudah gila?” Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu. “Ibu!” Kui Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biarpun orang-orang yang tidak suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?” “Kui Hong….. uhh…….!!” Sui Cin membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu. Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut. “Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita terdapat perbedaan golongan.” “Ayahhh……! Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah. “Hemmm…..” Hui Song menahan kemarahannya dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!” Setelah berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya. “Ayahhh…..!!” Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kong-kong ….!!” Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Kui Hong, sekali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan diapun pergi meninggalkan ruangan itu. Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan. “Hong-moi, ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku. Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hhong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya…..” “Hay-ko……, diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!” “Hong-moi, jangan begitu…..” “Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?” “Perlukah kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu…..” “Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu disini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!” Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu!....
Jilid 8
“Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Dimana akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu kesini? Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?” “Tapi, Ayah. Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang kesini untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!” “Tidak……!” Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu! Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walaupun agak basah. “Sungguh aku tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?” Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang. “Memang benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kamipun tidak ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbanya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan…..” “Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!” “Tapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu oleh ibunya. “Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?” “Tapi, Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa……” Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu. “Ya Tuhan! Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram….?” “Ibu! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?” Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala. “Jelas bahwa kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu.” “Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan Hay-ko sebagai suamiku.” “Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan.” “Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song. Kui Hong diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apapun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak. Suasana menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu. Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu. “Kui Hong……!” Sui Cin juga bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya. “Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya. Sui Cin mengerti dan iapun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa. Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu dimana Hay Hay menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemeter dan jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya. Adik Kui Hong tersayang, Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya kemana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi. Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali. Salam dan doaku, Hay Hay “Hay-koko….!” Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja menjadi semakin basah air mata. Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di kursi dengan kepala di atas meja, surat masih terggenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka! Tubuh Kui Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-kata dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya. Ia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan tidak akan menikah dengan pria manapun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan. Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa. Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti. Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak kemana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu. Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal itu justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya! Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya! Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya. Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan. “Hong-moi….. aihhh, Hong-moi……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini! Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu. Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan. Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut. “Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya. Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kotor. “Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya. Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah. “Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan? Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu. Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar? Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enakpun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak. Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa. Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia. Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit dan usaha apapun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil! Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya. “Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat. “Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya. “Mengapa?” “Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yang selallu memuja Tuhan?” Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut. “Janda yang saleh. Sebelum kau lanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menununjuk ke arah langit biru di barat. Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan iapun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi. “Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?” “Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.” Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk itu. “Ya Allah! Ampunilah hamba Ya Tuhan….. jangan….. jangan…..! Hentikanlah perbuatannya….. !” Dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan. “Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?” “Tidak…. tidak…….! Biarlah dia mati sekarang, aku…. aku rela….., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu….” Demikianlah dongeng yang kini seolah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia memejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya. Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya. Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuha yang menentukannya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat, kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula? “Ha-ha-ha, dasar otak udah kau, Hay Hay?” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya! Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia akan tahu ketika wanita itu datang kesitu. Akan tetapi, tadi kedua telinganya tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui. Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga. Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali! “Hi-hi-hik, lucunya….. heh-heh….. kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi…..!” Hay Hay ikut tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga. “Ihh…., kau….. kau seorang pemuda yang tampan kiranya….” ia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku…… maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli. “Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya. “Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?” Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya. Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona. “Heiii! Kenapa diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!” Gadis itu berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit menggemaskan lagi! “Aku tadi mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu. “Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar. Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. “Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!” Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya! “Ikan…. Pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya. “Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,” kata Hay Hay sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat, mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidunya kecil mancung, mulutnya…. hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya, lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar…..” Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana terdapat hiasan perak berbentuk mawar. “Ehh? Seperti aku…..?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu. Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain, kecuali dengan dia. “Yang jantan? Aih, buruk sekali….” “Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi. Kini Hay Hay yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itupun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis lalu menyongsongnya dan merekapun bertemu dan berpelukan! “Koko, engkau menyusul…..?” “Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher. Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar lima puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut. “Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?” Si pendek itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikitpun tidak kelihatan marah. “Aih, dia?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!” Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli. “Ha-ha-ha-ha, benar sekali ……!” katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis sekali, akan tetapi juga bodoh! Pria itu juga tersenyum. “Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.” Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu. “Plakkk!” Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum. “Saudara yang baik,” kata pria itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.” “Aku tidak mendekati…. ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?” Hay Hay terbelalak. Pria pendek itu mengangguk. “Ia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami.” Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah. “Isterimu….? Sungguh tak kusangka….. ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang kampung, dan engkau…. Hemmm……” Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.” Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. “Ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku merupakan kembag di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!” “Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya. “Bukan paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!” “Hemm, mengapa begitu?” Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar, walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya. “Mengapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan dari otak dariku, ha-ha-ha!” Dan si pendek itu dengan tangan kirinya menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain.” “Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja. Mereka pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya. “Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha….., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!” Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak. “Ha-ha-ha-he-he…… anak-anak mereka….. ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha……!” Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya. Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah utara tepi Sungai Yang-ce. Seperti kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian utara Propinsi Se-cuan. Sudah berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginan untuk segera “memiliki” gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia selalu berpisah kamar. Dan kedua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya! Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang. “Mayang, kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami isteri?” tegurnya marah. “Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?” “Akan tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?” Ki Liong membantah. “Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?” “Perduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!” “Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.” Melihat gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Akupun tidak mempunyai niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.” Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan iapun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya. “Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.” cerita silat online karya kho ping hoo Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi karena pemilik mata itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun diapun sudah siap siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Tik-tik-tik!” Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya. Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan diapun siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang! Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan diapun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar. Ketika dia tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya, cukup jelas. Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya! Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar duapuluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang! Ki Liong menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya. “Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ. Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya. “Kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi…..” “Nona, siapakah engkau dan mengapa pula……” Ki Liong mengulang pertanyaannya. “Hi-hik, pendekar kesepian! Akupun senasib denganmu. Akupun merasa kesepian sekali. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat. Ki Liong bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apapun demi pemuas nafsunya. Kini, menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti. “Maksudmu bagaimana?” “Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Akupun bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri. Akan tetapi biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat. “Nona, usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi, kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara dikamarku saja.” Wanita itu tersenyum dan mengedipkan matanya. “Tapi….. kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar….” Ki Liong tersenyum. “Perlukah kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun mengedipkan matanya. Wanita itu tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan iapun mengangguk. “Mari kita berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.” Ki Liong tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah, “Baik, silahkan!” katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya. Diapun cepat mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. “Nah, kau kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!” Dengan patuh dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak bertemu api. Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar. Dilain pihak, wanita itupun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya. Tidak mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati. Wanita itu memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Diapun bercerita terus terang siapa dirinya. Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Pen….., Pendekar Sadis….?” Ia berseru dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali. Pendekar Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan. Ki Liong tersenyum dan diapun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya. “Jangan takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?” Bi Hwa menghela napas panjang. “Ihh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.” “Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.” Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subonya di pulau itu. Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedang milik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi, suhu dan subonya tidak mau mengampuninya. “Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Dan memang sebetulnya akupun tidak ingin sekali kembali kesana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi kesana!” “Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Akupun tidak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!” Bi Hwa merangkul. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang ia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan! “Akupun senang sekali bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petuualang bersama. Akan tetapi, aku mempunyai teman, bahkan ia tunanganku….” “Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?” “Kau tahu?” “Tentu saja. Sudah sejak tadi aku mengintai kalian. Akupun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu itu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?” “Hemm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Dan ia bahkan pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi ia memang selalu menjauhkan diri, mengatakan bahwa ia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja ia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku.” Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil ia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak ia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu menggauli murid ini sehingga mulai saat itu, Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu. Dan sejak itu pula, Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan dihatinya. Ia hanya mengenal nafsu berahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Oleh karena itu, mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta kepada seorang gadis, iapun tertawa. “Heh-heh-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sukarnya bagi orang sepandai engkau? Banyak jalan untuk dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali ia sudah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya ia akan menjadi penurut.” Ki Liong menggeleng kepalanya. “Engkau tidak tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, ia juga lihai, murid Kim Mo Sian-kauw, dan biarpun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin ia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang ini. Kalau aku memaksanya, ia tentu akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.” Bi Hwa mencium pipi pemuda itu. “Disini ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, kenapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?” Ki Liong mencubit dagu yang manis itu. “Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi, engkau lebih cocok menjadi kekasihku dan sekutuku, kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku.” “Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya akan merusak keindahan tubuh dan membuat aku cepat tua!” ia tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat ia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela, Ki Liong.” Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali. “Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara sukarela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan ia amat sukar ditundukkan.” “Hi-hi-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi, perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan…..” Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat! “Engkau tadi telah menceritakan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi, sekarang bersama Mayang, engkau hendak pergi kemanakah?” “Aku sendiri bingung, Bi Hwa. Tadinya, setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu ibunya dan gurunya agar kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka kuusulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebetulnya, aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.” “Ke Cin-ling-pai?” Bi Hwa bergidik. Baru saja ia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, bahkan ia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai. “Pergi ke Cin-ling-pai sama saja dengan ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justeru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku.” Ki Liong bangkit duduk dan mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya. “Terus terang saja, merekapun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itupun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas ditangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Akupun tidak suka kepada mereka yang sombong.” “Kalau begitu, untuk apa pergi kesana? Lebih baik kalau kau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita akan bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku mempunyai rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.” “Aih, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?” Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka penuhi dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu berahi. Dan pada keesokan harinya mereka telah menjadi sekutu yang saling mencinta dan mereka telah menemukan pasangan yang amat menyenangkan. Setelah Mayang bangun dan mandi, ia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar walaupun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur. Di kedai inilah, ketika mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah melihat ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang dan iapun berseru. “Ki Liong ……! Bukankah engkau Ki Liong ….?” Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang sudah diaturkan semalam dengan Ki Liong. Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah. Ki Liong bangkit berdiri dan diapun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan berkata, “Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?” Mayang masih duduk, dan ia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan ia merasa tidak enak hati. Akan tetapi, wanita itu tersenyum ramah dan mendekat. Semerbak harum menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan ia semakin tidak senang. Ia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai semerbak baunya. “Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ketika aku berusia sepuluh tahun, bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun, dan ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang, kita juga pernah bertemu.” Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri. “Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!” Bi Hwa tersenyum ramah. “Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini…. Eh, adik manis ini siapakah?” “O ya, kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang ia telah menjadi wanita yang lihai sekali. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.” “Tunangan? Ah, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tak lama lagi akan menikah.” Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat dan dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka dan Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini. “Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Dimana engkau bermalam, Bi Hwa?” “Di losmen Goat-likoan,” jawab Bi Hwa. “Ah, kami juga bermalam disana!” kata Mayang. Bi Hwa memandang heran. “Benarkah? Aih, kita selosmen akan tetapi tidak saling berjumpa!” Mereka selesai makan dan melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen dimana mereka bermalam. Dan Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Ia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa seorang wanita yang ramah sekali, pula luas pengetahuannya, dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik. Juga lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apalagi ia mendengar Bi Hwa mengaku bahwa ia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan ia sudah membalaskan kematian suaminya. “Sejak itu, aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Eh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.” Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang. “Kalau aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak minta restu ibunya dan gurunya lebih dulu. Akan tetapi ia memang benar, apalagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.” “Bagaimana mungkin aku dapat menikah di luar persetujuan ibu dan suboku?” kata Mayang membela diri karena ia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar. Bi Hwa tersenyum. “Kalian berdua memang benar. Akan tetapi menurut pendapatku, alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap haripun tidak ringan. Seorang suami memang harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.” “Bi Hwa, kau kira mudah begitu saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Disana gudangnya orang pandai. Lebih banyak orangnya daripada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?” “Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat mendiang sauamiku dahulu. Kalau engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku kesana. Akupun sedang pergi kesana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.” “Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.” “Tapi, bagaimana perjalanan kita menjadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama, kita akan pergi kebarat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!” Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu. “Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, kita sebaiknya memilih yang paling penting lebih dahulu. Urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu, biarpun penting, namun dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan kemana-mana. Datang hari ini atau lain bulanpun sama saja. Akan tetapi, urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang amat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku disana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, akan amat sukar mendapatkan kedudukan yang baik.” “Benar sekali, Mayang. Pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau belum mempunyai pekerjaan apapun? Kalau ibumu atau subomu bertanya tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?” Ki Liong membujuk pula. Dibujuk oleh dua orang itu yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapatkan persetujuan menikah. Yang penting, Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Iapun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat ia di rumah sebagai ibu rumah tangga.....
Jilid 9
Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw adalah seorang kaisar yang sebetulnya tidak dapat dibilang bijaksana. Dia bahkan lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekelilingnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana. Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo yang ahli siasat dan mengatur pemerintahan, sabar dan bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia adalah merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng merupakan menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasihat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun itu masih nampak kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap, namun sikapnya halus dan dia cerdik bukan main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng. Namun, Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasil jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghambakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar. Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk menegur dan memperingatkan kaisar. Hal inipun dia anggap sebagai tugas seorang pejabat. Bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja tugas seorang pejabat, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil. Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya mempunyai seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui. Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Sedangkan adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka. Pada waktu itu, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, Cang Sun belum menikah. Menteri Cang dan isterinya sudah seringkali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, akan tetapi pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena ia sendiri sudah jatuh cinta kepada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang. Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis manapun pilihan orang tuanya. Padahal, banyak dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, yang dicalonkan menjadi isterinya, namun Cang Sun selalu menolak. Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenungg dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, amat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya. Akan tetapi, usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya, Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, tidak pernah mengunjungi rumah pelesir. Cang Taijin dan isterinya lalu berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Akhirnya mereka menemukan pilihan mereka. Dara itu berusia delapan belas tahun dan bukan orang luar. Namanya Teng Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai dan cerdas. Juga ia masih saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang. Ayah dan gadis itu tentu saja merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Maka, mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta agar Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu. Akan tetapi, biarpun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biarpun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini. Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya, ia merasa setuju karena sejak kecil ia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, putera bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun, ia seorang gadis pendiam dan biarpun seringkali misannya, Cang Hui menggodanya, ia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu. Cang Hui amat mengagumi Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya ia sudah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi, ia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja. Ia merasa penasaran dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat! Ketika ia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana tertawa dan tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekalipun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, kedua, ilmu dapat dipergunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran. Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang diantara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya. Kegembiraan Cang Hui bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal dirumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian, ia mempunyai teman untuk berlatih silat. Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia bahkan mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat. “Engkau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi perajurit, atau pembunuh?” “Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apabila diganggu orang jahat.” “Hemm, siapa akan berani mengganggu, Adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak perajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada marabahaya datang. Juga disampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.” Wajah dara itu berubah merah. “Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!” Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya dan diapun tidak mau menggoda adiknya lagi, apalagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dua orang gadis itu. Cang Sun meninggalkan taman dimana dia bertemu dengan adiknya tadi dengan wajah muram. Ucapan adiknya mengingatkan dia akan seorang gadis pendekar yang sesungguhnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong! Gadis yang selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong. Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Betapa senangnya mempunyai seorang isteri yang selihai itu, keamanan keluarganya akan terjamin keselamatannya! Dia merasa yakin karena dia tahu bahwa dirinya dirindukan hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal. Akan tetapi, ternyata ketika dia menyatakan cintanya, gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tidak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong dalam hatinya, tidak ada gadis sehebat Kui Hong! Ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dia merasa tertusuk hatinya, dan kenangan akan gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan dan keluar dari halaman ke jalan raya. Dia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lalu melangkah keluar tanpa tujuan. Kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tidak memperdulikan orang-orang yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak perduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya. Pada waktu itu, Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota kedua setelah Peking. Adapun Menteri Yang Ting Hoo yang bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya dapat percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia inilah. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka. Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri, juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini, Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king dimana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya. Di luar kota Nan-king disebelah selatan terdapat sebuah danau kecil, dan tempat ini merupakan tempat dimana Cang Sun seringkali menghibur diri. Pemuda ini suka menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun di bagian danau yang sunyi. Apalagi saat itu hatinya sedang gundah, teringat akan Kui Hong, maka begitu dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun. Dia tidak menulis sajak, tidak pula memukul yang-kim, melainkan hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong ketika gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, ketika Kui Hong membantu ayanya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah). Cang Sun sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, sebuah perahu kecil lain tak lama kemudian mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang kini hanya seorang saja, sedangkan pemilik mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau. Dia baru tahu setelah perahu kecil bercat hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah. “Heiiii…….! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau menabrak saja?” Cang Sun menggunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu. Orang bercaping itu mengangkat mukanya dan nampaklah kini wajah dibawah caping lebar. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok saputangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong! “Heiii! Siapa engkau dan mau apa…..!” Belum habis ucapannya, orang berkedok itu telah meloncat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat berteriak, tangan orang itu bergerak dan Cang Sun tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi! Dia telah tertotok dan sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan. Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga aneh menyeramkan. “Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, engkau kubebaskan. Kalau dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku, aku akan menyiksamu sampai mati.” Tentu saja Cang Sun terkejut bukan main. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya? Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka diapun diam saja. Orang itu sudah mendayung perahunya, dan meninggalkan perahu orang itu yang berwarna hitam tadi. Perahu di dayung cepat ke pantai oleh orang berkedok itu. Dan di pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak seorangpun manusia disitu. Ketika perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, mencengkeram punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya bergitu kuat sehingga Cang Sun mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang lihai sekali, yang membawanya meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja! Akan tetapi begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik semak-semak. “Penculik jahat, lepaskan dia!” Dan muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya seperti terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang menjadi terkejut. “Ihhh ….!” Pria berkedok itu menangkis dan terhuyung ke belakang. Wanita itu lalu menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi. Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini telah menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun, wanita itu dengan tenang menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas tidak kalah cepat dan kuatnya. Cang Sun yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan wajah lonjong, wajahnya cerah dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam. Perkelahian itu berlangsung seru. Cang Sun diam-diam merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang lain. Akan tetapi, kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa wanita cantik itu mendesak si penculik, Cang Sun menjadi kagum. Wanita cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang jahat dan kejam. “Penjahat yang keji, buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!” terdengar wanita gagah itu berseru. Seorang pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan tetapi penculik itu agaknya tidak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang semakin ganas. “Bagus, engkau memang jahat dan harus dihajar!” Wanita itu berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang, sedemikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerak mereka. “Plakk!” Tiba-tiba si penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya. Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang lagi, si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri! “Keparat, hendak lari kemana kau?” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang Sun cepat mencegahnya. “Lihiap, harap jangan kejar dia!” Gadis itu tidak jadi mengejarbya, membalik dan menghadapi Cang Sun. “Kenapa kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara, nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya. “Dia sudah lari dan berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Pula, dia tidak menyakiti aku dan……” Pada saat itu, muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan gagah. “Bi-moi (Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Cang Sun dapat menduga bahwa pemuda inipun seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. “Aih, Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru tiba? Baru saja aku menolong kong-cu ini dari tangan seorang penculik jahat. Dia melarikan diri!” “Kemana dia lari?” tanya pemuda itu. Wanita itu menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menanti wanita itu bicara, pemuda gagah tadi sudah meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun kagum dan bertanya kepada gadis itu. “Lihiap, siapakah orang gagah tadi?” “Dia adalah kakakku, Kong-cu.” “Ahhh! Sungguh mengagumkan sekali kalian kakak beradik yang gagah perkasa. Dan engkau telah menyelamatkan nyawaku, lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?” “Kami she Liong, Kongcu. Nama kakakku Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar di danau ini dan tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan aku kebetulan melihat Kongcu diculik orang jahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu dan mengapa pula Kongcu diculik penjahat tadi?” “Liong-lihiap (Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku,” kata Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dijawab oleh Liong Bi. “Namaku Cang Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut ancamannya tadi. Kalau dalam waktu duapuluh empat jam ayahku tidak memberi uang tebusan seribu tail, dia akan mnyiksa dan membunuhku.” “Cang Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barangkali Kongcu masih ada hubungan keluarga dengan Cang Taijin…..” “Aku puteranya.” “Aihhh …..!” Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku, Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada putera Menteri Cang yang terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Kongcu!” “Hemm, lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal, akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apapun.” “Sekarang aku tidak merasa heran mengapa ada penjahat yang hendak menculikmu, Kongcu. Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati terhadap ayahmu yang terkenal keras terhadap para penjahat. Akan tetapi yang membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal? Itu dapat berbahaya sekali!” “Hemmm, apa sih bahayanya? Aku orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya……” “Aih, jangan berkata demikian, Cang-kongcu! Andaikata Kongcu sendiri tidak atau belum memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, Kongcu tidak boleh lupa bahwa Kongcu putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu, seyogyanya Kongcu menjaga diri dengan pengawalan, karena kalau terjadi sesuatu terhadap diri Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.” Pada saat itu, pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya dan gadis cantik itu menyongsongnya. “Bagaimana, Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?” Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Aku tidak menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari kesana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimanapun juga, masih untung bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini ….” “Koko, kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera dari Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal itu.” Pemuda tampan itu nampak terkejut, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun. “Maaf, karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.” Cang Sun memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan gadis itu, wajahnya tampan tubuhnya sedang namun tegap, dan sikapnya sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa pendekar ini selaIn lihai ilmu silatnya, juga mengenal tata-susila. “Liong-taihiap …. (pendekar besar Liong).” Pemuda yang tadi di perkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat. “Jangan sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.” Cang Sun semakin kagum dan senang. “Baiklah, saudara Liong Ki, dan engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi kebaikan kalian. Kalau kalian tidak berkeberatan, aku mengundang kalian untuk datang ke rumah, agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan peristiwa tadi kepada ayahku.” Liong Ki dan Liong Bi saling pandang, dan Liong Ki yang berkata, “Sesungguhnya kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama hidup yang sedang berada dalam kesukaran merupakan kewajiban kami. Akan tetapi, kami tidak berani menolak undangan Kongcu dan kami merasa gembira dan terhormat sekali.” “Juga kami harus mengawal Kongcu sampai kerumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi. Mereka lalu kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa senang sekali. Bairpun baru saja dia terbebas dari ancaman maut, kini bersama kakak beradik yang lihai itu, dia merasa aman dan terjamin keselamatannya! Setibanya dirumah, Cang Sun lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum. Dua orang muda itupun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab. Apalagi ketika Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki pandangan luas, bahkan tidak asing pula dengan sastra. Mereka makan minum dengan asyik sekali. “Sekali lagi kuulangi bahwa aku berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, aku akan merasa gembira sekali.” Liong Ki tersenyum. “Kongcu, sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.” “Tapi, Koko, siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi. “ahh, Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya. Wajah Cang Sun berseri. “Ah, kalian membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku akan membantu kalian!” Liong Ki menghela napas panjang. “Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku sudah lancang bicara, biar kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami kakak-beradik tinggal diselatan, di lembah Sungai Yang-cee yang berada diperbatasan Propinsi Secuan dan Hupek. Dusun kami ditepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga ludeslah seluruh milik kami. Kami sudah yatim piatu, maka kami mengambil keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami bertiga lalu melakukan perjalanan ke Nan-king untuk mencari pekerjaan.” “Hemm, dimana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Kenapa tidak ikut dengan kalian kesini?” “Ia tinggal di rumah penginapan karena merasa kurang enak badan tadi,” jawab Liong Bi. “Ah, begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan. Mungkin aku dapat membantu kalian.” “Kongcu, kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Juga tunanganku seorang ahli ilmu silat. Maka, tidak ada lain pekerjaan yang lebih cocok bagi kami bertiga kecuali menjadi pengawal. Akan tetapi kami tidak ingin menjadi perajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan….” “Aih, kalau begitu, kalian bertiga bekerja disini saja, membantu keluarha kami!” Cang Sun berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal kami, mengawal ayah sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap pengawal. Sedangkan nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal keluarga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya….” “Aduh, terima kasih sekali, Kongcu!” Liong Bi berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan main. “Ah, jangan tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya, Cang-kongcu harus memberitahukan orang tuanya untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki. Pada saat itu, seorang pelayan masuk memberi laporan kepada Cang Sun yang sudah memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan berada di ruangan dalam bersama ibunya. “Laporkan bahwa aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting, yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu. Pelayan segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang lagi memberi laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya telah siap menerima Cang Sun dan dua orang sahabatnya. Biarpun Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu mempunyai wibawa yang amat kuat! Akan tetapi ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan brewok, dan masih nampak kuat dan gagah walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah ketika dia bicara. “Ayah dan Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali saya telah dibunuh orang.” Tentu saja ucapan ini mengejutkan ayah bundanya. Cang sun segera menceritakan pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau. Mendengar semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal, dan sepasang matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati! Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio. Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio nampak ragu dan sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu berkata lirih, “Nah, Enci Hua, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima tamu!” Ia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.” “Tidak mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang mendengarkan cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang. Teng Cin Nio segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu lalu mendekati kakaknya. “Sun-kok, benarkah itu? Engkau telah diculik pembunuh! Dan mereka ini….. telah menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?” Gadis yang keranjingan silat ini tentu saja tertarik dan sinar matanya yang tajam mengamati dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik. “Pandai silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka berdua ini adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu itu.” Sebelum Cang Hui membantah dan dua orang kakak beradik itu berbantahan seperti biasa, Cang Taijin menengahi, “Sudahlah, Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi hadiah kepada mereka.” “Itulah masalahnya, Ayah. Mereka ini sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa. Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan mempunyai seorang tunangan yang tidak ikut kesini, dan mereka bertiga ini mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya sudah menjanjikan kepada mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan demikian, keamanan keluarga bisa terjamin.” “Tapi keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga keamanan keluarga kita.” “Pasukan pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya kalau mereka ini menjadi pengawal pribadi, tidak kentara, seperti anggauta keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat, mereka telah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.” “Tapi, kita sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus yakin benar bahwa mereka dapat diandalkan. Sebaiknya kalau kita uji dulu sampai dimana kemampuan mereka, apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang memang lincah dan pandai bicara. Liong Ki sejak tadi mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, dan diam-diam dia kagum terhadap Cang Hui. Dia lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Menteri Cang. “Kami kakak-beradik mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan kami hanya mendatangkan gangguan belaka. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami. Cang-kongcu yang menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi disini. Kalau sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak berani memaksakan diri. Kami amat berterima kasih atas segala perhatian Cang-kongcu.” “Tidak, saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku ini! Ia memang cerewet. Keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Dapatkah ayah menerima mereka bekerja sebagai pengawal keluarga disini?” Cang Ku Ceng adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun diapun seorang yang berwatak gagah. Kalau puteranya sudah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi menerimanya begitu saja, juga merupakan perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka. “Engkau dan adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah sepantasnya kalau engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi, adikmu benar pula. Kalau mereka itu hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.” “Tentu saja, Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian kedua kakak-beradik ini lebih lihai daripada semua jagoan yang ada disini, lebih lihai daripada guru silat Coa yang tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi ini akan dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.” “Baiklah, kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, apakah kalian berdua kakak-beradik Liong suka menerima kalau kami beri pekerjaan sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin. “Bertiga dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah.” Cang Hui mengingatkan. “O ya, tiga orang, dan semua akan diuji kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?” Liong Bi memandang kepada kakaknya dan Liong Ki menjawab dengan sikap gagah. “Tentu saja kami menerima dengan perasaan bersukur dan bangga kalau Taijin sudi menerima kami sebagai pengawal kelurga, dan tentang ujian, hal itu memang sudah sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan tunangan saya nanti, siap untuk menghadapi ujian.” “Ayah, biar kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan sama sekali tidak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya. Cang Taijin tersenyum. Dia sendiri, biarpun bukan ahli silat yang pandai, namun sudah banyak bertemu dengan para pendekar dan dia dapat menilai tingkat kepandaian seseorang dari gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam gerakan itu. “Baik, kau undang gurumu kesini!” Cang Hui memperlihatkan kegesitannya. Dahulu sebelum belajar ilmu silat, ia adalah seorang gadis yang gerak-geriknya lemah lembut walaupun sejak kecil ia memang mempunyai perbawaan lincah jenaka. Kini, ia meninggalkan ruangan itu sambil berlari dan gerakannya nampak gesit sekali. Melihat ini, diam-diam Liong Ki dan Liong Bi menahan senyum mereka. Gadis bangsawan yang baru satu atau dua tahun belajar slilat itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka. Ketika Coa-ciangkun (Perwira Coa) yang usianya sudah enampuluh tahun itu muncul, Cang Taijin lalu memberitahukan bahwa dia menerima tiga orang muda untuk bekerja sebagai pengawal keluarga, dan untuk itu dia minta kepada Coa-ciangkun untuk menguji ilmu kepandaian silat mereka. cerita silat online karya kho ping hoo Perwira yang bertugas sebagai guru silat dari puteri dan keponakan Cang Taijin itu menyanggupi dan mereka lalu pergi ke lian-bu-thia (ruang latihan silat) yang berada di sebelah belakang. Ruangan ini memang sengaja dibuat untuk keperluan Cang Hui berlatih silat, sebuah ruangan yang kosong dan cukup luas. Bukan saja Cang Taijin yang ikut menonton, bahkan isterinya yang ingin sekali melihat kepandaian orang-orang yang akan menjadi pengawal keluarganya ikut pula menonton. Suami isteri bangsawan ini duduk di sudut, dan Cang Sun juga duduk disitu bersama Cang Hui dan Teng Cin Nio. “Ayah, biarlah aku dan Cin Nio yang menguji wanita itu, dan nanti suhu yang menguji kakaknya. Aku ingin sekali tahu dan yakin bahwa orang yang dicalonkan sebagai guruku benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari suhu!” Menteri Cang mengangguk, dan mendengar ini Coa-ciangkun juga mundur. Demikian pula Liong Ki meninggalkan adiknya yang akan diuji oleh puteri Menteri Cang sendiri. Teng Cin Nio yang diam-diam telah jatuh cinta hati kepada Cang Sun, pemuda yang dicalonkan menjadi suaminya, bagaimanapun juga ingin memamerkan kepandaiannya di depan pria yang dikasihinya. Maka iapun bangkit dan memberi hormat kepada paman dan bibinya. “Saya mohon Paman dan Bibi untuk menandingi wanita ini.” “Eh, nanti dulu, Cin-moi. Biar aku yang maju lebih dulu melawannya, baru nanti engkau yang maju kalau aku sudah mengukur kepandaiannya,” kata Cang Hui yang juga bangkit berdiri. Melihat dua orang gadis cantik itu berebut, Liong Bi tersenyum ramah. “Ji-wi siocia (nona berdua) harap jangan sungkan. Silakan maju bersama agar ji-wi dapat berlatih dan sekalian menguji apakah aku pantas menjadi guru ji-wi atau tidak.” Ucapannya lembut dan ramah sehingga tidak terdengar seperti tantangan, dan sikapnya bahkan membimbing. “Baik, kami akan maju bersama!” kata Cang Hui. “Mari, Cin-moi!” Keduanya menghampiri Liong Bi dan wanita ini kembali tersenyum dan berkata halus. “Ji-wi siocia, karena ini hanya merupakan ujian, maka sebaiknya kalau sebelumnya diadakan aturan tertentu. Aturan ini hanya untuk aku, bukan untuk ji-wi. Ji-wi (kalian berdua) boleh menyerangku sesuka hati, dengan tangan kosong boleh dengan senjata apapun boleh. Dan aku tidak akan balas memukul, aku akan berusaha untuk mengambil perhiasan rambut ji-wi tanpa melukai ji-wi, kemudian aku akan mengembalikannya lagi dan ji-wi boleh mengelak atau menghalangi. Bagaimana pendapat ji-wi dengan aturan itu?” Dua orang gadis itu saling pandang, bahkan Cang Sun dan ayah ibunya tertegun. Demikian lihaikah Liong Bi, atau amat sombong? “Wah, kalau begitu kalian tidak boleh menggunakan senjata!” seru Cang Sun kepada kedua orang gadis itu. “Tidak,” kata Menteri Cang. “Gadis itu diuji untuk menjadi pengawal, dan dalam pekerjaannya ia mungkin harus berhadapan dengan penjahat atau pembunuh! Sebaiknya kalau kalian menggunakan senjata yang biasa kalian latih.” Mendengar ini, Cang Hui dan Cin Nio lalu menghampiri rak senjata dari mana mereka mengabil sepasang pedang yang biasa menjadi senjata mereka ketika latihan. Coa-ciangkun sendiri hanya berdiri menonton. Dia tahu bahwa dua orang gadis yang menjadi muridnya itu masih mentah dalam ilmu silat mereka, akan tetapi kalau mereka maju bersama dengan siang-kiam (sepasang pedang), apalagi kalau lawan tidak boleh membalas, mereka akan cukup membahayakan lawan. Untuk dapat menang seperti yang dijanjikan tadi, wanita cantik itu harus mempunyai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat! Kini Cang Hui dan Cin Nio sudah berdiri di depan Liong Bi, dengan kedua pedang bersilang di depan dada, suatu pasangan kuda-kuda yang mereka pelajari dari guru mereka. Coa-ciangkun adalah murid Kun-lun-pai, maka ilmu pedang pasangan yang dikuasai dua orang gadis itu adalah ilmu pedang Kun-lun-pai. Liong Bi yang mengenal banyak macam ilmu pedang, sekali lihat saja tahu bahwa dua orang gadis itu menguasai ilmu pedang Kun-lin. “Nah, ji-wi siocia boleh memulai. Seranglah aku dan jangan sungkan lagi!” tantangnya dengan suara lembut dan ramah, tidak mengandung kesombongan. “Lihat pedang!” “Jaga seranganku!” Dua orang gadis itu lalu menggerakkan pedang mereka, Cang Hui menyerang dengan tusukan ke arah perut sedangkan pedang kiri Cin Nio menyambar ke arah leher. Serangan ini dilanjutkan dengan pedang kedua. Namun, gerakan Liong Bi amat lincahnya. Dengan tenang dan mudah saja ia mengelak dengan langkah ke belakang, bahkan ketika pedang kedua menyambar kearah kaki dan kepala, iapun dapat menghindarkan diri dengan tenang saja. Memang, bagi wanita yang sudah menguasai ilmu silat tinggi dan amat mahir ini, gerakan kedua orang gadis bangsawan itu terlampau lamban. Pada saat itu, Coa-ciangkun yang menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Tadi dia menganggap wanita cantik itu terlalu sombong, menyuruh dua orang muridnya mengeroyok dengan senjata sedangkan wanita itu bertangan kosong bahkan mengajukan peraturan yang amat merugikan dirinya sendiri. Menghadapi dua orang lawan yang berpedang tanpa membalas, bahkan harus mengambil hiasan rambut tanpa melukai, lalu mengembalikannya lagi! Hal ini bukan main-mian. Akan tetapi, ketika dia melihat gerakan wanita itu menghindarkan diri, diam-diam dia terkejut karena dia segera mengenal gerakan seorang ahli silat yang sudah matang! Buktinya, gerakan Liong Bi itu bukan hanya mengelak menjauhkan diri saja, asal tidak terkena serangan lawan saja. Liong Bi bahkan berani mengelak dengan gerakan mendekat, dengan perhitungan matang bahwa biarpun dekat, kedudukannya itu menyulitkan lawan untuk menyerang. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun selalu ujung pedang kedua orang gadis itu tak pernah mampu menyentuhnya, bahkan beberapa kali dua orang gadis itu berbenturan pedang satu sama lain! Setelah membiarkan dua orang gadis itu menyerangnya dan ia hanya mengelak ke sana-sini sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba wanita cantik itu mengeluarkan bentakan halus namun nyaring. “Ji-wi siocia, awas terhadap seranganku! Lindungi hiasan rambut kalian!” Mendengar peringatan ini, Cang Hui dan Cin Nio cepat memutar sepasang pedang mereka, membentuk perisai untuk melindungi kepala mereka agar hiasan rambut mereka tidak sampai terampas. Namun, tiba-tiba mereka terkejut bukan main dan menjadi bingung. Bahkan semua penonton termasuk Coa-ciangkun terkejut melihat betapa tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap bentuknya dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebat cepat sekali, membuat dua orang gadis itu merasa seolah-olah mereka menghadapi lawan yang banyak sekali dan menyerang dari segala jurusan! Mereka berusaha untuk melindungi kepala dengan sepasang pedang mereka. Tiba-tiba saja dua orang gadis itu merasa betapa kedua lengan mereka lumpuh kehilangan tenaga dan pedang mereka seperti terbang meninggalkan tangan mereka, kemudian betapa hiasan rambut mereka direnggut orang. Ketika mereka memutar tubuh memandang, ternyata wanita itu telah memegang empat batang pedang di satu tangan dan dua buah hiasan rambut di tangan yang lain! “Maafkan, ji-wi sio-cia, ini pedang ji-wi saya kembalikan!” katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang empat batang pendang, digenggam begitusaja pada ujung nya yang tajam! Hanya Coa-ciangkun dan Cang Taijin yang melihat betapa wanita cantik itu tadi menggunakan ilmu menotok yang luar biasa membuat kedua lengan dua orang gadis itu kehilangan tenaga, merampas empat batang pedang dengan mudah kemudian dengan gerakan secepat kilat, tangan kanan merenggut hiasan rambut dari kepala mereka! Cang Hui adalah seorang gadis yang keras hati dan pemberani. Kalau Cin Nio sudah menjadi gentar dan tunduk, ia masih merasa penasaran. “Kami tidak membutuhkan pedang yang sudah terampas! Kau kembalikan hiasan rambut di kepala kami, dan kami akan mencegah dengan kedua tangan kami saja!” Gadis ini berani dan juga cerdik. Tadi ia sudah mendapat kenyataan betapa dengan sepasang pedang, ia dan Cin Nio sama sekali tidak berdaya, bahkan pedang itu menjadi penghalang melindungi kepala. Maka, ia memilih tanpa senjata saja agar kedua tangannya mampu melindungi kepala dan mencegah wanita cantik itu mengembalikan hiasan rambutnya. Ia memasang kuda-kuda dengan mengambil tempat di belakang Cin Nio, beradu punggung sehingga mereka dapat saling melindungi bagian belakang, dan kedua tangan mereka dapat dipergunakan untuk melindungi bagian depan. Wanita ini tentu akan sukar sekali untuk dapat mengembalikan hiasan rambut ke kepala mereka! Liong Bi mengangguk dan tersenyum. “Bagus! Siocia memang cerdik sekali. Biar saya kembalikan dulu dua pasang pedang ini!” Dan wanita itu memandang ke arah rak senjata di sudut jauh, sekali ia menggerakkan tangan kiri yang menggenggam empat batang pedang pada ujungnya, empat batang pedang itu meluncur ke arah rak itu, bagaikan empat ekor burung yang terbang berlomba. Dan semua orang, termasuk Coa-ciangkun, terbelalak heran dan kagum ketika melihat betapa dua pasang pedang itu dengan tepat memasuki lubang di rak senjata itu seperti dimasukkan dengan tangan saja! Cang Taijin mengangguk-angguk. Dari gerakan ini saja dia tahu bahwa wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, mengingatkan dia akan kelihaian Cia Kui Hong! “Hu-ji, lanjutkan ujian itu!” teriaknya kepada puterinya dan nada suaranya gembira. Walaupun kini Cang Huy juga gentar melihat betapa wanita cantik itu dapat mengembalikan empat batang pedang seperti itu, namun ia masih penasaran dan mendengar teriakan ayahnya, ia lalu memberi isyarat kepada Cin Nio dan keduanya menyerang Liong Bi sambil mengeluarkan semua jurus pilihan dengan pengerahan seluruh tenaga mereka. Liong Bi juga seperti tadi hanya mengelak saja, bahkan menangkispun tidak karena ia tidak ingin menyakiti dua orang gadis itu. Gerakannya memang jauh lebih lincah, bagaikan seekor burung walet saja ia menyelinap diantara empat tangan dan empat kaki yang menyambar-nyambar menyerangnya. Karena Liong Bi berloncatan ke arah belakang dua orang gadis itu, hal ini membuat Cang Huy dan Cin Nio terpaksa seringkali memutar tubuh dengan cepat. Dan gerakan ini membuat keduanya mulai berkeringat dan napas mereka memburu setelah lewat tiga puluh jurus mereka menyerang sekuat tenaga dan selalu serangan mereka mengenai tempat kosong belaka. Karena kelelahan, apalagi tadi juga sudah memainkan siang-kiam, kedua orang gadis ini menjadi lambat gerakannya. Dan akhirnya, dengan kecepatan luar biasa, ketika dua orang gadis itu menyerang, tubuh Liong Bi seperti terbang dengan loncatan ke atas, berjungkir balik di udara dan kini dengan kepala di bawah tubuhnya meluncur turun, didahului kedua tangannya dan tahu-tahu hiasan rambut itu sudah berada kembali di kepala Cang Hui dan Cin Nio, terpasang dengan rapi! Cang Taijin bertepuk tangan, isterinya tersenyum-senyum kagum, juga Cang Sun bertepuk tangan lebih keras daripada ayahnya. Coa-ciangkun mengangguk-angguk dan memandang kagum pula. Cang Hui dan Cin Nio juga menjadi kagum dan Cang Hui kehilangan perasaan penasarannnya. Ia sudah takluk dan bahkan girang mendapatkan seorang guru yang demikian pandainya. “Engkau memang hebat, enci Liong Bi!” katanya memuji. “aih, siocia terlalu memuji. Siocia juga mempunyai bakat yang baik sekali,” kata Liong Bi, bukan sekedar menyenangkan hati puteri bangsawan itu melainkan memang sebenarnya gadis itu memiliki bakat yang baik untuk belajar ilmu silat. “Sekarang harap Coa-ciangkun suka menguji saudara Liong Ki!” kata Cang Sun gembira dan Menteri Cang juga mengangguk ke arah Coa-ciangkun. Perwira itu adalah bawahan Menteri Cang. Andaikata tidak menjadi guru dua orang gadis itupun dia tetap seorang perwira yang memiliki tugas lain. Baginya, menjadi guru kedua orang gadis itu atau tidak, sama saja dan tidak ada bedanya karena mengajar dua orang gadis itupun merupakan pelaksanaan tugas yang diperintahkan atasannya. Kini dia mendapat tugas menguji kepandaian pemuda yang katanya kakak dari wanita cantik itu. Dia dapat menduga bahwa kalau adiknya yang perempuan saja demikian lihai apalagi kakaknya. Dia bangkit, memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, kemudian melangkah ke tengah ruangan. Liong Ki juga memberi hormat kepada tuan rumah, lalu melangkah menghadapi Coa-ciangkun, memberi hormat kepada perwira itu. “Ciangkun, maafkanlah dan bermurah hatilah kepada saya yang muda.” Ucapan itu sungguh merupakan ucapan yang merendah. Mendengar ini dan melihat sikap pemuda itu, senanglah hati Coa-ciangkun. Orang muda ini tentu lihai dan sikapnya sopan dan rendah hati, sungguh akan merupakan hamba yang baik dan dapat diandalkan. Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus yakin akan kemampuan pemuda ini yang akan dijadikan pengawal pribadi atasannya. “Orang muda yang gagah, melihat tingkat kepandaian adikmu, aku dapat mengerti bahwa engkau tentu lihai bukan mai. Harap jangan sungkan, aku hanya bertugas menguji kepandaianmu.” “Kalau begitu silakan, Ciangkun. Bagaimana Ciangkun hendak mengatur ujian ini? Bertangan kosong? Bersenjata?” Coa-ciangkun menghadap Menteri Cang dan bertanya, “Taijin, bolehkah saya mengujinya dengan cara saya untuk melihat apakah dia ini benar-benar cakap untuk menjadi pengawal pribadi Taijin?” Menteri Cang mengangguk-angguk. “Lakukanlah, Ciangkun. Engkau lebih tahu bagaimana harus menguji calon pengawal pribadi yang baik.” “Terima kasih, Taijin,” kata perwira itu yang kini menghadapi pemuda itu lagi. “Liong-sicu (orang gagah Liong), menjadi pengawal pribadi atau pengawal keluarga, harus siap menghadapi segala kemungkinan adanya bahaya yang mengancam. Mending yang mendatangkan bahaya bukan hanya seorang saja sanggupkah engkau menghadapi serbuan lima orang pengacau?” “Tentu saja, Ciangkun. Kalau saya menjadi pengawal, maka saya akan melindungi dan membela keselamatan yang saya kawal dengan taruhan nyawa saya.” “Bagus kalau begitu. Nah, katakanlah bahwa saya dan lima orang anak buah saya menyerbu rumah Cang Taijin dan engkau harus melindungi keselamatan keluarga beliau.” Perwira itu melangkah ke pintu dan memanggil lima orang pengawal yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi karena mereka itu adalah para sute (adik seperguruan) darinya. Lima orang prajurit itu masuk, memberi hormat kepada keluarga Menteri Cang, kemudian atas isyarat suheng mereka, mereka berdiri mengepung Liong Ki dalam lingkaran. “Liong-sicu, kami berenam adalah pengacau-pengacau yang menyerbu rumah keluarga yang kau lindungi. Kami semua bersenjata dan kami akan menyerang dengan sungguh-sungguh. Sanggup dan beranikah engkau menghadapi kami? Karena ini hanya ujian, tentu saja engkau tidak boleh melukai kami, hanya boleh merobohkan tanpa melukai. Sanggup?” “Nanti dulu!” Cang Sun berseru. “Tidak adil kalau begini. Masa seorang dikeroyok enam orang? Disini masih ada nona Liong Bi, dan ada pula tunangan saudara Liong Ki. Mereka bertiga tentu akan bergerak melawan kalau rumah diserbu enam orang penjahat!” Akan tetapi Liong Bi sambil tersenyum ramah. “Biarkan saja, Cang-kongcu. Kurasa kakakku masih akan mampu menghadapi keroyokan enam orang penguji itu. Nanti kalau kewalaham, baru aku akan membantunya, kalau saja diperbolehkan.” Mendengar ini, Cang-taijin yang sudah merasa gembira dan kagum itu berkata, “Tentu saja boleh kalau nanti engkau akan membantu kakakmu.” Perwira Coa yang sudah mencabut pedangnya, juga lima orang sutenya yang sudah mengeluarkan senjata mereka, ada yang memegang golok ada yang membawa tombak atau pedang, berkata, “Nah, Liong-sicu, keluarkan senjatamu untuk menghadapi keroyokan kami.” Liong Ki melolos sabuknya, sebuah sabuk sutera yang berwarna biru muda, lemas dan panjangnya ada dua meter. Dia menggerakkan tangan kanan dan sabuk itu melayang ke atas, membuat lingkaran dan membelit-belit lengannya sampai tergulung semua. “Inilah senjataku, Ciangkun. Cu-wi (kalian semua) mulailah!” Liong Ki memang tampan dan gagah sehingga dua orang gadis itu memandang penuh kagum. Betapa gagahnya pemuda itu, menghadapi enam orang yang bersenjata tajam hendak mengeroyoknya, bersikap demikian tenangnya, bahkan senjatanyapun sehelai sabuk sutera tipis dan lemas! Semua orang memandang tegang kecuali tentu saja Liong Bi. Wanita ini yakin benar bahwa kakaknya akan mampu menandingi pengeroyokan enam orang itu. “Liong-sicu, awas, kami mulai menyerang!” kata Coa-ciangkun dan ia mendahului sutenya untuk menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang kuat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang dan ketika menyambar, mengeluarkan suara bersiutan! Gerakan pedang ini disusul oleh gerakan senjata lima orang sutenya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit yang biasa bertempur sebagai pasukan, apalagi mereka adalah kakak-beradik seperguruan yang mengenal ilmu silat masing-masing, maka gerakan mereka itu teratur dan rapi, tidak simpang siur dan saling mendukung. Tadinya semua orang memandang tegang melihat enam buah senjata menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah tubuh pemuda itu. Akan tetapi merekapun terbelalak kagum ketika tubuh Liong Ki lenyap dan terbungkus lingkaran gulungan biru yang dibuat oleh sabuk suteranya. Bahkan Liong Bi juga memandang kagum. Kakaknya memang hebat, lebih hebat darinya! Dan enam orang pengeroyoknya itu terkejut karena seringkali senjata mereka bertemu dengan sabuk yang sinarnya bergulung-gulung itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka tegetar hebat! Bahkan pertemuan antara senjata dengan sabuk itu menimbulkan suara berdenting seolah-olah sabuk itu berubah menjadi baja yang kaku! Itu menunjukkan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dapat membuat sabuk sutera menjadi keras dan kaku. Mula-mula, Liong Ki mempergunakan kelincahan gerakannya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sduah mencapai tingkat tinggi. Tubuhnya berkelabatan dan menyelinap diantara gulungan sinar enam buah senjata. Hanya kadang-kadang saja pengelakannya dibantu oleh tangkisan sabuk suteranya. Sampai belasan jurus dia menghindarkan serangan-serangan itu dengan mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatan gerakannya. Nampaknya, memang lucu dan indah. Enam orang itu bagaikan enam orang anak-anak yang berlomba menangkap seekor burung walet yang beterbangan diantara mereka. Setelah lewat belasan jurus, Liong Ki mengubah permainannya. Dia tidak lagi berloncatan mengelak, melainkan berdiri tegak dan memutar sabuknya. Sabuk itu berubah menjadi benteng sinar biru yang melindungi dirinya sehingga semua serangan yang datang dari depan, kanan kirii dan atas itu terpental kembali karena bertemu dengan benteng sinar sabuk biru! Berulang kali enam orang itu mengerahkan tenaga, menggunakan senjata mereka menyerang untuk menembus perisai atau benteng sinar biru, namun semua serangan itu gagal karena senjata mereka terpental seperti bertemu dengan kitiran baja yang amat kuat! Kalau pengeroyok berusaha untuk mengelilinginya, Liong Ki memutar tubuh dan gulungan sinar itupun menyelimuti seluruh tubuhnya! Sampai belasan jurus Liong Ki mengandalkan senjata yang istimewa itu untuk menghalau semua serangan, sama sekali tidak mengelak lagi. “Awas, jaga senjata kalian!” Tiba-tiba Liong Ki berseru dan gerakan sabuknya berubah, kini berlenggak-lenggok seperti gerakan ular. Tiba-tiba seorang pengeroyok berteriak kaget. Pedangnya terlibat ujung sabuk dan begitu ditarik, pedang itupun terlepas dari pegangannya! Coa-ciangkun cepat menerjang dengan pedangnya, membacok ke arah sabuk untuk merampas kembali pedang anak buahnya yang terampas. “Tranggg …..!” Hampir saja pedang itu terlepas dari tangan Coa-ciangkun ketika ujung sabuk itu membalik dan pedang rampasan itu menangkis pedang ini. Kemudian, sekali ujung pedang bergerak, pedang rampasan itu telah terbang ke arah rak senjata dan menancap di papan rak! Dan kini sabuk itu mengamuk. Bagaikan seekor ular besar atau seekor naga, sabuk itu menyambar-nyambar dengan amat cepatnya sehingga para pengeroyok yang tinggal lima orang itu terkejut dan menggerakkan senjata melindungi diri. Akan tetapi bertutur-turut empat orang anak buah Coa-ciangkun berteriak dan senjata mereka satu demi satu beterbangan karena dirampas ujung sabuk dan semua senjata itu menancap pada papan rak senjata! Tinggal Coa-ciangkun seorang! Coa-ciangkun yang merasa penasaran cepat menerjang dengan nekat. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti dan tubuhnya sudah terbelit-belit sabuk sutera sehingga kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi, juga pedang di tangannya! Dia hanya dapat berdiri tegak dengan mata terbelalak! “Ciangkun, maafkan aku!” kata Liong Ki dan sekali menggerakkan tangan, sabuk itupun melepaskan libatannya. Cang Sun dan semua orang bertepuk tangan memuji dan Coa-ciangkun mau tidak mau harus mengakui kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu. Dia memberi hormat kepada Menteri Cang dan berkata dengan sungguh hati. “Harap paduka ketahui bahwa kepandaian Liong-sicu ini benar-benar amat tangguh dan dapat dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi paduka.” Tentu saja Menteri Cang girang sekali, terutama Cang Sun juga merasa gembira karena dua orang penolongnya itu diterima oleh ayahnya. Bahkan Cang Hui juga merasa gembira. Ia mendekati Liong Bi dan berkata, “Enci, engkau harus mengajarkan ilmu silatmu yang lincah tadi, dan cara engkau merampas senjata dan melemparkan ke rak senjata! Aku tidak akan menyebut engkau subo (ibu guru). Engkau masih terlalu muda untuk menjadi ibu guru. Biar kusebut engkau enci (kakak) saja!” Liong Bi menjura dengan hormat. “Jangan khawatir, Siocia. Aku akan mengajarkan semua ilmu yang kuketahui kepadamu …..” “Aku juga, Enci Liong Bi ……” kata Teng Cin Nio. Liong Bi merasa ragu karena ia belum tahu siapa gadis cantik pendiam ini. Melihat keraguan wanita itu, Cang Sun segera berkata, “Ia juga, Enci. Ia bernama Teng Cin Nio, adik misanku dan iapun merupakan anggauta keluarga kami, bahkan calon anggauta dekat sekali.” Liong Bi mengangguk dan tersenyum. “Baiklah, akan kuajarkan kepada kalian berdua.” Liong Ki dan Liong Bi lalu berpamit untuk mengambil pakaian di rumah penginapan, juga untuk menjumpai tunangan Liong Ki yang ditinggalkan di rumah penginapan. Menteri Cang menyetujui dan merekapun meninggalkan gedung itu dengan hati dipenuhi kegirangan karena cita-cita mereka tercapai....
Jilid 10
Para pembaca tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain. Wanita itu memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi, usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, iapun menyusun siasat untuk bersama pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw! Sim Ki Liong yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang dan keduanya segera keluar untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi ke danau. Dua orang petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk “mendekati” keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap rumah gedung itu. Mereka melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, cepat Su Bi Hwa mengatur siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok, menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang! Mayang menyambut mereka dengan cemberut. “Dari mana saja kalian?” tegurnya kepada mereka. Ki Liong menjawab dengan wajah berseri. “Ah, kami beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak dapat menduga apa yang telah kami capai.” “Hemm,” Mayang menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. “Kalian baru pulang dari rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan disana?” Dua orang itu terkejut dan terbelalak. “Ehh? Engkau sudah tahu? Mayang, kami …. Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat, dan hidup kita terjamin!” “Benar, adik Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga. Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?” Akan tetapi mayang masih mengerutkan alisnya. “Hemm, bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu? Kalian menipunya untuk mencari pahala!”. Kembali Ki Liong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main, “Mayang, jadi engkau tahu semuanya?” “Kau kira aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja? Sejak kalian pergi hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh keheranan dan penasaran!” “Adik Mayang , maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang kukenal itu telah pindah. Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcu dan kami membayangi dia ke danau.” Kata Bi Hwa membela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu. “Benar, Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami. Menteri Cang merupakan pembesar yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara dan memperoleh kedudukan yang baik.” “Tapi, kalau hendak bekerja kepadanya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura menculk puteranya kemudian dibebaskan?” Mayang membantah, masih marah. “Adik Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak bersalah. Dan akupun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng menerima kami? Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga.” “Benar, Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu menghadap ibumu dan subomu.” Karena dibujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga. “Baiklah, akan kulihat saja bagaimana perkembangannya disana nanti,” katanya. Ki Liong girang bukan main. “Dan untuk membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi, adikku.” “Aku tidak mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!” kata Mayang, kembali mengerutkan asisnya. Diam-diam Ki Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap isyarat ini dan iapun berkata sambil melangkah keluar. “Kalian bicaralah, aku akan mengemasi pakaian.” Setelah Bi Hwa pergi, Ki Liong berkata, “Mayang lupakah engkau siapa aku ini? Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, berusaha untuk kembali ke jalan benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!” “Kalau hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?” “Aih, Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan satu tujuan, agar aku diterima disana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar? Aku terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia akan mau memberi pekerjaan kepadaku? Bersikaplah adil, Mayang ……, semua ini kulakukan demi engkau!” Mayang mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alasan pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan dan kedudukan yang baik, apa salahnya? “Baiklah, akan kulihat perkembangannya nanti,” katanya mengulang pendapatnya tadi. Ki Liong merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu. “Mari kita berkemas! Dan disana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu.” Dengan senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati seorang puteri dan berkata, “Baik, tuan puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!” “Cih, tak usah merayu!” Mayang berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran. Ketika Bi Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka kagum akan kecantikan khas dari gadis peranakan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang sudah banyak pengalaman, lalu bertanya. “Liong Ki, apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?” Liong Ki atau Sim Ki Liong memberi hormat, “Ia adalah peranakan Tibet, Taijin.” Cang Hui mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik. “Siapa namamu dan berapakah usiamu?” Melihat gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh namun enak didengar, “Namaku Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri Cang Taijin bukan? Nona cantik sekali!” Jawaban ini seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan Mayang. “Aku memang Cang Hui, dan engkaupun cantik sekali, Mayang. Apakah engkaupun ahli silat seperti kakak-beradik she Liong itu?” Mayang tersenyum. “Aku tidak sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona.” Untung bagi Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain, akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau melakukannya. “Mayang, engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui saja!” kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang. Mayang tersenyum dan entah bagaimana, iapun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan yang berwatak polos ini. “Terima kasih,” katanya. “Enci Hui, apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?” kata Cin Nio. “Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya tanpa melukai kami. Sanggupkah kau melakukan itu?” “Cin-moi, rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu.” “Memang tidak perlu diuji lagi, akupun sudah percaya,” kata Cang Sun yang sejak tadi kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum. Gadis ini mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat melawannya dengan ingatan bahwa gadis peranakan Tibet ini telah menjadi calon isteri Liong Ki! “Hemm, kalau begitu kurang adil!” Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa. “Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kami sekeluarga melihatnya.” Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung wibawa dan perintah. “Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang sipit namun bersinar tajam itu. “Siapa yang akan mengujiku?” Cang Hui yang merasa suka kepada Mayang, berkata, “Aku sudah lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak mengujinya?” Cin Nio menunduk dan mukanya kemerahan. “Mana aku berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?” “Tidak perlu bertanding,” kata Menteri Cang. “Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu.” “Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk. Pecut atau cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kiri, melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat. “Taijin beratkah arca singa itu?” tanyanya kepada Menteri Cang. Caranya bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan teringat akan sikap Cia Kui Hong. “Tentu saja berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu menggotongnya,” katanya. “Adik Hui, aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk mengangkatnya,” katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan ini terkejut. “Ihh, jangan main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat menimpamu dan membuatmu terluka!” “Kita lihat sajalah!” kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil karena ia telah memainkan cambuknya. Ia bersilat dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa kuningan. Ujung cambuk itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking, singa-singaan itupun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu bertepuk tangan. Mayang bukan seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin dianggap lemah. Setelah tepuk tangan berhenti, iapun memberi hormat kearah suami isteri pejabat tinggi itu dan berkata, “Taijin, saya lihat banyak lalat disini. Bolehkah saya membunuh mereka?” Menteri Cang mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi binatang kecil yang amat gesit itu dengan cambuknya? Akan tetapi dia mengangguk gembira. “Boleh, bunuhlah lalat-lalat itu!” katanya. Mayang menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar. Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor lalat! Melihat bangkai itu tidak hancur, dapat dimengerti betapa hebatnya permainan camuk itu, yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan cambuk itu! Kembali semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka diajak melakukan penyelewengan, berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab. “Mayang, engkau saja yang mengajarku ilmu silat!” Cang Hui berseru gembira sambil merangkul gadis peranakan Tibet itu. “Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti itu!” Demikianlah, mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama Mayang dan Bi Hwa. Mereka sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab. Didalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong! Karena maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang. Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar itu. Mereka segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa berbisik, “Ssssttt, aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat.” Biarpun kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani! Bi Hwa merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun, sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui! “Kalau kita berdua, atau diantaranya seorang diantara kita dapat menjadi mantu Menteri Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” katanya. “Engkau bisa mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku? Bagaimana mungkin? Disana ada Mayang ……” kata Ki Liong meragu. “Aih, lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang isteri? Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah saja.” “Jangan pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan celaka?” “Bodoh, ia tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia akan mentaati semua perintahmu.” “Hemm, justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya dan subonya!” Ki Liong berkata kesal. “Itu perkara kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi, andaikata ia menyadarinyapun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan taat.” Wajah Ki Liong menjadi berseri. “Engkau dapat melakukan itu?” Bi Hwa mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka segolongan! “Tidak percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw,” kata wanita itu. “Pendeknya, urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!” Bi Hwa dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih tinggi lagi. Mereka bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu mengetahui pertemuan rahasia mereka. Sementara itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang kaku. Dengan adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong, mereka duduk mengaso dan bercakap. “Adik Hui, engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apapun juga. Pelayan cukup banyak, pengawalpun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat yang melelahkan? Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang halus lunak itu menjadi kasar?” Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa. “Heh-heh, engkau ini ada-ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!” “Ehh? Pendekar wanita siapakah itu?” “Enci Kui Hong. Cia Kui Hong ……” Sepasang mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali. “Ketua Cin-ling-pai …..?” ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang dimaksudkan Cang Hui. “Benar, engkau sudah mengenalnya, Mayang?” Mayang mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya. “Aku pernah bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?” Pada saat itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio pergi, Cang Hui berkata lirih. “Kasihan, Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui Hong.” “eh,kenapakah?” Mayang tentu saja merasa heran sekali. “Mayang, setelah beberapa hari tinggal disini, engkau kuanggap sebagai keluarga sendiri, maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika enci Kui Hong tinggal disini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci Kui Hong.” “Hemm, menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga baik budi pekertinya.” “Ehh? Bagaimana engkau tau dia baik budi?” “Melihat penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah,” kata Mayang, lalu membelokkan percakapan, “Lalu, bagaimana perjodohan itu?” Cang Hui menggeleng kepalanya. “Agaknya Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain.” Dikiranya aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu Tang Hay! “Dan sejak saat itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain, membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio kesini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi jodoh Sun-koko.” “Baik sekali ….,” kata Mayang. “Apanya yang baik!” Cang Hui mengerutkan alisnya. “Sun-koko sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya.” Mayang diam saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendiri jatuh cinta kepada Sim Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat! “Engkau beruntung, Mayang.” Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru Mayang sadar. “Apa? Mengapa?” tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi. “Hik-hik, kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya pendekar!” “Hemm, mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui,” kata Mayang dengan pikiran melayang jauh. Kembali ia melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa. Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya. “Aih, kalau saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!” Wanita cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan oleh seorang gadis yang genit dan “ada apa-apanya”! Maka, mendengar akan pujian dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu! “Engkau melamun lagi, Mayang!” tegur Cang Hui. “Ah, maaf…. Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui.” “Eh? Apakah itu, Mayang? Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!” Gadis bangsawan itu tersenyum. “Aku hanya ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi….? “Hemm, adik tunanganmu itu?” Ingin ia meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pesannya. “Ia seorang wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu. Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu.” Cang Hui terbelalak dan tersenyum. “Aih, Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang …. Bagiku ia terlalu genit. Akupun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya. Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu. Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan kusampaikan kepada kakakku.” Biarpun hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya, pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di rumah keluarga Cang. Ia melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat! Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya, terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk. Sampai menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan perondaan. Mereka bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar dibagian belakang. Mendadak ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang dicintanya itu. Tak dapat ditahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar melalui jendela, ke dalam taman. Tiba-tiba ia berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta Ki Liong, betapa ia amat merindukannya? Kenapa ia seperti didorong-dorong untuk menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya? “Hemm, ini tidak wajar!” Begitu pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya, mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika perasaan yang mendorong-dorongnya itupun lenyap! Seolah angin malam semilir mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki Liong di kamarnya! Sungguh mustahil! “Keparat, siapa berani main-main dengan aku? tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!” tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya. Namun, sepi dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal iapun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main dengannya? Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia mau menyerahkan dirinya malam itu? Ataukah memang dorongan itu datang dari perasaan cinta dan rindunya? Ia tidak tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala dengan kecewa. “Sialan,” gerutunya dalam hati. “Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan sihirku!” Ia menyelinap pergi dan mengomel, “Harus kupergunakan cara lain untuk menundukkan bocah itu!” Pada keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas. Akan tetapi bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya. Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam cintanya terhadap Cia Kui Hong. Kita tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita meninggalkan Hay Hay. Setelah bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang indah dilator belakangi warna merah redup. cerita silat online karya kho ping hoo Pada saat itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan. Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang disana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar. Hay Hay ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat, melihat matahari telah menjadi bola besar merah yang mulai tenggelam di balik kaki langit. Dan diapun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak, lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu! Baru terasa olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesuatu, tidak dapat bebas lepas seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan bersatu dengan alam, perasaan bebas! Kenapa dia biasanya hidup diantara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini? Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. “Siancai (damai) ….! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga…….!” Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua, gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke tempat Hay Hay berdiri. Melihat ini, otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan diapun cepat menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya. Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itupun bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuahpun, membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak! Hay Hay memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. “Maaf, Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal dimana?” “Ho-ho, orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya, aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama.” “Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay Hay bertanya. “Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah dimana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru, heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?” Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah! “Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kakek disini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa memperolehnya?” Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali. “Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?” Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itupun lewat begitu saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia? “Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi dilain saat perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia ataukah bukan? “Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!” “Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?” Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat. "Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu? Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah senangpun hanya bayangan palsu belaka." "Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?" "Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau dilain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik dan menyenangkan, dilain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?" Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti, "Kita sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?" "Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan, heh-heh-heh." "Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan." "Engkau juga, orang muda?" "Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?" "Disanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!" "Ehh? Kenapa begitu, Kek?" "Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya." "Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?" "Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?" Hay Hay menjadi bengong dan bingung. "Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?" "Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?" Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab, "Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!" "Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum." Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum maklum. "Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!" "Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.” "Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa yang mengganggu?" "Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah penghancur kebahagiaan itu sendiri." "Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk memerangi nafsunya sendiri." "Siapa yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari gelimangan nafsu? Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri, berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia." "Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?" "Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan." "Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang nafsu? Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat atau pelayan?" "Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula, hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di dunia." "Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan menjadi jahat?" Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa ? Segala yang ada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!" "Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?" "Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?" "Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?" "Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu, kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan." Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan pertanyaan. "Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apapun, benarkah itu?" "Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup, bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran. Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?" "Hei, manusia jahat penyebab kesengsaraan kami, hendak lari kemana engkau?" bentakan ini terdengar dari bawah puncak dan tak lama kemudian orangnyapun muncul. Ketika Hay Hay melihat orang itu dia terbelalak kaget dan heran. Yang muncul itu adalah laki-laki sebaya dia yang cebol, bermuka hitam, matanya sipit, hidung besar dan bibir tebal, orang muda buruk rupa yang pernah dijumpainya, suami wanita yang cantik manis dan lincah itu! Tentu saja dia merasa heran mengapa laki-laki itu mendaki puncak dengan sikap marah-marah dan dengan gerakan gesit laki-laki itu meloncat dan berdiri tak jauh dari situ dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busur dan beberapa batang anak panah! Kini dia mengamangkan busur dan anak panah itu kepadanya. "Heh, pengecut mata keranjang! Bersiaplah engkau untuk mampus! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawamu dengan anak panah ini, agar engkau tidak lagi meracuni hati wanita!" Hay Hay menoleh ke kanan kiri dan belakang. Tidak ada orang lain disitu kecuali dia dan kakek tua renta tadi yang masih duduk diatas batu. Tidak mungkin kakek itu dimaki perayu mata keranjang yang meracuni hati wanita! Jadi, dialah yang dimaki! Makian mata keranjang bagi dia tidak menjadi soal. Dia sudah terbiasa dengan itu, bahkan dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang oleh banyak tokoh persilatan. Akan tetapi, sekali ini dia penasaran. Dia tidak merasa mengganggu dan merayu wanita, kenapa si buruk rupa ini datang-datang memakinya ? Ketika dia bertemu dengan isteri si buruk rupa itu, diapun tidak merayunya walaupun dia sempat bercakap-cakap sejenak. "Heii, saudara yang baik. Siapakah yang engkau maki-maki itu?" tanya Hay Hay sambil melangkah maju. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Masih pura-pura bertanya lagi?" "Ehh? Apa salahku?" "Manusia ceriwis, mata keranjang! Engkau telah menggoda isteriku, merayu isteriku dan meracuni hatinya!" "Bohong! Aku tidak melakukan hal itu. Kami hanya bercakap-cakap biasa saja!" bantah Hay Hay. Dalam keadaan biasa, tuduhan seperti itu tentu hanya akan dihadapi dengan sikap main-main. Akan tetapi, sekarang disitu terdapat kakek tua renta yang baru saja memberi penerangan pada batinnya. Dia merasa malu mendengar tuduhan itu yang dilakukan di depan kakek tua renta yang arif bijaksana itu! "Engkau masih hendak membantah! Begitu isteriku bertemu denganmu, ia telah sama sekali berubah! Ia tidak lagi mau melayaniku dengan manis budi, ia selalu cemberut, marah-marah dan setiap kali membicarakan engkau matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri dan ia mengatakan bahwa engkau amat menarik hatinya, menimbulkan kegembiraan hatinya dan sebagainya lagi. Huh, tentu engkau telah mempergunakan ilmu hitam guna-guna untuk merayu dan menjatuhkan hatinya." “Tidak sama sekali! Bohong itu ….!” kata Hay Hay, akan tetapi laki-laki pendek muka hitam yang amat cemburu itu, sudah memasang tiga batang anak panah pada busurnya. "Engkau mampuslah!" bentak laki-laki itu dan sekali menarik busur dan melepaskan tali busurnya, tiga batang anak panah itu meluncur dengan amat cepatnya ke arah tubuh Hay Hay. Hay Hay tahu bahwa laki-laki itu memiliki tenaga besar. Pernah dia mendemonstrasikan tenaganya ketika mereka saling bertemu. Laki-laki itu menekankan jari-jari tangannya, pada batu dan telapak tangannya meninggalkan bekas sedalam dua sentimeter pada batu itu! Maka, kini serangan anak panah itu tentu saja mengandung tenaga yang hebat, melihat cepatnya tiga batang anak panah itu menyambar seperti kilat cepatnya. Namun, tidak terlalu cepat bagi Hay Hay! Dengan mudah saja, Hay Hay meloncat ke kiri dan bahkan masih sempat menendang ke arah anak panah yang menyambar tadi sehingga dua batang diantaranya terlempar ke atas. "Auhhhh .....!" terdengar keluhan lirih dan ketika Hay Hay menengok matanya terbelalak. Ternyata, tanpa diketahuinya, kakek tua renta yang tadi duduk di atas batu, telah turun dari batu dan agaknya melangkah menghampirinya. Oleh karena itu, ketika sebatang diantara anak panah yang menyambarnya tadi luput, anak panah itu meluncur terus dan tahu-tahu kini menancap dada kakek tua renta itu! Kakek itu mengeluh lirih dan terjengkang, roboh telentang di atas tanah! Bukan hanya Hay Hay yang terbelalak dan terkejut. Juga laki-laki pendek muka buruk yang melepas anak panah, terbelalak dan berseru, "Ya Tuhan .....!" dan dia sudah berlari menghampiri kakek itu dan berlutut di dekatnya. Muka yang hitam itu nampak kelabu, tanda bahwa dia pucat sekali melihat betapa anak panahnya menembusi dada sampai ke punggung! "Duhai…… kakek..... ah, aku tidak sengaja……. aih, kenapa begini jadinya? Kakek……. aku menyesal sekali, aku mohon ampun, Kek……." Laki-laki muka buruk yang tadi marah-marah, kini menangis dan merintih minta ampun kepada kakek itu. Hay Hay menghampiri dan sekali lihat saja diapun tahu bahwa tidak mungkin sama sekali mengobati kakek itu yang dadanya sudah tertembus anak panah! Diapun berlutut dengan prihatin sekali. Kakek itu tersenyum! Senyum yang ikhlas dan tenang. Dengan matanya yang masih bersinar, dia memandang kepada laki-laki muka buruk itu dan berkata lemah. "Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Aku…. aku maafkan engkau……" Hay Hay merasa terharu bukan main. Selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan orang seperti kakek ini. Begitu lemah lembut, begitu arif bijaksana, begitu sabar dan begitu pasrah kepada kekuasaan Tuhan! “Kek…..” panggilnya lirih sambil mendekat. Kakek itu menoleh kepadanya. "Kau, orang muda. Kau….. tolong ambilkan segulung tulisan yang berada disaku jubahku sebelah kiri……" Dia bergerak lemah. Hay Hay segera memenuhi permintaannya dan benar saja, disaku jubah sebelah kiri dia menemukan segulung kertas berisi tulisan huruf-huruf yang indah halus. Ujung gulungan kertas itu sudah bernoda darah. "Orang muda, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir…..?” kata pula kakek itu. Si muka buruk cepat berkata, "Kakek, serahkan tugas itu kepadaku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi pesanmu untuk menebus dosaku kepadamu, Kek!" Kakek itu menoleh kepadanya dan tersenyum. "Asal engkau tidak lagi pencemburu dan pemarah, dosamu akan tertebus." Lalu dia memandang lagi kepada Hay Hay. "Kau simpanlah gulungan kertas ini, dan kelak……. kalau ada kesempatan atau kalau kebetulan engkau lewat di Nan-king kau berikan kertas-kertas ini kepada seorang diantara dua menteri bijaksana, yaitu Menteri Yang atau Menterj Cang……” suara kakek itu melemah, lehemya terkulai dan diapun menghembuskan napas terakhir. "Kakek……!" Pemuda pendek itu menangis menggerung-gerung seperti anak kecil. "Ampuni aku, Kek……! Aku tidak sengaja membunuhmu……, ampuni aku…….” Hay Hay bangkit berdiri dan menyimpan gulungan kertas ke dalam saku bajunya sebelah dalam. Kemudian dia memandang kepada laki-laki yang masih berlutut dan menangisi kematian kakek itu. "Hemm, apa gunanya kau tangisi lagi? Menangispun tidak akan menghidupkannya kembali, juga tidak akan dapat mencuci darah dari anak panahmu itu!" Mendengar ini, laki-laki itu makin mengguguk. Tiba-tiba dia meloncat dan menghadapi Hay Hay dengan air mata masih berlinang. Telunjuk kirinya menudmg ke arah muka Hay Hay. "Kau……! Kaulah biang keladinya sehingga aku membunuh kakek yang sama sekali tidak kukenal dan tidak bersalah ini! Engkau yang mula-mula meracuni isteriku, membuat aku marah. Kemudian, ketika aku menyerangmu, kembali engkaulah yang mengelak sehingga anak panahku mengenai kakek ini!".....
Jilid 11
Hay Hay rnerasa betapa perutnya menjadi panas. Orang ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya. Kalau hanya dia dituduh mata keranjang dan merayu isterinya, hal itu dapat dia hadapi sambil main-main. Akan tetapi sekali ini lain. Cemburu yang tak berdasar dari orang ini telah menjadi sebab kematian kakek yang arif bijaksana dan luhur budi itu! Diapun mulai marah. "Hemm, kalau menurut engkau, ketika engkau memanahku, aku harus menerima anak panahmu itu tanpa mengelak agar dadaku ditembus dan aku mati konyol, begitukah? Engkau sungguh seorang yang tolol, kepala batu, pencemburu besar. Sungguh mati, aku heran sekali mengapa isterimu dapat mencinta seorang laki-laki tolol macam engkau!" Laki-laki cebol yang mukanya buruk itu melototkan matanya yang sipit dan hidungnya yang besar itu berkembang, mengamangkan busurnya yang terbuat dari baja dan menghardik. "Mata keranjang busuk! Sebelum bertemu denganmu, isteriku amat sayang kepadaku, akan tetapi sekarang ia berubah, pemarah dan sikapnya tidak manis lagi. Engkau tentu telah mengguna-gunainya! Sekarang, engkau pula yang menyebabkan aku membunuh kakek tidak berdosa ini, maka kalau tadinya aku hanya hendak membunuhmu, sekarang aku harus membunuhmu dua kali!" Setelah berkata demikian, dia menerjang dengan busurnya dan terdengar suara berdesing saking kuat dan cepatnya busur itu dia gerakkan. "Singgg…..!" Busur itu menyambar ke arah kepala Hay Hay yang bergerak mundur dengan tenang sehingga busur itu menyambar tempat kosong. Kini si pendek itu menyusul, menendang ke arah pusar. Kembali Hay Hay mengelak ke samping, dan sekali ini kakinya mencuat, tepat menendang pinggir sambungan lutut kanan lawan dan si pendek itupun terpelanting. Akan tetapi dia meloncat bangun kembali dan menjadi semakin marah. "Engkau mata keranjang, engkau jai-hwa-cat (penjahat cabul), kubunuh engkau!" teriaknya dan dia menyerang kalang-kabut dengan penuh kebencian. Sebetulnya Hay Hay juga marah sekali karena orang ini telah membunuh kakek bijaksana, walaupun dia tahu tidak sengaja. Akan tetapi dia teringat akan isteri si pendek ini, wanita yang manis budi dan lincah jenaka, dan diapun merasa kasihan kepada si pendek ini. Betapa sengsaranya si buruk rupa ini memiliki isteri secantik itu. Tentu selalu tersiksa hatinya oleh cemburu karena merasa rendah diri, merasa bahwa isterinya terlalu cantik baginya, tidak sepadan. Dia dapat membayangkan betapa si buruk rupa ini setiap saat akan dibakar cemburu, setiap kali isterinya bicara dengan pria lain, bahkan setiap kali isterinya dipandang pria lain! Dan semakin besar cemburu dan pemarahnya, isterinya tentu akan semakin berani bersikap genit dan manis kepada pria lain, walaupun hal itu hanya dilakukan untuk memancing cemburu suaminya! Dengan tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, beberapa kali Hay Hay merobohkan lawan tanpa melukainya. Si cebol buruk rupa itu diam-diam terkejut dan kagum sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda yang dianggapnya penjahat cabul mata keranjang dan yang akan dibunuhnya itu sedemikian lihainya sehingga busurnya tak pernah dapat menyentuhnya, bahkan sebaliknya berulang kali dia roboh, walaupun tidak sampai terluka parah. Namun, teringat akan isterinya yang disangkanya tergila-gila kepada pemuda itu, setiap kali roboh, dia bangun kembali dan menyerang lebih dahsyat! Hay Hay merasa jengkel juga akan kekerasan hati lawannya. Sungguh tak tahu diri. Seharusnya orang itu tahu bahwa dia telah bersikap lunak dan tidak melukainya, kenapa masih nekat terus menyerang seperti babi buta? Diam-diam Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya, kemudian membentak dengan suara nyaring. "Heh, cebol pemarah, lihat isterimu datang! Engkau masih berani marah-marah?" Si cebol terkejut dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Ketika dia memandang lagi kepada lawan, dia terbelalak. Kiranya yang berada di depannya adalah isterinya, dan pemuda tadi sudah lenyap entah kemana? Seketika tubuhnya menjadi lemas dan busur itu terlepas dari tangannya. Dia memandang isterinya dengan bingung dan mulutnya hanya mampu berkata heran. "Kau……, kau…… disini……?” Dia tadi meninggakan isterinya tanpa memberitahu kemana. Siapa tahu isterinya telah menyusul. Isterinya yang cantik itu lalu mengambil busur yang dilepaskannya tadi. Wajahnya cemberut marah. "Engkau ini suami tolol, selalu cemburuan dan marah-marah, sungguh menyebalkan hatiku!” Dan isteri yang cantik itu lalu memukul-mukulkan gendewa itu kepada suami! "Plak! Plak! Plakk!” Si cebol berusaha menangkis dan mengelak, sama sekali tidak berani melawan walaupun dia tahu isterinya tidak pandai silat. Akan tetapi sungguh mengejutkan hatinya. Biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja gendewa itu mengenai tubuhnya, di kepala, di pundak, di punggung, paha dan mendatangkan rasa nyeri yang cukup membuat dia berteriak-teriak. "Sudah……! Sudahlah…..! Aku mengaku bersalah maafkan aku……!" teriaknya sambi1 berusaha melindungi kepalanya. Akan tetapi isterinya terus saja memukulnya sampai dia babak belur. "Aku isterimu yang selalu setia, akan tetapi engkau menuduh yang bukan-bukan! Bersumpahlah engkau bahwa engkau tidak akan menuduhku lagi!" "Aku bersumpah……… aku bersumpah…….!" Laki-laki cebol itu berkata. Tiba-tiba, setelah pemukulan dengan busur itu dihentikan, terdengar suara ketawa bergelak dan ketika suami itu mengangkat muka memandang, isterinya sudah lenyap dan di depannya berdiri pemuda tadi yang melemparkan busur ke depan kakmya! "Ehhh……? Bagaimana ini? Dimana isteriku ..... ?” Dia menjadi bingung sekali, melupakan semua rasa nyeri di tubuhnya yang babak belur dan dia memandang ke sekeliling mencari-cari isterinya. Hay Hay menghentikan tawanya. "Isterirnu tidak pernah berada disini, kenapa engkau mencari-carinya?" "Tapi….. tapi tadi ia marah-marah dan memukul aku…..!” "Tentu saja, karena engkau bersalah. Ia muncul dalam angan-anganmu untuk menghukummu dan menyadarkanmu." Laki-laki itu kini memandang kepada Hay Hay dengan bengong. "Jadi…… engkaukah tadi? Engkau menggunakan sihir! Orang muda, siapakah engkau ini? Pendekar dari mana dan siapa namamu, dari perguruan mana?” Dia mulai merasa kagum dan juga gentar . "Aku hanya ingin menyadarkanmu dari kesalahanmu, Toa-ko (kakak). Isterimu seorang wanita yang hebat, cantik manis, lincah jenaka dan mencintamu. Akan tetapi engkau akan merusaknya dengan cemburumu yang tidak ketulungan itu! Tentang diriku, namaku bukan hal penting bagimu. Bukankah engkau telah memberi nama Mata Keranjang kepadaku? Nah, julukan itu baik sekali, katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi aku bukanlah jai-hwa-cat! Aku tahu, isterimu itu amat baik dan amat sayang kepadamu. Kalau engkau melanjutkan sikapmu yang mempunyai cemburu yang berlebihan, sekali waktu mungkin saja ia akan berubah dan akan benar-benar memilih pria lain!" Wajah itu menjadi pucat. "Aihhh…… aku telah bersalah……. aku tidak mau kehilangan isteriku, sama saja dengan kehilangan nyawaku…." "Hemm, kalau begitu, hilangkan atau kurangi cemburumu. Wanita memang ingin suaminya cemburu karena bagi wanita sikap cemburu suaminya itu membuktikan bahwa suaminya cinta kepadanya dan tidak ingin kehilangan dirinya. Akan tetapi, sikap cemburu itu jangan berlebihan karena ini menimbulkan anggapan bagi wanita bahwa suaminya tidak percaya kepadanya, dan hal itu berbahaya! Engkau harus memperlihatkan sikap melindungi, memiliki akan tetapi jangan mengekang dan membatasi. Engkau harus selalu memujinya, menyenangkan hatinya, bahkan memanjakannya akan tetapi jangan selalu menuruti keinginannya secara membuta sehingga engkau diperbudak olehnya. Engkau harus kelihatan kuat dan berkuasa, akan tetapi jangan menindas. Dengan demikian, isterimu akan selalu memujamu. Wanita ingin dipuji, ingin dimanja, ingin diperhatikan. Kalau engkau bersikap demikian, tentu engkau yang selalu dibayangkannya." Pria cebol itu bengong, lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Wah-wah-wah, orang muda, engkau benar-benar mencengangkan! Engkau bukan saja berkepandaian tinggi, lihai ilmu silatmu, juga pandai ilmu sihir, akan tetapi juga ahli dalam soal wanita! Aku mengerti sekarang mengapa isteriku kelihatan tertarik kepadamu, karena engkau pandai memuji dan menyenangkan hatinya. Engkau sungguh…… berbahaya bagi wanita-wanita!" Hay Hay tersenyum. "Jangan khawatir, kawan. Aku memang suka memuji kecantikan wanita, akan tetapi dalam pujian itu tidak terkandung pamrih ingin merayu dan menggoda, apalagi memilikinya. Aku selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi yang sudah bersuami. Nah, kembalilah kepada isterimu, aku akan mengubur jenazah kakek yang bijaksana ini." "Aku akan membantumu!" kata si cebol dan mereka lalu sibuk bekerja menggali lubang dan mengubur jenazah kakek yang hanya dikenal oleh Hay Hay sebagai kakek tak bernama itu. Setelah selesai dan memberi penghormatan terakhir kepada makam kakek itu, si cebol meninggalkan Hay Hay untuk kembali kepada isterinya dengan hati gembira karena telah memperoleh "bekal ilmu" dari Hay Hay untuk membahagiakan isterinya. Hay Hay sendiri lalu meninggalkan puncak bukit itu, menuju ke Nan-king. Tanpa disengaja, tanpa disangka, dia telah menerima tugas dari seorang kakek yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang amat dihormatinya, yaitu untuk mengantar segulung surat dan menyerahkan kepada seorang diantara dua menteri terkenal, yaitu Menteri Yang Ting Hoo atau Menteri Cang Ku Ceng. Jodoh si Mata Keranjang Jilid 52 Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) merupakan sebuah lembah yang amat indah pemandangannya, subur tanahnya dan sejuk nyaman udaranya di pegunungan Heng-tuan-san bagian timur. Lembah itu sendiri sunyi dan hanya ada sebuah pondok yang cukup besar disitu. Perkampungan penduduk yang tidak begitu besar berada disana-sini sekitar lembah, merupakan penduduk pegunungan yang bertani. Banyak buah-buahan dan bunga-bunga dihasilkan di tempat itu, oleh penduduk lalu dibawa turun ke kota dan dusun dibawah lembah dan itulah penghasilan penduduk pegunungan yang hidupnya bersahaja itu. Pondok besar yang berada di lembah itu menjadi tempat tinggal sepasang suami isteri yang bagi para penduduk di sekitarnya dianggap sebagai dua orang pertapa yang budiman karena seringkali membantu para penduduk dengan pengobatan. Akan tetapi, biarpun bertahun-tahun kedua orang tokoh itu bersembunyi atau setidaknya mengasingkan diri dari dunia ramai, para tokoh kang-ouw mengenal mereka sebagai dua orang yang sakti. Yang pria bernama siangkoan Ci Kang, berusia empat puluh tujuh tahun, sedangkan isterinya yang berusia empat puluh enam tahun bernama Toan Hui Cu. Siangkoan Ci Kang adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan berwibawa. Pakaiannya sederhana longgar, seperti pakaian pendeta, dan yang menarik adalah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Pria ini sejak kecil terbiasa dengan kehidupan yang keras, karena mendiang ayahnya adalah seorang datuk di dunia kang-ouw yang ditakuti, berjuluk Si Iblis Buta dan disebut Siangkoan Lojin. Biarpun lengan kirinya buntung, namun Siangkoan Ci Kang memiliki kepandaian tinggi. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu tongkat dari mendiang ayahnya yang buta, akan tetapi dia juga murid Ciu-sian Lokai dan telah mewarisi kitab ilmu yang sakti, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut yang tangguh. Selain itu, bersama isterinya yang sama saktinya dia telah menciptakan sebuah ilmu silat di lembah itu, yang mereka beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Isterinya juga seorang wanita sakti. Ayah dan ibu dari Toan Hui Cu lebih terkenal lagi karena mereka adalah suami isteri datuk besar dunia sesat yang berjuluk Raja Iblis dan Ratu Iblis! Toan Hui Cu mewarisi ilmu-ilmu yang aneh dari mendiang ayah ibunya, Juga bersama suaminya ia mewarisi ilmu Kwan Im Sin-kun. Ia seorang wanita yang dalam usia empat puluh enam tahun masih nampak cantik dan anggun seperti wanita bangsawan, walaupun latihan ilmu sesat orang tuanya membuat wajahnya agak kepucatan. Mereka mempunyai seorang anak saja, bernama Siangkoan Bi Lian yang kini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Juga baru-baru ini mereka menerima seorang murid bernama Tan Hok Sen seorang bekas perwira di kota raja yang sebelumnya telah memiliki kepandaian cukup tangguh. Tan Hok Seng ini ternyata kemudian bernama Tang Gun, seorang perwira yang melakukan penyelewengan, putera kandung mendiang penjahat cabul besar Ang-hong-cu. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu akan hal itu, bahkan mereka mengijinkan puteri mereka untuk menemani suhengnya itu ke kota raja. Dan kini, beberapa bulan kemudian, puteri mereka itu pulang, bukan bersama Tan Hok Seng, melainkan bersama Pek Han Siong murid mereka yang pertama dan ditemani pula oleh Pek Hong, ketua Pek-sim-pang atau ayah Pek Han Siong, dan Pek Ki Bu, kakek dari Pek Han Siong. Tentu saja, suami isteri penghuni Lembah Ayam Emas itu menjadi girang dan juga heran melihat puterinya pulang bersama murid pertama mereka, ditemani ayah dan kakek murid itu. Mereka menyambut dengan gembira dan setelah diperkenalkan kepada ayah dan kakek murid mereka, suami isteri itu mempersilakan mereka semua memasuki ruangan dalam dan mereka duduk dalam suasana akrab dan gembira. Toan Hui Cu yang diam-diam merasa girang sekali melihat betapa puterinya nampak demikian akrab dengan muridnya dan ia dapat melihat kasih sayang dalam sinar mata mereka kalau saling pandang, segera berkata dengan lantang. "Aihhh, kepulanganmu sekali ini sungguh membuat kami menjadi bingung dan kaget, biarpun juga amat bergembira, Bi Lian. Sebelum engkau ceritakan hal-hal lain, jawab dulu pertanyaanku. Dimana suhengmu Tan Hok Seng?" Gadis itu memandang kepada ibunya, menoleh kepada Han Siong yang juga suhengnya, memandang lagi kepada ibunya dan ayahnya, dan tersenyum. Gadis ini memang manis sekali. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya panjang hitam dan saat itu rambutnya dikucir panjang sampai ke pinggul. Matanya tajam, hidungnya mancung kecil dan mulutnya merah basah. Bentuk wajahnya bulat telur dan semua kecantikan itu bertambah manis dengan adanya tahi lalat di dagunya. Gadis ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, akan tetapi ketika remaja, ia pernah menjadi murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-heh-kwi, dua diantara Empat Setan, datuk-datuk yang amat lihai dari golongan sesat. "Ibu dan Ayah. Ketika kami berangkat, akupun percaya sepenuhnya kepada orang yang mengaku bernama Tan Hok Seng dan berhasil menjadi suhengku, bahkan mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibu. Akan tetapi ternyata kita telah kebobolan Ibu!" "Kebobolan? Apa maksudmu?" tanya ibunya dengan heran. "Dia tidak bernama Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun dan dia adalah seorang jahat, perwira yang menyeleweng dan menjadi buruan pemerintah. Dia bahkan kemudian diketahui sebagai putera penjahat besar Ang-hong-cu!" "Ahhh......!" Suami isteri yang sakti itu terkejut bukan main mendengar keterangan puteri mereka itu. Mereka telah menerima seorang jahat menjadi murid! "Akan tetapi jangan khawatir, si jahat Tang Gun itu bersama ayahnya dan sekutunya telah dapat ditumpas dan dihancurkan. Tang Gun yang kita kenal sebagai Tan Hok Seng itupun telah tewas. Aku bertemu dengan suheng Pek Han Siong dan para pendekar lainnya, bekerja sama dan menumpas para penjahat itu." Suami isteri itu mengangguk-angguk dan merasa lega. Biarpun mereka telah kebobolan dan mengambil murid seorang penjahat, akan tetapi penjahat itu telah tewas. Mereka memandang kepada murid mereka, Pek Han Siong dan Siangkoan Ci Kang bertanya. "Dan bagaimana pula sekarang Bi Lian dapat pulang bersama engkau, Han Siong? Dan ditemani pula oleh ayahmu dan kakekmu yang terhormat ini?" Pemuda itu mengangkat muka memandang kepada suhunya dengan warna muka berubah agak kemerahan. Pemuda ini memiliki kulit muka yang putih, maka kini nampak sekali perubahan warna itu. Alisnya yang tebal agak berkerut, matanya yang agak sipit itu ditundukkan. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan juga memiliki kekuatan sihir dan tak pernah merasa gentar menghadapi apapun. Namun kini, menghadapi pertanyaan suhunya itu, dia merasa bingung dan malu. Dia memandang kepada ayahnya dan kakeknya, seperti minta bantuan dari mereka. "Suhu dan Subo, seperti diceritakan sumoi tadi, kami bertemu ketika bersama para pendekar kami, menghadapi Ang-hong-cu dan dua orang anaknya yang jahat. Kemudian…… sumoi dan teecu (murid) pergi ke Kong-goan, menghadap ayah teecu dan…… dan sekarang ayah dan kakek teecu ikut kesini untuk menghadap Suhu dan Subo dan untuk…… untuk bicara…… " Han Siong tidak dapat melanjutkan, hanya memandang kepada ayahnya dan kakeknya dengan sikap tidak berdaya dan menyerah! Siangkoan Ci Kang dan isterinya tentu saja sudah dapat menduga apa maksud kunjungan keluarga murid mereka itu, dan melihat kecanggungan murid mereka, mereka hanya tersenyum saja. Melihat keadaan puteranya, Pek Kong ketua Pek-sim-pang lalu bangkit dan memberi hormat kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. "Sebelumnya harap ji-wi (anda berdua) suka memaafkan kami kalau kami dianggap lancang. Akan tetapi atas desakan putera kami dan juga nona Siangkoan Bi Lian, maka kami terpaksa memberanikan diri untuk datang menghadap ji-wi. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk memenuhi permintaan putera kami, yaitu untuk mengajukan pinangan atas diri nona Siangkoan Bi Lian." Mendengar ucapan yang penuh sopan santun itu, dan sikap Pek Kong yang nampak sungkan, suami isteri itu saling pandang lalu mereka berdua tertawa dengan gembira. "Ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh terdengarnya, Saudara Pek." kata Siangkoan Ci Kang. "Sebelum Saudara datang hari ini, kami yang lebih dulu bertindak lancang. Ketahuilah bahwa telah lama sekali kami berdua menjodohkan murid kami dan puteri kami ini! Dan sekarang Saudara datang untuk mengajukan pinangan, tentu saja kami setuju sepenuhnya!" Mereka semua bergembira dan tidak seperti gadis-gadis lain, Bi Lian tidak menjadi malu-malu walaupun kedua pipinya berubah kemerahan. Ia tidak lari ke dalam dan ia bahkan melayani ketika orang tuanya menjamu tamu-tamu itu dengan hidangan yang dubuatnya sendiri bersama ibunya. Atas persetujuan kedua pihak, maka pernikahan antara Han Siong dan Bi Lian dilangsungkan dua bulan kemudian, di lembah itu. Perayaannya sederhana saja, dihadiri keluarga Pek yang terdiri dari belasan orang dan tamu yang diundang hanyalah penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Heng-tuan-san. Perayaan itu sungguh sederhana namun cukup meriah dan menggembirakan, dirayakan pada malam hari. Sebagai tuan rumah, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menerima para tamu dengan gembira dan mempersilakan para tamu untuk mengambil tempat duduk. Ketika pesta dimulai dan para tamu memberi selamat kepada sepasang mempelai sehingga suasana menjadi meriah gembira dan Siangkoan Ci Kang bersama isterinya yang mengira bahwa tentu sudah tidak ada tamu baru datang sudah duduk di dekat sepasang mempelai, muncullah dua orang berpakaian pertapa yang tentu saja membuat semua orang merasa heran. Juga Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu heran melihat datangnya dua orang tamu aneh itu, akan tetapi mereka cepat menuju ke depan untuk menyambut. Mereka adalah dua orang yang berjubah kuning, pakaian yang biasa dipakai para hwesio. Usia mereka enam puluh tahun lebih. Seorang diantara mereka bertubuh gendut dan kepalanya gundul, akan tetapi yang amat menyolok adalah warna kulitnya, yaitu hitam kehijauan! Bukan hanya warna kulit muka, melainkan juga kulit tangan dan leher, juga mungkin warna kulit seluruh tubuhnya. Matanya mencorong dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek kedua juga berpakaian jubah kuning, akan tetapi kepalanya tidak gundul, melainkan berambut putih yang tipis dan rambut itu digelung ke atas seperti kebiasaan seorang pertapa atau tosu. Orang kedua ini bertubuh tinggi kurus dan mukanya selalu muram dan mulutnya cemberut. Siangkoan Ci Kang dan isterinya menyambut dengan sikap hormat, mengangkat tangan di depan dada dan Siangkoan Ci Kang berkata dengan lembut. "Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan ji-wi Suhu (guru berdua). Dapatkah kami mengetahui nama yang mulia ji-wi?" Dua orang kakek itu tidak membalas penghormatan tuan dan nyonya rumah, suatu hal yang sungguh membuat mereka yang melihat menjadi penasaran. Biasanya, para pendeta amatlah sopan dan halus budi, akan tetapi kenapa dua orang ini demikian tidak sopan? Bahkan kini yang gendut perutnya itu menyeringai dan bertanya, "Apakah engkau yang bernama Siangkoan Ci Kang?" Suaranya terdengar parau dan besar, seperti gerengan binatang buas. Sementara itu, yang kurus tinggi hanya memandang saja dengan mulut cemberut. Melihat sikap dua orang tamu itu tentu saja Siangkoan Ci Kang dan terutama sekali Toan Hui Cu merasa tak senang. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka adalah tuan rumah yang sedang merayakan pernikahan puteri mereka dan harus bersikap ramah terhadap semua tamu, Sioangkoan Ci Kang menahan perasaan hatinya dan diapun mengangguk. "Benar sekali, Lo-suhu. Aku adalah Siangkoan Ci Kang," katanya dan dia melihat betapa kakek gundul itu memandang ke arah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. "Omitobud …….! Bagus kalau begitu, tidak sia-sia perjalanan kita jauh-jauh kesini, Ban-tok (Selaksa Racun)!" kata si gendut kepada kawannya yang nampak semakin murung. "Sudah kukatakan, kita tentu berhasil. Akan tetapi mereka sedang merayakan pernikahan, sebaiknya lain kali saja kita datang lagi." kata si kurus tinggi. "Tidak enak mengganggu orang yang sedang berpesta, Hek-tok (Racun Hitam)!" Mendengar percakapan itu, Siangkoan Ci Kang segera berkata, "Marilah, jiwi Suhu, silakan masuk dan menjadi tamu kehormatan kami, menerima hidangan kami dan menambah doa restu untuk putri kami yang sedang melangsungkan pernikahannya." "Silakan, ji-wi Losuhu, " kata pula Toan Hui Cu dengan ramah walaupun di dalam hatinya, nyonya ini merasa penasaran sekali dengan sikap dua orang kakek itu yang aneh dan tidak sopan. Kakek gendut itu tertawa. "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian menjamu kami. Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang, kedatanganku kesini adalah untuk menangkapmu!" Tentu saja Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang duduk dekat pintu mendengar ini dan merekapun berbisik-bisik, sehingga bisikan itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke pintu. Demikian pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamanan pesta pernikahan itu. Dengan sikap tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu lalu berkata, "Lo-cian-pwe siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?" Biarpun kini di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, diantaranya sepasang mempelai dan keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan diapun bicara dengan lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa. "Siangkoan Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?" Pendekar yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan tegas. "Tentu saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio." "Omitohud …..! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!” Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong. Siangkoan Ci Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya. "Lo-cian-pwe, bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio, bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia telah meninggal dunia." "Heh-heh, kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio disana, kami mendengar tentang kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu……” "Akulah Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!" tiba-tiba Toan Hui Cu berkata dengan nada ketus. "Aha, kiranya keduanya berada disini dan menjadi suami isteri, ya? Omitohud, ini memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri, bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian harus menebus dosa!" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu. Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio. Mereka diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa. Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan dendam. Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan mengharuskan mereka "bertapa" di ruangan terpisah selama dua puluh tahun. Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat terhapus! Mereka berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka. Akan tetapi kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang sudah tua! "Lo-cian-pwe, kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?" "Omitohud ……..! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!" "Penasaran ……!" cerita silat online karya kho ping hoo Tiba-tiba kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan diapun menghampiri dua orang pendeta itu. Si gendut memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis. "Hem, siapapun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan celaka." "Hemm, hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku, Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?" "Akulah saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!" Tiba-tiba Pek Han Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu. Si gendut melemparkan senyumnya. "Dan siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin. "Benar. Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung kesana setelah suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan subo!" Siangkoan Ci Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur. "Biarlah kami yang akan menghadapi semua urusan ini," katanya. Lalu dia menghadapi dua orang pendeta itu dan berkata. "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami." "Sebut saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan? Ceng Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita dapat berhadapan." Siangkoan Bi Lian sejak tadi hanya mendengarkan saja, akan tetapi kini ia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut itu. "Kalian pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama, tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu iblis!" Bentakan Bi Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan. "Kalian mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang menghadapinya," katanya. "Benar, orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua orang iblis berjubah pendeta ini!" kata pula Toan Hui Cu dan dari ucapannya itu saja jelaslah bahwa nyonya ini juga sudah marah bukan main. Hanya Ci Kang yang tetap tenang. Kini dia menghadapi si gendut, lalu bertanya, "Ji-wi Lo-cianpwe, kami suami isteri tidak merasa bersalah, olen karena itu, kamipun menolak untuk menjadi tangkapan ji-wi dan tidak mau mengikuti ji-wi pergi. Nah, itulah keputusan kami dan terserah kepada ji-wi." Si gendut itu tertawa dan menoleh kepada si kurus. "Heh-heh-heh, Ban-tok, sudah kita duga bahwa mereka akan berani membantah dan melawan kita!" Si kurus nampak makin muram dan dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab, "Aihh, Hek-tok, sudahlah jangan ganggu mereka. Mereka sedang merayakan pernikahan anak mereka, kenapa diganggu? Sebaiknya kita pulang saja dan kita mengadakan sembahyangan besar untuk suhu Ceng Hok Hwesio." Agaknya pendeta kurus yang kepalanya berambut tipis itu berbeda pendapat dengan kakek gundul yang menjadi sutenya. Dia nampak malas dan tidak bergairah. "Heiii, Suheng Ban-tok! Apakah engkau takut melawan bocah berlengan buntung sebelah ini?" Mendengar ucapan itu, si tinggi kurus yang tadinya bermalas-malasan dan seperti orang mengantuk, seketika terbangun semangatnya dan dia memandang marah kepada sutenya, "Hek-tok, jangan seenak perut gendutmu saja engkau bicara! Aku takut? Biar orang tua dia ini, Si Iblis Buta bangkit dari kubur dan membantunya mengeroyokku, aku masih tidak takut!" "Kalau tidak takut, kenapa banyak cakap lagi? Bantulah aku untuk menangkap dia dan membawanya ke kuil untuk menerima hukuman. Ini merupakan tugas kita membalas budi mendiang Ceng Hok Hwesio!" kata si gendut. Mendengar ini, si tinggi kurus lalu melangkah maju menghadapi Siangkoan Ci Kang. Pendekar ini diam-diam terkejut. Kiranya dua orang aneh ini sudah menyelidiki secara mendalam tentang dirinya sehingga tahu pula bahwa dia adalah putera Si Iblis Buta. "Siangkoan Ci Kang, sebaiknya engkau menyerah saja dan ikut dengan kami ke kuil. Tidak ada gunanya engkau melawanku. Ingat, selama empat puluh tahun kami menggembleng diri dan memperdalam ilmu-ilmu kami. Engkau takkan menang, bahkan mungkin terluka parah kalau berani melawan aku!" kata si tinggi kurus dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita. "Pendeta siluman, kami akan menghajarmu!" Lima orang pimpinan Pek-sim-pang, yaitu para pembantu dari Pek Kong ketuanya, tiba-tiba saja menerjang maju. Mereka sebagai tamu-tamu dan pengiring pengantin pria, menjadi marah sekali melihat ada orang-orang yang membikin kacau, mengganggu perayaan pernikahan itu. Mereka merasa tidak enak sekali kalau berdiam diri saja, maka melihat pendeta gendut yang seolah-olah menjadi biang keladinya karena si kurus tadi kelihatan enggan berkelahi, kini menerjang ke arah si gendut dengan serentak. Mereka tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan pukulan dan tamparan. Akan tetapi karena mereka adalah tokoh-tokoh Pek-sim-pang yang tinggi tingkatnya, yaitu pembantu-pembantu ketua, maka serangan mereka itu cukup dahsyat, apalagi mereka menyerang dengan berbareng sambil mengerahkan tenaga. Siangkoan Ci Kang terkejut, akan tetapi tidak sempat lagi untuk mencegah karena serbuan lima orang Pek-sim-pang itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Bahkan Pek Ki Bu dan Pek Kong sendiripun tidak mengira sehingga merekapun hanya dapat memandang. Mereka semua menjadi semakin kaget melihat betapa kakek gendut itu masih menyeringai saja, sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak ataupun menangkis. Maka tentu saja pukulan lima orang Pek-sim-pang itu mengenai sasaran dengan tepat dan terdengar lah suara bak-bik-buk seperti orang-orang memukuli sekarung pasir ketika pukulan-pukulan itu mengenai sasaran, yaitu di perut, punggung, dada, lambung dan leher kakek gendut itu. Akibatnya ternyata lebih mengejutkan lagi. Kakek gendut itu masih nampak berdiri sambil menyeringai, bahkan kini terdengar suara tawanya, sebaliknya lima orang yang berhasil menyarangkan pukulan mereka ke sasaran itu, terjengkang atau terpelanting roboh, berkelojotan dan segera terdiam kaku, mati dengan tubuh berubah menghitam seperti kulit kakek gendut itu! Siangkoan Ci Kang terkejut bukan main. Kiranya si gendut hitam itu merupakan orang yang memiliki tubuh yang beracun, luar biasa sekali betapa pukulan itu diterimanya begitu saja dan yang memukul sudah keracunan! Ini merupakan ilmu sesat yang amat jahat dan kejam, padahal pukulan lima orang itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat! "Jangan sentuh……!” Han Siong berseru ketika melihat ayah dan kakeknya meloncat ke dekat mayat-mayat itu. Untung dia mengeluarkan seruan ini karena orang yang menyentuh mayat-mayat itu terancam bahaya keracunan, setidaknya keracunan kulitnya. "Ha-ha-ha, jangan salahkan pinceng (aku). Mereka itu menyerangku, dan mereka mati karena perbuatan sendiri. Memang sudah takdirnya mereka mati." kata si gendut sambil tertawa-tawa. Wajah Siangkoan Ci Kang berubah. Kini dia marah sekali. Dalam pesta pernikahan puterinya terjadi bukan hanya pengacauan, akan tetapi juga pembunuhan walaupun dia juga melihat sendiri betapa lima orang tamu itu tadi menyerang si kakek gendut yang sama sekali tidak menangkis atau balas menyerang. Bagaimanapun juga, lima orang itu adalah tamu-tamunya, bahkan tamu kehormatan karena mereka adalah pengikut-pengikut mempelai pria, tokoh-tokoh Pek-sim-pang. Dialah yang bertanggung jawab, sebagai tuan rumah. "Kalian adalah orang-orang tua, pendeta-pendeta yang tidak patut dihormati. Kalian iblis-iblis jahat!" bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Akan tetapi sebelum pendekar ini menyerang si gendut yang telah membunuh lima orang Pek-sim-pang, si kurus sudah menyambutnya dengan sambaran tangan ke arah leher. Sambaran tangan yang kurus panjang itu nampaknya tidak bertenaga, akan tetapi nampak sinar hitam dari telapak tangan itu dan tahulah Ci Kang bahwa si tinggi kurus inipun mempunyai pukulan beracun, apalagi kalau diingat bahwa Julukannyapun Ban-tok Sian-su (Dewa Selaksa Racun)! Dia mengelak dengan menarik tubuh atas ke samping, lalu dari samping, tangannya menyambar dengan totokan ke arah lambung. Ban-tok Sian-su dapat mengelak dengan mudah dan membalas lagi, kini kedua orang sakti itu saling serang dengan dahsyatnya. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut dan kalau mengenai sasaran, tentu akan mematikan. Karena maklum sepenuhnya bahwa lawannya menggunakan hawa beracun yang amat berbahaya, maka Siangkoan Ci Kang selalu mengandalkan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari setiap serangan, tidak mau menangkis. Juga setiap kali menyerang, dia melindungi jari tangannya dengan sin-kang untuk menolak hawa beracun kalau sampai serangannya mengenai tubuh lawan, atau kalau lengannya beradu dengan lengan lawan yang menangkis. Dari setiap kali adu lengan, pendekar inipun maklum bahwa lawannya benar-benar lihai, memiliki sinkang yang amat kuat, setidaknya tidak kalah kuat olehnya. Puluhan jurus lewat dan mereka sama kuat akan tetapi Toan Hui Cu maklum bahwa suaminya terdesak dan ia tahu pula mengapa demikian. Suaminya tidak berani menangkis langsung dan selalu mengelak. Hal ini tentu saja mengurangi kesempatan baginya untuk memperbanyak serangannya dan terdesak lawan. Untuk menghadapi lawan yang ahli racun itu, memang berbahaya sekali menggunakan tangan kosong. Maka, nyonya ini lalu minta pedang Kwan-im-kiam dari Han Siong dan ia melemparkan pedang itu kepada suaminya sambi! berseru. "Membunuh ular beracun harus dengan senjata. Terimalah ini!" Ci Kang maklum akan maksud isterinya, maka diapun meloncat ke belakang menyambar pedang yang pada saat itu dilontarkan isterinya dengan penuh perhitungan. Setelah pedang Kwan-im-kiam berada di tangan kanannya, Ci Kang meloncat turun menghadapi lawannya. Dia adalah seorang gagah yang berjiwa pendekar, maka dia tidak segera menyerang, melainkan berkata dengan sikap gagah. "Ban-tok Sian-su, keluarkan senjata- mu!" Si tinggi kurus itu mewek-mewek seperti mau menangis, padahal maksud hatinya ingin tersenyum mengejek! Memang orang ini tidak bisa menggerakkan mulut untuk tertawa. Kedua ujung mulutnya selalu bergerak ke bawah, tidak dapat ke atas. "Siangkoan Ci Kang, aku tak pernah menggunakan senjata. Menghadapi seorang muda seperti engkau, apa perlunya bersenjata? Majulah!" "Lihat pedangku!" Ci Kang membentak dan diapun mulai menyerang. Kakek tinggi kurus itu mengelak dan menyampok pedang dari samping dengan tangannya! Kakek itu memang lihai sekali. Kedua lengan dan tangannya agaknya memiliki kekebalan sehingga berani menyampok pedang pusaka dari samping. Biarpun tidak langsung menangkis mata pedang, namun sampokan ini saja sudah membuktikan bahwa lengannya kebal. Kembali mereka saling serang dengan seru, bahkan lebih hebat daripada tadi. Setelah memegang Kwan-im-kiam, Siang-koan Ci-Kang bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Dia memang bersama isterinya telah mewarisi ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut yang dahsyat, apalagi ilmu itu dimainkan dengan Kwan-im-kiam, maka pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Indah namun berbahaya, lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat bukan main. Ilmu itu seperti menggambarkan sifat Dewi Kwan Im. Lemah lembut, luhur budi, namun mengandung kesaktian yang sukar dilawan! Bahkan seorang sakti seperti Ban-tok Sian-su menjadi terkejut dan mulailah dia terdesak. Si gendut Hek-tok Sian-su yang menjadi penonton di pinggir, memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya lupa tersenyum. Hampir dia tidak percaya. Bagaimana mungkin suhengnya yang sudah menguasai ilmu yang amat hebat itu sampai terdesak oleh lawan yang lengannya buntung sebelah itu? Tadinya dia dan suhengnya amat memandang rendah kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengingat mereka hanyalah murid-murid Ceng Hok Hwesio yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah mereka. Akan tetapi, diluar dugaannya Ci Kang bukan saja mampu menandingi Ban-tok Sian-su, bahkan mampu mendesaknya dan membuat suhengnya itu kini terancam bahaya. Tentu saja dia merasa gelisah! Dia ingin sekali membantu suhengnya yang kini terancam oleh gulungan sinar yang lembut namun amat kuat itu. Akan tetapi, dia bukanlah seorang bodoh yang sombong begitu saja. Dia dapat melihat kenyataan, dapat mengenal keadaannya dan mempertimbangkannya, menghitungnya masak-masak. Kalau dia membantu suhengnya, hal itu bukan menguntungkan fihaknya, bahkan sama dengan melempar dirinya sendiri ke dalam bahaya. Disitu terdapat Toan Hui Cu yang kabarnya tidak kalah lihainya dibandingkan Ci Kang, apalagi mengingat bahwa wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Raja Iblis dan Ratu Iblis. Dan disitu masih terdapat pula sepasang mempelai, yaitu puteri dan murid suami isteri itu, yang tentu juga lihai, di samping adanya orang-orang Pek-sim-pang. Tidak, kalau dia main keroyokan, dia dan suhengnya akan celaka! Maka, dia menahan diri dan hanya menjadi penonton, dengan hati berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan. Kekhawatiran Hek-tok Sian-su memang beralasan. Pada waktu itu, pertandingan itu sejak dimulai sampai sekarang telah berlangsung seratus jurus lebih dan kini Ban-tok Sian-su sudah terdesak hebat. Beberapa kali dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu kedua tangan yang didorongkan ke depan mengeluarkan uap hitam yang berbau busuk, tanda bahwa uap itu beracun dan jahat sekali. Namun, gulungan sinar pedang itu menghalau uap hitam dan melihat ini Toan Hui Cu, Pek Han Siang, dan Siangkoan Bi Lian yang mempunyai kepandaian tinggi sudah memperingatkan para tamu untuk menyingkir, menjauhi tempat perkelahian itu karena mereka maklum bahwa uap hitam itu amat berbahaya kalau tersedot atau tersentuh para tamu. Biarpun Ban-tok Sian-su telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang aneh-aneh dan jahat, namun ilmu pedang itu dapat menghalau semua serangan, bahkan gulungan sinar pedang itu mengurungnya dan membuat Ban-tok Sian-su menjadi sibuk sekali untuk mengelak dan menangkis, bahkan akhirnya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Beberapa kali dicobanya pula untuk menggunakan ilmu sihir dan beberapa kali Ci Kang terhuyung, terkena pengaruh sihir yang amat kuat walaupun dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Akan tetapi, Han Siong yang melihat ini, segera diam-diam membantu suhu dan juga ayah mertuanya, dengan kekuatan sihirnya, dia memunahkan daya sihir kakek kurus sehingga Ci Kang tidak terpengaruh lagi. Kakek kurus itu tidak tahu bahwa pemuda mempelai pria itu yang menolak sihirnya, yang terasa olehnya hanya betapa kekuatan sihirnya membalik seperti seekor anjing pemburu yang lari kembali kepada majikannya dengan ekor ditekuk ke bawah! Tentu saja dia menjadi semakin panik dan karena itu gerakannya mengendur dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ci Kang. Dengan gerakan istimewa, setengah membalik dengan tubuh condong, pedangnya menyambar dan tahu-tahu telah menusuk dan menembus dada Ban-tok Sian-su. "Crappp.......!!" "Aughhh......!!" Ketika pedang dicabutnya cepat-cepat, kakek tinggi kurus itu roboh terjengkang, kedua tangannya mendekap dada dan darahpun bercucuran dari celah-celah jari tangannya. Ci Kang adalah seorang yang sudah lama mengundurkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri bersama isterinya, menjauhi dunia kang-ouw dan menjauhi kekerasan. Kini, melihat betapa pedangnya menembusi dada seorang lawan yang tadinya sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak ada urusan apapun antara mereka, menjadi terkejut dan menyesal bukan main. "Ah, maafkan aku " katanya dan diapun berlutut di dekat tubuh yang rebah terlentang itu. "Ayah, jangan !" teriak Bi Lian, dan Han Siong juga menubruk ke depan. Namun terlambat. Kedua tangan yang berlumuran darah dan yang tadi mendekap dada yang tertembus pedang, tiba-tiba menyambar ke depan. Biarpun Han Siong dapat mendorong tubuh suhunya ke samping, namun tetap saja tangan kiri Ban-tok Sian-su sempat menghantam dada kanan Ci Kang. “Plakk....!!" Ci Kang terjengkang, akan tetapi dapat segera bangkit kembali dan di bajunya bagian dada nampak tanda cap merah, yaitu bekas tangan Bantok Sian-su yang berlepotan darah. Dan tiba-tiba terjadi keanehan. Ban-tok Sian-su yang tadi hanya nampak cemberut dan mukanya muram dan masam, kini tiba-tiba tertawa bergelak-gelak. "Bak-tok....!" Kakek gendut menubruk dan merangkul suhengnya yang masih tertawa. Setelah suara tawa itu terhenti, kepala si tinggi kurus itu terkulai di pangkuan Hek-tok Sian-su dan diapun tewas! Dan terjadi keanehan kedua. Kakek gendut yang sejak tadi hanya tersenyum dan tertawa-tawa, kini merangkul mayat si tinggi kurus sambil menangis tersedu-sedu! Semua orang memandang dengan bengong. Sambi terus menangis, si gendut itu bangkit dan memondong mayat suhengnya. "Siangkoan Ci Kang, lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu. Sekarang aku hendak mengurus suhengku lebih dulu!" Dia lalu membalikkan tubuhnya. "Pendeta palsu, engkau hendak lari kemana?" bentak Toan Hui Cu yang sudah mengambil pedang Kwan-im-kiam dari tangan suaminya. "Tahan .....!" kata Ci Kang lemah. "biarkan dia pergi mengurus jenazah suhengnya." Dengah gemas Toan Hui Cu terpaksa mentaati suaminya, demikian pula Han Siong dan Bi Lian tidak berani melanggar, walaupun mereka berdua ingin pula untuk menahan dan membunuh kakek gendut yang berbahaya itu. Apalagi ketika mereka melihat Siangkoan Ci Kang terkulai lemas, dan dirangkul oleh Hui Cu. "Bagaimana keadaanmu......?" isteri itu bertanya khawatir. Han Siong dan Bi Lian mendekat dan mereka berdua terkejut bukan main melihat betapa kulit leher dan muka Siangkoan Ci Kang perlahan-lahan berubah menghitam! Keracunan! Tentu pukulan tadi mengandung racun yang amat hebat! "Keparat, pendeta busuk itu!" Bi Lian teringat dan ia sudah meloncat berdiri dan menoleh, akan tetapi pendeta gendut tadi sudah tidak nampak lagi bayangannya. "Aku harus mengejarnya. untuk minta obat penawar!" Han Siong memegang lengannya. "Nanti dulu, Lian-moi. Kita periksa dulu keadaan ayah" Han Siong lalu memondong tubuh suhunya yang kini menjadi ayah mertuanya itu kedalam, diikuti oleh Bi Lian dan Toan Hui Cu, sedangkan Pek Ki Bu dan Pek Kong, dibantu oleh beberapa orang, sibuk mengurus jenazah lima orang pimpinan Pek-sim-pang. Tentu saja perayaan itu menjadi bubar dan para tamu, orang-orang dusun, merasa ketakutan dan juga tahu diri. Mereka melihat betapa pihak tuan rumah mengalami kesulitan, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat perayaan, kembali ke dusun masing-masing. Sementara itu, Hui Cu, Bi Lian dan Han Siong memeriksa keadaan Siangkoan Ci Kang. Kalau saja pendekar ini tidak memiliki tubuh yang kuat dan penuh tenaga sin-kang, tentu dia sudah tewas. Pukulan tadi mengandung hawa beracun yang amat jahat, yang membuat kulit tubuhnya menjadi kehitaman! Sebagai ahli-ahli silat, Hui Cu, Bi Lian dan Han Si-ong mengerti tentang pengobatan, dan mereka sudah membantu Ci Kang dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir hawa beracun, juga memberi obat yang akan mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi semua usaha itu hanya dapat menahan menjalarnya racun, tidak dapat mengusir racun yang telah memasuki dada dan tidak menyembuhkan lukanya. Racun yang terkandung dalam pukulan Ban-tok Sian-su memang aneh dan luar biasa jahatnya. "Biar kukejar dan kucari pendeta iblis gendut itu, akan kupaksa dia menyerahkan obat penawarnya!" kata Bi Lian. "Jangan, Lian-moi. Hek Tok Siansu itu berbahaya, biar aku yang akan mengejarnya, sedangkan engkau pergilah mencari Hay Hay. Dia memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menyedot racun dan menjadi obat yang amat manjur. Engkau pinjamlah mustika itu darinya, dan aku sendiri yang akan mengejar Hek Tok Siansu." "Akan tetapi, kemana aku dapat mencarinya?" "Dia tentu pergi ke Cin-ling-san bersama Kui Hong. Carilah disana, andaikata tidak jumpapun tentu kau akan dapat mendengar kemana dia pergi." Karena amat mengkhawatirkan keadaan Ci Kang yang keadaannya parah itu, Han Siong dan Bi Lian segera berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Bahkan Han Siong sudah berangkat lebih dahulu melakukan pelacakan dan pengejaran terhadap Hek Tok Siansu yang pergi membawa jenazah Ban Tok Siansu. Sungguh menyedihkan. Sepasang pengantin yang tidak sempat berpengantinan, karena harus saling berpisah! Toan Hui Cu tinggal di rumah menjaga suaminya dengan hati penuh kegelisahan. Keluarga Pek juga segera kembali ke Kong-goan sambil membawa abu lima orang pimpinan Pek-sim-pang.....
Jilid 12
Karena melakukan perjalanan sambil melacak dan mencari keterangan tentang jejak Hek Tok Siansu, maka Han Siong terlambat tiba di kuil Siauw-lim-si itu. Andaikata dia tidak mengikuti jejak kakek gendut itu dan langsung saja pergi kesana, tentu dia tidak akan terlambat. Baru setelah dia kehilangan jejak kakek itu, dia teringat untuk mencari di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha di kaki pegunungan Heng-tuan-san, juga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mertuanya. Ketika akhirnya dia tiba di kuil itu, para hwesio masih ingat kepada Han Siong yang dahulu dikenal sebagai seorang sin-tong (bocah ajaib) dan mereka menyambut dengan gembira. Pemuda ini pernah menjadi kacung atau juga pelayan dan juga murid Ceng Hok Hwesio dan karena wataknya yang baik dan penurut, maka semua hwesio di kuil itu menyayangnya. Dari mereka inilah Han Siong mendengar keterangan yang lebih jelas. Ternyata bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu memang benar dahulu merupakan hwesio muda di kuil itu, setelah mereka itu sadar dari penyelewengannya menjadi penjahat-penjahat yang ditaklukkan oleh Ceng Hok Hwesio, kemudian menjadi hwesio dan menerima ajaran agama dari Ceng Hok Hwesio. Kemudian mereka berdua atas petunjuk Ceng Hok Hwesio melakukan perjalanan ke barat, ke Tibet dan India untuk memperdalam ilmu keagamaan mereka. Sebulan yang lalu, mereka datang sebagai dua orang pendeta yang aneh dan berilmu tinggi. Kedatangan mereka tepat pada hari kematian Ceng Hok Hwesio karena usia tua. Mereka bertanya tentang Ceng Hok Hwesio yang bertapa dan menghukum diri sendiri, dan mendengar tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui. Cu, mereka menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio adalah karena kesalahan suami isteri yang pernah dihukum di kuil itu "Mereka juga mengirim seorang diantara kami untuk menyelidiki dimana adanya seorang pendekar yang bernama Tang Hay atau Hay Hay, dan ketika kemarin dulu Hek Tok Siansu pulang, dia membawa jenazah Ban Tok Siansu, setelah jenazah itu diperabukan, dia lalu pergi ke kota raja untuk mencari Hay Hay karena menurut penyelidikan, pendekar itu mungkin sekali berada di kota raja.” Han Siong merasa kecewa sekali, juga merasa heran. Dia merasa kecewa karena kedatangannya terlambat, dan merasa heran mengapa Hek Tok Siansu mencari Hay Hay! Ada urusan apa pendeta hitam itu dengan Hay Hay? Ceng Sun Hwesio, yaitu hwesio yang kini menjadi kepala kuil disitu menggantikan Ceng Hok Hwesio yang telah wafat, melihat kekecewaan itu dan diapun berkata, “Omitohud, apakah engkau mencari obat penawar racun?” Han Siong kaget dan meloncat bangun, memberi hormat kepada hwesio tua itu dan berseru, “Bagaimana Losuhu dapat mengetahuinya? Memang benar, saya mencari Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar racun!” "Omitohud, betapa bijaksananya Hek Tok Siansu walaupun nama julukannya menyeramkan. Han Siong, sebelum beliau pergi, telah meninggalkan sebungkus obat dan agaknya beliau telah tahu bahwa tentu engkau akan datang mengejarnya kesini. Beliau berpesan agar obat penawar itu diberikan kepadamu!" Hwesio tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan menyerahkannya kepada Han Siong. Dengan heran dan ragu, akan tetapi penuh harapan, pemuda itu menerima bungkusan dan dengan hati-hati membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat bubuk putih. "Losuhu, apakah Hek Tok Siansu tidak meninggalkan pesan mengenai obat penawar racun ini?" "Ada……. ada! Beliau berpesan agar obat ini diminumkan sekaligus sampai habis, dan katanya bahwa Siangkoan Ci Kang harus bertapa disini sampai mati. Kalau dia tidak datang sendiri, kelak beliau akan menjumpainya. Nah, hanya itulah pesannya." Han Siong mengucapkan terima kasih, kemudian cepat-cepat dia kembali ke Kim-ke-kok. Subonya menerimanya dengan gembira setelah dia menceritakan pengalamannya, akan tetapi guru dan murid ini berhati-hati sekali ketika hendak memberikan obat penawar itu kepada Siangkoan Ci Kang. Bergantian mereka mencoba dan menjilat obat itu. Setelah yakin bahwa obat itu tidak menganduhg racun, barulah mereka berani memberikan obat itu kepada Siangkoan Ci Kang yang keadaannya rnasih lemah. Ketika sebelum minum obat Ci Kang dilapori Han Siong tentang obat yang oleh Hek Tok Siansu ditinggalkan kepada hwesio di kuil Siauw-lim-si, diapun mengangguk dan mau meminumnya. Mereka bertiga dapat mengerti jalan pikiran hwesio gendut itu. Tentu hwesio itu tidak rela melihat Ci Kang mati begitu saja oleh racun dan menghendaki agar Ci Kang dan Hui Cu menebus "dosa" dan bertapa di kuil itu sampai mati sebagai hukuman mereka yang menjadi sebab Ceng Hok Hwesio menderita sampai mati! Han Siong menanti sampai tiga hari setelah suhunya minum obat penawar racun. Dan memang ternyata benar, obat itu manjur sekali. Keadaan Ci Kang membaik dan setelah tiga hari, dadanya tidak terasa nyeri lagi dan kulitnya yang tadinya menghitam, mulai pulih dan bersih kembali. Akan tetapi ketika dia mencoba untuk mengerahkan sin-kang, ternyata tenaganya lemah bukan main. Tahulah dia bahwa akibat racun yang ganas itu, dia kehilangan tenaganya, dia harus berlatih dan menghimpun kekuatan sin-kang dengan tekun. . "Engkau pergilah, susul isterimu dan ajak ia pulang," kata Ci Kang kepada mantunya. "Keadaanku sudah membaik, tinggal mengumpulkan tenaga saja." "Benar, Han Siong. Pergilah kau mencari isterimu dan ajak ia pulang. Kasihan kalian betdua, semestinya menjadi pengantin baru, malah saling berpisah seperti ini," kata Hui Cu. Han Siong tersenyum dan memberi hormat kepada suhu dan subonya yang kini menjadi ayah dan ibu mertuanya itu. "Harap, Ayah dan Ibu tidak memikirkan hal remeh seperti itu. Yang penting, Ayah dapat diselamatkan. Saya akan pergi mencari Lian-moi dan kalau sudah jumpa, kami akan berpesiar sebagai bulan madu, mengajaknya ke rumah keluarga saya di Kong-goan, mengunjungi para pendekar kenalan kami yang pernah bekerja sama, kemudian baru kembali kesini." Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mengangguk-angguk girang dan setelah mengucapkan selamat tinggal, Han Siong lalu meninggalkan Kim-ke-kok, pergi mencari isterinya. Karena sebelum pergi, Bi Lian dia beritahu agar mencari keterangan tentang Hay Hay ke Cin-ling-pai, maka diapun melakukan pengejaran kesana, walaupun dari para hwesio di kuil Siauw-lim-si dia mendengar bahwa kabarnya Hay Hay berada di kota raja dan Hek Tok Siansu juga pergi kesana. Baginya yang terpenting adalah menemukan isterinya dulu. Cang Hui, dara jelita yang lincah jenaka itu maklum akan maksud ayah ibunya untuk menjodohkan saudara misannya, Teng Cin Nio, dengan kakaknya, Cang Sun. Ia amat sayang kepada kakaknya, dan juga ia sayang kepada Cin Nio yang dianggapnya bukan saja manis wajahnya, akan tetapi juga manis budinya dan akan menjadi isteri yang baik sekali bagi kakaknya, sepenuhnya mendukung niat orang tuanya itu. Seringkali, secara cerdik dan tidak menyolok, ia menceritakan semua kebaikan kakaknya kepada Teng Cin Nio, dan gadis yang memang kagum kepada Cang Sun itu menjadi semakin tertarik. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan rasa kagumnya, walau kepada Cang Hui sekalipun. Mengaku cinta kepada seorang pria kepada orang lain merupakan pantangan besar bagi seorang gadis baik-baik! Cang Hui memang cerdik, lincah dan jenaka. Ia tidak kekurangan akal untuk "menjodohkan" saudara misannya itu dengan kakaknya, yaitu dengan jalan mempertemukan mereka berdua empat mata saja. Ia mulai mengatur siasat. Ia menanti sampai malam bulan purnama tiba, karena dibawah sinar bulan purnama biasanya orang mudah jatuh cinta! Ia tahu bahwa kakaknya seringkali menikmati bulan purnama ditaman bunga mereka yang indah, dimana terdapat sebuah kolam ikan dan tempat duduk yang terlindung atap tanpa dinding, dan di tempat ini biasanya kakaknya menulis sajak atau membaca buku, sampai jauh malam. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan ia tahu benar bahwa kakaknya malam itu berada di taman, ia lalu mengajak Cin Nio untuk berjalan-jalan di taman bunga menikmati keindahan bulan purnama. Cin Nio yang tidak mencurigai misannya yang disayangnya itu, menjadi gembira dan tak lama kemudian kedua orang gadis bangsawan itu melangkah perlahan-lahan memasuki taman, berbeda dengan para puteri bangsawan lainnya yang selalu ditemani pelayan, dua orang gadis ini tidak. Mereka adalah gadis-gadis yang mempelajari ilmu silat dan merasa. diri mereka cukup kuat untuk melindungi diri sendiri sehingga tidak membutuhkan penjagaan pelayan, atau pengawal. Ketika mereka berjalan-jalan di dekat kolam ikan, tiba-tiba Cang Hui menarik tangan Cin Nio dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara, lalu mereka bersembunyi di balik rumpun bunga mawar, Cin Nio memandang ke depan dan pipinya terasa panas. Iapun kini melihat seorang pemuda duduk membelakangi mereka, menghadapi kolam ikan, agaknya menikmati bulan yang tenggelam di dalam kolam, lalu terdengar pemuda itu membaca sajak yang agaknya baru saja dibuatnya. Suaranya lembut dan merdu, menambah keindahan malam itu. Malam gemilang dengan cahaya bulan purnama, langit bersih, taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang sedang bersaing dalam lomba kecantikan, semerbak harum dan silir angin lembut, lalu suara merdu memuat sajak, diiringi paduan suara jengkerik dan belalang! "Bunga setaman aneka wama bermandikan cahaya pumama bersaing cantik indah berseri berlomba sedap harum mewangi betapa bahagianya hati ini! Namun, bagaikan mimpi hampa tak lama lagi bulan sirna meninggalkanku dalam gulita bunga akan habis gugur layu tinggal aku disini sepi sendiri. Wahai ikan-ikan dalam kolam taman kalian akan tetap gembira dengan teman-teman tapi... aku? sepi sendiri termenung iri...." Terdengar tepuk tangan mendahului munculnya seorang wanita cantik. Cang Hui dan Cin Nio menahan diri, bahkan Cang Hui memegang lengan Cin Nio dan memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara. Tadi ia sudah siap bertepuk tangan memuji kakaknya, akan tetapi begitu mendengar tepuk tangan dari lain jurusan, ia tidak jadi bertepuk tangan. Dua orang gadis itu melihat bahwa yang muncul adalah Liong Bi yang kini telah menjadi pengawal keluarga Cang. Cang Hui ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan wanita yang biarpun ia kagumi kelihaiannya namun sikapnya yang dianggap genit itu menimbulkan perasaan tidak suka dalam hatinya itu. Sementara itu, ketika Cang Sun melihat bahwa yang muncul dan bertepuk tangan memuji adalah Liong Bi, wanita cantik yang kini menjadi pengawal keluarga ayahnya, segera bangkit dari duduknya. "Hebat, Cang-kongcu. Tak kusangka bahwa Kongcu sepandai ini, dapat membuat sajak sedemikian indahnya!" Liong Bi atau Su Bi Hwa memuji sambil memperlihatkan senyum manis dan kerling mata memikat. Wajah Cang Sun berubah kemerahan. "Ah, Liong-lihiap (pendekar wanita Liong) terlalu memuji. Aku hanya iseng menikmati bulan purnama." Liong Bi mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama sambil tersenyum dan giginya nampak berkilauan tertimpa sinar bulan. "Memang cantik dan indah sekali malam ini, Kongcu, tidak mengherankan kalau keindahan ini menggerakkan jiwa senimu untuk membuat sajak. Alangkah akan semakin meriahnya kalau malam yang indah ini diisi dengan tarian pedang. Maukah Kongcu melihat saya menari pedang untuk mengimbangi sajakmu tadi?" Cang Sun adalah seorang pemuda yang sopan. Biarpun dia merasa tidak sepatutnya seorang pria seperti dia mengadakan pertemuan berdua saja dengan seorang wanita muda dan cantik di malam hari dalam taman, akan tetapi dia merasa tidak baik kalau menolak. Apalagi, wanita itu adalah pengawal keluarga, dan kini hanya ingin melakukan tari pedang untuk memeriahkan suasana malam bulan purnama. Maka diapun mengangguk dan hanya berkata, "Silakan." Liong Bi sudah mencabut pedangnya dan mulailah ia menari. Tarian itu mengandung gerakan silat pedang, akan tetapi dilakukan dalam gaya tarian yang nampak indah dan menonjolkan keindahan lekuk lengkung tubuh wanita itu. Apalag Liong bi sengaja bergerak lambat, dengan gerakan seindah mungkin, disertai senyum manis dan kerling memikat sehingga Cang Sun terpesona juga. Memang, Liong Bi adalah seorang wanita yang cantik menarik dan berpengalaman. Ia tahu bagaimana harus bergaya untuk memikat hati pria. Tubuhnya yang memang padat menggairahkan dengan kulit yang halus putih itu sengaja dibungkus pakaian yang ketat dan ketika ia menarikan silat pedang, tubuh yang ramping itu membuat gerakan dan goyangan seperti seekor ular, menggairahkan dan memikat. Dan tarian itu, memang indah, pedangnya, membuat gulungan sinar berkeredepan. Wanita cantik itu nampak gagah perkasa, mengingatkan Cang Sun akan Kui Hong, gadis pendekar yang dicintanya, dan diapun terpesona. Setelah Liong Bi menghentikan tariannya, Cang Sun bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Liong-lihiap. Tarianmu indah dan gagah!" serunya gembira. Setelah menyimpan pedangnya, Liong Bi menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang ganteng, pikirnya, bukan saja ganteng, akan tetapi juga putera seorang menteri yang terkenal dan besar kekuasaannya. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat menjadi isteri pemuda ini, dan amat besar manfaatnya bagi Pek-lian-kauw! Kalau berhasil, ia akan mendapat keuntungan ganda. Ia sendiri akan menikmati kemuliaan, dan ia akan dapat berbuat banyak demi keuntungan Pek-lian-kauw. "Aihh, sekarang engkau yang terlalu memujiku, Kongcu. Sajakmu tadi yang patut dikagumi, hanya sayang sekali engkau bersedih pada akhir sajak itu, Kongcu. Kenapa engkau iri terhadap ikan-ikan di kolam ini, Kongcu?' Liong Bi memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang berkejaran di dalam kolam. Cang Sun juga memandang ke arah kolam. "Mereka itu selalu bergembira dengan teman-teman mereka, tak perduli ada bulan atau tidak, bunga bersemi atau tidak, sedangkan aku...." Cang Sun tidak melanjutkan ucapannya, merasa bahwa dia kelepasan bicara. "Kongcu sepi sendiri? Aihh, Cang Kongcu, kenapa Kongcu membuat sajak seperti itu bunyinya? Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti Kongcu dapat kesepian? Semua orang, terutama para gadis di seluruh negeri, akan merasa bangga untuk menjadi teman Kongcu!" Ia mendekat, lalu dengan lembut ia duduk di atas bangku, di samping pemuda itu, lalu dengan pandang mata penuh daya pikat, ia berbisik, "Setidaknya aku siap sedia menemani dan menghibur Kongcu, setiap saat, dalam suka maupun duka...." Cang Sun terbelalak, mukanya semakin merah dan jantungnya berdebar. Dia bangkit dan berseru, "Long-lihiap...." Akan tetapi ia menahan diri untuk melanjutkan tegurannya karena dia teringat betapa wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya ketika dia diserang penjahat di telaga tempo hari. "Kongcu, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah kagum sekali kepadamu dan aku siap untuk melindungimu, menghiburmu, menemanimu dan membahagiakanmu selamanya....." Suaranya merayu-rayu dan dengan lembut dan hangat jari tangan wanita itu menyentuh lengan Cang Sun. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Harus diakui bahwa dia amat tertarik. Wanita ini nampak demikian cantik menggairahkan, demikian gagah, dan demikian menantang. Akan tetapi, hati nuraninya menolak karena dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya wanita ini, orang macam apa dan apakah benar tulus semua perasaan yang diucapkannya itu. Maka, diapun melangkah mundur, tiga langkah. Liong Bi yang sudah bangkit berdiri dan melihat usahanya hampir berhasil, tidak mau melepaskan mangsa yang sudah di depan mulut begitu saja. Iapun melangkah maju mendekat lagi, suaranya menggetar penuh perasaan, "Kongcu...." Pada saat itu terdengar suara Cang Hui, "Sun-ko, engkau disitukah?" dan muncullah Cang Hui dan Cin Nio. Begitu mendengar suara gadis itu, Liong Bi cepat mundur beberapa langkah sehingga ia berdiri cukup jauh dari pemuda itu ketika dua orang gadis itu muncul dan tiba disitu. "Engkau baru apakah, Sun-ko? Eh, kiranya Enci Liong Bi juga berada disini? Sedang apakah engkau, Enci Liong Bi?" tanya Cang Hui sambil memandang tajam. Dengan sikap tenang Liong Bi menjawab, "Saya kebetulan lewat disini ketika meronda, Siocia. Permisi, saya akan melanjutkan perondaan, menjaga keanaman malam ini." "Lebih baik begitu, Enci Liong Bi," kata Cang Hui, menyembunyikan makna yang tajam dalam ucapan itu walaupun dapat pula dianggap wajar. Liong Bi memberi hormat, "Permisi, Siocia, Kongcu.... !" iapun, pergi dari situ. Setelah Liong Bi pergi, Cang Hui menghampiri kakaknya. "Koko, mau apa sih enci Liong Bi berada disini?" Cang Sun menghela napas dan dia memandang kepada Cin Nio yang hanya berdiri disitu sambil menundukkan mukanya. "Dia hanya kebetulan lewat ketika meronda dan melihat aku berada disini, ia lalu datang menghampiri aku dan kami bercakap-cakap. Kenapa engkau menanyakan?" Cang Sun membalas dan memandang adiknya yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya. "Tidak apa-apa, Koko, hanya aku merasa heran melihat keberaniannya menemui engkau seorang diri di malam hari begini. Hati-hati, Koko, aku mendengar dari enci Mayang bahwa enci Liong Bi adalah seorang janda. Jangan-jangan engkau akan terpikat olehnya!" "Huh, bicaramu sudah menyimpang, Hui-moi!" Cang Sun menegur adiknya. "Engkau lupa telah mengajak Cin-moi dan kau diamkan saja. Silakan duduk, Cin-moi." Cin Nio yang sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum dan mengangguk, lalu maju menghampiri Cang Hui, "Terima kasih, Sun-ko," katanya lirih. Seperti tidak disengaja, Cang Hui menemukan kertas yang ditulisi sajak oleh kakaknya dan membacanya dengan suara berirama dan merdu. Cang Sun tidak melarang, hanya memandang adiknya sambil tersenyum. Adiknya itu selalu manja dan dia amat sayang kepadanya karena hanya seorang itulah saudaranya. Setelah selesai membaca sajak itu, Cang Hui berseru, "Aih, indah sekali sajakmu ini, Koko. Hanya sayang, sajak ini memandang ringan, bahkan seolah menganggap aku dan enci Cin ini tidak ada saja. Kau keterlaluan, Koko." "Ehh? Apa maksudmu?" "Coba saja pikir, dalam sajakmu engkau berkeluh kesah, merasa kesepian tiada teman. Apakah kami berdua ini bukan teman yang baik?" "Ihh, anak nakal! Tentu saja, engkau malah adikku dan Cin-moi ini adik misan, lebih dari saudara!" "Nah, kalau begitu, kenapa dimalam yang indah ini berkeluh kesah dan mengatakan sepi sendiri? Hayo, Koko, kita harus merayakan malam seindah ini bertiga! Atau, engkau lebih senang bercakap-cakap dengan janda itu?" "Hushh! Tentu saja aku senang bersamamu dan adik Cin Nio....." kata Cang Sun dengan muka berubah merah. "Kalau begitu, tunggu sebentar, aku akan memanggil pelayan untuk menghidangkan anggur dan kueh. Enci Cin, kau temani Sun-ko sebentar!" tanpa menanti jawaban, gadis yang lincah ini sudah berlari meninggalkan mereka berdua. Memang inilah yang ia kehendaki. Ia ingin memberi kesempatan kepada kakaknya dan Cin Nio untuk berdua saja agar mereka dapat leluasa bicara. Selama ini, hampir tidak ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bicara empat mata, dan tanpa adanya pertemuan berdua saja, bagaimana mungkin niat orang tuanya menjodohkan mereka dapat terlaksana? Dan ia harus membantu mereka, membantu agar kedua orang yang disayangnya itu mendapatkan kesempatan! Setelah Cang Hui pergi meninggalkan mereka, dua orang muda itu duduk berhadapan dan keduanya berdiam diri. Cin Nio yang berwatak pendiam itu tidak berani berkutik. Biasanya, kalau ada Cang Hui, ia masih berani bicara kepada kakak misannya itu, karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal dan bergaul sejak ia masih kecil. Akan tetapi, setelah kini duduk berdua saja, ia merasa rikuh dan tidak berani berkutik, apalagi memandang pemuda itu. Bahkan bernapaspun hanya lirih dan lembut sekali. Cang Sun juga merasa rikuh sekali. Dia tahu bahwa orang tuanya hendak menjodohkan dia dengan Cin Nio. Gadis ini memang cukup cantik jelita dan halus budi pekertinya. Akan tetapi, sejak dahulu dia menganggap Cin Nio sebagai adik misan, sebagai anggauta keluarga sehingga sukarlah baginya untuk mengubah perasaan sayang seorang kakak terhadap seorang adik ini menjadi cinta asmara seperti cintanya terhadap Kui Hong. Dia merasa iba kepada Cin Nio. Para gadis, terutama sekali gadis keluarga bangsawan, selalu hanya dapat tunduk atas kehendak orang tua, harus menerima calon suami yang dijodohkan orang tua! Dan selama ini, kalau dia memperhatikan sikap gadis itu, agaknya Cin Nio mulai menaruh harapan kepadanya! Memang dia tidak merasakan getaran cinta, dalam pandang mata gadis itu, akan tetapi jelas bahwa Cin Nio tertarik dan kagum kepadanya. Dapat dia bayangkan betapa akan sengsara hati Cin Nio kalau sampai jatuh cinta kepadanya dan dia tidak dapat menyambut cinta itu. Dia telah merasakan betapa pahitnya cinta sepihak, seperti dia mencintai Kui Hong dan tidak terbalas oleh gadis itu! Tidak, dia harus membuyarkan harapan Cin Nio, harus membuka mata gadis itu sebelum terlambat, sebelum gadis itu benar-benar jatuh cinta kepadanya! Dan sekarang inilah saatnya yang baik, karena kalau tidak sekarang selagi mereka duduk berdua, kapan lagi? "Cin-moi......" katanya lirih. bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang untuk membuka kenyataan yang pahit bagi gadis itu. Cin Nio mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali ketika melihat betapa kakak misannya itu menatap wajahnya, "Ya, Sun-ko? Ada apakah?" jawabnya dengan suara dibuat wajar dan tenang, namun tetap saja suaranya agak gemetar. "Cin-moi, kebetulan sekali kita duduk berdua saja. Aku memang ingin sekali bicara denganmu, akan tetapi selalu tidak ada kesempatan." "Bicara soal apakah Sun-ko?" gadis itu bertanya, suaranya lebih tenang. "soal kita berdua. Engkau tentu tahu bahwa orang tua kita berniat untuk menjodohkan kita. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu, Cin-moi?" Biarpun sudah menduga ke arah mana pembicaraan itu, tetap saja wajah itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Ia tetap menunduk ketika menjawab, "Apa yang dapat kukatakan, Sun-ko? Aku hanya dapat mentaati semua keinginan orang tua...." Cang Sun menghela napas panjang. "Aku tahu, dan begitulah memang nasib para gadis bangsawan. Akan tetapi aku seorang laki-laki, Cin-moi. Aku mempunyai pendirian sendiri dan aku hanya dapat menikah dengan seorang gadis yang saling mencinta dengan aku. Terus terang saja, Cin-moi, aku sayang kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Sejak kecil kita sudah bergaul dan sejak kecil engkau kuanggap sebagai adikku. Sukar bagiku untuk mengubah perasaan itu sehingga terasa janggallah kalau kita harus berjodoh. Aku tidak ingin membiarkan engkau dalam keraguan, Cin-moi, oleh karena itu, aku berterus terang bahwa tidak mungkin aku dapat menuruti kehendak orang tua agar aku menikah denganmu. Bukan sekali-kali aku menolak karena engkau kurang baik, Cin-moi, melainkan karena aku tidak dapat menikahi seorang gadis yang kuanggap seperti adik sendiri." Cang Sun berhenti bicara. Dadanya terasa lapang bukan main seolah ada batu besar yang selama ini menghimpit perasaannya, kini telah terlontar keluar. Kepala itu semakin menunduk. Tidak, Cin Nio tidak merasa ditolak, tidak merasa dikesampingkan, tidak merasa terhina. Namun, ia merasa kecewa dan bersedih. Harus diakuinya bahwa selama ini, timbul perasaan gembira kalau ia membayangkan betapa ia akan menjadi isteri Cang Sun. Ia kagum kepada kakak misannya itu dan betapa akan mudahnya untuk jatuh cinta kepadanya! Ia tidak merasa sakit hati karena kakak misannya berterus terang. Bahkan diam-diam ia merasa bersukur karena kakak misannya berani berterus terang. Dengan begini kesemuanya jelas sudah, dan ia tidak perlu lagi menggantungkan harapannya terhadap perjodohan itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, runtuhnya harapan itu menusuk perasaannya dan biarpun ia menahan diri sehingga tidak sampai terisak, tetap saja kedua matanya menjadi basah dan cepat ia menyusutnya dengan sapu tangannya. Akan tetapi, air mata itu keluar lagi dan ia segera bangkit berdiri, membelakangi Cang Sun dan menguatkan hatinya berkata tanpa menoleh, "Maafkan aku,.... aku kembali.... ke kamarku" Melihat gadis itu melangkah lunglai, Cang Sun merasa iba sekali. "Cin-moi, kau maafkanlah aku...." Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, lalu berlari kecil meninggalkan taman, kembali ke kamarnya dimana ia membanting diri ke atas pembaringan dan menangis sepuas hatinya. Cang Hui merasa heran ketika kembali ke dalam taman bersama dua orang pelayan yang membawa makanan dan minuman dan tidak melihat Cin Nio disitu, hanya kakaknya duduk melamun seorang diri. "Ehh? Kemana perginya enci Cin?" tanyanya. Cang Sun memandang kepada dua orang pelayan itu dan Cang Hui menyuruh mereka pergi setelah mereka menaruh makanan dan minuman di atas meja. "Apakah yang telah terjadi, Koko?" tanyanya setelah mereka duduk berdua saja. Pemuda itu menghela napas panjang. "Ia telah kembali ke kamarnya. Aku telah bicara terus terang kepadanya tentang kami, yaitu tentang perjodohan diantara kami yang dikehendaki para orang tua...." Cang Hui membelalakkan matanya. "Apa yang kau katakan kepadanya, Koko?" "Aku berkata terus terang bahwa aku tidak mungkin dapat menikahinya karena aku sayang kepadanya seperti adik sendiri, bukan mencintanya seperti seorang pria kepada seorang wanita.” "Ihh, kau kejam, Koko!" "Hemm, apakah engkau lebih senang melihat aku berpura-pura, membiarkan ia menanti dan mengharap?" Cang Hui termenung. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya. Akan tetapi ia kasihan kepada Cin Nio, "Engkau menghancurkan perasaan hatinya, Koko. Aku tahu bahwa ia cinta padamu." "Habis, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin cinta bertepuk tangan sebelah, aku telah merasakan kepahitannya...." "Aih, Koko. Kenapa engkau tidak dapat melupakan enci Kui Hong? Ia tidak dapat kau harapkan lagi karena ia mencinta pria lain. Bukankah enci Cin amat baik? Kenapa engkau tidak dapat mencintanya? Apakah cintamu hanya untuk enci Kui Hong seorang saja?" "Sampai saat ini aku belum dapat melupakannya dan belum ketemu penggantinya." kata pemuda itu dengan wajah murung. "Betapa lemah hatimu, Koko. Engkau harus dapat melihat kenyataan. Enci Kui Hong jelas bukan jodohmu. Mungkin sekarang ia telah menjadi isteri lain orang. Untuk apa kau kenang dan pikirkan terus menerus? Sudah sepatutnya kalau engkau memperhatikan gadis lain. Hati-hati, jangan engkau terpikat oleh enci Liong Bi itu." Cang Sun menggeleng kepala, kembali menghela napas panjang. "Aku tidak akan tertarik kepadanya. Memang nasibku agaknya, harus selalu kecewa dalam urusan yang satu ini. Ada gadis yang menarik hatiku dan amat kukagumi, akan tetapi iapun sudah bertunangan dengan orang lain...." Cang Hui terlonjak kaget dan membelalakkan matanya memandang wajah kakaknya, "Mayang....??" tanyanya terheran-heran. Kakaknya mengangguk dan kembali menarik napas panjang. "Akan tetapi ia telah bertunangan dengan Liong Ki, maka akupun tidak berani memikirkannya." "Ahhh....! Ruwet kalau begini....!" kata Cang Hui dan iapun bertopang dagu, melamun jauh. Ia merasa ikut prihatin dengan keadaan kakaknya. Kenapa yang dicinta kakaknya itu selalu gadis yang telah menjadi milik pria lain? Ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya. Ia sendiripun kalau menjadi seorang pria, akan tergila-gila kepada Mayang. Gadis itu memang hebat! Kecantikannya khas dan istimewa, Ilmu kepandaiannyapun tinggi, rambutnya hitam panjang berombak, kulitnya putih seperti susu, dan bentuk tubuhnya! Bukan main! Akan tetapi sayang, gadis itu telah bertunangan dengan Liong Ki, dan harus ia akui bahwa pasangan itu serasi. Liong Ki juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan tampan, memang cocok dan tepat kalau menjadi calon suami seorang dara perkasa sepetti Mayang. Kakak beradik itu duduk termenung seperti patung, lupa kepada anggur dan makanan yang dibawa oleh dua orang pelayan tadi. Akhirnya merekapun menggigil ketika hawa udara mulai dingin sekali. Mereka lalu meninggalkan taman dan kembali ke kamar masing-masing! Mayang termenung di dalam kamarnya. Entah mengapa, ia merasakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Entah itu karena sikap Sim Ki Liong yang dirasakannya berbeda dari biasanya, atau sikap Su Bi Hwa, ataukah pengalamannya yang aneh ketika ia seperti ditarik-tarik oleh kekuasaan aneh untuk memasuki kamar Ki Liong. Pendeknya, ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, walaupun ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Kembali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Disatu pihak, ia harus mengakui bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mau memaafkan semua kesesatan yang pernah dilakukan pemuda itu di masa lalu, asalkan dia mau bertobat dan akan mengubah jalan hidupnya, menjadi seorang pendekar. Dan ia percaya bahwa demi cintanya, pemuda itu akan dapat merubah jalan hidupnya, menjadi seorang pemuda yang baik, menebus kesesatannya yang lalu dengan perbuatan-perbuatan yang gagah perkasa. Akan tetapi, akhir-akhir ini timbul keraguan dalam hatinya, dan hal itu timbul sejak pertemuan mereka dengan Su Bi Hwa. Ia merasakan suatu ketidak wajaran dalam sikap Bi Hwa, seolah-olah wanita itu menyimpan banyak rahasia. Yang jelas, lirikan mata dan senyum wanita itu terhadap Ki Liong teramat genit. Ia sudah membuang jauh-jauh perasaan cemburu yang tidak beralasan, akan tetapi, kini ia melihat sikap Bi Hwa terhadap Cang Sun yang sama pula genitnya. Dan ada perasaan tidak enak dan tidak suka terhadap wanita cantik yang lihai itu, seolah wanita itu merupakan suatu ancaman tersembunyi baginya. Ia harus menemui Ki Liong dan mengajaknya bicara dengan serius. Akan ditanyakan kepada kekasihnya itu tentang diri Bi Hwa, tentang latar belakang kehidupannya dan tentang riwayatnya. Malam ini juga! Ia segera membereskan pakaian dan rambutnya, keluar dari dalam kamar dan karena ia tidak ingin orang lain, terutama Bi Hwa sendiri, melihat ia bicara empat mata dengan Ki Liong. Mayang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat, menyelinap diantara pilar dan berloncatan, menuju ke taman. Dari taman, akan mudah baginya untuk menghampiri kamar Ki Liong tanpa dilihat orang lain. Akan tetapi, ketika ia tiba di luar kamar Ki Liong dan mengetuk daun jendela kamar itu, ia tidak mendapat jawaban. Ia mengintai dari celah-celah jendela dan melihat kamar itu gelap pekat. Tak mungkin Ki Liong sudah tidur karena malam baru saja mulai. Setelah ia yakin bahwa pemuda itu pasti tidak berada di kamarnya, ia lalu mengira bahwa tentu Ki Liong sedang mempunyai tugas atas perintah Cang Tai-jin, maka iapun memasuki taman dengan maksud untuk menanti sampai pemuda itu kembali ke kamarnya. Tiba-tlba ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pohon. Dilihatnya Cang Hui berjalan seorang diri memasuki taman itu. Setelah melihat bahwa orang itu adalah Cang Hui, ia hendak keluar menyapanya, akan tetapi ia menahan diri dan mengintai ketika melihat bahwa gerak-gerik gadis bangsawan itu tidak seperti biasa dan aneh. Gadis itu melangkah seperti orang yang sedang tidur saja, tak pernah menengok ke kanan-kiri dan memandang lurus. Mayang membayangi dari belakang dengan hati-hati. Jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat munculnya Ki Liong di sebelah depan, dan pemuda itu langsung menyongsong Cang Hui dengan sikap yang manis budi dan ramah! "Selamat malam, nona Cang Hui!" katanya dengan ramah dan sopan. Cang Hui berhenti melangkah ketika melihat munculnya pemuda itu di depannya, dan ia nampak bingung. "Liong-ciangkun (perwira Liong) " katanya lirih. Mayang mengintai dengan perasaan heran. Ia melihat betapa Ki Liong menghampiri gadis bangsawan itu sampai dekat dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu memegang kedua tangan Cang Hui! Dan gadis itupun menyerah saja, tidak menjadi marah kedua tangannya dipegang dengan sikap demikian mesra oleh pengawal baru itu. "Nona, kenapa malam-malam begini engkau keluar ke taman? Hawanya dingin, dan banyak angin. Aku takut engkau masuk angin, Nona. Engkau begini cantik jelita seperti bidadari sayang kalau sampai jatuh sakit..... " Ucapan itu lembut dan mesra. "Aku... aku.... " Cang Hui berkata bingung dan nampaknya tidak tahu apa yang harus dikatakan, akan tetapi tidak marah atau membantah ketika Ki Liong menarik dan merapatkan tubuhnya. Melihat ini, Mayang terbelalak dan hatinya panas terbakar. Apa artinya semua ini! Ki Liong bermain gila dengan Cang Hui? Jelas bahwa pemuda itu berusaha merayu, akan tetapi kenapa sikap Cang Hui demikian aneh? Seperti orang dalam mimpi saja. Iapun teringat akan keadaan dirinya beberapa malam yang lalu, ketika ada perasaan aneh mendorongnya untuk mencari Ki Liong dan ada rasa rindu yang tidak wajar terhadap kekasihnya itu. Teringat akan hal ini, Mayang lalu berdiri menghadap ke arah Cang Hui, menyilangkan kedua lengan depan dada, matanya memandang tajam ke arah gadis bangsawan itu dan iapun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sihir yarg menguasai Cang Hui, jika memang kekuatan sihir mencengkeram gadis itu seperti yang disangkanya. Ia memang menguasai ilmu ini dari Kim-mo Sian-kiauw, gurunya. cerita silat online karya kho ping hoo Sim Ki Liong atau dengan nama samaran Liong Ki yang tadinya merasa girang sekali bahwa usahanya menaklukkan hati Cang Hui kelihatannya akan berhasil baik berkat bantuan sihir dari Su Bi Hwa atau Liong Bi, menaklukkan hati gadis itu agar jatuh cinta kepadanya dan agar memudahkan cita-citanya, yaitu menjadi mantu Menteri Cang, tiba-tiba merasa betapa terjadi perubahan pada sikap Cang Hui. Kalau tadi gadis itu menyerah saja dalam rangkulannya, kini gadis itu meronta, melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur sampai empat langkah, matanya terbelalak dan nampak bingung sekali. "Ehhh......? Apa yang terjadi? Kenapa aku berada disini? Dan engkau..... ciangkun apa yang kau lakukan? Apa pula yang kulakukan.....?" Cang Hui menggosok-gosok kedua matanya seperti orang yang baru bangun dari tidurnya. Liong Ki segera mengetahui bahwa entah bagaimana, siasatnya gagal dan dia adalah seorang yang cerdik. Dia merayu Cang Hui bukan karena jatuh cinta kepada gadis itu, bukan karena dorongan nafsu, melainkan dengan perhitungan agar dia dapat menjadi suami puteri menteri ini! Maka, diapun cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, dengan sikap sopan diapun berkata. "Nona, saya hanya ingin melindungimu. Tadi saya melihat Nona seperti orang yang kebingungan, berjalan seorang diri di dalam taman, dalam udara malam yang dingin dan banyak angin. Kenapakah, Nona?" Gadis itu menggeleng kepala, masih nanar ketika ia teringat betapa tadi ia mau saja dirangkul perwira muda yang baru itu! "Aku..... ah, mimpi buruk, agaknya ciangkun, jangan beritahukan peristiwa ini kepada siapapun juga!" Liong Ki memberi hormat lagi, sikapnya sopan sekali, dan tentu saja amat menarik hati. "Baiklah, Nona. Saya bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini. Saya akan menjaga nama baik Nona, saya akan melindungi Nona, kalau perlu dengan taruhan nyawa...." Lega rasa hati Cang Hui, akan tetapi ia juga masih merasa heran, bercampur rasa malu mengingat akan perbuatannya tadi, "Terima kasih, ciangkun. Engkau baik sekali." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan taman kembali ke dalam rumah dalam keadaan masih bingung dan nanar. Ia telah berada di dalam taman, seperti dalam mimpi saja. Dan yang amat mengesankan hatinya adalah sikap perwira Liong Ki, demikian baik, demikian lembut dan penuh kasih sayang. Mendatangkan kemesraan akan tetapi sekaligus membangkitkan perasaan marah dan penasaran di dalam hatinya. Ia teringat bahwa perwira muda itu adalah tunangan Mayang yang disayanginya! Kenapa perwira itu bersikap demikian manis kepadanya? Dan kenapa pula ia tadi mandah saja dirangkul? Untuk melindunginya? Kenapa dengan sikap demikian mesra? Sementara itu, Mayang harus bergulat dengan nafsu sendiri setelah menyaksikan peristiwa yang aneh di taman itu. Kalau menurutkan nafsu amarah yang membakar hatinya, ingin ia muncul dan menemui Liong Ki pada saat itu juga, menegurnya dan minta ketegasan dalam sikapnya, bahkan mengambil keputusan malam itu juga mengenai hubungan antara mereka. Akan tetapi, ia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat kotor dari kekasihnya itu. Ia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, akan tetapi yang lebih penting lagi, ia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik. Menteri Cang adalah seorang yang bijaksana, dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh semua pendekar. Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim. Apalagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biarpun mereka baru bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu demikian lincah jenaka, bersih hatinya dan baik budinya. Ia harus melindungi keluarga ini, andaikata ada orang yang akan mengganggu keluarga itu. Biar pengacau itu kekasihnya sendiri sekalipun! Juga masih ada sedikit harapan tergantung di hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Ia masih menaruh harapan bahwa Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertaubat dan mengambil jalan yang bersih. *************** Pada keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, ia tidak melihat perubahan pada sikap Cang Hui. Akan tetapi ia melihat bahwa selama beberapa hari ini, Cin Nio nampak lesu dan seperti orang yang selalu melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan. Ia tidak mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis bangsawan itu terkejut dan malu, apalagi karena gadis itu tidak memperlihatkan suatu kelainan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Sebaiknya, ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio kelihatan malas, bahkan kemudian gadis ini berpamit dan mengatakan bahwa kepalanya agak pening dan hari itu ia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Mayang untuk bertanya tentang Cin Nio, dengan harapan agar ia mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam. "Adik Hui, kenapakah adik Cin nampak begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu yang membuatnya seperti itu?" Mereka duduk mengaso sehabis berlatih dan Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang wajah Mayang. Ia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah ia akan percakapan yang ia lakukan dengan kakaknya, dimana kakaknya itu mengaku bahwa dia kagum dan jatuh cinta kepada gadis Tibet ini! Ia sendiri menyayangkan bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam...., terkenang akan peristiwa ini, mendadak saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya berubah merah. Ia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu sehingga mukanya menjadi semakin merah segar. "Kasihan enci Cin...." akhirnya ia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang mengalami patah hati karena cinta sepihak. "Kenapa ia? Ataukah.... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi." Cang Hui memegahg lengan Mayang dan tersenyum dengan manis. "Bagiku, engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Maka, engkau boleh saja mendengar tentang urusan itu, asal engkau tidak akan menceritakan kepada orang lain." "Tentu saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan tinggal di istana ini?" "Kasihan enci Cin, ia patah hati, Mayang. Ia menjadi korban cinta sepihak. Sudah kuceritakan bahwa ayah dan ibu menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko, berjodoh dengan enci Hui. Nah, beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan ketika mereka dapat bicara empat mata, kakakku itu dengan sejujurnya mengatakan kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia menyayang enci Cin sebagai adik sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah hatinya, padahal enci Cin kelihatannya sudah jatuh cinta setengah mati kepada kakakku itu." Mendengar ini, Mayang mengerutkan alisnya dan termenung sejenak. "Hemm, kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, mengapa kakakmu tidak dapat mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik jelita, pandai dan baik budi...." "Pernah kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang." "Hemm, kau maksudkan Cia Kui Hong itu? Kenapa masih memikirkannya? Bukankah gadis itu telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?" Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio. "Kurasa tidak begitu, Mayang. Sebetulnya kakakku itu suka kepada...." Cang Hui mengurungkan niatnya yang ingin membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh mengatakan bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah ada yang punya? "Suka kepada siapa, Adik Hui?" "Suka kepada gadis yang memiliki, ilmu kepandaian silat tinggi." "Hemm, dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat." "Mungkin karena itulah. Karena dia tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seorahg gadis lihai menjadi jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu..... " Ia berhenti pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya ia ceritakan kepada Mayang atau tidak. "Peristiwa apakah, Adik Hui?" Cang Hui menarik napas panjang. Sudah terlanjur, pikirnya. "Mayang, sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik iparmu itu?" Mayang terbelalak heran. "Calon adik ipar yang mana....?" "Bukankah Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?" Baru Mayang teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik kekasihnya. "Ahhh, ia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan aku... terus terang saja, kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, iapun bukan adik iparku..... " Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah kelepasan bicara. "Ehh? Bukankah ia adik Liong Ki?" Mayang mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja ia membuka rahasia mereka berdua. "Memang benar, adik Hui, akan tetapi aku..... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya sahabat yang akrab." "Hemm, sahabat akrab yang saling mencinta, bukan ?" "Sudahlah, Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebetulnya, apa yang hendak kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu?" Cang Hui lalu menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya. "Kulihat jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang amat genit dan menjemukan. Akan tetapi, kakakku tidak suka kepadanya, walaupun ia pandai silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong Bi, katakan bahwa jangan lagi ia melakukan hal yang tidak patut seperti itu." Diam-diam Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi ia tidak merasa heran. Ia tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu malu. Yang membuat ia merasa heran, bagaimana Liong Ki dapat memiliki seorang sahabat yang seperti itu? Dan teringatlah ia kembali akan peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Ia tidak ingin membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi ia menjadi semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Ia harus menyelidiki keadaan Liong Ki dan Liong Bi! Malam itu gelap sekali. Langit tertutup mendung dan tak sebuahpun bintang nampak. Mayang menyelinap di balik pot bunga besar. Biarpun malam gelap, namun istana keluarga Cang dipasangi banyak lampu gantung. Ia melihat bayangan Liong Bi berindap-indap keluar dari kamarnya. Selama beberapa malam ini ia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu. Tidak terjadi sesuatu selama tiga malam dan malam ini ia melihat Liong Bi menyelinap keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka iapun membayangi dari jauh. Kemudian ia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang! Dengan jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan membuahkan hasil. Liong Bi mengetuk daun jendela kamar Liong Ki, perlahan. Daun pintu dibuka dari dalam dan wanita itu meloncat masuk seperti seekor kucing. Daun jendela ditutup lagi dan dengan mempergunakan kepandaiannya, Mayang menghampiri kamar itu tanpa menimbulkan suara, lalu ia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bi Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk kesini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada yang melihatmu?" "Hi-hik, siapa yang dapat melihatku? Andaikata ada yang melihatpun, apa salahnya aku memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah berada di bibir, terlepas lagi!" . "Hemm, bukan hanya engkau yang gagal. Akupun sudah hampir berhasil menundukkan Cang Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal " "Nah, itulah! Maka aku kesini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita berbesar hati dan dapat berusaha lagi." Terdengar wanita itu tertawa-tawa genit. Juga Ki Liong tertawa kecil. Mayang tidak perlu mendengar lebih banyak, juga ia tidak sudi mengintai ke dalam. Ia sudah tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja keduanya mempunyai hubungan yang mesum, akan tetapi juga keduanya bersekongkol untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui! Penghambaan diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih dan mereka mempunyai rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang! Dan pemuda yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama dalam hidupnya yang menjatuhkan cintanya, yang ia harapkan akan bertaubat, menjadi seorang pendekar dan calon suaminya, agaknya telah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta. Mayang cepat meninggalkan tempat pengintaiannya, kembali ke kamarnya dan tak dapat ditahannya lagi, ia menangis! Ia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya bercucuran. Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi, kini jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan perasaan cinta yang mendalam itu berubah menjadi kebencian! Kalau cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini ia terbangun dan melihat kenyataan yang sebaliknya. Selama ini, dengan penuh harapan, cintanya dibangun dan ia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang indah sekali. Akan tetapi, dalam sekejap mata tempat bunga itu hancur berantakan, meninggalkan pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang teramat pedih. Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik itu melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat melalui kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati. Kalau pada suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi benci, dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan. Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah setiap hari cekcok. Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya, akhirnya menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang dapat menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing. Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku adalah keinginan-keinginan. Selama si aku merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan permusuhan. Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam kedudukannya yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan. Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara! Dalam kesedihannya, Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin ia harus mendatangi Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin ia mengamuk karena cemburu. Kalau saja ia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri. Akan tetapi, ia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Ia tidak ingin melihat Cang Hui menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Ia harus menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi. Dan ia harus mencegah terjadinya hal ini. Sekarang ia mulai menduga bahwa kekuasaan aneh yang membuat ia malam-malam itu rindu kepada Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja dirangkul Ku Liong, adalah kekuasaan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya, ketika ia mengerahkan kekuatan batinnya, ia tersadar, demikian pula Cang Hui. Mengingat akan hal ini, ia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda itu kembali mengambil jalan sesat. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang, malam itu mengadakan pertemuan untuk melepas kerinduan mereka dan juga untuk mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka memikat Cang Sun dan Cang Hui mengalami kegagalan. Mereka akan mengulang lagi akan tetapi harus secara halus dan tidak tergesa-gesa, karena kalau sampai terbongkar rahasia mereka, akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka. Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka. Mayang berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dan Liong Bi. Ia harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar niat buruk mereka, kalau memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti yang nyata, tentu saja ia tidak mampu melakukan sesuatu. Apalagi karena sikap kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah daripada biasanya. Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti biasanya. Tiga hari kemudian, pada suatu malam yang gelap, empat sosok bayangan orang bergerak dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng. Sesungguhnya amat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman itu dari luar, padahal penjagaan disitu cukup ketat. Mereka dapat melompati pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga, kini dengan berindap-indap mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci dalam! Mereka nampaknya sudah hafal akan keadaan disitu, buktinya mereka sambil berindap-indap langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan isterinya! Ketika mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang kedua membawa canang yang kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang. Cepat sekali gerakan dua diantara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar dan dua orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah tangan, demikian pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa mengeluarkan suara gaduh. Agaknya empat orang itu telah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa ragu-ragu menghampiri kamar besar dimana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba muncul dua orang penjaga. Mereka melihat betapa dua orang penjaga yang meronda telah menggeletak tak bergerak. "Penjahat .....!" bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok mereka. Dua diantara empat orang itu menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lagi membongkar jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal. Dua orang yang tadi membongkar jendela, ketika melihat Menteri Cang keluar sambil membawa pedang, segera menyerang. Menteri Cang bukanlah seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, dan biarpun dia tidak pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi seorang panglima, tentu saja dia bukan orang yang lemah. Segera dia menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu, isterinya berteriak-teriak minta tolong. Dua orang penjahat telah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, dan pembesar itu segera terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Akan tetapi, agaknya teriakan-teriakan isteri pembesar itu menarik perhatian dan tiba-tiba muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Kedua orang ini dengan pedang di tangan menerjang dan dalam waktu singkat saja, empat orang penjahat itu roboh! Mayang juga datang, akan tetapi ketika ia tiba disitu, agak terlambat karena ia terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi harus mengenakan pakaian dan sepatu lebih dulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan terlepas dari ikatan, ia melihat empat orang itu telah roboh. "Tangkap mereka hidup-hidup!" ia berseru, akan tetapi seruannya terlambat sudah. Pedang di tangan Liong Ki dan Liong Bi telah menembus jantung mereka, dan empat orang itu tewas seketika. Mayang cepat melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin dapat ditanya lagi. "Aih kenapa kalian membunuh mereka?" ia mencela Liong Ki dan Liong Bi. "Mereka, adalah orang-orang jahat, sudah sepatutnya dibunuh!" kata Liong Bi. "Benar, akupun tak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh." kata Liong Ki. "Sudahlah, mereka sudah mati dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami." kata Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja dia sudah terbiasa menghadapi ancaman dan bahaya, maka peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi sebagai hal biasa saja. Isterinya juga keluar kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul pula Cang Hui dan Teng Cin Nio dan kedua orang gadis inipun telah membawa sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap sungguh-sungguh kepada ayahnya. "Ayah, peristiwa ini membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim pembunuh untuk menyerang kita. Maka, sudah seyogianya kalau ayah memperketat dan memperkuat penjagaan. Kalau kebetulan kedua kakak-beradik Liong hadir, tentu saja keamanan ayah terjamin. Akan tetapi tidak mungkin mereka menjaga keselamatan ayah siang malam." Menteri Cang mengangguk, lalu memerintahkan penjaga untuk menyingkirkan mayat empat orang penjahat dan dua orang penjaga, memerintahkan komandan jaga untuk melapor kepada panglima pasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang penjahat itu. Kemudian, dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi dan Mayang untuk bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah mereka berempat duduk berhadapan terhalang meja besar, kembali Menteri Cang memuji dua orang pembantunya dan berterima kasih atas pertolongan mereka ketika tadi dia terdesak dan terancam. Liong Ki segera memberi hormat kepada Menteri Cang. "Harap paduka tidak berpendapat demikian, Tai-jin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami berdua untuk melindungi keluarga Tai-jin dari ancaman bahaya yang datang dari manapun juga. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai terlambat." "Tai-jin telah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu, kami selalu siap untuk membela Tai-jin, dengan taruhan nyawa sekalipun," kata pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh. Cang Tai-jin mengangguk-angguk. "Bagus, tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga." Mayang sejak tadi hanya diam saja. Iapun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat diselamatkan, dan pembelaan Liong Ki dan Liong Bi, sedikit banyak telah mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat ia tidak puas adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat diselidiki, siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu. "Sayang kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang telah menyuruh empat orang pembunuh itu, Tai-jin," kata Mayang. "Kalau mereka tidak dibunuh dan dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita dapat menangkap dalangnya." Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik lalu Liong Ki berkata, "Adik Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh mereka." "Siapa yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Tai-jin? Kami terlalu marah pada saat itu," sambung Liong Bi. Cang Taijin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hal itu sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesalkan. Andaikata mereka tertawan hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang, pasukan pangawal harus dipersiapkan untuk membantu kalian. Akan kupanggil kembali Coa-ciangkun agar dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui." Sejak. peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik Liong Ki dan Liong Bi, dan tentu saja kedua orang ini merasa senang. Memang inilah tujuan mereka. Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa ia dapat memberi jalan kepada beberapa orang Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang merupakan seorang diantara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang punggung kerajaan Beng. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik. Merasa bahwa dengan peristiwa itu mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin kokoh dan baik, mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan kedudukan mereka. Usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara mereka tunda. Kalau kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu. Karena sikap mereka itu, Mayang juga terkecoh. Ia tidak lagi melihat dua orang itu merayu putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap dirinya. Dari Cang Hui ia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali tidak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik. Akan tetapi sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali. Rasa cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah membuyar karena ia merasakan benar bahwa ada suatu rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini menyamar sebagai kakak-beradik itu. Biarpun kini kedua orang itu bersikap sopan dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun ia hampir yakin bahwa mereka itu pernah merayu putera dan puteri Cang itu dengan cara yang tidak wajar.....
Jilid 13
Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya mendengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja, asalkan dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak. Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni binatang yang dapat dimakan dagingnya, atau mungkin saja tumbuh pohon buah. Pendeknya, daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia amat memerlukannya saat itu. Akan tetapi tidak ada pohon buah di tempat itu. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tidak mau makan daging kera atau babi hutan, belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan ia merasa jijik makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor. Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun dan sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang lapar membuat tubuhnya agak gemetar. Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia makan daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas, hanya lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimaupun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan. Cepat dia menyelinap, menuju ke arah suara auman harimau. Kini, suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mangaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua diantaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga menjadi ramai sekali. Hay Hay cepat menghampiri tempat itu. dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali. Seekor harimau yang berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau biasa. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot yang kekar melingkari tubuh di bawah kulit itu dapat diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga amat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton, kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa. Di tempat itu terdapat pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Merekapun agaknya menjadi penonton dan sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini, harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri. Dua ekor harimau betina ini menggereng dan nampak tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan memperlihatkan gigi bercaling yang runcing tajam, dua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan merekapun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan berahinya. Hay Hay tertegun dan diapun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, dan memaksakan kehendak dan berahinya! Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki kekuatan yang tidak wajar. Dia tak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay tertarik sekali sampai dia lupa akan rasa lapar di perutnya. Akhirnya, harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu dua ekor korbannya, dan dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya, harimau itu menuju ke bawah pohon besar, kedua kaki depan mencakar-cakar tanah menggali tanaman seperti ubi. Dan dimakannya ubi itu dengan lahapnya. Hay Hay makin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti berlepotan darah! Harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya. Harimau jantan hitam itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan. Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka. Melihat ini, Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram diapun melompat keluar dari balik semak belukar. Melihat ada orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor korbannya dan diapun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil berindap-indap menghampiri Hay Hay. Setelah tiba di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay. Pemuda inipun tidak mau kalah, memandang harimau itu dan sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata. Bagaimanapun juga, harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah, lalu bangkit berdiri, keempat kakinya menegang, semua ototnya menggetar dan harimau itu mengaum lagi dua kali. Hay Hay sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia sudah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah batu besar yang berada di sebelah kirinya. Harimau hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur ke atas dan depan, menubruk ke arah Hay Hay. Gerakannya cepat sekali dan semua suara dan sikapnya demikian mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa. Namun, gerakan itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay. "Binatang kejam dan jahat!" bentak Hay Hay dan ketika tubuh binatang itu hampir menerkamnya, tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat. Dia sudah membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu. Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun, tidak mendapat kesempatan untuk membalik dan mencakar kedua tangan yang menangkap ekornya, bahkan kini dengan ayunan kuat, tubuh harimau itu meluncur ke arah batu besar. "Prakkk!" Harimau itu tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika! Ketika Hay Hay menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi, dia tersenyum. Dua ekor harimau itu melarikan diri, seperti dua orang wanita yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)! Diapun cepat membuat api unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membubuinya dengan garam dan bawang kering. Baunya sedap bukan main setelah daging yang dibumbui itu terpanggang api. Ketika dia mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa disitu tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan harimau. Diapun menghampiri tempat itu dan dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan ketia dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan. Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah! Pantas saja ketika tadi makan ubi itu, mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan darah. Dia mencoba makan ubi itu. Enak! Manis dan sedap. Diapun makan ubi merah yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali. Perut yang kenyang, tubuh yang lelah, bersilirkan angin yang sejuk, membuat Hay Hay mengantuk. Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Berbahaya tidur di tempat yang banyak harimaunya itu. Dan tak lama kemudian diapun sudah tertidur nyenyak di atas pohon. Dia sudah sering dalam perjalanan dan petualangannya tidur di atas pohon. Matahari sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejap-ejapkan matanya, lalu terbangun. Dia mimpi terjebak musuh berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika dia terbangun, dia masih merasakan hawa yang luar biasa panasnya dan semua pakaiannya basah karena keringat. Dia lalu meloncat turun dari atas pohon. Tubuhnya terasa ringan, dan juga kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya. Hay Hay juga merasakan rangsangan berahi yang kuat dan dia merasa khawatir sekali. Tahulah bahwa keadaannya ini tidak wajar dan diapun teringat akan apa yang dimakannya tadi. Daging harimau jantan bulu kehitaman dan ubi merah darah. Itulah agaknya yang menjadi sebab keadaannya ini. Diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih, akhirya dapat dia meredakan gelora dalam tubuhnya. Namun api itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan berahi yang amat kuat. Kini mengerti dia mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu memiliki gairah yang amat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga yang hebat pula. Dia harus mencari sebuah dusun sebelum malam tiba. Biarpun dia dapat saja melewatkan malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman kalau dia bisa bermalam di dalam sebuah rumah, walau hanya rumah pondok kecil sederhana milik orang dusun. Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan memanjat pohon itu sampai ke puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling. Matahari sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun, yang nampak hanya genteng-genteng rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng rumah itu seperti melambai-lambai. Segera dia turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun yang tadi dilihatnya. Setelah tiba di luar dusun, cuaca menjadi lebih terang dan pemandangan senja itu, amatlah indahnya. Seolah-olah sang matahari yang akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang, lebih dahulu memancarkan cahayanya lebih gemilang walaupun lembut. Hay Hay berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia dapat melihat dusun tadi, dan nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di luar dusun, airnya berkilauan tertimpa sinar senja. Diapun cepat menuruni lereng itu menuju ke dusun. Ketika dia tiba di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya amatlah jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk menikmati penglihatan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa, suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah menyenangkan hati Hay Hay dan diapun segera menuju ke arah suara. Kembali dia berhenti melangkah dan kini tertegun, terpesona. Kiranya, seperti yang diharapkannya, di sungai yang dangkal itu, terdapat lima orang wanita sedang mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya hanya sepinggang itu. Mereka bersendau gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona. Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang bermandi di sungai jernih, diwaktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, dan pundak, punggung dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa sinar matahari senja, mulus halus dan amat indahnya. Hay Hay bersembunyi di balik rumpun ilalang di tepi sungai, mengintai dan jantungnya berdebar kencang, rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan daging harimau hitam dan ubi merah tadi kini mulai berkobar lagi. Gairah nafsu yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan. Terutama sekali ketika dia melihat seorang diantara lima orang gadis dusun itu. Seorang gadis yang amat manis, dan agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan mereka kepada gadis manis ini, yang kadang tersipu malu-malu dengan muka menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay Hay bahwa gadis manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin baru! Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, nafsu amatlah berguna bagi manusia, bahkan manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Manusia tidak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api, kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan, celakalah kita! Kita akan diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu adalah kesenangan. Dimana ada kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat kuatnya. Makin kuat nafsu merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baikpun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu bermain-main di air sungai, terutama sekali melihat wanita muda yang oleh kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka. Dia muncul dari balik rumpun ilalang dan begitu melihat munculnya seorang pria asing, lima orang wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang karena basah. Melihat mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, Hay Hay cepat berkata, sambil mengangkat kedua tangan keatas, "Nona-nona harap jangan takut. Aku bukan setan, melainkan manusia biasa dan manusiapun bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan muka agar tidak melihat kalian mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan." Hay Hay lalu membalikkan tubuh, membelakangi mereka. Melihat ini, timbul pula keberanian para gadis itu dan sambil kecicikan menahan tawa, mereka cepat keluar dari sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka berlari-larian kecil meninggalkan tempat itu. "Nanti dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona pengantin yang baik, engkau harus menerima ucapan selamat dariku!" kata Hay Hay dengan suara lembut membujuk. Mendengar ini, pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari dan empat orang kawannya yang melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri menanti dan dengan muka tersipu ia memandang kepada pemuda yang kini sudah berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandang mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga ia hanya merasa malu akan tetapi tidak lagi takut. "Nona pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta pernikahanmu. Tentu meriah sekali, sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay berkata ramah, lalu menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahanmu?" Wanita itu memandang heran dan membela diri. "Bagaimana saya dapat mengirim undangan kalau saya tidak mengenalmu?" "Aahhh, benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah engkau mengenalku sekarang. Namaku Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali. Melihat pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja wanita muda pengantin baru itupun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia tersenyum dan jantung dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu! Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri. "Namaku Cing Ling..... eh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu dan karena kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya, iapun agak tersipu. "Cing Ling, nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu mengingatkan aku akan seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari. Kau tahu, Nona. Ketika tadi aku tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena takut!" Wanita itu sudah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay bicara, selalu membuat ia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu merupakan kalimat yang membutuhkan keterangan berlanjut. "Kongcu, kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali. "Kongcu? Aih, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan bersahabat?" Wanita itu terkejut, tidak tahu mengapa ia membuat pemuda itu sedih dan penasaran! "Apa maksudmu, Kongcu?" "Kongcu lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberitahukan bahwa namaku Hay Hay, nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?" Wanita muda ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay tentang kecantikannya, maka kini ia merasa gembira dan tersenyum lagi, seyum yang mampu membuat Hay Hay setengah pingsan! "Baiklah, Hay Hay. Nah, katakah kenapa engkau ketakutan begitu tiba disini tadi? Apakah engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau. Hal ini dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang pria yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat ia merasa asing, sungkan dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya, di keluarga mertuanya, ia merasa asing dan rikuh, seperti berada di pulau terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga hubungan diantara mereka menjadi kaku. Baru sore hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama teman-teman lamanya, mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, bertemu Hay Hay yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing Ling dan mulai ia berani menyambut gurauan Hay Hay. "Melihat setan? Wah, jauh daripada itu. Sebaliknya malah! Aku melihat bidadari! Lima orang bidadari sedang mandi di air sungai yang amat jernih, dan terutama seorang diantara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga ketakutan!" Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar, mulut yang manis itu dihias senyum nakal. "Hemm, aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi ketakutan?" Hay Hay tertawa. "Ha-ha, kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan tetapi menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu rambutnya ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang kadang dapat menjadi kemerahan, dan senyum yang.... aduhai senyummu, Cing Ling membuat jantungku seperti akan copot!" Wanita mana di dunia ini yang tidak haus akan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana yang tidak haus akan kata-kata yang manis merayu? Apalagi kalau yang memuji dan merayunya itu seorang pemuda yang demikian tampan seperti Hay Hay, dengan sikap yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Kalau wanita itu menjadi marah, hal itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling. "Ihh, engkau..... engkau merayuku, ya? Engkau mata keranjang!" Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya. "Cing Ling, sungguh mati, aku tidak bermaksud kurang ajar! Kalau ucapanku tadi menyinggungmu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus disini sampai akhir jaman!" Mendengar ucapan itu, mau tidak mau sang pengantin menghentikan langkahnya dan ketika ia menengok, ia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Belum pernah selama hidupnya gadis dusun ini mendapatkan kehormatan seperti itu, maka cepat-capat ia menghampiri Hay Hay dan berkata. "Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!" "Tidak, sebelum engkau memaafkan aku, aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!" "Baiklah, aku maafkan engkau.... nah, bangkitlah...." "Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit." Wanita muda itu menarik napas panjang. Ia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang amat menarik hatinya ini. Akan tetapi ia juga sudah terikat, merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini merasa seolah ia sudah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya. "Aih, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu." akhirnya ia berkata. Hay Hay mengangkat muka memandang. "Cing Ling, bagaimana aku dapat percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin? Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku tidak memuji kosong, aku bukan perayu, aku hanya mengatakan terus terang ketika aku menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis sepetti bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?" Wajah itu menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidupnya, dalam mimpipun, belum pernah ia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini! "Aku memaafkanmu." katanya mengangguk. Hay Hay mengulurkan kedua tangannya. "Bangkitkanlah aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang telah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?" Wanita itu tersenyum. Apapun, pemuda ini malah keluar manjanya! Karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itupun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, lalu bangkit berdiri tanpa melepaskan kedua tangan itu. Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil dalam genggangam itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya. Baru beberapa hari yang lalu ia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Akan tetapi ia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Digenggam kedua tangannya seperti itu, jantungnya seperti terguncang rasanya, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Ia seperti kehilangan semua tenaganya, tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam. Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu ia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Akan tetapi, semua rasa kagum itu wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih daripada nafsu. Saat ini lain lagi. Di dalam tubuhnya ada api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya. Api nafsu berahi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, membuat semua kesadarannya menjadi gelap, pertimbangannya menjadi terguncang dan dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itupun roboh dalam dekapannya! Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu akan pulih kembali kesadaran Hay Hay. Akan tetapi tidak, wanita itupun seperti terpesona, seperti kehilangan kesadarannya dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay, dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu berahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi. "Cing Ling.....!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi. "Hay Hay...." Cing Ling mengeluh dan pasrah. "Jahanam keparat....!!" terdengar bentakan orang. Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata disitu telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan! Cing Ling tersadar dan iapun mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lalu menudingkan telunjuknya yang gemetar, mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan, suaranya gemetar pula, "Kenapa...... kenapa kau.... kau.... memelukku....?" Berkali-kali ia berseru seperti itu. Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan malapetaka kepada seorang wanita yang amat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru itu menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya! "Keparat busuk, berani engkau mempermainkan isteri orang?" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, engkau layak dipukul sampai mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal. Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini suami si pengantin baru! Hay Hay tidak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah kepada diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar! "Dukk!!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya. "Bukk!" pukulan kedua mengenai dadanya dan tubuh Hay Hay terjengkang, kepalanya menjadi pening. Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apapun dan menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar! Kini belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay hanya mengelak kalau ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengar suara bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah melihat isterinya tadi didekap dan diciumi, pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya. Mampus kau, pikir Hay Hay, memaki diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangis wanita itu. "Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh dia.... dia tidak bersalah....!" Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang lebam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil mita-minta ampun untuk dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Betapa lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia! Mendengar jerit tangis wanita itu, belasan orang yang tadi memukulinya menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan pembunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur. Akan tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu sudah dibakar api cemburu. "Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pegantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!" Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, sedangkan kawan-kawannya hanya menonton saja karena kalau suami itu menghajar isterinya, tentu saja mereka tidak berhak mencampuri. "Tahan dulu.... !" Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu. Hal ini membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia, membelalakkan matanya, "Jahanam busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?" Hay Hay diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimanapun juga, Cing Ling tidak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat. Diapun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan merekapun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila! "Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!" Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi daripada manusia biasa! "Hei, muka hitam! Berani engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tidak bersalah, karena tadi ia dan kawan-kawannya mandi disini mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Ia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya!? Nah, kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki diatas!" Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, dan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil ketika mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba jungkir balik, kaki diatas dan kepala di bawah! Wanita itupun menurunkan kedua tangan dari depan muka dan memandang. Ia tidak berada dalam pengaruh sihir, maka iapun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, demikian pula belasan orang dusun. "Ampun.... ampunkan saya....." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar. Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan memukul isterimu, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir batik seperti ini sampai engkau mati!" "Saya bersumpah.... saya bersumpah....." Si muka hitam berkata dengan penuh kesungguhan. Kini Hay Hay berkata kepada belasan orang teman si muka hitam. "Dan kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat simuka hitam ini memukuli isterinya, dan bersikap kasar, kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!" Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Mereka bersama seperti dikomando saja lalu menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah..." "Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, ia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Nah, aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni, berlututlah seperti biasa!" Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat "raksasa" itu melangkah mendekati sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, diapun lenyap! Setelah mereka semua berani bangkit, si muka hitam lalu menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku...." Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf...." Cing Ling hanya dapat mengangguk. Ia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing itu tadi amat menarik hatinya, bahkan ia akui bahwa ia terpikat dan terpesona. Kemudian, pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi, pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai dan suaminya, juga belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya, berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya. Dan sejak saat itu, Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu, menganggap ia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya. Dan suaminya bukan saja bersikap hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Akan tetapi, di waktu malam, seringkali wanita ini termenung, teringat kepada Hay Hay. dan perasaan rindu gerogoti hatinya! "Rasakan kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung. Dia tahu benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor, dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat! Dia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi, begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya. Orang yang berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja, bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran. Nafsu membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya. Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh. Dalam segala perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing. Hay Hay mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya. Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong, banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain. Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat. Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu. Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Diapun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja tidak dapat dipersalahkan. Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar. Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahitpun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhanpun jadilah, setiap saat dan dimana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu. Hay Hay tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu. Akan tetapi tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu. Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus, seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik, "Kalian berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya." Si brewok menyeringai, "Hemm, Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling menggoda perempuan. Tadipun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun." "Siauw-te, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang?" "Sudahlah, kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus. Dua orang itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadipun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya, seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas? Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua diantara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Diapun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter. "Hemm, kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay. Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa. "Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi." Hay Hay memandang heran, "Ehh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku ini seorang perantau miskin, tidak mempunyai uang." Hay Hay teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini? Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini. "Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!" Hay Hay terkejut. Ah, kiranya itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu amat penting maka diapun selalu menyimpannya di dalam saku baju bagian dalam dan saat itupun benda itu berada di batik bajunya. Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, akan tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang amat bijaksana, dan harus diserahkan kepada satu diantara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, dia yakin bahwa benda itu teramat renting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)? "Ah, kiranya itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang telah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapapun juga kecuali mereka yang berhak menerima." Buntalan itu telah dirapikan kembali dan diletakkan di tempat semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk. "Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan kepada kami dan kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Serahkan kepada kami!" Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini menunjukkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, makin menariklah sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang. "Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dipesankan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik." Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan mencoba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!" Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan, terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?" Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?" "Toako, perlukah bicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran. Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpenglihatan tajam. Tadi dia melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biarpun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam. "Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas itu berisikan surat fitnah yang akan mengadu domba. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, engkau tentu seorang yang cukup gagah dan tidak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?" "Tentu saja aku tidak ingin ada perang saudara, Paman. Akan tetapi akupun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapapun kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiang kakek itu." kata Hay Hay dengan tegas. "Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?" Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga ,siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu merupakan rahasianya sendiri, tidak perlu diberitahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu. "Aku tidak dapat memberitahu kepada siapapun, Paman." "Bocah sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!" “Hayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut. Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu, mereka ini agaknya sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka ini mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol pencemburu itu. Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih ada hubungannya dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu? Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan diapun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Akan tetapi sekali ini, karena surat itu teramat penting bagi keselamatan rakyat, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik." "Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay dan dengan sikap tenang diapun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan. "Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok dan diapun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang amat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya. Namun Hay Hay cepat mengelak sambil melanjutkan kesibukan kedua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal, si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga ketika tangan yang besar itu menyambar, terdengar suara angin bersiut. Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu, si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay dan sekali melompat, dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut. "Hemm ....!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan disini dia disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci. "Plakk!" Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu. Hay Hay tidak mau membuang tenaga dan waktu melayani tiga orang itu, maka begitu mendapat kesempatan, dia lalu melompat pergi. "Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya. Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya. "Singgg.....!!" Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik dan menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya. "Wirrr.....!!" Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya. "Tranggg....!!" Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh. Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja. "Tarrr..... suuuutttt....!!" Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak, peluru sudah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan yang terkenal amat ampuh dan berbahaya. Banyak sudah ahli-ahli silat tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang dapat memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter lagi saja menyimpang, peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya, Hay Hay melompat jauh ke depan lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka dan lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai. Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Terpaksa malam itu dia tinggal di tepi sungai setelah melewati dua buah hutan. Terdapat lapangan rumput disitu dan terlindung beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada setelah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai mencarinya. Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan sampai jauh malam dia tidak tidur, hanya termenung. Kemudian, setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong sudah mulai menyinari tempat itu, dia membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya. Tadinya, sedikitpun dia tidak ingin mengetahui apa isinya, hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apapun isi gulungan surat itu, tidak penting dia ketahui karena tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Pula, dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu. Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal ini membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang diantara dua menteri itu. Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan. Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu. Setelah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak. Jelaslah bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih! Karena surat itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak. Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-cuw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu. Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina. Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa. Rombongan empat kapal inipun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat. Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak asli mereka. Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita! Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang. Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis. Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan disini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po. Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang. Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini. Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh. Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian. *************** Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung. Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang. Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow! Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar dimana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok. Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta. Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang kedua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang. Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut. Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna. Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria manapun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya. Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan. Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya! Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang kedua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh. Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu. Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah. Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada. Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri! Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorangpun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu. Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu. Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.....
Jilid 14
Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan. Biarpun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang diangapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apapun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak! Pagi hari didalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar didalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya, mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri. Pagi itu ia merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya. Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi, karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalaupun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal. Tidak begitu menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, iapun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di perbukitan di luar kota! Setelah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali. Ketika pintu terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu, tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang pria setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri. "Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar benar agaknya dari tidurnya. "Selamat pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam daripada kemarahan. "Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!" Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk kepala sendiri, "Ahhh, terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu....." "Ayah.....!" Sarah merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah. Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak." Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya. "Siapa kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?" Kapten Armando menarik napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung " Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?" Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu." "Aih, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu." Akan tetapi ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan." Sarah mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huh, siapa sih yang ingin memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini....! Huh, melihat orang dihukum mati!" Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya." "Kenapa Gonsalo? Aih, aku tidak suka, Ayah!” kata dara itu, merajuk. "Eh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?" "Aku tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan perajurit pengawal biasa saja, Ayah." Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia...." "Sudahlah, Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku bahkan membencinya!" "Ehh? Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?" Sarah bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya. "Dia.... dia...., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya membuat aku merasa benci..." "Hemmm? Pandang matanya kenapa, Sarah?" "Entahlah, Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja." "Ahh.....!" "Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri." "Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan tenang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah. Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya." Kapten Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali. Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan iapun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus. Cantik jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan berwarna hijau. Rambutnya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah. Tak lama kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah. Akan tetapi, pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya sendiri. "Sarah, engkau cantik sekali!" Biarpun ia kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja. "Ayah, aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo." Kapten Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi nyaring. "Ha-ha-ha-ha, engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi marilah kita sarapan dulu." Ayah dan anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan. "Suruh dia menanti sebentar!" kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi hormat dan pergi lagi. "Aih, Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama kita?" tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis. sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan. Sarah tersenyum. Sudah kembali kelincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali tidak ada bekasnya lagi. "Ayah, aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapapun juga sehingga selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?" Kapten Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo. Bagaimanapun juga, dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya. Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa mengapa Sarah dan ayahnya tidak mengundang dia makan pagi bersama, walau hanya untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaja perasaan kecewa itu disembunyikan di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah. "Selamat pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!" dia menyalam dengan ramah. "Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah? Kudamu sudah kusuruh siapkan tadi, menanti diluar." Kapten Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia, mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan. "Selamat menikmati hari yang cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah, jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di tanganmu." Kapten Gonsal0 memberi hormat secara militer. "Siap, Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!" "Aku pergi, Ayah!" Sarah sudah lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu. Tak lama kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan. Memang serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli menunggang kuda. Yang mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan, demikian pula warna matanya. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, duduk dengan tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam, di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memegang cambuk kuda. Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng. Begitu keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan diapun mempercepat larinya kuda, mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini benar-benar telah merusak kegembiraannya. Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya, ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga liar yang beraneka warna. Akan tetapi, sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang! Berjam-jam Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan berteriak, "Sarah, berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!" Mendengar seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan kudanya dan benar saja. Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Iapun merasa kasihan sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya beristirahat sambil makan rumput segar. Gonsalo juga turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan menghampiri Sarah. "Sarah....," panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu. Sarah membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti boneka! "Ya, Kapten?" jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah bawah bukit. "Sarah, namaku Gonsalo!" "Ya, ada apakah, Kapten Gonsalo?" "Sarah, kita sudah menjadi sahabat, bukan? Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya, berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten? Aku tidak suka kau sebut kapten, panggil namaku saja." "Akan tetapi aku suka menyebut kapten!" kata Sarah, berkeras dan kini ia membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani. "Engkau memang seorang kapten, bukan? Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut kapten?" "Tapi, aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah." "Akan tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku akan melanjutkan perjalanan." Sarah memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda kesayangannya itu. Gonsalo juga menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di samping kuda Sarah, dara itu mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol. "Sarah, kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan agar kita tidak terlalu jauh," berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di depan. Tiba-tiba terdengar teriakan ketakutan. "Setan.....! Setan....!" Seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap mengancam. "Sarah, minggir!" Gonsalo berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya. "Setan rambut emas....! Setan jahat, pergilah....!" orang itu berteriak-teriak ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi. "Darr....!" terdengar letusan dan orang itupun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha kirinya yang berlumuran darah. "Kapten, kenapa engkau menembaknya?" Sarah berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar kemana ketika dia roboh. "Setan..... setan..... jangan ganggu aku...! Pergilah....!" Orang itu berteriak lemah. Sarah sudah pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan tekun. Ia berlutut dekat orang itu. "Jangan takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa lukamu....!" Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan. "Sarah, jangan dekat dia! Dia berbahaya!" teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan mendekati, pistol revolver masih di tangannya. "Kapten, mundurlah dan jangan turut campur!" Sarah membentak marah, mengejutkan kapten itu. "Jangan sentuh aku..... kau setan.... pergilah....!" orang itu berteriak-teriak lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya. Pada saat itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata kepada mereka. "Jangan takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya." Mendengar Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang diantara mereka bertanya, "Kenapa pahanya terluka ?" Sarah menjadi bingung. "Dia tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia hendak menyerang, maka menembak kakinya...." ia merasa menyesal sekali, "Maafkan kami...." "Hemm, dia memang seorang yang sinting," kata pula orang tertua dari mereka. "Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing seperti nona." Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun. "Biar kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya " kata Sarah. "Tidak perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri." Tiga orang itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sarah berdiri mematung, merasa menyesal bukan main. "Sudahlah, Sarah. Perlu apa memikirkan dia? Dia hanya seorang gila." kata Gonsalo. Mendengar ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi. "Justeru karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!" Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu. "Sarah, tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!" teriak Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh kapten itu. Sarah membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini tidak perduli lagi kemana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang dibencinya. "Sarah! Jangan ke bukit itu! Disana penuh hutan dan berbahaya!" teriak Gonsalo. Akan tetapi Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat, membalapkan kudanya mendaki bukit. Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda, maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang. Benar saja peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi, walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua. Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol. Tiba-tiba nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam! "Wah, ada bidadari rambut emas kesasar kesini!" "Aduh cantik sekali!" "Tangkap saja, tentu uang tebusannya lumayan!" "Sudah lama aku ingin mendapatkan seorang wanita kulit putih!" Sikap mereka kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang dinamakan gerombolan perampok! "Jangan bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!" tiba-tiba Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti. Para perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia memegang senjata api yang telah mereka kenal sebagai senjata rahasia yang menakutkan dan berbahaya. "Serbu, bunuh setan putih itu!" bentak seorang diantara para perampok dan merekapun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya. "Daar-dar-darrr.....!!" sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak mahir yang hebat. Peluru yang tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok! Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti datangnya serangan. Dia memang seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan orang pedangnya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk. Tinjunya merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari menyelamatkan dirikah? Atau tertawan musuh? Jantungnya berdebar penuh kegelisahan ketika timbul dugaan ini. Celakalah kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah. Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawanpun, dia harus dapat lolos dulu untuk berusaha menolong dara itu. Kapten Gonsalo mencabut lagi pistolya dan membentak. "Angkat tangan atau kutembak kalian!" Mendengar bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap, ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kapten Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok itu tidak berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka. Biarpun paha dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah, mencari Sarah dan jejak kaki kudanya. Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah! *************** Hari sudah menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu. Hari telah mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan gelisah, dan marah. "Gonsalo! Apa artinya ini? Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?" Pertanyaan ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan, kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah. Ketika Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat bawahannya siuman, dia lalu menghampiri. "Gonsalo, apa yang telah terjadi? Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Dimana Sarah? Apa yang terjadi?" Suara Kapten Armando penuh kegelisahan. Gonsalo bangkit duduk, "Sarah tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu, Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri, kembali ke benteng atau entah kemana. Aku.... aku terpaksa pulang untuk melapor dan mengambil bantuan pasukan." "Celaka!'" Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. "Jangan-jangan ia ditawan perampok!" "Aku akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam itu. Akan kucari sekarang juga!" Kapten Gonsalo turun dari pembaringan. "Kita semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung jawabmu, Gonsalo. Aku sendiripun akan mencari dan aku akan minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!" Kapten Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan merekapun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah! Tentu saja penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang hilang ketika bertamasya di perbukitan. Kemanakah perginya Sarah Armando? Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main. Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai ada tujuh orang roboh, kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main. Kapten itu memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri. Selagi ia bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan iapun roboh lemas. Pistolnya dirampas dan iapun disambar oleh tangan yang kuat dan dilarikan dari situ. Ia berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak mampu mengeluarkan suara. "Kawan-kawan, aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!" kata penawannya. "Kalian bunuh setan putih itu!" Dan penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali, membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat perkelahian. Ternyata sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda itupun hanya dapat berjalan lambat. Si tinggi kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda, melintang di depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia seorahg pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui, tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow, tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena ada usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan! Namun, Hay Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu. Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar? Dia dapat dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab! Karena itu, maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu kepada seorang diantara kedua menteri bijaksana itu. Kalau tidak benar, maka diapun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di dunia ini. Demikianlah, pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai. Ketika penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini? Dia tidak dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya. Dia sudah mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu seperti bukan manusia, mirip hantu! Bayangkan saja, kulitnya seperti tanpa darah, berbulu seperti monyet, rambutnya ada yang kuning ada yang putih ada yang merah, matanya ada yang biru ada coklat! Tidak wajar! Apalagi hidungnya. Seperti paruh burung dan pakaiannya juga aneh-aneh! Akan tetapi belum pernah dia melihat wanita bangsa kulit putih itu. Dan mengapa pula wanita ini menjadi tawanan? Dia tidak dapat melihat wajah wanita itu karena menenungkup dan rambut yang kuning emas itu awut-awutan dan riap-riapan menutupi pipinya yang miring. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang terbungkus pakaian yang ketat dari celana dan kemeja itu, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang yang masih muda usia. Kulit lengan dari siku ke bawah yang tidak tertutup lengan baju itu dan tergantung lemas di perut kuda, nampak lebih mulus, dengan kuku jari tangan yang terpelihara rapi dan meruncing, dicat merah muda. Biarpun dia tidak mau lancang mencampuri urusan si tinggi kurus yang menawan gadis kulit putih itu, namun hati Hay Hay tertarik dan karena kunjungannya ke Cang-cow memang untuk melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak memberontak, diantaranya orang kulit putih, maka tentu saja dia merasa curiga dan diam-diam diapun membayangi kuda yang tidak dapat lari cepat mendaki bukit yang penuh batu itu. Setelah tiba di lereng dekat puncak bukit itu, dimana terdapat banyak guha-guha di dinding batu, kuda itu berhenti. Hay Hay melihat banyak orang di sekitar lereng itu, dan guha-guha itu agaknya menjadi tempat tinggal mereka. Ada pula wanita dan kanak-kanak, dan para prianya nampak kekar dan kuat, dengan wajah bengis dan sikap kasar. Dia dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan perkumpulan atau sarang gerombolan, entah gerombolan apa. Adakah hubungannya dengan persekongkolan yang dilaporkan dalam surat Yu Siucai? Dia semakin tertarik dan ketika melihat si tinggi kurus memanggul tubuh wanita kulit putih itu memasuki guha yang paling besar di tempat itu, diapun menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Setelah memasuki guha, Hay Hay terkejut dan kagum. Kiranya guha itu adalah guha alami yang dibantu tangan manusia, menjadi ruangan-ruangan seperti di dalam rumah besar saja! Ada prabot rumah dan segala perlengkapan sehari-hari, bahkan dipasangi pintu dan tirai kain. Keadaan dalam guha ini memungkinkan Hay Hay untuk menyusup dan bersembunyi dan akhirnya dia dapat mengintai ke dalam sebuah ruangan dimana duduk lima orang yang dari sikapnya mudah diketahui mereka adalah para pimpinan kelompok orang di perkampungan guha ini. Si jangkug yang membawa wanita kulit putih tadi memasuki ruangan itu pula. Dia menurunkan tawanannya dari pundak dan merebahkan wanita itu ke atas lantai. Kini Hay Hay dapat melihat wanita yang telentang itu dan diapun terbelalak kagum, bahkan terpesona sehingga dia tidak sadar bahwa matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, matanya tak pernah berkedip. Belum pernah selama hidupnya dia melihat wanita yang seperti itu! Begitu indah mempesona, begitu cantik jelita, begitu menggairahkan akan tetapi juga mengerikan! Mengerikan karena tak pernah selamanya dia membayangkan seorang wanita seperti ini. Seperti bukan manusia saja! Dia mengagumi rambut yang terurai lepas itu, yang seperti benang-benang sutera emas berkilauan. Wajah itu memiliki garis-garis yang sempurna, bagaikan setangkai bunga teratai. Dan tubuh itu! Pinggangnya demikian kecil langsing, dadanya menonjol, pinggulnya besar, kakinya panjang. Tubuh yang bukan saja indah bentuknya, akan tetapi juga memancarkan kesehatan yang sempurna. Dan ketika wanita itu membuka kedua matanya, hampir saja Hay Hay mengeluarkan seruan saking kagumnya. Sepasang mata yang kebiruan, seperti dua buah batu permata saja, akan tetapi hidup, lebar dan jeli, dengan bulu mata melengkung panjang sehingga membentuk garis tepi mata dan bayang-bayang. Indah sekali! Lima orang yang berada disitu nampaknya terkejut pula melihat pembantu mereka datang membawa tawanan yang aneh ini. Mereka bangkit berdiri dan seorang diantara mereka yang tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam, berseru dengan suaranya yang menggeledek. "Apauw! Apa artinya ini? Siapa perempuan bule ini dan mengapa pula kau menangkapnya dan membawanya kesini?" “Apauw, sekali ini engkau lancang. Betapa besar bahayanya menangkap seorang wanita kulit putih? Tentu teman-temannya akan marah dan kalau mereka membawa pasukan dengan senjata api menyerbu kesini, celakalah kita!" kata orang kedua yang gendut. Orang ketiga, yang usianya paling muda, kira-kira tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka yang tampan akan tetapi matanya kejam, tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali, Apauw. Sudah lama aku ingin sekali mendapatkan seorang wanita kulit putih dan hari ini engkau datang membawa seorang yang begini molek untukku!" "Kita manfaatkan dia!" kata orang keempat yang telinga kirinya buntung. "Kita minta uang tebusan yang besar kepada keluarganya!" Orang ke lima, yang kecil kurus dan nampak paling cerdik diantara mereka, mengangkat kedua tangan keatas. "Kawan-kawan, harap tenang dulu dan mendengarkan laporan Apauw, baru kita mengambil keputusan yang tepat. Nah, Apauw, ceritakan segalanya." Apauw yang disuruh duduk di atas kursi dekat wanita yang rebah telentang tanpa dapat bergerak itu. cerita silat online karya kho ping hoo Hay Hay yang terus mengintai, semakin kagum ketika melihat betapa sepasang mata yang biru itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut, bahkan yang nampak adalah perasaan marah. Seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Gadis lain, dalam keadaan seperti itu, pasti akan ketakutan, bahkan menangis. Akan tetapi wanita ini sama sekali tidak menangis, tidak takut, bahkan marah. Seperti seorang pendekar wanita saja! "Saya dan kawan-kawan sedang berburu binatang di hutan bukit sebelah itu. Lalu tiba-tiba muncul dua orang penunggang kuda, wanita ini dan seorang laki-laki muda kulit putih. Kami menghadang dan pria kulit putih itu lalu mempergunakan senjata apinya, merobohkan tujuh orang kita...." "Ahhh! Keparat sekali, kenapa tidak kau tangkap laki-laki itu, malah wanita ini yang kau bawa kemari?" bentak si tinggi kurus hitam. "Maaf, Toako. Pria kulit putih itu memang tangguh. Setelah peluru pistolnya habis, saya mengerahkan teman-teman untuk mengeroyoknya dan dia mengamuk dengan pedangnya. Dia kuat sekali. Maka, saya pikir, lebih baik wanita ini ditawan agar dapat kita pergunakan sebagai sandera kalau kawan-kawannya datang menyerbu." Orang kecil kurus tadi mengangguk-angguk. "Benar sekali perbuatan itu. Dengan adanya wanita ini sebagai tawanan, kita dapat mempergunakan ia sebagai sandera, juga dapat kita mintakan uang tebusan!” "Akan tetapi, aku menginginkannya....!" kata yang termuda tadi. "Itu soal nanti. Sekarang, sebaiknya ia jangan diganggu dan kita masukkan tahanan dengan penjagaan ketat sambil menanti datangnya laporan tentang pria kulit putih yang dikeroyok itu." Kini si tinggi besar hitam yang mengambil keputusan dan empat orang yang lain tidak berani membantah perintah kepala mereka itu. "Biar aku sendiri yang membawanya ke tempat tahanan," kata pula si kecil kurus dan diapun membebaskan totokan yang membuat Sarah tidak mampu bergerak atau bersuara. Begitu dapat bergerak, Sarah bangkit berdiri dan kini Hay Hay yang berada di tempat sembunyinya menjadi semakin kagum. Gadis itu masih amat muda kalau melihat wajahnya, akan tetapi tubuhnya sudah dewasa dan selain cantik jelita, gadis itupun amat pemberani. Begitu dapat bergerak dan bicara, ia segera bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan suaranya terdengar lantang, cukup lancar dalam bahasa pribumi. "Kalian ini semua lelaki pengecut, perampok-perampok busuk yang tidak tahu malu! Hayo kembalikan pistolku, dan akan kuledakkan kepala kalian satu demi satu!" Si tinggi kurus yang tadi menawannya terpaksa mengeluarkan sebuah pistol yang tadinya hendak diambilnya untuk diri sendiri, dan menyerahkannya kepada si raksasa hitam. "lnilah senjata apinya yang sara rampas, Toako." katanya. Raksasa hitam menerima pistol dengan mulut menyeringai, nampaknya senang sekali memperoleh senjata api itu. "Nona, menyerah sajalah. Engkau menjadi tawanan kami dan kami tidak akan menyakitimu selama engkau menurut." kata pemimpin yang kecil kurus tadi sambil menghampiri. Dia menjulurkan tangan untuk memegang siku Sarah sambil berkata, "Mari, ikut denganku." Akan tetapi Sarah menepiskan tangan itu lalu mengayun tinju tangan kanannya menghantam ke arah muka orang. Laki-laki kecil kurus itu ternyata lihai juga. Dengan tenang saja dia mengelak dan begitu sambaran tangan itu lewat, dia menangkap siku tangan Sarah dan sekali puntir, lengan itu ditekuk ke belakang tubuh gadis itu. Sarah menyeringai kesakitan. "Nona, sudah kukatakan. Menyerah saja dan engkau tidak akan disakiti. Apakah engkau lebih suka kalau ditotok seperti tadi? Atau dirantai kaki tanganmu?" Sarah seorang gadis cerdik. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan, dan mereka itupun pandai berkelahi. Akan percuma kalau ia nekat melawan. Akan merugikan saja. Tentu lebih enak dibiarkan bebas begini walaupun ditawan daripada ditotok atau dibelenggu. Iapun diam saja, hanya mengangguk dan menggigit bibir agar tidak mengeluarkan maki-makian. Suaranya juga terdengar tenang ketika akhirnya ia berkata. "Baik, aku menyerah. Akan tetapi ingat, kalau sampai aku diganggu, tentu ayahku akan datang dengan pasukan dan kalian semua akan dibantai seorang demi seorang. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow!" Semua orang terkejut mendengar ini, termasuk Hay Hay. Dalam surat laporan Yu Siucai, disebut pula tentang orang Portugis di Ceng-cow sebagai anggauta komplotan, dan ternyata ayah gadis yang ditawan itu adalah komandan dari benteng orang Portugis! Dan semua pimpinan perampok itupun terkejut dan mereka maklum bahwa mereka telah bermain api. "Bagus sekali kalau begitu!" kata pemimpin kecil kurus yang cerdik, "Kami akan menganggap Nona sebagai seorang tamu kehormatan, asal Nona tidak mencoba untuk melarikan diri. Kami akan menghubungi ayahmu di Cang-cow dan kalau mereka mau memenuhi permintaan kami, tentu Nona akan kami bebaskan dengan baik-baik." Sarah yang maklum bahwa ia sama sekali tidak berdaya, menurut saja ketika ia dibawa oleh si kurus kecil keluar dari dalam guha itu, kemudian diajak pergi ke sebuah guha lain yang ternyata merupakan sebuah tempat tahanan istimewa! Guha ini tidak begitu besar, akan tetapi lengkap dan pintunya terbuat daripada besi yang ada jerujinya. Segala keperluan hidup berada di guha itu. Setelah berpesan kepada anak buah untuk menjaga dan mengamati guha tahanan itu baik-baik dan bergantian siang malam, si kecil kurus lalu pergi meninggalkan Sarah. Agak lega rasa hati Sarah ketika ia memeriksa tempat tahanan itu ia mendapatkan bahwa guha itu lengkap dengan tempat membersihkan diri, dengan air yang cukup banyak, juga sebuah dipan yang terbuat dari kayu yang bersih. Ia lalu duduk di atas dipan itu, melamun. Ia mengenang kembali kegagahan Kapten Gonsalo dan mulailah ia melihat betapa sikapnya terhadap Gonsalo selama ini sungguh tidak ramah. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Gonsalo telah memperlihatkan sikap yang gagah berani. Ia kini bahkan mengkhawatirkan nasib pembantu ayahnya itu. Pengeroyok demikian banyaknya dan ketika ia tertawan dan dibawa pergi, ia masih sempat melihat betapa Kapten Gonsalo mulai terdesak hebat walau dia mengamuk seperti seekor singa marah. Ia mempelajari keadaan dirinya pada saat Itu. Ia tertawan gerombolan yang jahat dan juga kuat. Ia harus bersikap tenang. Yang terpenting, ia harus dapat membawa diri agar jangan sampai diganggu dan diam-diam ia harus mencari kesempatan untuk melarikan diri. Andaikata hal itu tidak mungkin, ia akan menanti karena baik Kapten Gonsalo dapat meloloskan diri atau tidak, ayahnya pasti akan mencarinya, membawa pasukan mencari di seluruh perbukitan sampai ia dapat ditemukan dan dibebaskan. Bagaimanapun juga, kini para pimpinan perampok itu sudah tahu bahwa ia puteri komandan benteng Portugis, pasti mereka tidak akan berani mengganggunya. Dengan hati lega Sarah menerima hidangan yang dimasukkan ke kamar atau guha tahanan itu melalui pintu besi, dan iapun makan, kemudian membersihkan diri dan merebahkan diri di atas dipan. Karena hari itu ia melakukan perjalanan menunggang kuda cukup jauh dan melelahkan sebelum malam tiba ia sudah jatuh pulas. Sementara itu, didalam tempat sembunyinya, Hay Hay melihat gadis itu dibawa keluar. Diapun menyelinap keluar dan berhasil membayangi sehingga dia tahu dimana gadis kulit putih itu ditawan. Dia sudah mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu. Kalau terjadi pertempuran atau permusuhan wajar antara gerombolan ini dengan orang kulit putih, dia tidak akan mau mencampuri urusan mereka, tidak akan berpihak. Akan tetapi, sekali ini urusannya lain. Seorang gadis muda ditawan gerombolan. Tidak perduli gadis itu bangsa apa, golongan apa, dia harus menolongnya! Hal ini ada hubungannya dengan watak seorang pendekar yang selalu akan menolong orang yang sedang dilanda malapetaka, dan menentang perbuatan yang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan. Gerombolan itu menawan seorang gadis, tentu dia harus menolong gadis itu. Akan tetapi, dia melihat betapa perkampungan perampok itu penuh dengan perampok-perampok yang jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Agaknya akan sukar baginya untuk dapat menolong dan melarikan gadis itu dari kepungan lawan yang sedemikian banyaknya. Maka, diapun tetap bersembunyi, menanti datangnya malam gelap. Dari tempat sembunyinya, Hay Hay melihat ketika rombongan perampok dari belasan orang memasuki perkampungan itu, membawa beberapa orang yang terluka. Bahkan diantara mereka yang luka-luka, tidak kurang dari sebelas orang banyaknya, terdapat tiga orang yang tewas. Mereka itu ternyata adalah gerombolan perampok yang tadi mengeroyok Gonsalo. Yang terluka adalah tujuh orang yang terkena tembakan, bahkan tiga diantara mereka tewas. Sedangkan empat orang yang lain adalah mereka yang terluka oleh pedang dan tinju kapten muda yang gagah perkasa itu. Hay Hay mendengar pula betapa laki-laki kulit putih yang tadinya bersama wanita tawanan itu, dapat meloloskan diri. Agaknya para pimpinan perampok marah-marah melihat tiga orang anak buahnya tewas dan delapan orang lagi luka-luka, apalagi mendengar bahwa laki-laki kulit putih yang menyebabkan anak buah mereka tewas dan luka-luka itu dapat meloloskan diri. "Ini sudah keterlaluan!" bentak raksasa hitam yang menjadi pemimpin pertama. "Sekarang kita harus menggunakan gadis kulit putih itu untuk membalas dendam. Tidak saja orang kulit putih harus membayar seribu tail perak kepada kita, juga pembunuh itu harus diserahkan kepada kita untuk ditukar dengan gadis itu! Dan kalian semua harus ikut menjaga agar gadis itu tidak dapat lolos, juga tidak ada yang boleh mengganggunya!" Akan tetapi, satu diantara nafsu yang membuat orang kadang suka menjadi nekat adalah nafsu berahi. Kalau orang sudah dicengkeram nafsu ini, maka dia berani melakukan apapun juga untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, untuk memuaskan nafsunya yang berkobar. Demikian pula dengan Ji Tang, orang ketiga dari lima pimpinan perampok, yang termuda dan yang sejak melihat Sarah, sudah berkobar nafsunya dan dia bertekat untuk mendapatkan gadis itu, walau hanya untuk sejenak. Dia harus dapat memiliki gadis itu sebelum gadis itu dibebaskan. Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah kakak-beradik seperguruan, dan mereka berlima memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga mereka diakui sebagai ketua oleh puluhan orang perampok, dikenal dengan julukan mereka Lima Harimau Cakar Besi! Biarpun usianya paling muda, namun Ji Tang dalam urusan persaudaraan seperguruan, merupakan orang ketiga. Diapun lihai dan terutama sekali tenaganya yang besar dan pandai sekali memainkan sepasang golok pendek yang selalu terselip di pinggangnya. Akan tetapi dia memiliki suatu kelemahan, yaitu diperbudak oleh nafsu berahinya. Kalau empat orang saudaranya haus akan kedudukan dan kekayaan, Ji rang selalu haus akan wanita dan dialah orangnya yang selalu menculik wanita, bahkan anak buah yang ingin menyenangkan hatinya, kalau dapat menculik wanita cantik selalu diberikan lebih dahulu kepada Ji Tang. Dan diapun seorang pembosan. Entah berapa banyaknya wanita yang setelah dia miliki untuk beberapa hari, minggu atau bulan, dia campakkan dan dia berikan kepada anak buahnya untuk diperebutkan. Malam itu sunyi sekali. Bukan hanya sunyi karena malam itu gelap dan angin malam bertiup dingin, akan tetapi juga karena hati semua anggauta gerombolan dicekam ketegangan. Mereka maklum bahwa wanita yang ditawan itu adalah puteri komandan benteng Portugis. Mereka semua siap siaga kalau-kalau akan terjadi penyerbuan pasukan orang asing kulit putih itu. Tiga buah peti mati berada di ruangan dalam guha yang biasa dipergunakan untuk pertemuan atau latihan silat. Tempat inipun dijaga, dan nampak keluargga dari tiga orang anggauta yang tewas itu berkabung disitu. Lilin-lilin sembahyang bernyala di meja-meja sembahyang yang dipasang di depan tiga buah peti mati. Biarpun semua anggauta gerombolan itu bersiap-siaga seperti yang diperintahkan oleh para pimpinan mereka, namun hanya sedikit saja yang nampak di luar guha. Malam terlalu dingin dan gelap bagi mereka untuk keluar dari dalam guha tempat tinggal mereka yang hangat. Mereka siap-siaga dalam guha masing-masing, dan hanya pasukan penjaga saja yang melakukan perondaan di luar guha. "Berhenti! Siapa itu?" bentak kepala peronda yang terdiri dari sepuluh orang ketika mereka melihat sesosok tubuh berjalan dan berpapasan dengan mereka. "Aku! Jaga baik-baik!" jawab orang itu. Cahaya lentera yang dibawa seorang diantara para peronda menimpa wajah orang itu dan sepuluh orang peronda itu menarik napas lega. "Kiranya Ji-toako." Orang itu memang Ji Tang. Dia melangkah dengan tenang menuju ke arah guha dimana Sarah ditahan. Para peronda melanjutkan perondaan mereka, merasa lebih aman karena seorang diantara para pimpinan mereka agaknya juga melakukan perondaan. Ji Tang kini tiba di depan guha tempat tahanan dan kembali dia ditegur enam orang penjaga yang melakukan penjagaan di depan guha itu secara bergiliran. Akan tetapi enam orang penjaga ini juga merasa lega ketika mereka melihat siapa yang datang. "Aku Ji Tang, aku akan melihat keadaan tawanan. Buka pintunya!" perintah Ji Tang dengan suara tegas. Biarpun enam orang penjaga itu saling pandang karena tadi Coa Gu, ketua pertama yang raksasa hitam itu, telah memesan kepada mereka agar siapa saja tidak diperbolehkan memasuki guha itu. "Akan tetapi, Ji-toako....." "Diam! Aku yang datang dan kalian masih ribut? Bukakan pintunya kataku, atau harus kupukul dulu?" "Maaf, Ji-toako.... maaf....." Enam orang itu ketakutan dan penjaga yang memegang kunci cepat mengeluarkan kuncinya dan membuka pintu besi guha itu. "Jaga baik-baik disini dan jangan buka sebelum kupanggil dari dalam." kata Ji Tang yang segera memasuki guha dan menutupkan daun pintu dari dalam. Penjaga itu cepat menguncinya kembali dari luar karena dengan pintu terkunci mereka merasa lebih aman. Mereka saling pandang dan tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar tahanan itu. Bagi mereka, bukan hal aneh melihat perbuatan ketua mereka yang nomor tiga ini. Hanya biasanya, peristiwa seperti itu mendatangkan tawa gembira karena mereka menganggapnya lucu, sekali ini ada perasaan khawatir karena mereka sudah dipesan dengan tegas oleh ketua pertama bahwa siapapun tidak boleh memasuki guha itu. Mereka tahu betapa pentingnya wanita kulit putih yang menjadi tawanan. Pintu itu berlapis, dan pintu sebelah dalam berjeruji, akan tetapi yang luar rapat sehingga mereka tidak akan dapat melihat atau mendengar sesuatu yang terjadi di dalam. "Siapa.....??" Mereka berenam kembali bangkit dan membentak bayangan yang muncul di depan mereka. "Bodoh, butakah kalian? Aku Ji Tang. Hayo cepat buka daun pintunya, aku mau masuk memeriksa tawanan!" bentak orang itu. Enam orang penjaga itu berdiri melongo, memandang kepada orang yang baru muncul. Mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka menggosok-gosok mata, memandang lagi. Akan tetapi benar. Yang berdiri di depan mereka ini adalah Ji Tang, ketua mereka yang ke tiga. Yang baru saja masuk tadi! "Tapi... tapi...., Ji-twako.... tapi...." Si pemegang kunci berkata gagap, sebentar memandang kepada Ji Tang dan sebentar kepada pintu yang tertutup itu. "Tadi.... bukankah baru saja Toako masuk....?" "Kau mimpi! Bicara ngacau-belao!" Ji Tang menggerakkan tangan kanannya menampar. "Plakk!" Penjaga itu ditamparnya dan terpelanting. "Hayo cepat buka, atau kalian ingin kupukul sampai mampus?" Kini enam orang itu yakin bahwa mereka tidak mimpi, bahkan yakin bahwa yang berdiri di depan mereka ini adalah Ji Tang asli. Tapi siapa yang tadi masuk? Dengan tangan gemetar, penjaga yang memegang kunci lalu membuka daun pintu. Ketika Ji Tang menyelinap masuk, mereka cepat menutupkan dan mengunci lagi daun pintu itu. "Aku pergi melapor.... !" kata kepala jaga dan diapun segera lari ke dalam kegelapan malam untuk melaporkan peristiwa yang dianggapnya tidak masuk akal dan amat aneh itu. Sementara itu, lima orang penjaga yang lain duduk berhimpitan di depan guha, di sudut dan hawa udara bagi mereka terasa semakin dingin sehingga mereka agak menggigil. Sarah masih tidur pulas, sama sekali tidak tahu bahwa di bawah sinar lentera yang tadi dipasang di dalam guha itu oleh penjaga, kini terdapat seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang menghampirinya, lalu berdiri di dekat dipan, mengamati dirinya dengan mata yang lahap. Orang itu menjilat-jilat bibir sendiri ketika memandang ke arah tubuhnya, sikapnya semakin gelisah seperti seekor harimau kelaparan yang siap menerkam kelinci. Sarah sudah tidur lelap sejak sore tadi, cukup lama. Dan kini agaknya sinar mata orang itu yang menggerayangi tubuhnya, terasa olehnya, seperti menggugahnya. Ia membuka kedua matanya dan begitu melihat laki-laki itu berdiri dekat sekali, dengan mata yang liar, dengan mulut setengah terbuka dari mana keluar napas terengah-engah, iapun terkejut dan cepat bangkit duduk sambil menjauhkan diri. "Siapa kau? Mau apa kau?" bentaknya. laki-laki itu tersenyum dan memang wajahnya cukup tampan. "Nona, aku Ji Tang, ketua ketiga dari kelompok kami. Aku datang karena kasihan kepadamu, Nona. Malam begini dingin dan engkau seorang diri saja. Aku ingin menemanimu, Nona." "Tidak sudi! Keluar! Aku tidak membutuhkan teman. Enyah kau dari sini!" Sarah menudingkan telunjuk kirinya ke pintu sedangkan tangan kanannya dikepal. Dalam pandangan Ji Tang yang sedang mabuk berahi, dalam keadaan seperti itu, Sarah nampak semakin menggairahkan. Diapun melangkah maju mendekati. "Aih, jangan pura-pura, Nona. Aku mendengar bahwa wanita kulit putih memiliki gairah yang besar dan selalu ingin ditemani pria. Marilah, Nona. Engkau akan senang dan akan aman kalau menjadi kekasihku. Tidak ada orang yang akan tahu...." Ji Tang yang sudah tidak tahan lagi, mengulurkan tangan hendak merangkul. "Bangsat kau! Jahanan busuk!" Sarah memaki dan wanita itu menggerakkan tangan kanannya memukul. Akan tetapi, sekali sambut saja, pergelangan tangan kanan Sarah sudah ditangkap oleh Ji Tang dan diapun merangkul, lalu menarik tubuh Sarah, diraih dan hendak dicium. Sarah meronta dan memalingkan mukanya, kemudian kakinya menendang. Ji Tang menyumpah karena tulang keringnya terkena tendangan ujung sepatu yang keras. Dia gagal mencium bibir dara itu, sebaliknya tulang keringnya kena cium! "Brettt....!" Baju kemeja itu robek lebar di bagian depan ketika Sarah meronta dan berusaha melepaskan diri dari rangkulan Ji Tang sehingga nampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Melihat tubuh yang molek itu terbayang jelas, nafsu berahi makin berkobar dalam kepala Ji Tang. Namun, tidak mudah menguasai gadis kulit putih itu. Bahkan untuk mendapatkan sebuah ciumanpun amat sukar. Gadis itu meronta, memukul, mencakar dan menendang, tiada ubahnya seekor kucing hendak dimandikan. Ji Tang menjadi marah. Dua kali dia menampar pipi Sarah, namun dara itu tidak menjadi takut, malah mengamuk semakin kuat. Akhirnya Ji Tang terpaksa menotoknya dan tubuh Sarah terkulai tanpa tenaga lagi. Ji Tang memondongnya dan merebahkannya telentang di atas dipan. Pada saat itulah Hay Hay memasuki guha itu. Tentu saja dia yang tadi membuat para penjaga terkejut dan terheran-heran karena dalam pandangan mereka, pemuda ini adalah Ji Tang! Tadi Hay Hay yang bersembunyi dekat mulut guha, melihat munculnya Ji Tang yang kemudian memasuki guha tempat dimana gadis kulit putih itu ditahan. Tak lama kemudian, karena dia hanya menduga bahwa pemimpin gerombolan yang bertubuh jangkung itu, tentu mempunyai niat mesum, dia mempergunakan kekuatan sihirnya, menyamar atau mengaku sebagai Ji Tang dan berhasil memasuki guha itu. Begitu dia masuk, pintu guha ditutup kembali dan dikunci dari luar. Masuknya Hay Hay hanya terlihat oleh Sarah yang terlentang tak berdaya. Akan tetapi, munculnya seorang pemuda ini tidak membuatnya girang karena Sarah menganggap bahwa yang muncul ini tentulah kawan si jangkung yang kurang ajar ini. Ia tahu bahaya apa yang mengancam dirinya. Hatinya mulai dicengkeram rasa takut dan ngeri, akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkannya. Ji Tang sendiri yang sedang diamuk nafsu berahinya, tidak melihat bahwa ada orang memasuki ruangan ini. Dia sudah tidak sabar lagi dan diapun menerkam tubuh yang sudah telentang tak berdaya di depannya. Terjadilah keanehan yang membuat Ji Tang dan juga Sarah terkejut dan terheran. Ketika Ji Tang menerkam ke tubuh Sarah yang terlentang di atas dipan, tiba-tiba saja tubuhnya terpentang ke belakang dan diapun jatuh terjengkang di atas lantai. Tentu saja Ji Tang terkejut dan mengira bahwa wanita kulit putih itu yang memiliki ilmu iblis. Akan tetapi karena dia tadi merasa tubuhnya seperti dibetot dari belakang, dia segera meloncat berdiri dan memutar tubuhnya. Barulah dia tahu bahwa disitu terdapat orang ketiga, seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia mengingat-ingat untuk mengenal siapa pemuda itu. Tubuhnya sedang dan tegap, dadanya bidang, wajahnya tampan dengan pakaian sederhana. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar dan dari bawah caping itu mengintai sepasang mata yang mencorong, mulut yang senyum-senyum nakal. Dia tidak mengenal orang ini, bukan seorang diantara anak buah gerombolan yang dipimpinnya. "Siapa kau!" bentaknya marah. Hay Hay tersenyum. "Siapa aku? Aku adalah seorang yang paling tidak suka melihat seorang laki-laki menggunakan paksaan dan memperkosa seorang gadis, biar gadis itu seorang wanita asing kulit putih sekalipun." "Jahanam! Kau hendak melindungi seorang wanita bangsa biadab?" Hay Hay tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa sebagian besar dari bangsanya sendiri selalu menyebut bangsa asing sebagai bangsa biadab! Hal ini merupakan balas dendam karena pernah dijajah oleh Bangsa Mongol. Dan bangsa-bangsa di luar daerah kerajaan merupakan suku-suku bangsa yang suka memberontak. Oleh karena itu, muncullah sebutan bangsa biadab bagi bangsa asing. Akan tetapi tentu saja tidak semua orang berpendapat demikian, dan yang jelas dia sendiri tidak mau menyebut biadab kepada bangsa apapun. Baginya, biadab tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh suku atau bangsanya, melainkan oleh perbuatannya. Maka, mendengar ucapan atau pertanyaan yang sifatnya menuduh dari si jangkung itu, dia tertawa. "Ha-ha-ha, kalau mau bicara tentang kebiadaban, maka bagiku, orang biadab adalah orang yang melakukan perbuatan keji macam apa yang kau lakukan sekarang ini. Engkaulah yang biadab, dan tentang wanita ini, aku belum melihat ia melakukan perbuatan yang tidak benar, maka aku tidak dapat mengatakan ia biadab." Hay Hay menoleh ke arah Sarah yang masih telentang di atas dipan dengan baju kemeja robek lebar di bagian depan. Dia melihat betapa gadis yang amat cantik jelita itu memandang kepadanya dengan mata birunya, pandang mata penuh dengan harapan dan permohonan. Dia pada saat itu menoleh kepada gadis itu, tiba-tiba saja Ji Tang menyerang dengan dahsyat! Si jangkung yang curang ini mempergunakan kesempatan selagi Hay Hay menengok untuk melayangkan pukulan maut ke arah kepala pemuda itu segera remuk. "Awas, sobat!" Tiba-tiba terdengar Sarah berseru. Gadis ini melihat gerakan serangan itu, maka dengan kaget ia lalu memperingatkan penolongnya, atau setidaknya pria yang mengeluarkan ucapan membelanya dan mencela si jangkung. Dengan tenang Hay Hay memalingkan mukanya dan pada saat itu, pukulan tangan kanan dari atas itu telah menyambar ke arah kepalanya. Hay Hay mengangkat lengan kiri menangkis dan pada saat itu juga, pada saat lengannya bertemu dengan lengan lawan, tangan kanannya sudah menyambar ke depan, jari telunjuknya menusuk perut lawan. "Hekk....!" Si jangkung yang tiba-tiba perutnya kena disodok jari, merasa napasnya terhenti dan perutnya mulas sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi dia menekuk tubuhnya ke depan. Ketika mukanya menurun karena perutnya ditekuk itu. Hay Hay menyambut mukanya dengan lutut kiri dan diangkat ke atas, tepat mengenai dagu lawan. "Dukkk.....!" Tubuh yang tadi membungkuk itu tiba-tiba menjadi tegak kembali, bahkan condong ke belakang karena kepala itu tadi terpental ke atas pada saat tubuh bagian atas condong ke belakang, Hay Hay sudah menggerakkan kaki menyapu ke arah kedua kaki lawan yang sudah kehilangan keseimbangan. "Brukkk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh si jangkung terpelanting dan dia terbanting ke atas lantai. Hay Hay tidak memperdulikannya, melainkan jalan menghampiri dipan dan sekali menggerakkan tangan, totokan pada tubuh Sarah telah bebas! Gadis itu bangkit duduk, menarik baju yang terobek dan mengikatkan kemeja robek itu sedapatnya asal bisa menutupi dadanya, dan matanya memandang ke arah Hay Hay, kini dengan pandang mata bersukur dan juga penuh kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tubuhnya sedang itu, yang nampaknya tidak begitu kuat, mampu merobohkan si jangkung sedemikian mudahnya. Iapun tahu bahwa orang ini tentu seorang pendekar seperti yqng pernah didengarnya cerita tentang para pendekar yang memiliki ilmu berkelahi tangguh sekali walaupun nampaknya pendekar itu bertubuh lemah. Iapun pernah melihat pertunjukan dan permainan silat, maka ia dapat menduga bahwa tentu si caping lebar ini seorang pendekar ahli silat. Pada saat itu, si jangkung yang merasa penasaran, sudah menubruk lagi dari belakang. Hay Hay tidak menangkis, melainkan meloncat ke samping untuk mengelak, dan ketika Ji Tang membalikkan tangan untuk mencengkeram ke arah lambungnya, Hay Hay memapaki tangan yang terbuka membentuk cakar itu dengan totokan jari telunjuknya. "Tokk! Aughhh.....!" Ji Tang berteriak kesakitan. Telapak tangan yang ditusuk jari telunjuk itu terasa panas dan nyeri, bahkan menusuk-nusukk rasanya sampai ke jantung. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terjengkang roboh ketika dadanya didorong ujung sepatu Hay Hay. Dan tubuhnya yang terjatuh itu menggelinding ke dekat dipan. Melihat ini, Sarah lalu memapakinya dengan tendangan sepatunya yang keras. "Crottt!" Ujung sepatu itu tepat mengenai hidung Ji Tang dan bukit hidung itu pun patah, kulitnya pecah dan darahpun mengucur! Hay Hay cepat menyambar tangan Sarah dan ditariknya ke belakang ketika kaki Ji Tang menyambar ke arah perut gadis itu. "Terima kasih!" Sarah berkata, maklum bahwa kalau tangannya tidak ditarik, tentu perutnya terkena tendangan yang amat keras itu. Kini Ji Tang melompat bangun, tangan kirinya menggosok hidung yang berdarah sehingga darahnya bahkan melumuri mukanya dan diapun sudah mencabut sepasang pedang pendeknya, senjata yang amat diandalkan. Hay Hay menudingkan telunjuknya ke arah Ji Tang dan berkata, suaranya lantang, "Heii, pedangmu di kedua tangan itu saling bermusuhan. Coba hendak kulihat, siapa diantara mereka yang lebih unggul?" "Ehhh? Apa....? Bagaimana....?" Ji Tang merasa bingung, akan tetapi segera terjadi hal yang amat aneh. Kini Ji Tang menggerakkan kedua pedangnya dan kedua pedang itu seperti bertempur sendiri, digerakkan kedua tangannya dan terdengar suara berdentangan. Hay Hay memandang dengan kekuatan sihirnya, kemudian dia cepat memegang tangan Sarah dan berbisik, "Hayo kita cepat pergi!" Dia menghampiri daun pintu dan diketuknya daun pintu besi itu. "Buka pintu! Buka....!" Para penjaga di luar yang masih terheran-heran, kini membuka daun pintu itu dan begitu Hay Hay menyapu mereka dengan pandang matanya, mereka melihat Ji Tang menggandeng tawanan wanita kulit putih itu keluar. Karena tadi Ji Tang telah bersikap keras, maka para penjaga itu tidak ada yang berani menegur sehingga Hay Hay dapat dengan mudah membawa Sarah lari dan menghilang dalam kegelapan malam. Pada saat Hay Hay dan Sarah lenyap ditelan kegelapan, penjaga yang tadi melapor sudah datang berlari-lari, diikuti empat orang pimpinan gerombolan itu. Mereka berempat marah dan juga tidak percaya bahwa Ji Tang telah menjadi dua orang yang kata penjaga itu keduanya memasuki tempat tahanan dimana gadis kulit putih itu ditawan. Ketika mereka tiba di depan guha yang pintunya sudah terbuka, mereka melihat para penjaga itu berdiri memandang ke dalam dengan bengong. Melihat ini empat orang pimpinan itu berlompatan dan merekapun berada di pintu guha dan memandang ke dalam. Mereka terbelalak dan bengong, terheran-heran melihat rekan mereka, Ji Tang, memainkan kedua pedang yang saling serang seperti seorang dalang wayang boneka memainkan dua peran yang sedang berkelahi! Pemimpin gerombolan yang tinggi besar hitam itu lalu meloncat ke dekat Ji Tang, menepuk pundaknya dan membentak nyaring. "Ji Tang, apa yang kau lakukan ini?" Ji Tang terkejut, kedua batang pedangnya terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai, lalu memandang ke sekeliling seperti orang yang baru terjaga dari tidurnya. "Apa.... apa yang terjadi? Dimana keparat bercaping itu dan mana..... mana tawanan kita....?" Ji Tang memandang kepada para penjaga yang berkerumun di depan guha. "Heii, kalian para penjaga! Kemana perginya tawanan kita?" Para penjaga menjadi panik dan takut. "Toako, tadi kami melihat Toako Ji Tang mengajak tawanan itu keluar dari sini!" "Gila kalian! Aku masih di dalam sini!" teriak Ji Tang bingung. "Sungguh mati, kami melihat Ji-toako tadi keluar menggandeng tawanan itu dan menuju kesana." Seorang penjaga menunjuk keluar guha, ke arah kiri. Raksasa hitam itu membentak. "Cukup semua ini! Keterangan boleh nanti diberikan. Sekarang semua harus cepat pergi mencari dan menangkap kembali wanita kulit putih itu!" Dipasanglah obor-obor dan gegerlah perkampungan gerombolan itu. Suasana menjadi ramai sekali dan semua orang melakukan pengejaran dan pencarian kesana kemari. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia. Tawanan itu lenyap tanpa meninggalkan bekas, pria yang menurut keterangan Ji Tang adalah seorang pemuda bercaping lebar akan tetapi menurut para penjaga adalah Ji Tang sendiri! Lima orang pemimpin itu mengadakan perundingan dan mereka yang lain mendengarkan keterangan Ji Tang yang amat aneh, juga keterangan para penjaga yang mengatakan bahwa mereka melihat Ji Tang dua kali memasuki guha, kemudian melihat Ji Tang membawa keluar tawanan wanita, akan tetapi didalam guha terdapat Ji Tang pula yang sedang bermain-main dengan sepasang pedangnya seperti orang gila! "Tentu ada orang lain menyamar seperti engkau, sam-te (adik ke tiga)," kata raksasa hitam. "Dan orang itulah yang melarikan tawanan kita. Hanya anehnya, bagaimana mereka itu dapat melarikan diri demikian cepat, dimalam gelap pula?" "Lebih aneh lagi, orang itu dapat menyamar seperti aku, padahal ketika memasuki guha, jelas kulihat dia tidak menyamar, melainkan mengenakan caping lebar. Dan betapa aku seperti orang tak sadar bermain-main dengan sepasang pedangku. Aih, jangan-jangan dia itu bukan manusia, Toako. Ketika aku menyerangnya, aku roboh dua kali secara aneh. Hihh, dia tentu iblis sendiri yang mengganggu kita. Ataukah..., jangan-jangan wanita kulit putih itu mempunyai peliharaan setan!" Semua orang bergidik ngeri mendengar ini. Bukan tidak mungkin, pikir mereka. Mereka tidak mengenal benar kebudayaan dan kepandaian orang kulit putih. Mereka adalah orang-orang sederhana yang percaya akan tahyul, dan melihat semua keanehan ini, dan lenyapnya tawanan tanpa meninggalkan jejak, mereka yakin bahwa tentu ada setan yang menolong wanita itu! Sebagai orang-orang tahyul, mereka segera melakukan sembahyang, baik di depan peti-peti mati di guha besar, maupun di tempat-tempat yang mereka anggap keramat untuk mohon agar iblis dan setan tidak lagi mengganggu mereka.....
Jilid 15
Kemanakah perginya Hay Hay dan Sarah? Ketika Hay Hay berhasil menarik tangan Sarah menyelinap dalam kegelapan, diapun bingung ke mana harus melarikan diri. Malam itu gelap sekali dan tidak mungkin mempergunakan ilmu berlari cepat di tempat penuh batu dan gelap itu, apalagi dia tidak mengenal daerah itu, ditambah dia harus melindungi wanita kulit putih. "Sobat, kemana kita dapat pergi....!??" Sarah juga merasa khawatir karena ia melihat guha banyak orang berlarian ke arah guha tadi dan terdengar mereka itu ribut-ribut. Kepergiannya telah diketahui orang dan tentu banyak orang akan mencarinya. Bagaimana penolongnya ini akan mampu menghadapi puluhan orang seperti itu? "Sttt, mari nona!" kata Hay hay dan diapun sudah tahu kemana dia harus membawa wanita itu bersembunyi. Guha tempat berkabung, dimana tiga buah peti itu berjajar! Para penjaga di guha itupun sudah meninggalkan tempat penjagaan mereka karena merekapun mendengar ribut-ribut itu dan mereka berlarian menuju ke guha tempat tawanan. Yang tinggal di guha tempat berkabung tinggal keluarga tiga orang anggauta perampok yang tewas oleh peluru pestol Kapten Gansalo, terdiri dari isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka. Tempat itu diterangi tiga buah lampu gantung dan lilin-lilin bernyala di atas meja sembahyang. Tiba-tiba tiga buah lentera gantung itu padam! Dan berturut-turut, semua lilin di atas meja sembayang juga padam! Suasana menjadi gelap gulita dan sibuklah mereka yang berkabung. Ada yang cepat mencoba untuk menyalakan lilin dan lampu, ada pula yang menangis dan mereka semua merasa ketakutan karena padamnya semua lampu dan lilin merupakan hal yang aneh dan juga menakutkan, apalagi disitu terdapat tiga buah peti mati berisi mayat. Sebagian besar orang menghubungkan kematian dengan iblis dan setan, menimbulkan perasaan ngeri, seram dan takut! Rasa takut seialu timbul karena tidak mengerti, tidak mengenal apa dan bagaimana kematian itu, juga kita tidak mengenal dan tidak tahu apa yang disebut setan dan iblis itu. Oleh karena keduanya merupakan hal yang asing dan tidak kita kenal, maka muncullah dugaan yang macam-macam, khayalan yang aneh-aneh dan timbullah rasa takut. Membayangkan orang mati hidup kembaIi, kita merasa takut dan menghubungkannya dengan setan dan iblis, coba kita membayangkan seekor semut yang sudah mati hidup kembali, tidak ada diantara kita yang akan merasa takut, karena semut tidak merupakan ancaman bagi keselamatan kita. Berbeda dengan manusia mati yang hidup kembali, kita membayangkan betapa mayat hidup itu menjadi setan dan akan mencekik kita! Tak seorangpun diantara para keluarga si mati yang berkabung disitu tahu betapa dalam kegelapan tadi ada dua sosok bayangan menyelinap masuk ke dalam guha, terus ke dalam dan lenyap dalam kegelapan guha sebelah dalam dimana terdapat empat buah ruangan kamar yang dipergunakan untuk menyimpan senjata alat berlatih silat di ruangan besar guha itu. Juga tidak ada yang tahu bahwa yang memadamkan lentera dan lilin tadi adalah Hay Hay. Setelah lentera gantung dan semua lilin sudah dinyalakan kembali, para anggauta keluarga itu sibuk menyembahyangi tiga peti mati karena mereka takut kalau-kalau arwah tiga orang itu yang tadi penasaran dan "mengamuk", memadamkan semua penerangan. Asap hio yang mereka pergunakan untuk sembahyang memenuhi tempat itu, membentuk tirai asap putih yang hanya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit keluar dari guha. Tiba-tiba semua orang, ada belasan orang keluarga tiga orang yang mati, terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut ketika terdengar suara di belakang tiga buah peti mati itu. Suara itu besar dan dalam, bergema dan terdengar oleh mereka seperti bukan suara manusia! "Kalian semua keluarlah..... , keluarlah.... kami ingin tenang.... keluarlah atau kami akan mengajak kalian mati....!!" Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya semua orang yang berada disitu. Biarpun tiga buah peti mati itu berisi jenazah kepala keluarga mereka, suami dan ayah mereka yang kematiannya mereka tangisi dan mereka kabungi, akan tetapi begitu ada suara dari si mati, merekapun menjadi ketakutan! Memang aneh. Keluarga yang ditinggal akan menangisi kematian seseorang yang dicinta, berduka dan kecewa karena orang yang dikasihi meninggalkan mereka, akan tetapi begitu yang ditangisi itu, yang dianggap sudah mati, dapat bersuara atau hidup kembali, mereka yang berkabung itu akan lari cerai-berai ketakutan! Sambil menjerit-jerit, mereka yang berkabung itu berhamburan keluar dari dalam ruangan guha yang besar itu. Sarah yang menyaksikan itu semua, tidak menahan suara tawanya. Baru setelah Hay Hay memberi isyarat, ia membungkam mulut sendiri dengan tangan, agar suara tidak keluar dari mulutnya. Gadis ini merasa geli bukan main melihat betapa Hay Hay mempermainkan mereka yang berada disitu sehingga mereka itu lari tunggang langgang, jatuh bangun dan mungkin juga ada yang sampai terkencing-kencing. Setelah suara tawanya mereda, Sarah menjatuhkan diri duduk di dalam sebuah di antara kamar-kamar itu, bersandar kepada dinding batu. Lantai kamar itu kering dan bersih, dan di sudut terdapat rak senjata. Hay Hay juga duduk bersandar dinding, berhadapan dengan gadis itu, dalam jarak tiga meter. Mereka saling pandang dan diam-diam keduanya saling mengagumi. Kini Hay Hay menanggalkan capingnya yang tergantung di punggung. Baru sekarang Sarah dapat melihat wajah penolongnya dengan jelas. Wajah yang cerah, tampan dan terhias senyum nakal. Hay Hay juga memandang kagum. Kiranya gadis ini nampak masih muda sekali, bahkan wajahnya masih kekanak-kanakan. Akan tetapi kalau dia teringat betapa tadi di dalam guha, gadis bule ini berani menentang seorang pemimpin perampok ganas, melawan mati-matian, bahkan ketika sudah bebas dari totokan, mampu menendang remuk hidung kepala perampok jangkung, sungguh dia merasa kagum sekali. Gadis ini benar-benar mempunyai watak seorang pendekar wanita! "Kenapa engkau tertawa, Nona? Jangan keras-keras kalau tertawa, nanti terdengar mereka, kita bisa celaka," kata Hay Hay memancing bicara. Dara itu tersenyum nakal dan jantung Hay Hay berdebar. Biarpun penerangan yang memasuki kamar itu tidak terlalu kuat, namun dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Ketika gadis itu tersenyum, nampak deretan gigi putih yang rapi dan amat kuat, dan senyum itu mengandung madu, begitu manisnya. Ada lesung pipi yang amat jelas dan lekuk dagu yang mempesonakan. "Aku tidak takut karena disini ada engkau." kata Sarah. "Aku tahu siapa engkau." Hay Hay terbelalak, memandang wajah cantik itu penuh selidik. Benarkah dara asing ini mengetahui siapa dia? "Ehh? Engkau tahu siapa aku? Nah, katakan siapa aku." "Engkau tentu seorang pendekar, ahli silat dan juga engkau seorang tukang sulap." "Tukang sulap? Apa maksudmu?" "Engkau tadi membuat si jahanam jangkung itu menari-nari dengan kedua pedangnya seperti orang gila, kemudian engkau dapat membawa aku keluar dari guha itu tanpa ada yang menghalangi, dan disini, engkau membuat semua orang tunggang langgang setelah dengan aneh engkau memadamkan semua penerangan dan lilin. Sobat, engkau telah menolongku, sungguh aku berhutang budi besar kepadamu. Siapakah namamu?" "Sebut aku Hay Hay, dan engkau siapa, Nona? Bagaimana pula engkau sampai tertawan oleh para perampok itu?" "Panjang ceritanya, akan tetapi apakah kita hanya akan membuang waktu dengan bercakap-cakap di tempat ini? Bukankah kita harus cepat-cepat meloloskan diri dari sini, Hay Hay?" Hay Hay tersenyum. Dia semakin kagum dan suka kepada dara kulit putih ini. Demikian bebas terbuka dan ramah sehingga dengan akrabnya menyebut namanya begitu saja tanpa canggung-canggung, seolah-olah mereka telah lama sekali menjadi sahabat karib. "Kita tidak mungkin pergi sekarang. Di luar gelap dan aku tidak mengenal jalan. Juga mereka akan menghadang. Jumlah mereka banyak. Besok aku akan mencari akal dan jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu bebas dari tempat ini." Sarah menarik napas lega. "Aku percaya pdamu, Hay Hay. Nah, namaku Sarah lengkapnya Sarah Armando. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow." “Ahh…….!” "Engkau mengenal ayahku?" "Tidak, aku bukan orang Cang-cow, aku hanya terkejut dan heran mendengar engkau puteri seorang komandan. Lalu bagaimana engkau dapat tertawan oleh para penjahat itu?" "Aku marah kepada ayah……" kata Sarah dengan mulut cemberut. Bibirnya yang merah segar itu meruncing dan nampak lucu bagi Hay Hay sehingga dia tertawa. Dara ini seperti seorag anak kecil yang merajuk saja. "Hemm, Sarah, engkau marah kepada ayahmu kenapa lalu tertawan penjahat?" "Ayah sudah berjanji untuk mengajak aku berkuda pagi tadi, akan tetapi dia berhalangan karena harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati terhadap pemberontak. Ayah lalu menyuruh Kapten Gonsalo mewakilinya untuk mengantar aku berkuda di perbukitan. Kapten Gonsalo adalah wakil atau pembantu utama ayah. Hatiku jengkel sekali." "Aih, kenapa begitu? Bukankah engkau sudah dapat pergi berkuda diantar oleh Kapten Gonsalo itu?" "Ya, akan tetapi aku tidak suka kepada Kapten Gonsalo." "Hemm, lalu apa yang terjadi?" "Kami berkuda di perbukitan dan karena masih marah aku lalu membalapkan kuda ke perbukitan yang penuh hutan. Kapten Gonsalo hendak melarang, akan tetapi aku nekat dan diapun mengejarku. Setiba kami di tengah hutan, tiba-tiba muncul banyak perampok. Kapten Gonsalo menyerang mereka dengan pistolnya dan dia merobohkan tujuh orang perampok. Peluru pistolnya habis dan dia lalu mengamuk dengan pedangnya, dikeroyok banyak perampok." Hay Hay mengangguk-angguk. "Hebat juga Kapten Gonsalo itu, Sarah." "Dia memang seorang jagoan. Jago tembak, jago bermain pedang dan jago tinju. Kapten muda berusia tiga puluhan tahun itu di benteng kami tidak ada yang berani melawannya." "Hemm, dia gagah. Sungguh aneh engkau tidak menyukainya. Apakah dia kasar dan kurang ajar?" "Dia tampan dan gagah, keras akan tetapi terhadap aku dia amat sopan. Adalah pandang matanya yang membuat aku tidak suka padanya." "Pandang matanya?" "Matanya itu kalau memandang kepadaku mengingatkan aku akan mata seekor srigala atau harimau kelaparan!" Mendengar ini Hay Hay tertawa akan tetapi menahan suara tawanya agar jangan bergelak. Dia mengerti sekarang. Kiranya seorang kapten muda yang tampan dan gagah perkasa jatuh cinta kepada dara jelita ini, akan tetapi agaknya sang dara ini tidak membalas cintanya itu. Payah kalau cinta bertepuk tangan sebelah! "Lalu bagaimana, Sarah? Teruskan ceritamu." "Kapten Gonsalo mengarnuk, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan dia. Ketika aku bersiap-siap untuk membantunya dan mencabut pistolku, tiba-tiba saja ada orang menyerangku dari belakang dan tahu-tahu aku sudah tidak mampu menggerakkan kaki tanganku yang menjadi lemas dan lumpuh. Aku ditawan seorang laki-laki tinggi kurus dan aku dilarikan olehnya di atas kuda, dibawa ke sini dan dihadapkan pimpinan penjahat. Lalu aku ditawan di dalam guha itu sampai muncul si jahanam busuk jangkung itu. Oohh, betapa inginku menembakkan pistolku sampai habis peluruku ke dalam kepalanya!" "Jadi, mayat-mayat dalam peti mati ini adalah korban peluru senjata api Kapten Gonsalo? Dan bagaimana dengan dia?" "Benar, tujuh orang roboh oleh. tembakannya dan dia memang kuat, mungkin masih ada beberapa orang lagi roboh oleh pedang dan tinjunya. Mungkin tiga orang di antara mereka tewas. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan nasib Kapten Gonsalo. Akan tetapi dia seorang yang kuat dan cerdik, kurasa tidak mudah bagi penjahat-penjahat itu untuk menangkapnya." Hay Hay mengangguk-angguk dan diapun berpikir dengan keras. Kebetulan sekali dia bertemu puteri komandan benteng Portugis, bahkan menyelamatkannya. Hal ini membuka kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan orang-orang Portugis yang di dalam surat laporan Yu Siucia disebut sebagai sekutu para pejabat di Cang-cow yang hendak melakukan pemberontakan, di samping para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau melihat dara ini, dan mendengar ceritanya tentang Kapten Gonsalo, agaknya bangsa Portugis ini adalah bangsa yang gagah perkasa! "Heii, kenapa engkau melamun saja, Hay hay? Sekarang tiba giliranmu menceritakan keadaan dirimu, siapa engkau sebenarnya dan bagaimana engkau dapat datang kesini dan menyelamatkan aku." Hay Hay sadar dari lamunannya. Dia harus mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sarah dan memancing keterangan apa saja yang dapat dia peroleh dari puteri komandan ini. "Aku? Sudah kukatakan, namaku Hay Hay dan adalah seorang perantau yang sedang berusaha mencari pekerjaan yang layak di Cang-cow. Ketika tadi aku lewat di bukit sana, aku melihat engkau dilarikan si tinggi kurus ke bukit berbatu ini. Aku merasa curiga dan aku paling tidak suka melihat wanita diperhina, maka aku lalu membayanginya dan berhasil menyelundup ke tempat ini. Ketika aku mendapatkan kesempatan, aku memasuki guha dimana engkau ditawan dan kebetulan saja aku dapat menghindarkan engkau dari penghinaan yang akan dilakukan si jangkung itu." "Jahanam busuk dia!" kata ,Sarah sambil mengepal tinju. "Andaikata engkau tidak muncul, Hay Hay, sudah pasti aku akan menjadi korban kebiadabannya, dan aku akan diperkosanya. Dan sisa hidupku akan kupergunakan untuk membalas dendam kepadanya, entah dengan cara bagaimanapun juga!” Hay Hay bergidik. Dara muda yang jelita ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa. "Sarah, kukira, para pemimpin perampok menawanmu dengan maksud untuk menjadikan engkau sebagai sandera dan akan minta uang tebusan yang besar jumlahnya. Hanya si jangkung tadi sajalah yang hendak berbuat tidak senonoh dan kukira dia melakukannya diluar tahu para rekannya, yaitu empat orang pimpinan yang lain. Kulihat engkau sama sekali tidak takut menghadapi orang-orang buas itu." "Hemm, kenapa takut? Baik Kapten Gonsalo sudah tewas atau mampu meloloskan diri aku yakin bahwa ayah tentu akan memimpin pasukan untuk mencariku, dan kalau pasukan ayah dapat tiba di tempat ini, tentu seluruh perampok itu akan dibasmi habis!" "Sarah, sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu." Hay Hay mengamati wajah yang jelita itu. Sarah balas memandang dan alisnya berkerut, pandang matanya berubah heran dan menyelidik. "Hay Hay, engkau seorang diri berani menyusup ke tempat berbahaya ini dan menolongku. Sepatutnya akulah yang kagum kepadamu atas keberanian, kegagahan dan kemuliaan hatimu. Bukan engkau yang mengagumiku. Kenapa engkau mengatakan kagum sekali kepadaku?" Hay Hay tersenyum. Dia tidak sekedar merayu. Dia memang kagum kepada gadis kulit putih ini, kagum akan kecantikannya, kagum akan keberaniannya. "Kenapa? Sikapmu begini gagah berani, sedikitpun engkau tidak penakut dan tidak cengeng seperti kebanyakan wanita. Dan engkau begini cantik jelita dan manis. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang gadis sejelita engkau, Sarah. Rambut di kepalamu seperti mahkota emas, seolah-olah mengeluarkan cahaya. Dan wajahmu amat manis, terutama sekali sepasang matamu. Bagaikan dua buah bintang kejora, dan warnanya demikian penuh rahasia, kebiruan seperti lautan yang dalam. Bentuk dahimu, pipimu, hidungmu, dagumu dan terutama bibirmu! Bukan main, seperti engkau inilah kiranya wajah bidadari dari dongeng. Dan bentuk tubuhmu! Engkau wanita yang sempurna kecantikanmu. Sarah, dan aku kagum bukan main." Kerut di alis itu semakin mendalam dan kini sepasang mata itu menyinarkan kemarahan, "Hay Hay, kelirukah penilaianku terhadap dirimu? Tadi aku menilaimu sebagai seorang pendekar, seorang yang gagah perkasa dan berbudi mulia! Apakah engkau ternyata hanya seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar!" "Hemmm, kenapa engkau menganggap aku mata keranjang dan kurang ajar, Sarah?" "Engkau mencoba untuk merayu aku, ya? Hay Hay, biarpun kuakui bahwa engkau telah menolongku, akan tetapi jangan kira bahwa setelah menolongku, engkau dapat berbuat sesuka hatimu, dapat merayu dan menggodaku!" "Wah, sungguh sayang, Sarah. Pujianku kepadamu tetap. Engkau cantik jelita dan gagah perkasa, akan tetapi sekarang setelah engkau bicara, sayang sekali harus kukatakan bahwa engkau berprasangka buruk dan karenanya bodoh sekali!" Bagaimanapun juga, Sarah tetap seorang wanita. Tidak ada wanita yang tidak haus akan pujian. Baik pujian itu sejujurnya ataupun hanya rayuan, tetap saja segala macam bentuk pujian membesarkan hati seorang wanita, dan mengangkat harga dirinya. Biarpun tadi marah-marah, tetap saja di sudut hatinya, Sarah merasa senang dan bangga mendengar pujian pria yang dikaguminya, yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang amat hebat. Kini, mendengar pemuda itu mengatakan ia berprasangka buruk dan bodoh, tentu saja ia menjadi kecewa. "Hay Hay……..!" “Ssttt……., jangan berteriak…….” Sarah teringat, "Hay Hay," katanya, kini lirih. "Engkau sombong! Engkau mengatakan aku berprasangka buruk dan bodoh? Betapa sombongnya engkau!" Hay Hay tersenyum. "Nah, itulah bukti kebodohanmu. Ketika aku memujimu, engkau marah dan menganggap aku merayu dan menggoda, mata keranjang. Ketika aku mengatakan engkau berprasangka buruk dan bodoh engkau mengatakan aku sombong." "Tentu saja! Engkau seorang laki-laki, dan baru saja menolongku. Sekarang engkau memuji-muji kecantikanku dengan kata-kata yang muluk, bukankah itu rayuan gombal namanya?" "Sarah, rayuan hanya dikeluarkan oleh orang yang ingin menjilat dan menyenangkan ia yang dirayunya, dengan pamrih tertentu. Akan tetapi aku sama sekali tidak merayumu. Kau lihat, aku mempunyai sepasang mata yang sehat dan tidak cacat, bukan?" Sarah memandang heran. "Tentu saja, biar bentuk matamu agak sipit, namun sinarnya mencorong seperti mata naga." "Eh, engkau sudah melihat mata naga?" "Dalam dongeng yang kubacanya. Nah, ada apa dengan matamu?" "Aku mempunyai sepasang mata yang sehat. Aku melihat engkau dan pandang mataku melihat betapa wajahmu cantik jelita. Aku mengatakannya dengan terus terang, karena memang aku menyukai keindahan. Aku menggambarkan kecantikanmu seperti kalau aku melihat setangkai kembang yang indah dan mengaguminya. Apakah ini yang kau namakan aku mata keranjang dan merayu? Aku hanya mengemukakan pendapat secara jujur. Engkau memang cantik jelita dalam pandanganku. Apakah aku harus mengatakan bahwa engkau buruk? Apakah kejujuranku ini kau anggap sebagai rayuan gombal?" Kini pandang mata gadis itu menjadi terbelalak. Agaknya ia bingung. Belum pernah ia mendengar pendapat seorang pria seperti yang baru saja didengarnya. "Engkau ini…… aneh, Hay Hay! Benarkah pujianmu tadi bukan rayuan, melainkan pernyataan yang jujur? Apakah di balik pujian itu tidak ada suatu pamrih, suatu dorongan berahi? Apakah engkau tidak ingin menyentuhku, memeluk dan menciumku?" Tiba-tiba Hay Hay merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya berubah merah. Untung bahwa sinar penerangan yang memasuki kamar batu itupun kemerahan sehingga perubahan warna pada wajahnya tidak akan nampak. Dia menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus bersikap sejujurnya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis bangsanya. Demikian terbuka dan agaknya tidak pantang bicara tentang berahi. Dia harus menarik napas panjang beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum bicara. "Kau ingin aku jujur, bukan? Jangan marah kalau jawabanku yang jujur akan menyinggung perasaan hatimu." "Kalau engkau tidak jujur dan membohongiku, barulah aku akan tersinggung, Hay Hay." "Baiklah. Terus terang saja, kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuhmu, memeluk dan menciumi, jawabnya sama dengan kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuh, meraba dan mencium setangkai bunga yang indah mengharum? Aku akan berbohong kalau aku mengatakan tidak, Sarah. Engkau begini cantik jelita seperti setangkai bunga, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa aku mempunyai niat tidak senonoh kepadamu. Aku menyayangi keindahan. Aku akan menyentuh dan mencium setangkai bunga karena mengaguminya, akan tetapi aku tidak akan memetiknya dan merusaknya. Engkau mengerti?" Hay Hay menduga bahwa gadis itu akan tersinggung dan marah. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali! “Aku mengerti, Hay Hay, dan aku semakin kagum kepadamu. Engkau jujur dan jantan. Nah, kalau memang engkau ingin menyentuh, memeluk dan menciumku, kenapa tidak kau lakukan itu?” "Ehhh……!" Hay Hay terbelalak mengamati wajah gadis itu. Mengejekkah gadis itu? "Kenapa, Hay Hay? Bukankah engkau ingin memeluk dan menciumku? Nah, aku akan girang sekali kalau kau lakukan itu. Ataukah ucapanmu itu hanya basa-basi belaka dan engkau tidak berani melakukan apa yang kau katakan?" "Aku takut engkau akan marah kalau kulakukan itu, Sarah." "Kenapa marah? Kalau memang engkau jujur, aku tidak akan marah bahkan aku akan merasa bangga dan girang sekali. Atau engkau hanya pura-pura jujur saja?" Bukan main! Hay Hay tercengang. Belum pernah dia bertemu seorang gadis seperti ini. Kalau dia tidak yakin akan kejujuran Sarah, tidak yakin akan kesucian hatinya dan melihat betapa Sarah mati-matian mempertahankan kehormatannya, bahkan akan membalas dendam secara mengerikan kalau sampai kehormatannya dicemarkan, tentu dia akan mengira gadis ini murahan! Begitu saja menantang seorang laki-laki untuk memeluk dan menciumnya untuk menimbulkan kekagumannya dan kejujurannya! Namun, Hay Hay tahu bahwa menghadapi gadis seperti ini, diapun harus berani membuktikan kejujurannya. Apalagi, bukti itu akan amat menyenangkan! "Kalau begitu, maafkan aku!" katanya dan diapun bangkit, menghampiri Sarah, duduk di dekatnya dan diapun merangkul dengan perasaan sayang, lalu dengan lembut dia mencium dahi yang kulitnya putih seperti susu itu. Ciuman yang hangat dan mesra. Dalam sentuhan antara hidung dan bibir Hay Hay dengan kulit dahi yang halus dan harum aneh oleh bedak dan keringat itu terkandung perasaan sayang dan kagum dari hati Hay Hay, mendatangkan kehangatan pada hidung dan bibirnya. Kedua lengannya merangkul pundak dan leher dengan lembut namun kuat, seolah dia hendak melindungi wanita asing yang membuatnya kagum ini. Ketika tadi Hay Hay mendekatkan mukanya, Sarah sudah memejamkan mata dan membuka bibir, menanti ciuman hangat. Ia masih memejamkan mata ketika ciuman itu jatuh ke dahinya dan iapun teringat kepada ayahnya yang biasanya juga mencium dahinya dengan kasih sayang. la membiarkan dirinya dipeluk ketat, membiarkan pemuda pribumi itu sejenak menempelkan bibir dan hidung didahinya, dengan pasrah. Hay Hay menarik kembali mukanya dan melepaskan rangkulannya dengan lembut, memandang wajah ayu yang masih memejamkan mata. Dahulu, kalau dia mencium seorang gadis, maka gadis itu akan tersipu malu, membuang muka ke samping atau menunduk. Akan tetapi, Sarah masih tetap tengadah, memejamkan mata dan mulutnya tersenyum dengan bibir setengah terbuka. Sama sekali tidak nampak canggung atau malu-malu. Perlahan-lahan Sarah membuka matanya memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak dan pesona itu pecah ketika Sarah tertawa! Tawanya juga lepas walaupun suaranya hanya lirih karena ditahan. Deretan giginya yang rapi dan putih hampir nampak semua ketika sepasang bibir yang merah itu merekah. Hay Hay mengerutkan alisnya, wajahnya terasa panas sekali. Dia merasa diejek! Apanya yang salah pada ciumannya? Kenapa Sarah menertawakannya? Tawa itu jelas tawa yang mengandung arti, seperti orang melihat sesuatu yang amat lucu. "Sstt, jangan keras-keras tertawa, Sarah. Katakan, kenapa engkau menertawakan aku?" Sarah berhenti tertawa dan memegang lengan Hay Hay. "Tentu saja aku tertawa karena engkau lucu. Engkau mengingatkan aku kepada ayahku." katanya sambil menahan tawa dengan senyum lebar. Kerut diantara alis Hay Hay masih belum lenyap. "Hemm, sudah begitu tuakah aku? Kenapa aku mengingatkan engkau kepada ayahmu? Usiaku baru dua puluh lima tahun!" Mendengar ucapan ini, Sarah kelihatan semakin geli dan kini kedua tangannya memegang kedua tangan Hay Hay, matanya menatap dengan terbuka dan bibirnya menahan senyum geli, "Tentu saja engkau mengingatkan aku kepada ayahku karena engkau menciumku seperti kalau ayah menciumku. Dan engkau bukan ayahku. Ha, engkau sungguh sama sekali tidak pandai mencium, Hay Hay." Kini Hay Hay yang tersipu. Gadis ini segalanya begitu terus terang, begitu polos dan sadar, yang ada dalam hati dan pikirannya, ceplas-ceplos saja dikatakan melalui mulutnya tanpa ada rikuh, tanpa khawatir menyinggung perasaan orang karena memang sama sekali tidak ada niat untuk menyinggung. Biarpun tersipu, Hay Hay tersenyum dan semakin kagum. "Maafkan aku, Sarah. Terus terang saja, aku memang bukan ahli dalam hal itu, mungkin kurang pengalaman karena jarang memperoleh kesempatan. Nah, kau beritahu padaku, bagaimana sih seharusnya mencium seorang gadis seperti engkau ini?" Tentu saja Sarah merasa heran dan geli. Seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun, bertanya kepadanya tentang cara mencium seorang gadis! Hal ini terdengar janggal dan aneh baginya, tentu saja karena bangsanya sudah pandai berpacaran sejak usia di bawah dua puluh tahun! Melihat cara Hay Hay tadi menciumnya, ia percaya bahwa Hay Hay tidak berpura-pura. "Ada tiga cara mencium, Hay Hay. Pertama, ciuman sayang orang tua kepada anaknya, yaitu ciuman di dahi seperti yang kau lakukan tadi. Kedua, ciuman sayang antara saudara atau sahabat baik, di pipi kanan atau kiri atau keduanya. Dan ke tiga adalah ciuman tanda cinta seseorang kepada kekasihnya yaitu ciuman bibir dengan bibir. Nah, engkau sekarang sudah tahu. Perbaikilah ciumanmu yang salah tadi." Setelah berkata demikian, gadis itu dengan sikap manja menengadahkan mukanya yang cantik, dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka. Melihat wajah yang dekat itu, hidung yang mancung dan bibir yang menggairahkan dan menantang, ingin sekali Hay Hay mengecup bibir itu. Akan tetapi dia tidak berani melakukannya. Biarpun aneh dan bebas, dia tahu bahwa Sarah adalah seorang gadis yang terhormat, seorang gadis yang memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menyinggung hati gadis yang mendatangkan perasaan kagum di hatinya itu. Maka, diapun mendekatkan mukanya, kemudian mencium gadis itu pada kedua pipinya, dengan hidung dan bibirnya. Ciuman yang mengandung perasaan sayang dan kagum. Dan dia merasa betapa gadis itupun tanpa canggung-canggung membalas ciumannya. Setelah Hay Hay melepaskan rangkulannya dan menatap wajah Sarah, mereka saling pandang dan gadis itu tersenyum. Dan Hay Hay merasa betapa terjadi perubahan dalam suasana dan hubungan mereka. Terasa akrab sekali dan seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak bertahun-tahun. Lenyaplah perasaan asing diantara mereka. "Nah, sekarang kita telah benar-benar menjadi sahabat baik, Hay Hay. Dan aku berterima kasih sekali kepadamu, karena selain engkau telah menolongku, juga ternyata engkau seorang gentlemen sejati." "Gentlemen? Apa itu?" Sarah tersenyum lebar. "Gentlemen itu kalau menggunakan bahasamu adalah seorang jantan, seorang ksatria, seorang laki-laki sejati yang dapat dipercaya, yang gagah perkasa, lembut hati. Pendeknya, seorang laki-laki pilihan, begitulah!" "Dan engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi baik, dan terus terang saja, juga begitu amat aneh. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dan bersahabat dengan gadis yang hebat seperti engkau ini." Gadis itu memandang dengan wajah berseri gembira. "Dan akupun tidak pernah mimpi akan dapat berkenalan dengan seorang pendekar seperti engkau. Kukira tadinya bahwa semua orang pribumi……" Sarah menghentikan ucapannya dan menatap wajah pemuda itu dengan ragu. Bagaimanapun, dara ini tidak ingin kalau ucapannya akan membuat sakit hati orang yang dikagumi ini. "Kau kira semua orang pribumi bagaimana, Sarah? Lanjutkanlah dan jangan ragu. Akupun mengagumi kejujuranmu." "Baik aku akan berterus terang saja. Karena terpengaruh oleh pendapat bangsaku, tadinya aku mengira seperti juga mereka bahwa semua orang pribumi disini kasar, sombong, kotor dan jahat, tidak dapat dipercaya. Setelah aku bertemu dan berkenalan denganmu, sekarang aku melihat bahwa pendapat itulah yang sombong!" Hay Hay tersenyum dan sikapnya membuat Sarah merasa lega karena pemuda itu tidak tersinggung seperti yang dikhawatirkannya tadi. "Sarah, apakah engkau belum melihat kenyataan bahwa manusia ini, bangsa apapun juga, dari manapun juga, hanyalah makhluk yang lemah dan banyak diantara manusia terlalu sering melakukan kesalahan. Manusia hanya berbeda pada lahirnya saja, berbeda warna kulit, mata, rambut dan kebudayaan karena pengaruh alam lingkunganya. Akan tetapi jiwanya datang dari satu Sumber. Tidak ada satu bangsa yang orangnya baik semua, atau jahat semua. Kalau ada yang buruk, pasti ada yang baik dan demikian sebaliknya, karena baik dan buruk memang sudah merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Diantara bangsaku terdapat banyak orang jahat, kurasa tiada bedanya dengan bangsamu. Dan kalau diantara bangsamu terdapat banyak orang baik, demikian pula dengan bangsaku. Jahat tidaknya seseorang bukan tergantung dari bangsanya, agamanya, atau keadaan lahiriahnya. Bukankah demikian, Sarah?" "Ya Tuhan! Disamping kegagahanmu, ketampananmu, keramahan dan semua kebaikanmu, kiranya engkau masih mempunyai kehebatan lain. Engkau seorang filsuf yang bijaksana!" Sarah berseru kaget, heran dan kagum sehingga lupa untuk melunakkan suaranya. "Stttt, jangan berteriak-teriak, Sarah….." kata Hay Hay dan dia memberi isyarat kepada gadis itu agar tidak mengeluarkan suara lagi sambil membuat gerakan menunjuk ke arah luar ruangan itu. Sarah memandang keluar dan merekapun cepat menyelinap ke belakang peti-peti mati sambil mengintai keluar. Terdengar suara banyak orang di luar guha. Tahulah Sarah bahwa orang-orang yang tadi ketakutan, kini telah datang kembali dan agaknya disertai para pimpinan gerombolan itu. "Heii, iblis mana yang bermain-main dengan kami? Iblis jahat, ini aku Ma Kiu sudah datang, keluarlah dan jangan membikin takut keluarga mereka yang mati!" Terdengar teriakan raksasa hitam yang menjadt orang pertama dari lima pemimpin gerombolan. Tiba-tiba dari dalam guha itu terdengar suara tawa yang mengerikan. Tawa perempuan yang terkekeh-kekeh, kedengarannya aneh dan menyeramkan sekali karena datangnya dari peti-peti mati itu! Semua orang yang berada diluar guha hanya berani memandang kedalam, kearah tiga buah peti mati yang tertutup kabut asap tipis dari hio-hio yang masih terbakar. "Siluman betina……” mereka berbisik-bisik ketika mendengar suara tawa wanita itu. Akan tetapi, karena lima orang pemimpin berada disitu, mereka tidak lari tunggang-langgang. Dan Ma Kiu raksasa hitam itupun nampak tidak takut. Hal ini karena dia datang bersama empat orang saudaranya dan disitu berkumpul pula puluhan orang anak buahnya. Andaikata dia harus menghadapi guha itu sendirian saja, tentu dia sudah lari ketakutan sejak tadi! Ma Kiu biasanya amat galak, pemberani dan tidak takut menghadapi lawan yang manapun juga, biasa membunuh orang dengan kejam dan dengan darah dingin. Akan tetapi, semua kegalakannya dan kegagahannya terbang entah kemana kalau dia harus menghadapi setan dan iblis. "Roh jahat yang berada di dalam guha! Keluarlah perlihatkan diri kalau memang berani, atau pergilah dari sini, jangan mengganggu kami lagi!" dengan suara yang digalak-galakkan Ma Kiu berteriak lantang. Melihat lagak Ma Kiu, orang-orang yang berkumpul disitu timbul keberaniannya dalam hati mereka. Seperti juga Ma Kiu yang sudah mengamang-amangkan goloknya, mereka mencabut senjata masing-masing dan mulailah mereka berteriak-teriak. "Siluman betina, pergilah dari sini!" "Iblis, jangan ganggu kami!" Seperti rasa takut yang mudah menular, maka keberanianpun dapat mudah menular. Orang yang tadinya ketakutan, kalau melihat semua orang berlagak berani, rasa takutnya akan lenyap dan timbullah keberaniannya. Mereka kini mengamangkan senjata dan berteriak-teriak sehingga suasana gaduh sekali. Juga tempat di depan guha itu menjadi terang benderang karena banyak obor bernyala. Melihat ini, hati Sarah menjadi gentar juga. Bagaimana mungkin Hay Hay akan mempu melawan orang sebanyak itu? Ia memegang lengan kiri Hay Hay dengan kedua tangannya. Tadi ia telah mengeluarkan suara tawa seperti yang diminta Hay Hay, yang membisikkan agar ia mencoba untuk tertawa seperti setan agar menakut-nakuti mereka. Iapun tadi tertawa seperti sedang main-main saja, seperti seorang anak kecil menakut-nakuti anak-anak lain, dan iapun gembira sekali. Akan tetapi, melihat orang-orang itu mencabut senjata dan siap menyerbu ia mulai ketakutan. Biarpun mulut gadis itu tidak mengeluarkan perasaan takutnya, akan tetapi merasa betapa kedua tangan Sarah yang memegang lengannya terasa dingin dan gemetar, tahulah Hay Hay bahwa gadis pemberani ini mengenal juga perasaan ngeri dan gentar. "Tenanglah, aku tanggung mereka tidak akan dapat mengganggumu, Sarah. sekarang, kau lihat baik-baik apa yang akan kulakukan kepada mereka!" kata Hay Hay dan dia lalu mengangkat ujung peti mati yang berada di tengah-tengah, mendorong ujung peti itu ke atas sehingga peti itu bangkit berdiri, seolah-olah mayat yang berada di dalam peti hidup kembali dan bangkit bersama petinya! Dan Hay Hay mengeluarkan suara menggereng yang membuat seluruh guha itu tergetar, disusul kata-kata yang suaranya terdengar parau dan menyeramkan. "Hemmm, kalian berani mengganggu kami? Akan kami cabut nyawa kalian satu demi satu kalau tidak segera pergi meninggalkan kami. Kami ingin tenang mengerti?" Suara itu bergema dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika dengan tangan kirinya Hay Hay rnenggoyang-goyangkan peti di sebelah kiri sedangkan tangan kanan masih tetap menahan peti tengah agar berdiri. Ditambah lagi peti yang kanan mulai bergoyang-goyang karena Sarah membantu Hay Hay dan mengguncang peti itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. cerita silat online karya kho ping hoo Orang-orang yang berada di depan guha terbelalak. Siapa orangnya tidak akan takut melihat peti mati dapat bangkit berdiri dan yang dua buah lagi bergoyang-goyang. Tiga rnayat itu agaknya benar-benar telah hidup kernbali! Raksasa Hitam Ma Kiu terbelalak, wajahnya pucat dan seluruh bulu di tubuhnya meremang, tengkuknya terasa dingin seperti ditempeli es. Dikanan kirinya, orang rnenahan napas, ada yang rnenggigil, bahkan ada yang terkulai lemas karena pingsan saking takutnya. Ma Kiu dan empat orang saudaranya yang biasanya amat kejam dan dapat mernbantai banyak orang tanpa berkedip, kini melihat mayat-mayat dalam peti hidup kembali, menjadi gemetar ketakutan dan nyali merekapun terbang entah kemana. Apalagi mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara menyeramkan tadi. Mereka tak dapat lagi menahan rasa takut mereka dan Ma Kiu yang lebih dulu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ dengan langkah lebar. Dia malu untuk lari, akan tetapi langkahnya lebar dan cepat melebihi lari cepatnya! Empat orang saudaranya mengikuti jejaknya dan gegerlah semua anak buahnya, berebut dulu melarikan diri. Mereka saling tabrak dan melarikan diri cerai-berai, tunggang-langgang dan jatuh bangun. Ada yang menyeret kawan yang jatuh pingsan dan terdengar tangis di sana-sini, membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Melihat tingkah puluhan orang itu, Sarah tidak mampu menahan geli hatinya dan iapun tertawa terkekeh-kekeh, bukan lagi tawa buatan melainkan tertawa bebas dan wajar. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sudah hampir gila oleh rasa takut itu, suara tawa yang wajar ini, suara tawa seorang wanita yang merdu, membuat mereka semakin menjerit-jerit, lari terkencing-kencing seolah-olah suara tawa itu mengejar mereka dan yang tertawa berada di dekat tengkuk mereka! Melihat Sarah tertawa geli dan terpingkal-pingkal, Hay Hay ikut pula tertawa. Setelah tawanya reda, Sarah mengusap beberapa butir air mata yang ikut terloncat keluar ketika ia tertawa, lalu matanya mencari-cari wajah pemuda itu dalam keremangan cuaca karena setelah semua orang melarikan diri dan tidak ada lagi cahaya obor-obor bersinar dari luar, cuaca menjadi gelap. "Hay Hay……" katanya, dalam suaranya terkandung keheranan dan keraguan sehingga Hay Hay balas memandang dengan sinar mata menyelidik. "Ada apakah, Sarah?" "Katakanlah sebenarnya kepadaku. Apakah engkau ini benar-benar seorang…….. manusia biasa…..?” Kini Hay Hay yang membelalakkan kedua matanya, kemudian dia tertawa. "Ha-ha-ha, apakah engkau sudah ketularan mereka tadi, mengira bahwa aku ini siluman, setan atau iblis, Sarah?" “Aku bukan orang picik yang percaya tahyul, Hay Hay. Akan tetapi aku melihat engkau melakukan hal-hal yang tidak lajim dapat dilakukan manusia biasa. Peti ini berat sekali. Aku mengguncang sekuat tenagapun hanya dapat membuatnya bergerak-gerak. Padahal, biar aku wanita, tenagaku tidak kalah dibandingkan pria biasa. Tapi engkau dengan sebelah tangan, mudah saja mendorongnya sampai bangkit berdiri dan tanganmu sebelah lagi mengguncang peti yang lain. Dan tadi engkau mengeluarkan gerengan yang membuat seluruh guha tergetar, bahkan aku merasa jantungku terguncang dan bulu tengkukku meremang. Seorang manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan hal itu." Hay Hay tersenyum. "Sarah, aku mendengar bahwa pada diri siluman terdapat tiga tanda. Pertama, dia tidak mempunyai lekuk bibir di bawah hidungnya, dia tidak memiliki tumit, dan yang ke tiga, kalau dia berdiri, kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Nah, sekarang lihatlah aku," dia meraba bawah hidungnya. "Di sini terdapat lekukan biasa, dan lihat kakiku." Dia bangkit berdiri dan memperlihatkan kakinya. "Kedua tumitku masih utuh, dan kalau aku berdiri, lihat kaki kananku ini, menyentuh tanah ataukah tidak?" Hay Hay sengaja mengangkat sedikit kaki kanannya sehingga tidak menyentuh tanah. Sarah mengikuti semua ucapan Hay Hay, tadi memperhatikan bawah hidung, lalu tumit kaki dan ketika ia memandang ke arah kaki kanan yang tidak menyentuh tanah, ia terbelalak, akan tetapi ketika ia melirik ke arah kaki kiri Hay Hay yang tentu saja berpijak di atas tanah, iapun tertawa dan tahu bahwa pemuda itu sengaja mempermainkan ia. "Hemm, engkau memang bukan manusia biasa, Hay Hay. Engkau seorang manusia yang luar biasa, engkau seorang pendekar yang tidak saja gagah perkasa, akan tetapi juga jujur, baik budi, jenaka dan…….. mata keranjang.” "Aih, kenapa ujungnya menjadi tidak enak? Engkau ini memuji, merayu atau mencela, Sarah?" "Bukan merayu bukan mencela, melainkan bicara sejujurnya, seperti engkau. Ahh, aku lelah sekali, dan mengantuk." Sarah merebabkan diri begitu saja, miring di belakang peti mati. "Tidurlah, Sarah, biar aku yang menjagamu." "Bagaimana aku dapat tidur bersama orang-orang mati begini, Hay Hay? Aku hanya ingin merebahkan diri, akan tetapi tempat ini agak kotor, ihh……!" Ia bangkit dan mengebut-ngebutkan bajunya. Lantai itu memang tidak bersih, terdapat banyak debu dan abu hio disitu. "Kalau kau mau, rebahlah disini, Sarah." kata Hay Hay menepuk kedua pahanya. Dia bicara setengah main-main, akan tetapi diam-diam dia terkejut karena tanpa banyak bicara lagi Sarah lalu merebahkan diri di atas pangkuannya dan menyandarkan kepala di dadanya! Hay Hay bersikap biasa saja dan merangkul pinggang itu, seperti seorang ayah memangku anaknya. "Sarah, aku heran sekali mengapa engkau tidak suka kepada Kapten Gonsalo itu. Menurut keteranganmu, dia seorang kapten pembantu ayahmu yang tampan dan mendengar ceritamu tadi, dia cukup gagah dan pemberani, bahkan amat mencintamu. Pandang matanya kepadamu itu adalah tanda bahwa dia mencintamu, Sarah. Bukankah dia akan menjadi pasanganmu yang cocok dan baik sekali?" Hay Hay setengah memaksa diri untuk bercakap-cakap, karena kelembutan tubuh yang dipangkunya itu, kehangatannya, dan keharuman rambut yang berada di dadanya, membuat dia tidak tenang. Dengan percakapan, tentu perhatiannya akan terpecah. Mendengar pertanyaan itu, Sarah menarik napas panjang. "Dia memang gagah dan tampan, bahkan aku tahu bahwa dia menjadi rebutan para gadis bangsa kami. Dia telah berjasa besar ketika berhasil menghadap kaisar bangsamu dan diterima dengan baik ketika mewakili bangsa kami menyerahkan hadiah kepada kaisar. Namanya terkenal dan dia dipuji-puji. Akan tetapi, aku……. aku tidak mencintanya, Hay Hay." Hay Hay mengerutkan alisnya. Ada suatu kejanggalan disini, pikirnya. Kalau Kapten Gonsalo itu demikian tampan dan gagah, menjadi rebutan para gadis bangsanya, kenapa Sarah tidak tertarik kepadanya? Tentu jawabnya hanya satu, yaitu bahwa Sarah mencintai pria lain! Seorang dara yang "panas" seperti Sarah ini rasanya tidak mungkin kalau tidak mempunyai seorang kekasih. "Sarah, aku yakin bahwa engkau tentu telah mempunyai pilihan hati sendiri, mempunyai seorang kekasih." Tubuh yang bersandar di dada itu bergerak, membalik ketika Sarah menengok ke arah Hay Hay dengan matanya yang biru itu terbelalak. Indah sekali. "Heiii, bagaimana engkau bisa tahu, Hay Hay?" Hay Hay tersenyum, untuk menangkis serangan keindahan mata yang menembus jantung itu. "Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bukan manusia biasa? Nah, katakanlah terus terang. Engkau sudah mempunyai seorang kekasih, bukan?" Sarah menghela napas dan bersandar kembali. "Benar, namanya Asron, berusia dua puluh lima tahun. Kami saling mencinta…….” “Lalu kenapa bukan yang mengantar engkau berkuda, akan tetapi Kapten Gonsalo?" "Ah, bagaimana mungkin? Dia hanya seorang perajurit biasa saja. Karena itu, ayah tidak menyetujui hubungan kami. Padahal, aku tahu dan yakin benar, Asron tidak kalah gagah perkasa dibandingkan Kapten Gonsalo. Hanya dia kalah pendidikan sekolah, maka dia hanya perajurit biasa, tidak seperti Gonsalo. Hay Hay, aku sungguh sedih kalau mengingat Asron. Hanya karena cintanya kepadaku maka dia masih bertahan menjadi perajurit, sejak dahulu tidak dinaikkan pangkatnya oleh ayah, walaupun jasanya sudah banyak sekali. Kalau dia tidak ingat padaku, dia sudah berhenti menjadi perajurit. Aku menyesal sekali……" Tubuh di pangkuannya itu terguncang. Sarah menangis! Aneh, pikir Hay Hay. Betapa seorang wanita berhati singa ini dapat juga menangis, Cinta memang bisa membuat orang bersikap aneh, bisa menghancur luluhkan hati yang sekeras baja, juga bisa mengeraskan hati yang tadinya lemah. Dia membiarkan Sarah menangis. Setelah agak reda, dia menggunakan tangan untuk mengusap air mata dari pipi gadis itu. "Sarah, benarkah engkau ini Sarah yang tadi begitu berani menghadapi penjahat, bukan seorang anak perempuan yang cengeng?" Hay Hay sengaja berkelakar. Sarah membalikkan mukanya, menghapus air mata dari mukanya kebaju Hay Hay! Lalu ia membalik dan bersandar lagi. "Hay Hay, jangan mengejek. Engkau tidak merasakan betapa duka dan perihnya hatiku kalau teringat kepada Asron. Aku kasihan kepadanya." “Bagus, kasihan memang menjadi bunganya cinta. Akan tetapi mengapa berduka, Sarah? Hidup ini memang merupakan perjuangan. Hidup ini berarti menghadapi segala macam bentuk tantangan. Setiap kesukaran dalam hidup merupakan tantangan yang harus kita hadapi dengan tabah, yang harus kita perjuangkan agar kita dapat mengatasinya, memenangkannya. Justeru perjuangan menghadapi dan mengatasi setiap tantangan itulah seninya kehidupan! Tanpa adanya tantangan berupa segala bentuk kesukaran, alangkah akan hampanya hidup ini, tidak ada gairah lagi. Jadi, jangan melarikan diri ke dalam kesedihan dan menenggelamkan diri ke dalam lautan air mata. Bangkit dan hadapi kesukaran itu dengan tabah, dan berusaha sekuatnya untuk mengatasinya. Itu baru pantas bagimu, Sarah." Sarah menarik napas panjang. "Luar biasa! Engkau seorang pemuda aneh yang luar biasa, Hay Hay. Hemm, andaikata disana tidak ada Asron, betapa akan mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepadamu." "Heii, benarkah itu? Bukankah tadi engkau mengatakan aku mata keranjang?" Sarah menjebikan bibirnya yang merah basah. "Hemm, laki-laki manakah di dunia ini yang tidak mata keranjang? Tentu saja mata keranjang dalam arti kata suka sekali kepada wanita cantik, mudah tertarik dan suka menikmati keindahan seorang wanita melalui pandang matanya. Semua laki-laki mata keranjang dan dia akan mengakui hal ini kalau dia jujur. Hanya bedanya ada yang berterus terang seperti engkau, bahkan engkau memperlihatkannya tanpa tedeng aling-aling lagi, mengaku terus terang sehingga kalau wanita kurang kuat batinnya, ia akan mudah saja bertekuk lutut terhadap pujian dan kata-katamu yang bermadu. Ada pula yang pura-pura menunduk akan tetapi matanya melirik ganas, dan yang model inilah yang amat berbahaya, seperti seekor kucing yang diam-diam melirik tikus, tanpa bergerak, tahu-tahu menubruk saja! Untung batinmu bersih dan tidak menjadi hamba nafsu, Hay Hay. Kalau engkau seperti itu, alangkah banyaknya wanita yang menjadi korbanmu. Engkau akan menjadi seorang perusak wanita nomer satu, banyak wanita akan hancur binasa dalam pelukanmu akan tetapi dengan mulut tersenyum karena mabuk oleh rayuanmu." Hay Hay mengerutkan alisnya. Apa yang digambarkan gadis bule itu persis keadaan mendiang ayahnya. Ayahnya adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal. Entah berapa puluh atau ratus wanita yang sudah menjadi korbannya, termasuk diantaranya adalah ibu kandungnya! Ayahnya itu dahulu tampan, perayu dan menjatuhkan wanita dengan ketampanannya, rayuannya, kepandaiannya, bahkan tidak segan-segan memperkosa! Dan agaknya, kesukaan yang agak keterlaluan dari hatinya terhadap wanita merupakan warisan ayahnya. Untungnya, seperti yang dikatakan Sarah, dia tidak memiliki niat jahat, tidak menjadi hamba nafsu sehingga dia mampu mengendalikan nafsunya. Dia tidak tega merusak wanita, tidak tega menyengsarakan dan mematahkan hatinya, apalagi memperkosanya. "Sudahlah Sarah. Sekarang tidurlah. Engkau perlu beristirahat karena besok pagi-pagi sekali, setelah di luar tidak segelap ini, kita harus cepat meninggalkan tempat ini dan pelarian itu tentu membutuhkan tenaga." "Baik, Hay Hay, aku memang sudah mengantuk sekali. Biar kubersihkan dulu lantai ini agar dapat tidur enak……" "Lantainya kotor, tidur sajalah disini, Sarah." "Hemm, engkau tentu akan lelah sekali kalau kusandari sampai pagi." "Tidak, engkau ringan sekali bagiku." "Terima kasih, engkau memang baik sekali, aku merasa seperti engkau ini kakakku sendiri," kata Sarah dan iapun menyandarkan kembali kepalanya di dada Hay Hay dan tak lama kemudian napasnya sudah menjadi lembut dan panjang, tanda bahwa ia telah jatuh pulas. Hay Hay merangkulnya dan ketika dia melihat wajah di dadanya itu, dia segera memejamkan matanya. Terasa benar olehnya timbulnya berahi. Timbulnya dari pandang mata lalu dikembangkan dalam benak. Pikiran membayangkan hal-hal yang menggairahkan dan nafsu berahipun mulai bangkit dan kalau nafsu ini dikipasi dengan bayangan dalam pikirannya, nafsu itu tentu akan semakin berkobar. Ketika dia memejamkan mata dan mengosongkan pikiran, hal yang sudah dilatihnya sejak dia masih remaja dan mempelajari ilmu dari See-thian Lama, kemudian dilanjutkan dari Ciu-sian Sin-kai, Pek-mau San-jin, kemudian Song Lojin, maka seketika pikirannya menjadi tenang dan bagaikan air yang diam, pikiran menjadi jernih dan bayangan yang menimbulkan nafsu berahipun lenyap. Nafsu merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong dan manusia tidak akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat datang karena adanya nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan melalui pendengaran telinga, keharuman melalui penciuman hidung, dan semua kenikmatan yang dapaf kita rasakan melalui panca indera, melalui semua anggauta tubuh, melalui hati akal pikiran, semua itu dapat kita nikmati karena adanya nafsu. Nafsu merupakan anugerah bagi manusia hidup di dunia ini, merupakan berkah dan bekal hidup. Seperti juga anggauta badan, hati dan pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat yang bertugas mengabdi dan membantu manusia. Manusia dapat menemukan segala kekuatan dan sarana yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong nafsu. Kemajuan lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan diseretnya menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan duniawi saja. Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan yang menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain. Kalau kita tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur segala yang nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban kekuatan nafsu. Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang akan menimbulkan kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita lapar butuh makan agar bertahan hidup, dan didalam makan itu kita dianugerahi nafsu yang mendatangkan kelezatan dalam mengisi perut yang pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kita mengantuk butuh tidur, dan di dalam tidurpun kita dianugerahi kenikmatan. Kalau haus butuh minum dan dalam minumpun tersedia kenikmatan yang didorong oleh nafsu. Tidak ada kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya. Puji Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan melimpahkan cinta kasih kepada segala cintaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu merajalela dan kita yang diperhamba, apa akibatnya? Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini, yang kita kejar hanyalah kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu semata. Kita makan bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar, melainkan lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan sehingga seringkali dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekalipun, kalau lauknya tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja, tidak perduli bahwa mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun perut sudah kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan memuaskan nafsu, kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit perut! Demikian pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk, mencari kebutuhan hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini mutlak penting dengan perkembang biakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini, orang tidak akan suka melakukan hubungan dan akibatnya, manusia akan punah seperti yang terjadi pada banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi penghuni bumi namun kini tidak ada lagi sama sekali. Teringat akan semua itu, Hay Hay menarik napas panjang. Mendiang ayah kandungnya, jai-hwa-cat Ang-hong-cu, merupakan contoh dari sekian banyaknya pria yang menjadi hamba nafsu berahinya. Demi memuaskan nafsunya itu, dia tidak segan-segan mengejar dan melampiaskannya dengan segala macam cara, tidak perduli lagi apakah cara itu baik atau buruk, melanggar hukum ataukah tidak. "Semoga Tuhan akan selalu membimbingku sehingga aku tidak akan mabuk oleh nafsu dan kehilangan kewaspadaan," pikirnya dan tangan kirinya dengan lembut mengelus kepala yang berambut kuning emas itu. Alangkah indahya rambut ini, pikirnya, kini tidak ada sedikitpun nafsu berahi menggodanya. Seperti benang sutera emas! Kulit muka itu demikian putih kemerahan. Kalau saja tidak ada bulu lembut di permukaannya, kulit muka itu seperti kulit muka bayi. Mata yang terpejam itu tidak kelihatan bola mataya yang biru, akan tetapi masih saja mendatangkan kesan asing dan aneh karena bulu matanya juga tidak hitam benar, melainkan agak kelabu dan panjang melengkung. Dan garis mata itu demikian panjang. Dan hidung itupun biar tidak terlalu besar, namun mancungnya lain daripada kemancungan hidung bangsanya. Punggung hidung itu tinggi sehingga kalau nampak dari pinggir, mirip paruh burung. Dan mulut itupun berbibir indah, sulit menggambarkan keindahannya karena keindahan itu tersembunyi dalam lekukan-lekukan kecil di sekitar mulut, tersembunyi diantara bibir yang sedikit terbuka, di kedua ujung yang membelok ke atas, di bibir belahan bawah yang penuh dan tipis, agaknya tergigit sedikitpun akan pecah, dan bentuk dagu itu membayangkan keangkuhan, keanggunan, juga amat manis. Wajah ini memang aneh dan asing baginya. Akan tetapi ketika mereka tadi bercakap-cakap, tidak terasa sama sekali keasingan itu. Jalan pikiran, hati dan akal pikiran gadis ini sama saja dengan apa yang ada pada diri gadis-gadis bangsanya. Yang berbeda hanya kulitnya, akan tetapi isinya sama. Dan dia merasa sayang kepada gadis ini. Bahkan Sarah tadi mengatakan bahwa ia merasa seperti dengan kakaknya sendiri! Akan tetapi, kebiasaan atau cara hidup dari gadis ini sungguh berbeda sekali dengan cara hidup bangsanya. Kalau seorang gadis bangsanya, sampai bagaimanapun juga, tidak mungkin mau tidur di atas pangkuan dan menyandarkan kepala di dada seorang laki-laki asing yang bukan apa-apanya. Bahkan antara saudara sekandung sendiripun tidak! Mungkin hanya laki-laki yang menjadi suami seorang wanita saja yang akan dipercaya seperti ini. Tentu saja lain halnya kalau wanita itu seorang wanita sesat yang telah menjadi hamba nafsu yang tidak mengenal susila lagi, hamba nafsunya sendiri yang telah menjadi seperti buta. Akan tetapi Sarah bukanlah wanita seperti itu. Sama sekali bukan! Ia mempertahankan kehormatannya mati-matian, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Jelaslah bahwa bagi bangsa Sarah, hubungan antara pria dan wanita jauh lebih bebas dan berdekatan seperti ini bukan merupakan hal yang buruk bagi Sarah. Hay Hay tidak berani tidur, maklum bahwa diluar guha terdapat banyak musuh yang tentu telah berjaga-jaga, menanti datangnya pagi, Setelah mereka tidak ngeri lagi terhadap siluman, tentu mereka akan menyerbu guha. Dia tidak berani tidur, dan sambil memangku tubuh Sarah, dia hanya menghimpun tenaga murni dan membiarkan tubuhnya melepas lelah. “Sttt, Sarah, bangunlah……” Hay Hay berbisik di dekat telinga kiri gadis itu. Sarah menggerakkan bulu matanya, menggeliat dan ketika ia mengangkat kedua lengannya ke atas, tangannya menyentuh muka Hay Hay dan iapun membuka mata dengan kaget dan heran. Akan tetapi, ketika kedua matanya yang biru dan masih mengantuk itu menatap wajah Hay Hay, ia segera teringat dan tersenyum. "Selamat pagi, Hay Hay." "Selamat pagi. Bersiaplah, kita akan pergi sekarang. Kau tunggu dulu disini, aku akan mencari kuda untuk kita." Setelah ingatannya segar kembali, Sarah segera berbisik. "Kalau bisa, tolong ambilkan kudaku, Hay Hay. Berbulu kelabu dengan keempat kaki dan ekornya putih." Hay Hay mengangguk. "Kau tetap bersembunyi saja di kamar paling belakang tempat menaruh senjata-senjata itu dan jangan keluar dari kamar sebelum aku kembali. Jangan pula mengeluarkan suara, Sarah." "Aku tahu, Hay Hay," kata Sarah dan iapun bangkit, melangkah masuk ke dalam kamar di bagian belakang guha itu. Semalam ia dan Hay Hay tetap bersembunyi di balik tiga buah peti mati. Setelah mengantar gadis itu memasuki kamar, sekali berkelebat, Hay Hay lenyap dari depan Sarah. Gadis itu terbelalak, menjenguk keluar kamar, kearah ruangan depan dimana nampak tiga buah peti mati dari situ. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan Hay Hay. Ia menghela napas panjang. Pernah ia mendengar cerita tentang pendekar pribumi, akan tetapi tak pernah disangkanya ada yang sehebat Hay Hay, yang agaknya memiliki ilmu aneh, ilmu menghilang! Seperti bukan manusia saja, pikirnya. Hay Hay menyelinap ke belakang batu di depan guha dan menghilang keluar. Benar saja dugaannya, dia melihat gerakan di sana-sini, di balik batu-batu dan nampak rambut kepala orang-orang tersembul di balik batu. Tentu banyak orang berjaga-jaga, pikirnya, dan tentu mereka memperhatikan mulut guha ini. Dia lalu melepas kancing bajunya, dan membalikkan bajunya ke atas, menutupi caping dan seluruh mukanya. Dari celah-celah baju dia dapat melihat keluar. Kemudian dia bangkit dan berloncatan dengan gerakan aneh keluar dari situ. Tentu saja anak buah gerombolan yang mengintai dari kanan-kiri dan depan guha, melihat mahluk aneh itu muncul dari dalam guha tempat tiga buah peti mati ditaruh. Dan mereka gemetar ketakutan. Mahluk apakah yang keluar dengan loncatan-loncatan aneh, miring dan ke kanan-kiri itu? Seperti loncatan katak mabuk. Mahluk itu berkaki seperti manusia, akan tetapi tubuh atasnya berkerobong sehingga tidak nampak kedua tangan maupun kepalanya. Hanya dalam kerobongan itu, nampak bagian kepala yang luar biasa besarnya. Itulah caping yang terbungkus baju! Tentu. saja mereka yang masih merasa ngeri, ketika melihat "mahluk" aneh itu keluar, menjadi semakin gentar. Hari masih pagi sekali, kabut masih menggelapkan cuaca. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul. Mereka tidak berani bergerak, akan menanti sampai cuaca terang, baru mereka berani mendekati guha atau memasukinya, tergantung perintah lima orang ketua mereka yang sejak pagi sekali sudah berada pula di tempat persembunyian para penjaga. Melihat mahluk aneh itu, lima orang pimpinan gerombolan juga termangu dan gentar, tidak berani memberi perintah apa-apa karena mereka berlima juga hanya orang-orang sederhana yang amat tahyul. Mereka adalah orang-orang kejam yang tidak segan membunuh orang, dan mereka tidak takut menghadapi orang lain, akan tetapi mereka gentar untuk melawan setan. Apalagi mahluk aneh itu dengan loncatan yang mengerikan, memiliki gerakan yang amat ringan dan beberapa kali loncatan saja dia menghilang! Suasana makin menyeramkan. Dengan mudah Hay Hay menemukan kuda milik Sarah yang dikat dalam sebuah guha kosong. Tidak ada orang berjaga disitu. Agaknya semua orang berkumpul, suasana yang menyeramkan dan rasa takut terhadap "mayat hidup" membuat mereka tidak berani menyendiri. Mereka merasa lebih aman untuk berkumpul dengan teman-teman. Akan tetapi Hay Hay tidak melihat kuda lain. Seekorpun sudah cukup, pikirnya. Kuda untuk Sarah, sedangkan dia sendiri tidak membutuhkan kuda. Kedua kakinya lebih dari cukup dan untuk berlari cepat, dia tidak mau kalah oleh kuda yang manapun! Dia menuntun kuda itu dan ditambatkannya kuda itu di tempat yang lain. Setelah mengenal benar jalan dari tempat dia menyembunyikan kuda itu ke guha perkabungan, dia lalu kembali. Seperti tadi, dia menutupi kepala berikut capingnya dengan baju yang dibalik keatas, akan tetapi sengaja sekali ini dia bergerak cepat sekali sehingga orang-orang yang mengintai di sekeliling tempat itu hanya melihat bayangan yang aneh bentuknya, kepala besar tanpa muka, berkelebat memasuki guha. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Ma Kiu, raksasa hitam kepala gerombolan itu tidak sabar lagi. Dia mendorong rekannya yang kelima dan keempat untuk menjadi pelopor. "Kalian berdua majulah. Beri contoh kepada yang lain. Pengecut!" bentaknya akan tetapi dengan suara lirih tertahan. Kepala keempat yang tubuhnya gendut perutnya besar dan kelima yang kurus kering, saling pandang dengan muka pucat. Mereka takut kepada pirnpinan pertama mereka, juga malu kepada para anak buah karena mereka dimaki pengecut. Mereka memberanikan diri dan keduanya segera muncul dari balik batu. Mereka memegang sebatang golok besar di tangan kanan dan sebuah perisai baja di tangan kiri. Diantara rnereka berlima, yang memegang senjata cakar besi di tangan kiri dan golok di tangan kanan hanyalah Ma Kiu, pemimpin pertama. Karena cakar besinya inilah maka mereka berlima dijuluki Lima Harimau Cakar Besi. Narnun, dua orang yang bergolok dan berperisai inipun lihai bukan main. "Haii, siluman, keluarlah dan lawanlah kami berdua!" teriak si gendut dengan sikap gagah akan tetapi suaranya jelas terdengar gemetar dan parau! "Setan iblis yang berani mengganggu kami! Keluarlah dan rasakan tajamnya golokku!" teriak pula si kurus kering. Dia ini bersuara lantang dan tidak gemetar, akan tetapi kalau orang melihat ke arah kakinya, jelas bahwa dua buah kakinya itu menggigil! Dua orang pemimpin ini sebenarnya ketakutan sekali, akan tetapi mereka memaksa diri dan keduanya lalu melangkah maju menghampiri mulut guha. Setelah tiba di mulut guha dan melihat tiga buah peti mati itu terletak seperti biasa, timbullah keberanian mereka. Mereka memutar golok ke atas kepala dengan sikap gagah dan menantang. Akan tetapi, mereka yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kaget dan terheran-heran ketika mereka melihat betapa dua orang pemimpin itu, si gendut dan si kurus kering, kini mulai saling serang dengan mati-matian! Saling serang dengan golok, ditangkis dengan perisai dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang ketika mereka saling serang dengan ganasnya. "Mampus kau, setan!" teriak si gendut. "Rasakan golokku, iblis!" bentak si kurus. Pada saat semua orang terheran-heran, nampak dua sosok bayangan melesat keluar dari dalam guha. Dua orang tanpa kepala, atau lebih tepat, kepalanya tidak nampak karena tubuh bagian atas merupakan kerobongan. Dua orang itu lari dengan cepat, seperti saling melekat. Melihat ini, Ma Kiu menjadi curiga karena cuaca sudah semakin terang dan dia dapat melihat bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita yang mengerobongi tubuh atas mereka dengan baju yang dibalik ke atas! "Kalian cepat kejar mereka!" teriaknya kepada pemimpin ke dua dan kepada Ji Tang, pemimpin ketiga, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kearah dua orang pembantunya yang saling serang itu. "Berhenti!" teriaknya sambil menggerakkan golok menangkis. "Trang-trang!" "Berhenti, apakah kalian berdua sudah gila, saling serang sendiri?" Si gendut dan si kurus saling pandang, terbelalak dan bingung. "Aku tadi menyerang setan!" kata si gendut. "Akupun menyerang iblis!" kata si kurus. Tentu saja ulah yang aneh itu akibat pengaruh sihir Hay Hay. Sekarang karena Hay Hay telah pergi mereka sadar kembali dan Ma Kiu dapat menduga bahwa tentu ada musuh yang menggunakan ilmu sihir. Tentu peristiwa semalam yang menggegerkan karena disangka tiga buah mayat dalam peti mati hidup kembali juga merupakan perbuatan musuh itu. Musuh itu dan wanita bule telah melarikan diri, yaitu dua bayangan tadi. Dia segera mengajak si gendut dan si kurus untuk melakukan pengejaran agar dapat membantu dua kawan terdahulu yang telah melakukan pengejaran. Mereka mendengar derap kaki kuda dan ke sanalah mereka berlari. Akan tetapi mereka hanya menemukan Ji Tang dan orang kedua mengerang kesakitan dengan dahi terluka. "Dimanakah mereka? Apa yang terjadi?" tanya Ma Kiu penasaran. "Ahh, si keparat itu!" Ji Tang mengepal tinju mengamangkan tinju itu ke arah bayangan yang kini nampak sudah jauh sekali, dan bunyi derap kaki kuda juga tinggal sayup sayup saja. "Kiranya yang melarikan gadis bule itu adalah seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar. Tentu dia yang semalam mempermainkan kita semua, dan agaknya dia pandai ilmu sihir. Ketika tadi kami mengejar sampai disini, mereka melompat ke atas kuda milik gadis itu, dan si caping lebar menyambit kami dengan batu, mengenai dahi kami." Ma Kiu menyumpah-nyumpah, memaki kawan-kawan dan anak buahnya penakut dan tolol, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani melakukan pengejaran kedalam kota. Keterangan yang diberikan Ji Tang memang benar. Hay Hay yang tadi menggunakan sihir membuat dua orang pimpinan gerombolan itu saling serang di depan guha, kemudian, menggunakan kesempatan itu dia mengajak Sarah untuk lari keluar dari guha dengan membalikkan baju ke atas menutupi muka mereka. Di balik baju, dia menggandeng tangan Sarah dan dia seperti menarik tubuh Sarah dibawa berlari cepat, menuju ke tempat dia menyimpan kuda. "Cepat naiklah kudamu, aku mengikuti dari belakang." Kata Hay Hay. "Tidak!" Sarah berkukuh. "Aku tidak mau naik kuda kalau engkau berjalan kaki." "Habis, bagaimana ? Aku hanya mendapatkan seekor kuda, tidak terdapat kuda lain, entah mereka sembunyikan dimana." "Kudaku ini kuda pilihan yang kuat. Kita menunggang kuda bersama, berboncengan, atau bersama pula kita berlari!" Karena khawatir dikejar puluhan orang dan Sarah tentu terancam bahaya, Hay Hay tidak mau banyak berbantah lagi. "Baik, kita berboncengan!" katanya dan dia sudah melihat datangnya dua orang yang berlari cepat ke arah mereka. Tanpa banyak cakap lagi dia memeluk pinggang Sarah dan mengangkatnya naik ke atas kuda, kemudian dia memungut dua buah batu sebesar telur ayam dan menyambit dua kali ke arah dua orang yang berlari menghampiri. Sambitan tepat mengenai dahi dan dua orang itupun terpelanting dan mengaduh-aduh. Hay Hay meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Sarah dan gadis itu yang sudah memegang kendali kuda lalu membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu. Mereka menunggang kuda tanpa pelana karena ketika Hay Hay menemukan kuda itu, pelananya tidak ada, entah disimpan dimana. Untung bahwa kendali kuda masih dipasang. Kini kuda dilarikan kencang dan mereka duduk tanpa pelana. Tubuh Sarah tegak dan lentur, tanpa tahu bahwa ia memang ahli menunggang kuda, ,Hay Hay juga biasa menunggang kuda, akan tetapi belum pernah dia menunggang kuda tanpa pelana, apalagi berboncengan seperti itu. Ketika kuda dilarikan kencang, dia terpaksa memeluk pinggang gadis itu dengan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan badannya dan tubuhnya merapat dengan tubuh belakang Sarah. Dia memejamkan mata dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk membayangkan yang bukan-bukan, tidak merasakan tubuhnya yang merapat dengan tubuh Sarah. Setelah mereka keluar dari daerah bukit yang berguha-guha itu, Hay Hay berkata, "Cukup, Sarah. Kita sudah keluar dari daerah mereka dan kulihat tidak ada yang mengejar. Kasihan kudamu kalau disuruh membalap terus." Diam-diam hatinya mengeluh. Akulah yang patut dikasihani, seperti tersiksa oleh bisikan setan!....
Jilid 16
Sarah menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan lagi dan melompat turun. "Eh, kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya. Wajah Hay Hay seperti kepiting direbus. "Tidak apa-apa, aku….. aku hanya kasihan kepada kudamu…… lebih baik aku berjalan saja." Sarah menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu. "Sarah, kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?" Sarah menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya. "Engkau memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, akupun akan berjalan kaki. Kenapa sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?" Hay Hay tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku betapa himpitan tubuh diantara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan gejolak berahinya. "Tidak apa-apa, Sarah, hanya…… tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda ini." Tiba-tiba Sarah tertawa lagi. "Aih, Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?" Sarah menggeleng kepalanya. "Hay Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa. "Dongeng apa?" Hay Hay cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan urusan berboncengan itu. "Dongeng tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini, suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan ditertawakan orang!" Sarah mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa. "Hay Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda, sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan lucunya!" kata Sarah. Hay Hay juga tertawa. "Sarah, rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng." "Kalau begitu aku yang membonceng!” Hay Hay menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat ini. "Baiklah engkau yang membonceng." Diapun melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan. Untuk membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya, Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah. "Sarah, setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah." Kedua lengan yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah darinya. "Akan tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini dapat berlanjut selamanya……” “Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu." Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis. "Katakan, pesan apakah itu?" "Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu." Sarah terkejut. "Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" . "Hemm, itu pemutar balikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu." "Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……" "Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan disini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu disana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……” Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo! Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak. "Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!" "Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!" "Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!" Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum. "Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando. "Sarah, turunlah dan kesinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat." Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu. "Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi." "Tapi, Hay Hay….. aku khawatir mereka mengganggumu……" “Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan iapun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan diapun tersenyum. "Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya. "Gonsalo, jangan…..!” Sarah menjerit. Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo. "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?" Gonsalo tertegun. “Ular……? Ehhh….. ular….!!" Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desis dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan! Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan iapun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!" "Sarah…..!" teriak Kapten Armando kaget. "Biarlah dulu, Ayah!" Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya! "Sarah, aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata. Sarah menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan lagi dan melompat turun. "Eh, kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya. Wajah Hay Hay seperti kepiting direbus. "Tidak apa-apa, aku….. aku hanya kasihan kepada kudamu…… lebih baik aku berjalan saja." Sarah menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu. "Sarah, kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?" Sarah menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya. "Engkau memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, akupun akan berjalan kaki. Kenapa sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?" Hay Hay tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku betapa himpitan tubuh diantara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan gejolak berahinya. "Tidak apa-apa, Sarah, hanya…… tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda ini." Tiba-tiba Sarah tertawa lagi. "Aih, Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?" Sarah menggeleng kepalanya. "Hay Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa. "Dongeng apa?" Hay Hay cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan urusan berboncengan itu. "Dongeng tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini, suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan ditertawakan orang!" Sarah mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa. "Hay Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda, sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan lucunya!" kata Sarah. Hay Hay juga tertawa. "Sarah, rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng." "Kalau begitu aku yang membonceng!” Hay Hay menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat ini. "Baiklah engkau yang membonceng." Diapun melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan. Untuk membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya, Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah. "Sarah, setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah." Kedua lengan yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah darinya. "Akan tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini dapat berlanjut selamanya……” “Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu." Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis. "Katakan, pesan apakah itu?" "Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu." Sarah terkejut. "Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" . "Hemm, itu pemutar balikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu." "Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……" "Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan disini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu disana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……” Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo! Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak. "Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!" "Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!" "Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!" Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum. "Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando. "Sarah, turunlah dan kesinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat." Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu. "Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi." "Tapi, Hay Hay….. aku khawatir mereka mengganggumu……" “Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan iapun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan diapun tersenyum. "Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya. "Gonsalo, jangan…..!” Sarah menjerit. Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo. "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?" Gonsalo tertegun. “Ular……? Ehhh….. ular….!!" Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desis dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan! Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan iapun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!" "Sarah…..!" teriak Kapten Armando kaget. "Biarlah dulu, Ayah!" Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya! "Sarah, aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata. "Membelaku? Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan penjahat, kemana saja engkau minggat? Engkau melarikan diri seperti pengecut. tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya? Aku yang akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!" Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo marah bukan main, merasa dihina. "Sarah, engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau kini bahkan memaki aku? Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi jahanam ini? Sejauh manakah hubunganmu dengan dia? Kulihat tadi kalian berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu……." “Cukup, Kapten Gonsalo!" tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari kudanya, meloncat ke depan Gonsalo. Dia seorang perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang yang pemberani. "Sebagai seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan yang kotor, tuduhan yang keji itu!" Gonsalo membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu. "Kau……! Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu? Kau hendak memberontak?" Dengan sikap gagah dan tenang Asron menjawab, "Tidak ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang kucinta. Ini urusan pribadi!" Hay Hay tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu disebut Aaron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya. "Bagus! Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!" bentak Gonsalo dan dia sudah menyerang dengan tinjunya. Asron menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling serang dengan ganas. "Cukup! Hentikan semua kegilaan ini!" Kapten Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya. "Biarkan mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!" "Sarah, perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo." kata Kapten Armando agak lirih. "Hemm, biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong macam dia akan mampu menghajar Asron." Lalu dara ini menoleh kepada Hay Hay sambil berkata, "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Asron membelaku. Dan aku percaya bahwa Asron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam pertandingan ini!" Hay Hay mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Aaron menang dalam pertandingan adu tinju itu. Dua orang itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju yang kuat, dua kali Aaron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan melawan lagi. "Pukul dia, Aaron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!" Teriakan-teriakan Sarah ini mendatangkan semangat yang berkobar dan Aaron mengerahkan seluruh tenaganya utuk melawan. Diapun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang penembak jitu. Namun, menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Aaron nampak terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian. Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Aaron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung. "Dess….!" Gonsalo terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi tanpa sebab tertentu, tiba-tiba saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemas dan diapun jatuh berlutut. Aaron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali dia rneninju pangkal telinga dan dagu. "Dess! Desss……!!” dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak bangun, kepalanya pening dan iapun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan rnengguncang-guncang kepala. Terdengar sorak-sorai dan ternyata banyak diantara para perajurit yang memihak Asron karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras terhadap bawahannya itu. "Cukup, hentikan perkelahian!!" Tiba-tiba Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Aaron dan mereka berpelukan. Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira. Kapten Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Aaron, dan pemuda yang berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih jantan daripada Gonsalo. "Asron, ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang," Sarah berbisik di dekat telinga kekasihnya. Aaron membelalakkan mata memandang Hay Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah Aaron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya. Dia tahu bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak. Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Diapun sudah banyak mendengar tentang adanya "pendekar" di negeri asing ini. Gonsalo dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk menghampiri ayahnya dan dengan lantang ia berkata, "Ayah, kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay." Kapten Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata harimau, mencorong! "Baiklah, dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah menawanmu." "Terserah kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah." "Apa lagi? Katakan dan cepat kembali ke benteng." "Ayah, setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal disini. Aku ingin pulang ke negeri kita, aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi." Kapten Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya disitu, dia akan merasa lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah mendatangkan banyak kepusingan kepadanya. “Boleh, boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri kita." "Aku minta diantar Aaron!" seru pula Sarah. "Tapi dia seorang perajurit yang bertugas disini." bantah ayahnya. "Tidak, Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula, dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat bekerja, daripada disini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang tidak pernah dinaikkan pangkatnya!" Kapten Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan diapun merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Aaron karena memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali kalau dia berkeras. "Baiklah, dia akan mengantarmu pulang.” kata Kapten Armando. "Terima kasih, Ayah…..!" cerita silat online karya kho ping hoo Sarah berteriak dan diapun melepaskan Aaron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga. Setelah menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Aaron. "Aaron, kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal ini?" Aaron mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum. Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat sikap mereka, diapun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil. Dia menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Aaron itu dengan wajah cerah. "Berhasilkah engkau, Sarah?" tanyanya menyambut mereka. "Berkat bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri kami diantar oleh Aaron." Aaron juga mengulurkan tangan kepada Hay Hay. "Terima kasih," katanya. Itulah satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran tangan itu dengan hangat. "Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah." kata Hay Hay mengulurkan tangan kepada gadis itu. Akan tetapi Sarah tidak menyambut uluran tangan itu. "Aaron, engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?" Aaron tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih mengulurkan tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi bukan di pipi, melainkan di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan diapun merasa betapa pipinya basah oleh air mata gadis itu. Sarah mengendurkan rangkulannya dan berbisik, "Hay Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka percaya." Ia melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang, "Hay Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!" Ia mengusap air matanya. Hay Hay terharu. "Semoga Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Aaron, Sarah. Selamat tinggal!" Tiba-tiba Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak memandang. Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan begitu dia membuat salto, diapun lenyap diantara pohon-pohon! Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya adalah seorang pendekar sakti! Sarah lalu mengajak Aaron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja diantara gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin mereka tewas. Peristiwa ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang asli. Mereka menjadi ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat, apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri. Sarah dan Aaron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan, meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Disana telah menanti suatu kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow, hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan. Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang diantara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan. Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi disitu terdapat Mayang. Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka. Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotarajapun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow dimana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw. Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar. Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo. Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat disini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara. Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga disekitar situ ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi. Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut, "Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita." "Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku." "Hemmm, sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasanpun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berundingpun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya." kata , Liong Bi. Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik. Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu, "Singkirkan Mayang? Apa maksudmu?" "Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat. Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh. "Gila kau!" desisnya. "Aku mencintanya!" Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya. "Cinta ? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, kemana larinya cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya ? Konyol dan tolol!" Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, didalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya. "Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?” Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi semua itupun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan. Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apapun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja. Nafsu dalam bentuk apapun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan. Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah. Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat. Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong! Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak disitu. "Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang diantara lima pemuda berpakaian mewah itu. "Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!" teriak orang ke dua. "Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?" "Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!" Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab. "Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?" Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka, jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu. "Seret dia pergi dari sini!" perintah seorang diantara lima orang pemuda itu. "Pendeta tua itu perlu dihajar!" Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang diantara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata. "Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.” "Omitohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan. "Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan kedua. "Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?" "Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya. "Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya. Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu. "Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak. Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-guling seperti diseret angin yang amat kuat. Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu. "Hemm, kalian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh. Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan. Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya. "Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya. Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton. Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat, "Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namun kami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kota raja ini." Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang. Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang. Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay! Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay! Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya dan iapun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas! Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang kedua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kematian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu. Kini Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, diapun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka. Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya. "Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud…..!” Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka. "Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. Aku adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai disini saja." Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata, "Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya." "Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa. Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio. Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha. Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang asli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu. Hek Tok Siansu yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak perduli lagi akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua berbuatnya benar. Dia selalu menuruti dorongan batinnya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan. Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan namun sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubungpun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar. Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan “kebaikan” berpamrih tadi. Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak menyehatkan lingkungan, seharusnya menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkunganpun otomatis menjadi sehat. Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan inipun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam lingkaran setan, masih terdorong nafsu. Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi “kesenangan”. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu untuk apa? Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka disitu pasti terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekalipun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan......
Jilid 17
Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengangkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana? Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran dimana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan. Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak. "Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?" "Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang." "Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?" Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan. Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya. "Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, kami dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat. Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu. "Kalian mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?” "Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang." "Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan." Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. "Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiripun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar.” Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiripun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati? Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka. "Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi." Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi. Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang. "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan. "Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu." kata Liong Bi dan iapun melangkah maju menghampiri kakek itu. Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu. "Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilalnya." "Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!" Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena iapun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya. Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh diatas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya. "Dukk!" Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan iapun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah. “Omitohud……..engkau boleh juga, Nona!” kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!" Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok! Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan. Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini. Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya. Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan! Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan itu! Liong Bi terkejut bukan main. Iapun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan iapun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini. Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. “Brettt……!!” Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah, kedua tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka. “Aih, Lo-cian-pwe nakal………” katanya manja. “Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya." kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya. Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul. "Ilmu kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Hek Tok Siansu tertawa senang. "Engkaupun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar”. "Baik, Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!" Liong Ki menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi mendatangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu menyerang diapun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat. "Omitohud…...!!” Hek Tok Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main. Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin! Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal memperoleh kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek Tok Siansu juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan aneh-aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya. Pertandingan itu memang seru dan hebat bukan main. Setiap kali keduanya terpaksa bertemu tangan mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat dan terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun, dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan diapun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya. Setelah lewat empat puluh jurus kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam! Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka diapun meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling. Kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu dan menghadapi serangan aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Kemanapun ia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya, terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika dalam keadaan jongkok seperti katak kakek itu sudah menghantamnya lagi. "Plakk!" Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu, kaki Hek Tok Siansu menendang, mengenai paha Liong Ki dan tubuh pemuda itupun terjengkang! Namun Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan diapun memberi hormat kepada kakek itu. "Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah." Hek Tok Siansu tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot. "Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andaikata aku mempunyai murid, kiranya dia akan kalah kalau bertanding melawan seorang diantara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tentu saja pinceng merasa bangga kalau diperkenalkan sebagai guru kalian. Pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat.” "Tentu saja kami mau membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek Tok Siansu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan dimana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami dapat mengerahkan pasukan penyelidik…….." "Bagus, itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay….." "Hay Hay…..?" teriak Liong Ki "Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar dimana ia tadi duduk. "Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Dimana dia sekarang?" Liong Bi yang cerdik mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara. "Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu dimana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan mengapa pula Suhu mencari Hay Hay?" Mereka tentu saja khawatir mendengar orang yang dicari kakek ini Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, celakalah mereka. Hek Tok Siansu adalah seorang yang merasa dirinya datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai. "Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya”. Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu. "Lo-cian-pwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Lo-cian-pwe hendak membunuhnya ? Apa dosanya? "Ha-ha-ha, dosanya besar sekali! Bersama Kim Mo Siankouw, Tang Hay telah membunuh tiga orang suhengku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku sudah berhasil membunuh Kim Mo Siankauw, tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan." Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apalagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek Tok Siansu tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga orang sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet dan dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu. “Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kamipun membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!" "Hemm, begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suhengku. Akan tetapi kenapa pula kalian memusuhinya?" “Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku." "Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Akupun pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki dimana pemuda jahat itu berada, Suhu. Sekarang, marilah kita meghadap Cang Taijin dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau." Mereka bertiga meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek Tok Siansu dengan gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apalagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat. Setelah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara "gurunya" tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya. Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam dimana mereka tadi diterima Cang Taijin, sambil mengajak Hek Tok Siansu, dan mereka menuju ke perumahan di belakang dalam komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang. Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walaupun perasaan itu dipendamnya saja didalam dada karena tidak ada alasan yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika ia berjumpa dengan tiga orang itu, hanya diam-diam ia heran melihat dua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning. "Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami…….” kata Liong Ki. Mayang mengerutkan alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah. "Gurumu……?” gumamnya. "Ini adalah guruku, suhu Hek Tok Siansu.” L.iong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung. "Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku telah mengangkat lo-cian-pwe ini menjadi guruku”. Mayang mengangguk-angguk, walaupun masih agak ragu, namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi, pula apa salahnya kalau dia berguru lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja ia lalu meninggalkan mereka. "Siapakah nona itu? Ia seperti bukan gadis Han." kata Hek Tok Siansu tertarik. "Memang ia peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya ia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya saja, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang." “Mayang?" “ya, nama gadis itu Mayang. Ia terbawa oleh kami kesini, akan tetapi agaknya ia tidak suka kepada kami, atau hendak mengambil jalan sendiri. Agaknya ia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dengan kecantikannya dan kalau ia berhasil, kami yakin ia tentu akan mempergunakan kekuasaanya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi. "Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepatutya kalau ia dilenyapkan." Kata kakek itu. Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini. "Suhu," kata Liong Ki, "sebaiknya memang Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar ia dapat kutundukkan, menjadi milikku dan kalau sudah begitu, aku dapat menguasai dan mempengaruhinya agar ia selalu taat kepadaku. Kuharap dalam hal ini Suhu suka membantuku." "Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?" "Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Iapun kebal terhadap ilmu sihir. Dan iapun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!” kata Liong Bi. "Heh? Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?” "Ia adalah murid Kim Mo Sian-kouw." Hwesio itu terbelalak. "Omitohud! Jadi ia murid Si Rambut Emas itu? Kalau ia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu ia akan memusuhiku. Kalau begitu, memang sudah sepatutnya ia dilenyapkan." kata Hek Tok Siansu. "Lebih dari itu, Suhu, ia adalah adik tiri dari Tang Hay. Ia juga puteri Si Kumbang Merah, berlainan ibu." Kata Liong Ki. "Bagus, bagus! Serahkan ia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir……" “Ah, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau ia dilenyapkan. Aku menghendaki agar ia jatuh ke dalam pelukanku, agar ia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu ia akan tunduk kepadaku." "Ooh-ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baik, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Menangkapnya, menelikungnya lalu menyerahkan kepadamu?" . "Tidak, suhu. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlalu mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu kalau saatnya tiba, sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari suhu." "Hemm, bantuan apalagi yang kalian harapkan dari pinceng?" Kini Liong Bi yang menjelaskan. "Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang mempunyai dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun dan yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Dan sebagai guru kami, tentu suhu juga terangkat derajatnya. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir berhasil, akan tetapi selalu Mayang itu yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki. “Ho-ho-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya? Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku dapat memperolehnya tanpa susah payah.” “Ingat, Suhu. Kami sudah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami, bahkan kami dapat memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga, kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kita bertiga akan menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?" Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini. "Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian." "Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, namun engkau selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula? Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya. "Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikitpun keinginan untuk menikah. Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai." Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam, kaku dan seperti mayat hidup saja. "Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau selalu menolak. Bahkan diperkenalkanpun tidak mau. Seolah-olah engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?” Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus. "Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai? Daripada kelak menderita sengsara disamping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta." Gadis itu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya, "Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?" Bagaikan disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih tetap mencinta pemuda itu! "Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai matipun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?" Suami isteri itu kembali saling pandang. "Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay………" Kui Hong bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam. "Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!" Dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya. "Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?" "Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu……….." Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya. "Apa maksud Ibu dan Ayah……..?” Kini Hui Song berkata, "Sudah lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia kesini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu." Kui Hong terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik, "Ibu……, Ibu…….., benarkah…….?" Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah. "Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kamipun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami." "Ibu………..!" Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya. "Ayah………!” Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati orang tua. "Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia kesini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song. "Akan tetapi, tahukah engkau kemana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya. Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk. "Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada dimana sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal disana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan disana. Apalagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!” Setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekalipun. Gadis itu seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja. Ceng Sui Cin merangkul anaknya. "Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang kesini, Kui Hong." "Terima kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal." Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, iapun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang meninggalkan sarangnya. Memang Kui Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay. cerita silat online karya kho ping hoo Kini, harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya, mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong! Pemuda itu meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita. Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar bahwa dilubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia. Dahulupun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang ia sudah yakin. Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian. Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan dimana Ban Tok Siansu bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi. Keluarga Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah, pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay. Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidaknya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat memperoleh keterangan dimana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain. Karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak? Ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari suaminya! Ia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya. Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingin mecari Cia Kui Hong atau Tang Hay, merekapun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, iapun tidak ingin berhenti lama. "Kemanakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya. "Menurut Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin. "Kalau begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun." Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Jarak antara mereka pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimanapun juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja. Sejak pertama kali melihat Hek Tok Siansu yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang merasa tidak enak sekali. la dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Ia tahu benar bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau kedua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru dan mengajak mereka ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Ia harus waspada. Ia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik ia memberitahu kepada mereka akan kecurigaannya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu. “Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri dan bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apapun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang." "Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah agar dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui. Mayang menggeleng kepala. "Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak? Ayahmu adalah seorang yang bijaksana, tentu tidak mau bertindak tanpa bukti." "Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun." kata Cang Hui. Mayang mengangguk. "Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah." Cang Hui tersenyum melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya. "Ada engkau disini, apakah dia perlu khawatir?" Mayang menunduk dan melirik ke arah Cin Nio yang juga menjadi merah mukanya. "Kami semua mengharapkan perlindunganmu, mayang." kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Ia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang. "Kamipun tidak akan tinggal diam, Mayang. Aku dan Cin Nio mulai sekarang akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, di waktu mandi atau tidurpun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena ia merasa telah bicara terlalu banyak tadi sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu. "Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan baik." kata Cin Nio. Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka. Pada sore hari itu, setelah mandi, Mayang berjalan-jalan di taman bunga seorang diri, melamun. Sesungguhnya ia sudah merasa bosan harus menipu keluarga Cang dengan berpura-pura menjadi sabahat Liong Ki dan Liong Bi. Betapa inginnya untuk membuka rahasia mereka itu kepada keluarga Cang, bahwa yang bernama Liong Ki sebenarnya bernama Sim Ki Liong, sedangkan Liong Bi sama sekali bukan adiknya, melainkan seorang wanita bernama Su Bi Hwa. Atau ia dapat. meninggalkan mereka begitu saja. Namun, disitu ada Cang Hui dan Cin Nio yang disayangnya, dan ada pula….. Can Sun! Berat rasanya meninggalkan mereka. Apalagi, Cang Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, bersikap baik dan lembut kepadaya. Bersama keluarga Cang, ia merasa seperti bersama keluarga sendiri. Akan tetapi, cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah lenyap sama sekali. Kini ia semakin yakin bahwa ada hubungan gelap yang memisahkan dan Su Bi Hwa. Ia merasa seperti dipermainkan saja. Kalau dahulu ia merasa iba kepada Ki Liong, mengharapkan dia akan bertaubat dan kembali ke jalan benar, menjadi pendekar, kini harapannya itu lenyap sama sekali. Sim Ki Liong agaknya tidak akan mau kembali ke jalan benar. Teringat ia akan usaha Liong Bi untuk memikat Cang Sun seperti diceritakan Gang Hui, dan ia melihat sendiri betapa Liong Ki berusaha memikat Cang Hui. Seringkali ia termenung memikirkan dua peristiwa mencurigakan itu. Dan kini ia seperti menyadari apa artinya semua itu.. Agaknya Liong Ki sudah bersekongkol dengan Liong Bi. Jelas bahwa mereka yang sejak pertama sudah menggunakan siasat agar dapat diterima bekerja pada keluarga Cang itu, dengan jalan Liong Ki berkedok menculik Cang Sun lalu muncul Liog Bi menolongnya, kini mempunyai cita-cita yang lebih besar lagi. Agaknya kedua orang itu sengaja hendak memikat putera dan puteri Menteri Cang. Kalau mereka dapat menjadi mantu Menteri Cang, berarti kedudukan mereka meningkat dan menjadi kuat! Tidak, mereka tidak boleh berbuat seperti itu. Mereka tidak boleh dibiarkan saja, dan ia yang akan menentang. Kalau memang putera dan puteri Menteri Cang jatuh cinta kepada mereka, tentu saja ia tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau Liong Ki dan Liong Bi mempergunakan daya pikat, dan menggunakan sihir apalagi kekerasan, ia harus melindungi keluarga Cang. Mayang tenggelam ke dalam lamunan sampai-sampai ia tak menyadari bahwa senja telah lewat, lampu-lampu telah dinyalakan oleh para petugas, bahkan beberapa buah lampu tihang di dalam taman juga sudah dinyalakan. Malam mulai tiba, menyelimuti bumi dengan sayap hitamnya. Makin gelap, semakin asyik pula Mayang melamun, mengenangkan masa lalunya sejak ia kecil sampai sekarang. Tiba-tiba teguran lembut menyentaknya bangun dari dalam lamunan. "Mayang, engkau disini...?" Ia cepat bangkit dan membalikkan tubuh. Kiranya ia sudah berhadapan dengan penegurnya tadi, yaitu Cang Sun. Wajah Mayang menjadi kemerahan karena lamunannya tadi justeru baru tiba pada diri Cang Sun. Dalam lamunan tadi ia membayangkan semua pengalamannya yang menyangkut perasaan cintanya, pertama kepada Hay Hay yang gagal karena pemuda itu ternyata kakaknya sendiri, kedua cintanya kepada Sim Ki Liong yang kinipun gagal dan putus karena ternyata pemuda itu tidak berubah menjadi orang baik-baik, dan ketiga ia sedang melamunkan Cang Sun yang dihormati dan dikagumi walaupun pemuda bangsawan itu tidak pandai silat. Dan tiba-tiba orangnya muncul, seperti menjawab lamunannya saja. Tentu kemunculan tiba-tiba ini membuatnya kaget dan juga tersipu. "Ah, kiranya Cang-kongcu (tuan muda Cang)………" katanya tersenyum, sudah dapat memulihkan dan menenangkan hatinya. Melihat gadis itu memberi hormat kemudian hendak melangkah pergi meninggalkannya, Cang Sun berkata lembut. "Mayang, jangan pergi, aku ingin bicara denganmu." Mayang menahan langkahnya dan memandang kepada pemuda itu dengan mata penuh pertanyaan. Lampu taman yang muram membuat mereka seperti bayang-bayang, akan tetapi dalam jarak dekat, mereka dapat saling pandang dengan cukup jelas. Mayang melihat betapa wajah pemuda itu bersungguh-sungguh seolah ada urusan penting sekali yang hendak dibicarakan dengannya. "Ada urusan apakah, Kongcu?" tanyanya, melangkah maju mendekat. "Duduklah, Mayang, agar kita dapat bicara dengan santai." Mayang mengangguk, duduk di atas bangku, dan pemuda itupun duduk diatas bangku lain, berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter. Angin malam bersilir sejuk, dan bulan mulai muncul di timur, melumasi puncak-puncak pohon dengan emas. "Nah, katakan, ada urusan apakah, Cang-kongcu?" tanya pula Mayang, kini jantungnya agak berdebar karena selama ia berada di istana keluarga Menteri Cang, baru sekali ini ia duduk berdua saja dengan pemuda itu. "Mayang, sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang hendak kubicarakan ini tidak berkenan di hatimu, apalagi kalau sampai menyinggungmu. Maukah engkau berjanji sebelumnya bahwa engkau akan memaafkan aku?" , Gadis itu terbelalak namun matanya tetap sipit lucu dan mulutnya tersenyum ramah, lalu mengangguk. "Tentu saja, Kongcu." "Dan maukah engkau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku dengan terus terang, apa adanya?" Mayang kembali mencoba melebarkan matanya yang sipit. "Aih, ada apa sih, Kongcu? Engkau membuat aku tegang. Tentu saja aku akan menjawab sejujurnya." , "Mayang, kemarin aku mendengar dari adikku Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki. Benarkah apa yang dikatakan adikku itu?" Mayang merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kenapa pemuda ini menanyakan hal itu? Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjawab dengan jujur dan .memaafkan kalau tersinggung, maka iapun mengangguk. "Benar, Kongcu." Wajah pemuda itu nampak cerah dan bersemangat ketika dia mendengar jawaban ini. "Kalau begitu benar! Sungguh tidak kusangka sama sekali, Mayang. Tadinya aku mengira bahwa engkau benar tunangan dan calon isteri Liong Ki!" “Kami hanya sahabat, Kongcu. Kami akrab sebagai sahabat.” “Sekarang pertanyaanku yang kedua, harap kau jawab dengan sejujurnya, Mayang. Biarpun kalian tidak bertunangan, akan tetapi apakah kalian saling mencinta? Maksudku, apakah engkau cinta kepada Liong Ki?" Mayang mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah pemuda itu. “Kongcu, aku sudah berjanji akan memaafkan semua singgungan dan menjawab sejujurnya, akah tetapi setidaknya aku ingin sekali tahu mengapa Kongcu hendak mengetahui rahasia pribadiku, hal-hal yang menyangkut perasaan hatiku? Apa hubungannya semua itu dengan Kongcu?” “Hubungannya dekat sekali, Mayang. Jawablah dulu sejujurnya, baru nanti akan kujelaskan kepadamu mengapa aku mengajukan semua pertanyaanku ini. Nah, kuulangi pertanyaanku, apakah engkau mencinta Liong Ki?” Mayang menguatkan perasaan hatinya. “Kongcu minta agar aku menjawab sejujurnya. Kalau aku mengatakan tidak mencintanya, maka jawaban itu bohong, akan tetapi kalau aku mengatakan mencintanya, itupun tidak benar. Sesungguhnya begini, Kongcu. Pernah aku tertarik dan suka kepadanya, bahkan mencintanya dan mau berkorban untuknya, akan tetapi akhir-akhir ini cintaku terhadap dirinya pudar dan luntur. Nah, itulah jawabanku yang sebenarnya. Saat ini aku tidak berbohong kalau kukatakan bahwa aku tidak cinta lagi kepadanya." Cang sun mengerutkan alisnya. "ehh? Apakah cinta dapat berubah-ubah, apakah dari cinta akan timbul benci? Mengapa begitu, Mayang? Atau, engkau tidak dapat dan tidak mau memberi penjelasan mengapa cintamu terhadap Liong Ki berubah?" "Kongcu, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Tadinya aku mengira bahwa dia benar-benar mencinta diriku, akan tetapi setelah aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa dia hanya mempunyai cinta nafsu berahi belaka, aku sadar bahwa dia bukanlah pria yang kudambakan menjadi jodohku. Nah, hanya itu yang dapat kukatakan kepadamu, Kongcu, dan semua jawabku itu adalah sejujurnya seperti yang kujanjikan tadi." Sepasang mata pemuda itu bersinar girang mendengar jawaban Mayang, lalu dia berkata. "Sekarang datang giliranku untuk menjelaskan mengapa aku ingin mengetahui urusan pribadimu. Begini, Mayang, orang tuaku selalu mendesak aku untuk menikah, akan tetapi aku belum dapat mentaati perintah mereka karena aku belum mendapatkan seorang gadis yang kuanggap cocok untuk menjadi sisihanku, belum ada gadis yang kucinta……. " "Aku mendengar dari adik Cang Hui, bahwa engkau amat mencinta enci Cia Kui Hong, Kongcu." Mayang memotong. Cang Sun tidak terkejut atau heran mendengar ini. Dari Cang Hui ia sudah tahu bahwa pergaulan antara adiknya dan Mayang amatlah eratnya sehingga mungkin saja Cang Hui menceritakan segala tentang dirinya. "Memang benar, Mayang. Akan tetapi seperti kau katakan tadi, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Aku mencintanya, akan tetapi ia tidak membalas cintaku, dan dengan terus terang ia mengakui bahwa ia mencinta pemuda lain. Aku memaklumi dan mencoba untuk melupakannya, akan tetapi sia-sia belaka. Setiap kali ayah ibu hendak menjodohkan aku dengan seorang gadis, aku selalu menolak karena aku teringat kepada Kui Hong, walaupun aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Kemudian muncullah engkau, Mayang. Aku seolah melihat Kui Hong dalam dirimu, seolah menemukan pengganti Kui Hong. Aku langsung jatuh cinta padamu, Mayang. Akan tetapi, ketika aku mendengar bahwa engkau adalah tunangan Liong Ki, tentu saja aku mundur dengan penuh kekecewaan dan kepahitan. Kemudian, kemarin aku mendengar dari Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki, maka hidup kembali semangat dan harapanku, Mayang, dan aku sengaja menemuimu untuk bicara sejujurnya. Mayang, aku cinta padamu. Mungkinkah hatiku dan hatimu yang keduanya menjadi korban cinta yang gagal, dapat dipersatukan, kita saling menghibur, saling mengobati dan saling mengisi?" Mayang tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun? Banyak hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu. Pertama, ia adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat perbatasan Tibet. Dan yang ketiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia memasuki istana keluarga Menteri Cang secara curang dan rendah, betapa Liong Ki dan liong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja disitu dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun! Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin ia berani menerima uluran cintanya? "Mayang, kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk? Pandanglah aku, jawablah. Aku telah bersikap sejujurnya kepadamu dan kuharap engkaupun bersikap jujur. Aku telah siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk kedua dan terakhir kali. Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku dan tidak dapat menerima cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang pemuda yang lemah……." “Kongcu, jangan berkata demikian.” Mayang memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar, "biarpun engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu. Akan tetapi tentang cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani……….? Bagaikan seekor burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka, membuat aku bingung………” Cang Sun mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri. "Baiklah, Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu kalau terlihat orang lain kita berdua saja disini.” Pemuda itu meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang. Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali. Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan cintanya? Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang? Akan tetapi, sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Ki dan Liong Bi dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu. Malam itu di kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah bersama Cang Sun ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan menyelimuti mereka berdua. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga Mayang menghadap. “Kami hari ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami disini kami serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga.” Demikian, pesan pembesar itu yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya. Kepergian Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya merasa lega. Iapun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati menjaga diri. Mayang belum berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi jodoh Cang Sun seperti yang diharapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun tidak membalas cintanya. Cinta Cang Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang Sun. Malam itu adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang dipimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui. Tiga orang gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, dilayani oleh Pek Lan yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur yang keras namun lembut. Setelah makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap merekapun lebih lincah. “Mayang, mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!” kata Cang Hui sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak. “Aih, adik Hui, pemberian selamat untuk apa?” tanya Mayang, tersenyum akan tetapi memandang heran. Cang Hui yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa. "Hi-hik, ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik." Panas rasa kedua pipi Mayang mendengar ini dan iapun mengerling ke arah Cin Nio dan mencela, "Ih, adik Hui kenapa bicara urusan itu…..” Ia merasa tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan berkata. "Mayang, akupun merasa senang sekali mendengar itu dan akupun ingin mengucapkan selamat!" Akan tetapi Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Terima kasih atas kebaikan kalian, akan tetapi sungguh aku sendiri belum dapat mengambil keputusan dalam hal itu. Nah, mari kita minum untuk kesehatan kita bertiga!" Setelah makan selesai, mereka minum banyak dan Mayang kelihatan lelah dan mengantuk sekali. Beberapa kali ia harus menyembunyikan kantuknya dan menguap di balik telapak tangan. “Mayang, kalau engkau mengantuk sekali, rebahlah dulu di pembaringanku.” kata Cin Nio. Mayang bangkit. “Sebaiknya aku kembali ke kamarku saja…..” Akan tetapi ketika ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung dan cepat Cin Nio merangkulnya dan membimbingnya ke pembaringannya. "Engkau kelihatan pusing, tidurlah dulu disini." Mayang tidak membantah karena memang ia merasa betapa kepalanya berat dan matanya sukar dibuka lagi, demikian hebat rasa kantuk menguasainya. Begitu ia merebahkan diri, tanpa membuka sepatu dan baju luar, iapun sudah tidur pulas! Cin Nio dan Cang Hui saling pandang. Mereka juga merasa lelah dan mengantuk, dan mereka juga tadi minum banyak anggur. Akan tetapi, mereka tidaklah selelah Mayang. Mereka lalu memerintahkan Pek Lan memanggil pembantu dan membersihkan meja makan. Setelah para pelayan pergi, Cang Hui berkata, "Kasihan sekali Mayang, tentu ia selama beberapa hari dan malam ini tidak pernah mengaso dan kini tertidur saking kelelahan." . "Sebaiknya biarkan ia tidur di tempatku malam ini, dan aku yang tidur di kamarnya. Kasihan kalau ia harus dibangunkan dan disuruh pindah kamar." Kata Cin Nio dan Cang Hui mengangguk setuju. Cin Nio membawa pedangnya dan iapun meninggalkan kamar besar menuju ke kamar Mayang di sebelah belakang. Ia membuka pintu kamar yang hanya dirapatkan saja, mengunci pintu dan memeriksa keadaan dalam kamar, kemudian ia melepaskan sepatu dan pakaian luar, meniup padam lampu penerangan dan merebahkan diri di tempat tidur Mayang karena iapun merasa lelah dan mengantuk akibat minum anggur terlalu banyak. Pedangnya ia letakkan di bawah bantal untuk persiapan. Jauh lewat tengah malam, sesosok bayangan hitam yang mukanya tertutup kain hitam, menyelinap ke kamar Mayang, dengan mudah mencokel daun jendela dan bayangan itu menyelinap masuk, menutupkan kembali daun jendela. Gerakannya demikian gesit dan ringan dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam kamar itu sejak dia menyelinap masuk sehingga para petugas yang melakukan ronda malam tidak melihat atau mendengar sesuatu. Menjelang pagi, daun pintu kamar itu dibuka dari dalam, bayangan hitam itu menyelinap keluar dan beberapa kali loncatan saja diapun setelah tadi menutupkan kembali daun pintu kamar. Kini, kalau ada orang menempelkan telinganya di daun pintu, tentu dia akan mendengar lapat-lapat suara orang menangis sesenggukkan dari dalam kamar itu. Mayang membuka matanya, terkejut dan heran melihat dirinya rebah diatas pembaringan dalam kamar Cang Hui dan Cin Nio. Cepat ia bangkit duduk dan melihat Cang Hui juga agaknya baru saja terbangun, ia meloncat turun dan menghampiri pembaringan gadis itu.....
Jilid 18
"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidur disini?" tanyanya sambil menekan-nekan kedua pelipis kepalanya karena masih terasa agak pening. "Tidak apa-apa, Mayang. Hanya semalam engkau terlalu lelah atau terlalu banyak minum sehingga ketika rebahan disitu engkau terus pulas dan kami biarkan sampai pagi ini." Hemm, tidak mungkin ia tertidur pulas karena kelelahan atau hanya karena minum anggur! Mayang menjadi curiga sekali dan menoleh ke kanan kiri. "Mana adik Cin Nio?" tanyanya. “Melihat engkau pulas di pembaringannya, ia tidak tega untuk menggugahmu, dan ia memhiarkan engkau tidur di pembaringannya, sedangkan ia sendiri pergi tidur di kamarnya.” Mayang terbelalak, mukanya berubah pucat. Ia sudah curiga. Tidak mungkin rasanya ia mabuk hanya karena minum anggur, juga tidak mungkin ia sedemikian lelahnya sampai tidur semalam suntuk tanpa bangun sebentarpun. Pasti ada hal yang tidak beres, pikirnya. Dan kini Cin Nio tidur di kamarnya! "Celaka…..!" katanya dan sekali berkelebat ia sudah berlari keluar dari kamar itu, menuju ke kamarnya. Hari masih pagi sekali, lampu-lampu penerangan masih belum dipadamkan karena diluar masih gelap. Ia tiba di depan kamarnya dan membuka daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kamar itu gelap, remang-remang saja mendapat penerangan dari lampu luar kamar. Mayang menahan jeritnya ketika ia melihat tubuh yang tergantung di sudut kamar. Tubuh Cin Nio! Lehernya terikat kain ikat pinggang dan tubuh itu tergantung dari tihang. Sekali melompat, Mayang sudah menyambar pedang Cin Nio yang berada diatas pembaringan, lalu melompat ke atas tangan kanan memondong tubuh yang tergantung, tangan kiri membabat ikat pinggang di atas kepala gadis itu. Ia melompat turun lagi sambil memondong tubuh yang masih hangat itu. Ketika ia merebahkan tubuh itu dan melepaskan ikatan pada leher, hatinya terasa lega. Biarpun tinggal satu-satu, Cin Nio masih bernapas! Cepat ia mengurut sekitar leher gadis itu, perlahan-lahan dan menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan kedua pundak. Gadis itu kini teregah-engah dan pernapasannya mulai pulih. Mayang membuka daun jendela sehingga lampu yang tergantung di luar jendela menyorot ke dalam kamar. Mayang kembali menghampiri Cin Nio yang sudah siuman. Gadis ini membuka matanya dan melihat Mayang duduk di tepi pembaringan ia menangis terisak-isak. Mayang sudah melihat keadaan gadis itu. Pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang dan di atas tilam kasur yang putih bersih nampak noda darah. Biarpun ia masih gadis, namun Mayang sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri gadis itu. Cin Nio telah diperkosa orang! Dan yang lebih jelas lagi, ada orang memasuki kamarnya dengan maksud memperkosa dirinya, akan tetapi yang menjadi korban bukan dirinya, melainkan Cin Nio yang kebetulan bertukar tempat tidur dengannya! "Adik Cin, siapa yang melakukannya ? Katakan, siapa yang melakukan ini kepadamu?" tanyanya lirih. Tangis Cin Nio semakin menjadi-jadi, dan Mayang memeluknya, berbisik di dekat telinganya, "Adik Cin, demi Tuhan, aku yang akan membalaskan penghinaan ini, aku bersumpah! Jahanam itu sebenarnya mengarah diriku, akan tetapi engkau menjadi korban. Sekarang hentikan tangismu, urusan ini hanya diketahui oleh kita berdua saja. Aku berjanji akan menutup rahasia ini, bahkan adik Hui juga tidak perlu tahu. Nah jangan menangis lagi, cepat bereskan pakaianmu, aku akan membersihkan pembaringan." Cin Nio maklum bahwa itulah jalan satu-satunya kecuali kalau ia membunuh diri. Biarpun ia mati membunuh diri sekalipun, dirinya tidak akan menjadi bersih, bahkan dengan membunuh diri, maka semua orang tentu akan dapat menduga apa yang telah terjadi dan ia akan dibicarakan orang, namanya akan tercemar. Ia harus mencuci aib ini dengan darah orang yang telah menodainya, sementara itu, ia menanggung aib dengan diam-diam tak diketahui orang lain kecuali Mayang, gadis yang berjanji hendak membalas dendam ini. Maka, ia lalu menghentikan tangisnya, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, merapikan kembali pakaiannya sedangkan Mayang cepat membersihkan tempat tidur, dan menghilangkan bekas-bekas yang dapat mencurigakan hati orang lain. Ketika Cang Hui tiba disitu dan mengetuk pintu kamar, semua telah beres dan Cang Hui disambut oleh Mayang dan Cin Nio yang sudah dalam keadaan rapi. "Apakah yang telah terjadi? Cin Nio, kenapa engkau kelihatan pucat?” Cang Hui segera menegur. "Ah, tidak ada apa-apa, adik Hui. Tadi aku hanya salah duga. Karena terbangun di kamarmu, aku menduga telah terjadi hal-hal yang mencurigakan. Dan aku menggedor kamar ini sehingga adik Cin terkejut disangkanya terjadi hal-hal yang hebat. " “Benar aku kaget oleh kedatangan Mayang secara mendadak di pagi buta," kata Cin Nio yang sudah dapat bersikap wajar. Ketika mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Cin Nio, Mayang minta keterangan dari gadis itu. "Sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi, dan siapa yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu, adik Cin." "Kamar itu gelap, aku terbangun dan tak mampu bergerak. Aku hampir pingsan karena menderita penghinaan itu, Mayang. Aku tidak dapat melihat muka orang itu, selain gelap juga mukanya tertutup kain hitam. Diapun tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Aku sendiri tidak dapat mengeluarkan suara karena tertotok. Kemudian…. Kemudian….. dia membuka daun pintu dan menyelinap keluar, seperti iblis saja gerakannya, cepat sekali, dan setelah aku mampu terbebas dari totokan, aku lalu lalu….. lalu….” Cin Nio menutupi muka dengan kedua tangannya. “Ssttt, tenangkan hatimu, enci Cin. Ingat, engkau harus dapat menyimpan rahasia dan kuatkan hatimu. Sekarang ini pikiranmu harus selalu dipusatkan untuk membalas dendam kepada orang itu sehingga tidak kau bayangkan lagi peristiwa itu, tidak membayangkan kehancuran hatimu. Untung aku datang tidak terlambat. Kalau terlambat, tentu semua orang akan mengetahui. Percayalah, engkau menjadi korban karena diriku, maka aku bersumpah untuk membalaskan dendammu ini, adik Cin.” "Terima kasih, Mayang, akan tetapi kalau bisa…. aku…. aku ingin membununya dengan kedua tanganku sendiri!" Cin Nio meraba gagang pedang dan matanya mengeluarkan sinar penuh dendam. Mayang mengangguk. "Mudah-mudahan aku akan dapat menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang ingin aku mendapat penjelasan darimu. Yakin benarkah engkau bahwa jahanam itu bukan seorang yang berperut gendut?" Cin Nio menundukkan mukanya yang berubah merah padam lalu pucat, dan ia menggeleng kepalanya, tidak tahu mengapa Mayang bertanya demikian, dan iapun malu untuk bertanya. Mayang mengangguk-angguk lagi dan mengepal tinju. Biarpun tadinya ia ragu-ragu, namun kini ia merasa bahwa tidak ada orang lain lagi yang patut dicurigai kecuali Sim Ki Liong atau Liong Ki! Bukankah Liong Ki pernah mencoba untuk merayunya, mengajaknya berbuat mesum? Dan pemuda itu memang pernah menjadi seorang sesat dan jahat! Kini agaknya dia bukan bertaubat dan kembali ke jalan benar, melainkan kumat kembali. Biarpun belum ada bukti kuat, namun ia akan menyelidiki sampai tuntas! Tadinya timbul juga persangkaannya bahwa kakek gendut gundul yang diaku sebagai guru oleh Ki Liong itu yang melakukannya, namun keyakinan Cin Nio bahwa pemerkosanya itu tidak gendut, membuat dugaannya kembali kepada Liong Ki. Akan tetapi, tentu saja tanpa bukti ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu begitu saja, dan bagaimanapun juga, tentu Liong Ki akan menyangkal. Lalu tiba-tiba matanya bersinar-sinar! Di kamarnya itu gelap dan selain si pemerkosa, juga Cin Nio yang tertotok tidak pernah dapat mengeluarkan suara. Besar sekali kemungkinannya, si pemerkosapun tidak tahu bahwa yang diperkosa bukan ia melainkan Cin Nio! Ia harus dapat mempergunakan akal untuk memancing, bersikap seolah-olah ia yang diperkosa dan ia menerima perlakuan ini sebagai hal yang telah terlanjur! Ia akan pura-pura menuntut pertanggungan jawab, hanya untuk memancing pengakuan Liong Ki bahwa dialah pemerkosa itu. "Adik Cin, harap kau tenangkan hatimu. Aku pasti tidak akan mau sudah sebelum jahanam itu dapat kutangkap dan kuseret di depan kakimu. Hanya saja, hal ini harus dilakukan dengan diam-diam, tidak menimbulkan keributan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Kau setuju, bukan?" Cin Nio mengangguk pasrah. Dalam, keadaan seperti itu, hanya Mayang satu-satunya orang yang dipercayanya, satu-satunya orang yang dapat diharapkannya. Mayang tidak memberitahukan dugaannya itu kepada Cin Nio. Hal itu bahkan akan berbahaya sekali. Ia belum mempunyai bukti, dan kalau sampai Cin Nio mendengar kemudian langsung nekat menyerang Liong Ki, tentu siasatnya akan gagal. Liong Ki akan menyangkal dan tidak ada bukti atau saksi yang akan dapat membuka rahasianya. Juga tidak mungkin dapat memancing pengakuan Liong Ki di dalam istana itu. Kalau sampai terjadi keributan, tentu semua orang akan mengetahuinya. Besok pagi-pagi ia akan mengajak Liong Ki keluar kota dan bicara di tempat sunyi, memancing pengakuan Liong Ki sebagai pemerkosa malam itu. Hatinya diliputi penuh ketegangan. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Liong Ki memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau ia hanya nekat mengandalkan kepandaiannya, sukarlah mengalahkan pemuda itu. Apalagi kalau ada Liong Bi yang membantunya, lebih-lebih lagi kakek gendut yang diakuinya sebagai guru itu. Ia harus berhati-hati. Kalau terpaksa, ia akan nekat mengamuk, kalau perlu berkorban nyawa. Karena gelisah membayangkan percakapannya dengan Liong Ki esok hari malam itu Mayang merasa tegang dan untuk rnenghilangkan ketegangan hatinya, iapun memasuki taman mencari angin dan udara segar. Belum lama ia berada disitu, ia mendengar langkah kaki dan muncullah Cang Sun! Agaknya pemuda ini memang hendak memberi waktu kepadanya utuk berpikir dan mengambil keputusan. Buktinya sejak pengakuan cintanya itu, sepekan telah lewat dan Cang Sun tidak pernah menemuinya, seolah pemuda itu sengaja bersembunyi saja untuk memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir. . "Mayang…..” “Oh, Kongcu….. !" Mayang berkata, agak gugup karena tadi ia sedang melamun dengan hati yang tegang. "Silakan, Kongcu….." katanya sambil bangkit berdiri, dengan tangannya mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku. “Mayang, sudah cukupkah waktu yang kuberikan kepadamu untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan? Aku selalu menanti jawabanmu, Mayang." Mayang menunduk. Ah, andaikata tidak terjadi peristiwa malapetaka yang menimpa diri Cin Nio, agaknya tidak akan sukar baginya untuk menjawab. Kini ia sudah tahu dari sikap Cin Nio bahwa gadis itu merelakan ia menerima cinta kasih Cang Sun seperti yang dilihat dan didengar ketika ia dan kedua orang gadis bangsawan itu makan bersama malam itu. Akan tetapi kini hatinya sedang risau, dan ia merasa bahwa bukan saatnya yang baik untuk bicara tentang cinta. Kasihan Cin Nio yang menjadi korban karena dirinya! Dan Cin Nio juga tahu akan hal itu, bahwa karena ia tidur di kamar Mayang maka malapetaka itu menimpa dirinya. Dan gadis itu sepatah katapun tidak pernah mengeluarkan penyesalan kepadanya. Ia merasa seperti berhutang budi kepada Cin Nio. Kalau saja Cin Nio tidak kasihan melihatnya dan membiarkan ia tidur di pembaringan gadis itu, kemudian Cin Nio yang mengalah dan tidur di kamarnya, tentu tidak akan terjadi malapetaka itu menimpa dirinya. "Kongcu, aku masih bingung sekali. Pernyataan Kongcu itu merupakan hal yang terlalu besar bagiku, sehingga bingung aku menghadapinya, sukar untuk mengambil keputusan." Cang Sun, mengerutkan alisnya. “Mayang, aku telah bersikap jujur dan aku hanya mengharapkan kejujuranmu pula. Andaikata engkau tidak mempunyai perasaan sayang sedikitpun kepadaku dan karenanya tidak dapat membalas cintaku, katakan saja terus terang. AKu tidak akan marah, tidak akan menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tiada untung. Aku, tidak ingin engkau membalas cintaku hanya karena merasa berhutang budi, atau hanya karena kasihan. Sungguh, Mayang, aku menghendaki kejujuran dalam urusan cinta, karena hal ini menyangkut sisa kehidupan kita sampai akhir hayat.” Mayang merasa terharu. Pemuda ini memang hebat. Biarpun tidak pernah mau mempelajari ilmu silat, namun bijaksana dan wawasannya jauh dan mendalam, dan ia merasa yakin bahwa pemuda seperti ini akan menjadi suami yang baik, menjadi ayah yang bijaksana. “Sama sekali tidak, Kongcu. Aku tidak akan bersikap tidak jujur dalam hal ini, akan tetapi, terus terang saja, aku sedang menghadapi persoalan yang amat sulit dan yang tak dapat kuceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepadamupun belum saatnya kuceritakan. Percayalah kepadaku, Kongcu. Aku menanggapi pernyataanmu itu dengan setulus hatiku, dan sudah pasti akan tiba saatnya aku akan memberi jawaban keputusanku. Harap Kongcu bersabar sampai beberapa lama lagi. Aku harap Kongcu yakin bahwa aku tidak mempermainkan Kongcu, aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Maukah Kongcu memberi waktu lagi kepadaku dan sebelum aku memberi jawabanku, Kongcu tidak akan bertanya sesuatu?” . "Hemm, sampai kapan, Mayang? Sampai berapa lamanya? Aku seorang manusia biasa, dan menunggu merupakan pekerjaan yang amat berat." "Maafkan aku, Kongcu. Tunggulah sampai aku menyelesaikan urusan pribadiku, mudah-mudahan tidak lama lagi. Kelak kalau sudah tiba saatnya aku memberi jawaban, semua persoalan ini akan kujelaskan kepadamu dan aku yakin bahwa engkau akan membenarkan sikapku sekarang ini, Kongcu." Cang Sun tersenyum. "Mayang, setidaknya, aku merasa terhibur dengan penguluran waktumu ini. Andaikata engkau menolak, sudah pasti engkau tidak akan mengulur waktu. Ini aku yakin. Jadi, dengan mengulur waktu, berarti aku mempunyai harapan. Begitu, bukan?" Wajah Mayang berubah kemerahan dan iapun tersenyum, lalu mengangguk. "Mudah-mudahan begitu, Kongcu." “Ha-ha, wajahmu menjadi merah seperti bunga mawar tersinar matahari pagi! Biarlah, aku tidak akan membuat engkau merasa canggung, Mayang, dan tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji bahwa selama engkau belum memberikan sendiri jawabanmu kepadaku, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan pertanyaan dan desakanku. selamat malam, Mayang." "Selamat malam, Cang-kongcu." Setelah Cang Sun meninggalkannya, Mayang semakin termenung. Bermacam pikiran menggeluti pikirannya, membuat ia merasa pusing. Jelas ia akan merasa berbahagia kalau sampai dipersunting Cang Sun sebagai isterinya. Betapa akan mudahnya mencintai seorang pemuda seperti itu. Memang sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa suka dan kagum, dan dua perasaan itu mempunyai garis lurus menuju ke arah cinta kasih. Apalagi dengan adanya ulah sim Ki Liong, pemuda yang tadinya telah menjatuhkan hatinya. Kekecewaan dan penyesalan hatinya melihat ulah sim Ki Liong seolah kini hilang nyerinya, terobati oleh kasih sayang Cang Sun, walau hanya baru dapat ia nikmati melalui pandang mata pemuda itu, melalui tutur katanya dan pengakuan cintanya. sebetulnya, ia merasa berbahagia sekali. Baru saja kehilangan cintanya yang dikecewakan oleh Sim Ki Liong, ia telah memperoleh penggantinya yang jauh lebih baik. Dan betapa menyedihkan nasib Cin Nio. Baru saja Cin Nio mengalami patah hati karena cintanya ditolak oleh Cang Sun, kini tertimpa malapetaka yang hampir saja membuat ia membunuh diri. Mayang menghela napas panjang dan melamun di dalam taman itu sampai malam. Entah berapa jam ia berada di taman itu, melamun dan memandang bulan sepotong yang sudah keluar dan cukup tinggi, membuat suasana di taman itu indah sekali. Akhirnya dengan malas-malasan ia bangkit berdiri untuk kembali kekamarnya. Akan tetapi, ketika ia berjalan perlahan-lahan menyelinap diantara pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat dua bayangan hitam berkelebat diluar taman. Sesosok bayangan lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio, sedangkan sesosok lagi lari menuju ke kamar Cang Sun. Berdebar rasa jantung Mayang melihat.bayangan-bayangan itu. Tentu keselamatan Cang Sun dan dua orang gadis itu terancam! Sejenak hati Mayang menjadi bimbang. Siapa yang harus ditolongnya lebih dahulu? Akan tetapi dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja menyelinap akan yang dianggapnya amat baik untuk menggagalkan niat buruk dua sosok bayangan itu. Ia lari ke gudang penyimpanan jerami untuk ransum kuda dekat kandang kuda dan dibakarnya setumpuk jerami yang berada di luar gudang. Karena jerami itu sudah kering benar, sebentar saja api berkobar. "Kebakaran……! Kebakaran……!!” Mayang berteriak-teriak sambil memukuli canang tanda bahaya yang tergantung dekat kandang. Sebentar saja gegerlah ketika semua orang berlarian keluar. Mayang sendiri sudah cepat berlari, pertama-tama ia lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio karena ia amat mengkhawatirkan nasib dua orang gadis itu. Ia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat keluar melalui jendela kamar itu. Ia mencoba untuk mengejar, namun bayangan itu dengan gesitnya sudah menghilang di balik wuwungan rumah. Ia melompat memasuki kamar dan cepat menutup hidungnya karena tercium bau harum yang aneh. Tahulah ia bahwa kamar itu telah dipenuhi asap pembius! Ia menyambar selimut, dikebut-kebutkan selimut itu mengusir asap dan membuka pintu kamar. Asap itupun cepat terbang pergi melalui lubang jendela dan pintu. Ketika ia menghampiri dua orang gadis itu, ia melihat mereka sudah tidur pulas atau pingsan, tentu terpengaruh asap pembius yang harum seperti dupa itu. Ketika ia teringat akan Cang Sun, iapun cepat meloncat keluar lagi dan lari ke kamar pemuda itu. Ia menarik napas lega melihat pemuda itu tertidur sambil duduk di kursinya, meletakkan kepala di atas meja. Agaknya pemuda itu tadi belum tidur ketika bayangan hitam meniupkan asap pembius ke kamarnya sehingga ia tertidur di atas kursinya. Seperti juga di kamar dua orang gadis tadi, Mayang mengusir asap melalui jendela dan pintu kamar. Beberapa orang pengawal muncul dan mereka terbatuk-batuk ketika hendak memasuki kamar. Melihat Mayang mengebut-ngebutkan selimut mengusir asap yang baunya harum menyesakkan dada, mereka bertanya apa yang telah terjadi. "Lihiap, apakah yang terjadi?" . "Entah, ada kebakaran dan rupanya ada penjahat masuk melepas asap beracun untuk membius Cang-kongcu." Tiba-tiba muncul Liong Ki dan Liong Bi. Mereka kelihatan kaget dan tegang, dan ketika melihat Mayang diluar kamar Cang Sun, Liong Ki berkata, "Wah, di kamar nona Cang Hui dan nona Teng Cin Nio juga penuh asap, tapi sudah kubersihkan bersama para pengawal." Liong Bi juga berkata, "Api yang membakar gudang sudah dapat kami padamkan. Apa yang terjadi disini, Mayang?” Mayang pura-pura bersikap biasa saja walaupun di dalam hatinya, keras dugaannya bahwa dua sosok bayangan hitam yang tadi memasuki kamar Cang Sun dan kamar dua orang gadis itu adalah dua orang yang kini bicara dengan sikap seperti orang yang ikut berjasa itu. "Hemm, rupanya ada dua orang maling hina yang mencoba untuk mencuri barang berharga di kamar Cang-kongcu dan kamar kedua orang nona itu,” kata Mayang sambil memandang kepada mereka. "Heran sekali, bagaimana gudang itu dapat terbakar tanpa ada yang mengetahuinya," kata Liong Bi. "Penjaga hanya mendengar suara gaduh dan melihat bahwa jerami diluar gudang itu sudah terbakar besar." “Kalau begitu, tentu ada orang ketiga yang membakarnya." kata pula Mayang, tentu saja ia tahu benar karena yang membakarnya adalah ia sendiri. Bagaimanapun juga, hatinya lega bahwa siasatnya itu telah menyelamatkan Cang Sun, Cang Hui dan Cin Nio. Kalau ia tidak melakukan siasat membakar jerami itu, bagaimana mungkin ia melindungi ketiganya. "Omitohud…….apakah yang terjadi sampai ribut begini?" terdengar suara orang dan nampak Hek Tok Siansu menghampiri mereka, dan kakek gendut ini menggosok-gosok matanya seolah baru bangun dari tidurnya. Mayang memandang kepada kakek itu dan sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia dapat melihat betapa kulit yang hitam kehijauan itu tidak wajar, dan ia dapat menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu sesat yang amat berbahaya. "Ada tiga penjahat besar menyusup masuk ke dalam istana keluarga Cang ini," kata Mayang sambil menatap tajam wajah kakek itu. "Omitohud ..., mana penjahatnya yang begitu berani…..?" “Kalau kita baru terbangun setelah semua selesai, tentu para penjahatnya telah lama menyingkir," kata Mayang dengan suara mengejek. Kemudian, setelah menyuruh seorang pengawal yang dipercayanya membangunkan Cang-kongcu dan memberi keterangan apa yang telah terjadi, Mayang menghampiri Liong Ki yang berdiri agak menyendiri, kemudian ia berbisik, "Besok pagi jam delapan aku menunggumu di danau. Aku ingin bicara urusan penting antara kita." Liong Ki memandang heran, akan tetapi Mayang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjawab karena gadis itu sudah melangkah pergi menuju kekamar Cang Hui da Cin Nio. Dua orang gadis itupun sudah sadar dan dikerumuni para pelayan yang tadi terbangun dan ikut panik. Melihat Mayang, kedua orang gadis itu lalu menyuruh pergi semua pelayan. Setelah mereka hanya bertiga saja di kamar itu, Cang Hui segera bertanya kepada Mayang. "Mayang, apa yang telah terjadi? Menurut para pelayan, kamar ini tadi penuh asap pembius dan kami berdua pingsan, dan katanya di gudang ada kebakaran. Mereka mendengar katanya ada dua atau tiga orang penjahat menyelundup masuk ke istana. Juga katanya kamar Sun-ko dipenuhi asap pembius seperti kamar kami. Benarkah itu? Apa yang sesungguhnya terjadi?" Cin Nio tidak bicara, akan tetapi pandang matanya kepada Mayang penuh arti, penuh pertanyaan apakah peristiwa malam ini ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa dirinya beberapa malam yang lalu. "Memang benar, ada dua orang penjahat menyelinap masuk dan melepas asap pembius di kamar ini dan kamar Cang-kongcu. Akan tetapi, untung bahwa mereka ketahuan sehingga mereka melarikan diri." Cang Hui mengerutkan alisnya. "Mayang, sesungguhnya apakah yang terjadi? Siapa mereka dan apa mau mereka itu melepaskan asap pembius di kamarku dan kamar Sun-ko?" "Adik Hui dan adik Cin, harap kalian tenang. Aku sedang menyelidikinya dan kuharapkan dalam waktu singkat akan dapat menemukan jawabannya. Semua urusan mudah-mudahan akan dapat kubikin terang dalam waktu dua tiga hari ini." Berkata demikian Mayang memandang kepada Cin Nio penuh arti, dan Cin Nio mengerti bahwa Mayang hendak mengatakan bahwa juga urusan malapetaka yang menimpa dirinya akan dapat dibikin terang. Hal ini berarti bahwa tentu ada hubungannya antara peristiwa malam ini dengan malapetaka yang menimpa dirinya. Pada saat itu, terdengar suara Cang Sun yang telah berdiri di pintu kamar adiknya. "Mayang, apakah yang sebenarnya telah terjadi? Aku mendengar berita yang simpang siur dari para pengawal, katanya kamarku dipenuhi asap pembius dan aku telah tak sadar di atas kursiku. Aku ingin mendengar sendiri darimu, apa sebenarnya yang telah terjadi?" Cang Hui mendekati kakaknya. "sun-ko, ada penjahat menyusup ke dalam rumah kita. Mereka itu melepas asap pembius di kamarku dan kamarmu, tentu dengan niat buruk terhadap kita. Dan ada yang membakar jerami di dekat gudang. Untung Mayang segera datang mengusir asap itu dan berteriak-teriak sehingga para pengawal berdatangan. Dua penjahat itu telah melarikan diri." "Mayang, apa artinya semua ini?" tanya Cang Sun sambil memandang kepada Mayang. Agaknya keterangan adiknya itu masih belum memuaskan hatinya dan ia ingin mendengar sendiri keterangan Mayang. "Artinya bahwa ada penyerang gelap mengancam keluarga Cang, Kongcu, dan aku akan mencoba untuk membikin terang perkara ini." Cang Sun menatap wajah gadis itu penuh selidik. "Adakah ini hubungannya dengan urusan pribadimu itu?" Mayang mengangguk. "sekarang belum waktunya aku bicara banyak, Kongcu. Bersabarlah beberapa hari lagi, pasti aku akan dapat membongkar semua urusan ini.” Setelah berkata demikian, Mayang segera meninggalkan mereka, kembali ke kamarnya karena ia tidak ingin percakapannya tadi didengar orang lain. Pada hari-hari biasa, danau di luar kota raja itu sepi saja, apalagi pada pagi hari itu. Bukan waktunya orang berlibur. Para pemilik perahu yang biasanya menyewakan perahu pada para tamu di hari-hari yang ramai, pada hari sepi itu menggunakan perahu mereka untuk mencoba peruntungan mencari ikan di tengah danau. Sejak awal sekali Mayang telah berada di tepi danau, memandang ke arah timur, ke arah kota raja. Akhirnya, orang yang dinanti-nanti sejak pagi tadi muncul. Sim Ki Liong berjalan seorang diri menuju telaga dan dia segera dapat melihat Mayang karena gadis itu sengaja naik ke atas tepi danau yang menonjol tinggi. Mayang melambaikan tangan dan Sim Ki Liong atau Liong Ki berlari menuju ke tempat itu. Akan tetapi, setelah pemuda itu dekat, Mayang memberi isyarat agar Ki Liong mengikutinya dan iapun berlari memasuki sebuah hutan yang berada di sebuah bukit kecil. Tempat itu sunyi dan tak nampak seorangpun manusia lain. Mayang ingin bicara denganSim Ki Liong di tempat sepi agar jangan terdengar orang lain. Diam-diam hatinya merasa tegang sekali karena kalau benar seperti yang disangkanya bahwa Sim Ki Liong pelaku pemerkosa akan diri Cin Nio maka hal itu merupakan kepastian baginya untuk bertindak, menganggap Ki Liong sebagai musuh. Mungkin akan terjadi bentrokan antara ia dan Ki Liong, dan ia sudah siap siaga untuk menghadapinya. Dan ia pasti tidak akan tinggal diam sekali ini. Akan dibukanya rahasia Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa kepada Menteri Cang agar kedua orang itu tidak lagi diterima sebagai pembantu, bahkan ditangkap karena dahulu mereka mengatur siasat menculik lalu menolong Cang Sun. Ia harus membuat perhitungan dengan Sim Ki Liong yang telah mengkhianatinya, mengkhianati cintanya. Setelah tiba di tempat terbuka di puncak bukit, dikelilingi hutan kecil, Mayang berhenti dan menanti Sim Ki Liong yang mengejarnya. Kini mereka ,berdiri berhadapan, dalam jarak empat meter. Ki Liong tersenyum memandang kepada Mayang, senyum yang penuh arti. "Mayang, engkau mengundangku datang kesini, agaknya hendak bicara penting sekali. Ada urusan apakah, sayang?" Kata-kata dan nada suaranya itu terasa oleh Mayang seperti sebatang pisau menusuk jantungnya, akan tetapi ia pura-pura tidak merasakannya dan ia bahkan menekan perasaannya sehingga suaranya terdengar datar dan biasa tanpa emosi. "Liong-ko, aku mengundangmu kesini agar dapat bicara berdua denganmu. Aku menuntut pertanggungan jawabmu terhadap diriku!" Ki Liong tersenyum dan maju selangkah. "Tentu saja, Mayang. Pertanggungan jawab yang bagaimana yang kau maksudkan? Jelaskanlah, sayang." Mayang mengerutkan alisnya dan mengambil sikap pura-pura marah. “Liong-ko, setelah apa yang kau lakukan kepadaku beberapa malam yang lalu, sekarang engkau masih berpura-pura lagi bertanya pertanggungan jawab apa yang kumaksudkan?" cerita silat online karya kho ping hoo Setelah berkata demikian, ia memandang penuh selidik, dan ini bukan lagi bersandiwara karena memang ia ingin sekali mengetahui reaksi dari pemuda itu ketika mendengar ucapannya ini. Mendengar ucapan itu, Sim Ki liong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya itu yang kau maksudkan? Aih, Mayang, bukankah sudah lama sekali kita saling mencinta? Tentu saja aku akan mempertanggung jawabkan. Sudah berani berbuat aku tentu berani bertanggung jawab. Nah, katakan, apa yang harus kulakukan untukmu?" Ki Liong bersikap menantang. sambil tersenyum dan jelas bahwa pandang matanya membayangkan perasaan senang. Agaknya hatinya senang melihat Mayang tidak marah. Akan tetapi jawaban itu masih belum memuaskan atau belum meyakinkan hati gadis itu. “Liong-ko, engkau telah menodai seorang gadis dan sekarang masih bertanya apa yang harus kau lakukan? Begitu bodohkah engkau, atau memang tidak perduli akan nasibku?" Ia memancing lagi. "Mayang, kekasihku. Sejak dahulu aku mencintamu. Jangan katakan bahwa aku menodaimu, sayang. Malam itu aku hanya membuktikan rasa cintaku kepadamu. Nah, malam itu kita telah menjadi suami isteri yang sah. Engkau menghendaki pernikahan, bukan? Sabarlah, Mayang, kalau sudah tiba saatnya, kita pasti akan menikah. Heh-heh-heh……. !” Akan tetapi, suara tawanya terhenti seketika ketika tiba-tiba saja terjadi perubahan dalam sikap Mayang. Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan api dan tangan Mayang sudah menyambar ke depan, meluncur seperti ular mematuk ke arah leher Ki Liong. "Haiiiiittttt…….!!" “Ehh…….. ahhh……!" Sim Ki Liong terkejut setengah mati. Biarpun dia amat lihai, akan tetapi datangnya. serangan itu demikian tiba-tiba, tubuh Mayang menerjang dengan amat cepatnya dan pukulan yang dilancarkan itu adalah ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh. Tidak ada kesempatan bagi Ki Liong untuk menangkis lagi, maka sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia sudah melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sampai lima kali baru dia terlepas dari ancaman maut pukulan beruntun yang dilakukan Mayang kepadanya. “Heii, Mayang! Ada apakah engkau ini? Gilakah engkau? Bukankah kita Sudah menjadi suami isteri dan……?” “Jahanam busuk! Kiranya benar engkau yang melakukannya! Keparat terkutuk! Sekarang aku yakin bahwa yang berniat busuk terhadap Cang Hui dan Cang-kongcu tadi malam tentulah engkau dan komplotanmu, pelacur hina Su Bi Hwa itu! Sekarang terbukalah semua kedokmu, jahanam! Aku pasti akan membuka rahasiamu kepada Menteri Cang!" Wajah Sim Ki Liong berubah pucat mendengar ini. "Aih, Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ingat, engkau telah menjadi isteriku! Engkau sudah tidak gadis lagi. Kalau bukan aku yang mengawinimu kelak, apakah engkau akan menjadi seorang yang menderita aib selama hidupmu?" , "Sim Ki Liong, iblis busuk! Aku telah buta dan tolol menganggap seorang manusia iblis macam engkau akan bertaubat dan kembali ke jalan benar. Kiranya engkau hanya menipu dan mempermainkan aku! Huh, jangan diikira bahwa akan mudah saja engkau untuk menghinaku. Yang engkau perkosa pada malam itu bukanlah aku!" Sepasang mata Sim Ki Liong terbelalak dan dia memandang tak percaya. "Bukan engkau? Tapi….. tapi di kamarmu dan….. kalau bukan engkau lalu siapa ?” Mayang tersenyum mengejek. "Tak perlu engkau tahu siapa, karena saat inipun aku akan mencabut nyawamu yang tak berharga!" Berkata demikian, Mayang sudah melepaskan senjatanya yang ampuh, yaitu pecutnya yang panjang. Begitu ia mengayun pecutnya ke atas kepalanya, terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil yang nyaring. Pada saat itu muncullah Su Bi Hwa atau yang dikenal sebagai Liong Bi oleh keluarga Menteri Cang. "Hi-hi-hik, Liong koko, sekarang engkau tahu rasa! Sudah sejak dulu kukatakan bahwa bocah ini berbahaya, sebaiknya dilenyapkan saja. kalau tidak, ia tentu akan membikin ribut saja dan selalu menggagalkan semua rencana kita.” Ki Liong merasa lega melihat munculnya sekutu ini, akan tetapi juga heran karena dia tidak menyangka. "Engkaupun disini, Bi-moi?" tanyanya. "Tentu saja! Aku tidak sebodoh engkau, Liong-ko. Aku sudah mencurigainya, maka aku sudah membuat persiapan yang serba lengkap. Sekarang, mari kita habiskan riwayat bocah ini agar tidak menjadi penghalang bagi kita." Melihat munculnya Su Bi Hwa, Mayang menjadi semakin marah lagi. "Bagus, kau siluman betina. Memang akupun sudah mengambil keputusan untuk membasmi siluman jahat macam engkau!" Mayang lalu menggerakkan cambuknya dan menyerang kalang kabut. Cambuknya mengeluarkan suara bercuitan disusul ledakan-ledakan, menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah kedua orang itu. Sim Ki Liong maklum akan kelihaian Mayang maka diapun sudah mencabut pedangnya, demikian pula Su Bi Hwa. Mereka maju bersama dan mengeroyok Mayang dengan gerakan pedang mereka yang lihai. Kalau hanya Su Bi Hwa seorang diri, yang melawan Mayang, tentu ia akan kewalahan. Akan tetapi disitu ada Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang amat lihai. Baru menghadapi Sim Ki Liong seorang diri saja agaknya Mayang tidak akan mampu mengalahkannya. Kini Sim Ki Liong dibantu Su Bi Hwa, maka tentu saja amat berat bagi Mayang untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi, gadis ini tidak mengenal takut dan ia sudah nekat untuk melawan mati-matian. Gerakan pecut di tangannya amat menggiriskan, setiap sambaran pecutnya merupakan sambaran maut yang mengarah nyawa lawan. Berbeda dengan Su Bi Hwa yang, membalas serangan Mayang dengan serangan maut untuk membunuh pula, Sim Ki Liong agak ragu-ragu dalam serangan balasannya. Bagaimanapun juga, Sim Ki Liong memang pernah tergila-gila kepada Mayang. Bahkan sampai kini, belum ada wanita yang dapat menandingi daya tarik Mayang baginya. Agaknya dia tidak tega kalau harus membunuh Mayang, dan agaknya akan membiarkan Bi Hwa saja yang membunuhnya. Oleh karena itu, gerakan pedangnya hanya untuk menangkis serangan Mayang dan mendesak gadis itu sehingga Su Bi Hwa yang nampak lebih ganas menghujankan serangan. Kenekatan Mayang membuat kecepatan dan kekuatannya bertambah, namun karena dua orang lawannya juga merupakan ahli-ahli pedang yang hebat, terutama sekali Ki Liong, setelah lewat seratus jurus, mulailah Mayang terdesak hebat. Melihat ini, mulailah Su Bi Hwa mengejek dan tertawa-tawa. "Hi-hi-hik, Mayang, bocah sombong. Bersiaplah engkau untuk mampus!” Pedangya membabat ke arah leher Mayang. Mayang mengelak dengan loncatan ke samping, akan tetapi ketika pecutnya menyambar ganas ke arah Bi Hwa, pedang di tangan Ki Liong sudah membabat dari samping, kuat bukan main sehingga terdengar suara keras dan ujung pecut itu terbabat putus oleh pedang Ki Liong! Melihat ini Su Bi Hwa menggerakkan kakinya dan paha kiri Mayang kena ditendangnya. "Dukk!" Tak dapat dicegahnya lagi, tubuh Mayang terpelanting keras. Sambil terkekeh Bi Hwa membacokkan pedangnya, akan tetapi pedang itu ditangkis oleh pedang di tangan Ki Liong. "Tranggg……..!” "Ehh? Liong-Ko, apa yang kau lakukan ini?" Bi Hwa berseru kaget. "Aku ingin menangkapnya hidup-hidup, Bi-moi!" Bi Hwa mengerti dan tertawa. "Heh-heh, agaknya karena malam itu ternyata bukan Mayang yang kau tundukkan dalam kamarnya, engkau masih penasaran? Baiklah, akan kutangkap ia untukmu, kuhadiahkan padamu untuk hari ini, akan tetapi sesudah itu ia harus dibunuh dan mayatnya dilenyapkan di dasar danau!" kata Bi Hwa. Mendengar ini, Mayang, mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat bangun, tidak memperdulikan rasa nyeri di pahanya. Hatinya terasa sakit bukan main. Kini terbukalah matanya dan tahulah ia benar-benar macam apa adanya Sim Ki Liong yang penah dicintanya. Ia telah mintakan ampun untuk Ki Liong dari Cia Kui Hong, kemudian di pulau Teratai Merah iapun memintakan ampun untuk Ki Liong dari Pendekar Sadis dan isterinya. Dan kini ternyata Ki Liong hanya memandangnya sebagai alat pemuas nafsunya belaka. Bahkan demikian kejinya Ki Liong untuk minta kepada Bi Hwa agar ia tidak dibunuh dulu sebelum digumulinya! "Jahanam kau……, terkutuk kau…….!" Dan dengan napas terengah-engah saking marahnya ia sudah menyerang lagi dengan cambuknya yang sudah patah ujungnya, menyerang mati-matian ke arah Ki Liong. Bahkan hantaman pecutnya dibantu oleh tangan kirinya yang juga melakukan serangan dengan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang mengandung hawa beracun. Namun, Ki Liong mengelak dari pukulan itu dan menangkis hantaman cambuk dengan pedangnya. Mayang kembali mengamuk, dan karena kini Su Bi Hwa tidak lagi menyerang untuk membunuh, melainkan untuk merobohkannya dan menangkapnya, maka Mayang tidak terancam maut lagi. Bagaimanapun juga, tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat menangkap gadis yang seperti singa betina mengamuk ini begitu saja. "Wirrr…… !" Pecut itu kembali menyambar ke arah kepala Ki Liong. Serangan yang dilakukan penuh dengan kebencian. Ki Liong menyambut dengan pedang dan sengaja memutar pedang sehingga pecut itu melibat pedangnya. Kesempatan ini kembali dimanfaatkan Bi Hwa. Tangannya menampar ke arah pundak Mayang dan gadis ini kembali terpelanting, sekali ini terpelanting keras dan kepalanya terasa pening. Namun ia telah dapat melepaskan libatan cambuknya dan ia sengaja menggulingkan tubuhnya sambil memutar-mutar cambuk melindungi diri. Memang hebat gadis ini. Kalau ia tidak bergulingan dan memutar cambuknya, tentu mudah bagi dua orang pengeroyoknya untuk menotok dan menangkapnya. Namun dengan bergulingan dan memutar cambuk, kembali ia terlepas. Ia meloncat berdiri lagi dan walaupun kepalanya pening dan pundaknya nyeri, ia sudah siap untuk melawan sampai titik darah penghabisan. "Sim Ki Liong, jahanam busuk kau……!!" Ia berteriak, suara teriaknya melengking nyaring dan kembali ia mengamuk dengan cambuknya, amukan yang tidak lagi menghiraukan keselamatan dirinya. Su Bi Hwa menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau menurutkan hatinya, ia ingin segera membunuh saja gadis peranakan Tibet itu agar tidak menyusahkan lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau hal itu ia lakukan, ia akan rugi karena tentu Ki Liong akan merasa kecewa dan tidak senang kepadanya. "Liong-ko, biar kurobohkan dia dengan jarum agar lebih mudah!" katanya, akan tetapi sebelum Ki Liong menjawab, tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari kiri, sinar merah lembut yang menyambar dengan cepat sekali ke arah Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong! Kiranya sebelum Bi Hwa mempergunakan jarum-jarumnya, telah ada orang lain yang lebih dulu menggunakan jarum-jarum merah yang amat lihai, akan tetapi bukan untuk menyerang Mayang, sebaliknya malah menyerang mereka. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa cepat mengelak dan sinar merah lembut itu menyambar lewat. Bukan jarum-jarum merah itu yang mengejutkan hati mereka, melainkan setelah orangnya yang menyambitkan jarum itu muncul. "Siluman betina busuk, kiranya engkau disini! Dan bersama si murtad Sim Ki Liong mengeroyok Mayang! Bagus, jangan takut, Mayang. Aku membantumu menghajar jahanam-jahanam ini!" kata gadis perkasa yang menyambitkan jarum-jarum merah itu. Wajah Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong berubah ketika mereka mengenal Cia Kui Hong! Yang menolong Mayang itu memang Kui Hong. Seperti kita ketahui, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-san setelah ia mendapatkan persetujuan ayah ibunya untuk berjodoh dengan Tang Hay. Bagaikan mendapatkan semangat hidup baru, Kui Hong segera berangkat dan mencari ke kota raja. Akan tetapi, kebetulan sekali ia lewat di danau itu dan tertarik oleh keindahan danau. Ia berjalan-jalan di sekitar danau dan tadi ketika ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan danau dan pergi ke kota raja, ia kebetulan lewat dekat bukit itu dan mendengar teriakan marah dari Mayang. Iapun bergegas naik ke bukit itu dan melihat betapa Mayang didesak dengan hebat oleh dua orang yang membuat ia marah bukan main. Dua orang pengeroyok Mayang itu adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Tentu saja Kui Hong merasa heran sekali. Bukankah Ki Liong dan Mayang saling mencintai? Bahkan Mayang sendiri yang pernah mintakan ampun untuk Ki Liong kepadanya! Bagaimana sekarang Ki Liong malah menyerang Mayang, dan bersama dengan Tok-ciang Bi Mo-li murid Pek-lian Da-kui itu? Dalam keheranannya, ia tidak banyak membuang waktu dan mendengar betapa Su Bi Hwa hendak menyerang Mayang dengan jarum, ia mendahului dan menyambit kedua orang pengeroyok dengan jarum-jarum merahnya. “Enci Kui Hong…….!!” Mayang berseru girang bukan main ketika melihat siapa penolongnya dan cepat ia meloncat ke dekat Kui Hong. "Mayang, apa yang telah terjadi? Kenapa engku dikeroyok oleh dua orang ini?" Kui Hong bertanya, penasaran. "Enci Kui Hong, jahanam Sim Ki Liong mengkhianatiku, dia bersekongkol dengan iblis betina itu untuk menguasai keluarga Menteri Cang Ku Ceng." Kui Hong membelalakkan matanya. "Begitu berani mereka? Kalau begitu dosa mereka sudah melewati ukuran dan mereka layak dibasmi!” Kui Hong membentak dan iapun sudah mencabut sepasang pedangnya, lalu menyerang Ki Liong dengan sepasang pedang itu. Serangannya hebat bukan main karena ia telah mengerahkan tenaganya dan memainkan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dipelajarinya dari Toan Kim Hong, neneknya. Ki Liong yang maklum akan kelihaian gadis ini, tidak banyak cakap lagi dan cepat memutar pedangya melawan. Mayang kini memperoleh angin baik. Biarpun ia sudah menderita luka oleh tendangan pada paha dan pukulan pada pundaknya, kini melihat munculnya Kui Hong, semangatnya timbul kembali dan bagaikan seekor singa betina, ia menggunakan cambuknya yang sudah patah ujungnya untuk menyerang Su Bi Hwa dengan dahsyat. Kini terjadilah pertandingan satu lawan satu yang amat seru. Akan tetapi, Ki Liong segera mulai terdesak oleh sepasang pedang di tangan Kui Hong. Gadis ini, biarpun hanya menerima keterangan singkat dari Mayang, maklum bahwa Ki Liong, telah mengkhianati gadis itu dan tentu telah melakukan kejahatan kembali. Memang ia sudah sangat membenci pemuda murid pulau Teratai Merah yang murtad ini. Kalau dulu ia mengampuninya adalah karena atas permintaan Mayang. Kini, ia menyerang untuk membunuh sehingga Ki Liong hanya mampu menangkis dan menjaga diri, tidak diberi kesempatan lagi untuk balas menyerang. Adapun Su Bi Hwa yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan Mayang, kini juga kewalahan menghadapi desakan Mayang karena gadis peranakan Tibet ini marah sekali sehingga gerakannya menjadi sangat dahsyat, terutama sekali serangan tangan kirinya yang menggunakan Hek-coa-tok-ciang. Tiba-tiba Su Bi Hwa berseru nyaring. "Suhu, keluarlah dan bantulah kami!" Ki Liong sendiri merasa heran, mengira bahwa tentu sekutunya itu hanya mempergunakan siasat menggertak saja. Akan tetapi, betapa girang rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar suara orang yang amat dikenalnya, suara Hek Tok Siansu! "Omitohud……., banyak benar orang muda perkasa bermunculan!" Dan sambaran angin dahsyat menyerang ke arah Kui Hong dari arah kanan! Kui Hong yang sedang mendesak Ki Liong, ketika mendengar suara itu dan merasakan sambaran angin pukulan dahsyat, cepat membalik ke arah suara itu dan memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri yang kini memegang dua batang pedang, lalu tangan kanannya ia dorongkan kearah dari mana datangnya angin pukulan, "Desss……!” Dua tenaga sakti bertemu di udara lewat telapak tangan Hek Tok Siansu dan Cia Kui Hong. "Omitohud…..!” Hek Tok Siansu berseru kaget dan heran karena tangkisan gadis itu membuat pukulannya tadi membalik. Jarang di dunia ini ada orang mampu menangkis pukulannya seperti itu, dan gadis ini masih muda sekali! "Bi Hwa, siapakah nona ini?" Saking heran dan kagumnya, ia bertanya kepada Bi Hwa. Bagi, Hek T ok Siansu, tidak ada rahasia lagi tentang Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong karena mereka sudah mengaku kepadanya tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Su Bi Hwa memang cerdik. Ia telah mengatur semuanya sehingga kakek itu berada pula disitu, siap membantu. Bahkan banyak pula orang-orang Pek-lian-kauw sudah siap membantunya. "Suhu, ia adalah pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai." "Omitohud, seorang wanita masih begini muda sudah menjadi ketua perkumpulan besar. Pantas saja lihai!" Kui Hong merasa heran mendengar Bi Hwa menyebut suhu kepada hwesio ini. Setahunya, guru Bi Hwa adalah Pek-lian Sam-kwi yang ketiganya sudah tewas semua. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang hwesio yang mengaku sebagai guru wanita iblis ini ? "Lo-cian-pwe," katanya dengan sikap tegas. "Aku Cia Kui Hong tidak pernah bermusuhan denganmu. Tok-ciang Bi Moli ini pernah mengacau Cin-ling-pai, maka aku akan membunuhnya, dan Sim Ki Liong ini adalah murid murtad dari kakek dan nenekku. Oleh karena itu, harap Lo-cian-pwe tidak mencampuri urusan kami agar aku tidak perlu bermusuhan denganmu." "Omitohud, nona muda yang sombong. Apa kau kira pinceng takut melawanmu! Ha-ha-ha, dua orang ini adalah sekutu pinceng, sudah menjadi murid pinceng, tentu saja urusan mereka adalah urusan pinceng." Tahulah Kui Hong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bentuk dan pakaiannya saja pendeta, akan tetapi isinya adalah seorang yang condong kepada golongan sesat. "Kalau begitu, pendeta palsu, engkaupun hanya akan membikin kacau dunia saja!" bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan sepasang pedangnya. "Omitohud, biarlah nona ini menjadi lawan pinceng!" kata Hek Tok Siansu dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya. Ujung lengan bajunya menyambar dan ketika kedua ujung lengan baju itu menangkis pedang di tangan Kui Hong, gadis itu merasa seolah-olah sepasang pedangnya ditangkis oleh senjata keras yang kuat. Segera terjadi perkelahian diantara mereka. "Bi-moi, kau bantu suhu menundukkan Kui Hong, biar aku yang menangkap Mayang!" kata Ki Liong dengan gembira. Tak disangkanya bahwa Bi Hwa sedemikian cerdiknya sehingga kini pihaknya yang lebih kuat. Bi Hwa juga maklum bahwa kalau ketua Cin-ling-pai itu tidak di kalahkan, tentu merupakan ancaman baginya, maka tanpa banyak cakap lagi ia membantu Hek Tok Siansu mengeroyok Kui Hong. Adapun Ki Liong segera menghadapi Mayang. Kembali keadaan berubah setelah tadi Kui Hong dan Mayang mampu mendesak dua orang lawannya. Dengan masuknya Hek Tok Siansu, keadaan kembali tidak menguntungkan bagi pihak Mayang dan Kui Hong. Kakek ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, yang kadang amat mengejutkan Kui Hong dan membuat gadis itu terdesak dan hanya dapat melindungi dirinya saja tanpa dapat membalas menyerang. Apalagi disitu terdapat Bi Hwa yang menggunakan pedang mengeroyok dan jelas bahwa iblis betina ini bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, membuat Kui Hong segera terdesak. Hanya kematangan ilmu pedang Kui Hong yang bersumber kepada ilmu pedang dahsyat dari neneknya yang membuat gadis itu masih dapat bertahan. Yang payah adalah Mayang. Gadis ini sudah terluka, dan menghadapi Ki Liong ia merasa kalah setingkat, maka segera ia diserang dan didesak hebat oleh Ki Liong yang amat bergairah untuk menangkapnya hidup-hidup. Kini Ki Liong bagi Mayang merupakan iblis yang amat jahat, dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertawan, tentu Ki Liong akan menghina dan memperkosannya. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak mempunyai perikemanusiaan, tidak tahu malu dan sudah tersesat sampai jauh. Mayang menggigit bibirnya dan melawan mati-matian. Sudah dua kali ia terpelanting oleh tendangan kaki Ki Liong, akan tetapi setiap kali ia meloncat bangun lagi, tidak merasakan kenyerian yang dideritanya dan melawan terus dengan gigihnya. Kui Hong maklum bahwa pihaknya terancam bahaya kalau perkelahian berat sebelah itu dan membiarkan diri mati konyol. Ia harus melindungi Mayang karena ia dapat melihat betapa gadis itu terancam oleh Ki Liong. Ia mulai mencari kesempatan untuk mengajak Mayang melarikan diri lebih dahulu agar terlepas dari himpitan lawan. Akan tetapi, tiga orang lawan itu tidak memberi kesempatan dan mendesak terus. Selagi Kui Hong memutar pedang mencari kesempatan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Tahan semua senjata!” Ucapan itu demikian penuh wibawa sehingga seperti tertahan oleh tenaga yang tidak nampak, lima orang yang sedang berkelahi itu otomatis menghentikan gerakan tangan mereka. Hek Tok Siansu terkejut bukan main karena dia merasakan getaran yang amat kuat dalam suara itu, getaran yang mengandung kekuatan sihir yang luar biasa kuatnya. Segera ia memandang dan ternyata yang membentak itupun hanya seorang pria yang masih amat muda! Sungguh mengherankan hatinya karena demikian banyaknya bermunculan orang muda yang amat lihai!....
Jilid 19
Yang paling kaget sampai mukanya berubah pucat adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa ketika mereka mengenal orang yang datang itu karena pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Melihat pemuda itu, Mayang menjerit sambil terisak dan lari menghampiri Hay Hay, langsung meloncat dan merangkul leher pemuda itu. “Hay-koko……. Hay-ko…… uuuuuhuhu-huuuuu……. Hay-kooo…..!” Ia menangis tersedu-sedu di dada kakaknya itu. Hay Hay mengelus kepala adiknya penuh kasih sayang. “Sssttt, Mayang adikku yang manis, dimana kegagahanmu? Hentikan tangismu, Mayang dan ceritakan apa yang terjadi.” Dia lalu mengangkat muka dan bertemu pandang dengan Kui Hong. Keduanya beradu pandang mata, dua pasang sinar mata bertaut sejenak dan keduanya tersipu. “Hay-ko…..!” Kui Hong berbisik hampir tidak bersuara, akan tetapi bibirnya jelas menyebut nama pemuda itu. “Hong-moi, kulihat mati-matian engkau melindungi Mayang adikku. Terima kasih! Akan tetapi apa yang telah terjadi? Ini si iblis betina dari Pek-lian-kauw kembali telah mengacau dan kenapa Ki Liong bahkan menyerang Mayang, bukan melindungi? Dan siapa pula kakek yang gagah ini?” Hay Hay bertanya. Ki Liong merasa gentar bukan main dan diapun cepat berkata kepada Hek Tok Siansu, “Suhu, inilah yang bernama Tang Hay, yang suhu cari-cari!” katanya. Mendengar keterangan itu, Hek Tok Siansu terkejut, akan tetapi juga girang. Diam-diam dia lalu menggerakkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara yang mengandung wibawa. “Omitohud…… kiranya engkau yang bernama Tang Hay? Orang muda, engkaulah yang telah menewaskan dua orang saudara pinceng yang bernama Janghau Lama dan Pat Hoa Lama di Tibet?” Hay Hay mengamati kakek itu dan dia menjawab, “Kalau yang Lo-cian-pwe maksudkan tiga orang pendeta Lama yang memberontak kepada Dalai Lama itu, memang benar bahwa aku pernah bertentangan dengan mereka. Aku tidak membunuh siapapun, dan kalau ada yang tewas dalam pertandingan, maka itu sudahlah wajar. Yang bersalah akhirnya pasti akan kalah dan terhukum perbuatannya sendiri. Mengapa Lo-cian-pwe masih merasa penasaran?” “Omitohud, engkau orang muda yang sombong. Kematian tiga orang saudara kami itu harus dibalas. Kim Mo Siankouw sudah membalas kematian Gunga Lama, dan sekarang, engkau harus menebus kematian Janghau Lama dan Pat Hoa Lama.” “Kalau Lo-cian-pwe membela yang bersalah, berarti bahwa Lo-cian-pwe juga menyeleweng dari kebenaran!” Kakek itu tertawa. “Ha-ha, sungguh menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang sudah lama kucari-cari. Menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda yang berkepandaian. Nah, orang-orang muda, mari kita bergembira, tertawa dengan gembira, ha-ha-ha-ha!!” Suara tawanya sernakin lama semakin kuat dan mengandung getaran hebat, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa sudah ikut tertawa. Mayang sendiri cepat mengerahkan ilmunya. Dari gurunya ia memang menerima ilmu yang menolak kekuatan sihir, maka ia dapat bertahan. Kui Hong juga tergetar hebat dan dengan segera mengerahkan sin-kang untuk menolak, namun tetap saja mulutnya membentuk senyum lebar. "Bagus, tertawalah Lo-cian-pwe. Tertawalah sepuasmu biar kulihat!" kata Hay Hay, tentu saja dengan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk melawan. Akhirnya, yang tertawa bergelak adalah kakek itu sendiri, diiringi suara tawa Ki Liong dan Bi Hwa! Melihat kenyataan ini, Hek Tok Siansu terkejut. Dia mempergunakan sihir agar para lawan itu tertawa dan pemuda itu dia kuasai. Tidak tahunya sekarang malah dia sendiri yang tertawa dan tidak dapat dihentikan Cepat dia merendahkan tubuhnya, seperti katak hendak meloncat dan mengerahkan tenaga dari dalam perut sehingga terdengar bunyi berkokok seperti katak. Akan tetapi dia berhasil menghentikan tawanya dan otomatis Ki Liong dan Bi Hwa juga berhenti tertawa. Wajah dua orang itu menjadi pucat. "Tang Hay, hari ini, pinceng Hek Tok Siansu akan membuat perhitungan denganmu! Bersiaplah untuk menebus kematian saudara-saudaraku!” kakek itu membentak. Hay Hay tersenyum. "Kalau Lo-cianpwe tetap hendak membela yang bersalah, dan ingin menyusul mereka, silakan!" Hek Tok Siansu yang sudah marah sekali, segera memutar kedua lengannya dan dia sudah menyerang Hay Hay dengan ilmu pukulannya yang ampuh, yaitu pukulan Gelombang Samudera yang amat dahsyati Hay Hay mengenal ilmu pukulan ampuh, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangannya “Dess....... !!" keduanya terpental ke belakang. Ternyata tenaga mereka seimbang. Hal ini mengejutkan Hek Tok Siansu dan diapun semakin penasarang tubuhnya seperti menggelundung dan ia menyerang semakin dahsyat. Hay Hay menyambutnya dan dua orang sakti ini segera bertanding. Tiba-tiba Su Bi Hwa yang melihat betapa keadaan pihaknya tidak menguntungkan segera mengeluarkan suara bersuit nyaring. Dan bermunculanlah belasan orang tosu Pek-lian-kauw dari tempat persembunyian mereka! Melihat ini, Kui Hong meloncat rnendekati Mayang. Mereka beradu punggung dan saling melindungi, menghadapi pengepungan Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang dibantu belasan orang tosu Pek-lian-kauw! Hay Hay maklum akan kehebatan lawannya, juga ia tahu bahwa Kui Hong dan Mayang dikeroyok banyak orang. Maka, diapun cepat menggunakan ilmunya giauw-pon-poan-san, dengan langkah terputar-putar dia dapat membuat lawannya hanya membuang-buang tenaga sia-sia belaka. Hay Hay kadang-kadang meninggalkan kakek itu dan menerjang untuk membantu Kui Hong dan Mayang, membubarkan kepungan dan merobohkan satu dua orang pengeroyok. Baru dia menahan lagi kalau kakek itu mendesak, lalu menggunakan langkahnya yang ajaib itu untuk bermain kucing-kucingan. Dengan demikian, Hay Hay dapat melindungi Mayang dan Kui Hong. Pada waktu itu, ilmu kepandaian Cia Kui Hong telah meningkat karena selama ia berada di Ci-ling-san, di bawah pengamatan ayah bundanya, ia berlatih dengan tekun sehingga saat itu, tingkat kepandaiannya sudah melebihi ayah dan ibunya. Hal ini tidak mengherankan karena gadis perkasa ini pernah digembleng sendiri oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Biarpun ia harus menghadapi pengeroyokan Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa, ia tidak akan kewalahan dan mampu mengimbangi mereka berdua. Mayang sendiripun bukan gadis lemah. Akan tetapi ia telah terluka, dan para anggauta Pek-lian-kauw yang kini mengeroyok ia dan Kui Hong, berjumlah tiga belas orang dan mereka itu bukan anggauta biasa, melainkan tokoh-tokoh yang telah memiliki kepandaian tinggi. Maka, bagaimanapun Kui Hong mengamuk, tetap saja ia harus melindungi Mayang dan kedua gadis ini tetap terdesak. Untung disitu ada Hay Hay. Dengan siasatnya kadang-kadang melawan Hek Tok Siansu, dan kalau ada kesempatan ia meloncat dan menggempur para pengeroyok kedua orang gadis itu, dan gempurannya selalu merobohkan seorang pengeroyok, maka keadaan menjadi seimbang. Sim Ki Liong yang menyamar dengan nama Liong Ki dan Bi Hwa yang memakai nama Liong Bi, adalah dua orang yang kicik. Mereka tidak mengenal apa yang disebut budi, tidak mengenal setia kawan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Kini, melihat keadaan mereka yang tidak lahan semalarri. Maka, mendengar ucapan menguntungkan mereka merasa gelisah. Mereka tahu bahwa setelah rahasia mereka kini diketahui Mayang, tidak mungkin bagi mereka kembali ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Dalam keadaan yang gawat itu, Liong Bi berbisik kepada Liong Ki, “Cepat, kita harus pergi dari sini agar jangan terlambat!” Dua orang itu memang memiliki jalan pikiran yang sama, maka mendengar ucapan itu saja Liong Ki sudah dapat menangkap maksud yang terkandung di dalamnya. Dipun melihat bahwa keadaan mereka amat tidak menguntungkan dan diam-diam dia mengutuk Mayang. Gadis itulah gara-gara semua kegagalan ini. Dia sama sekali tidak mengira bahwa malam itu bukan Mayang gadis yang di perkosanya selagi terbius, melainkan Teng Cin Nio! Dan Mayang telah mengetahui hal itu. Semua menjadi gagal! Kalau menteri Cang pulang dan mendengar akan peristiwa itu, tentu dia akan ditangkap. Habislah sudah semua cita-cita yang muluk, hancur oleh kesalahan semalam. Maka, mendengar ucapan Liong Bi, diapun mengangguk-angguk dan keduanya lalu keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan sisa anggauta Pek-lia-kauw untuk mengeroyok Kui Hong dan Mayang. Karena ditinggakan dua orang itu, belasan orang Pek-lian-kauw menjadi kocar-kacir melawan amukan Kui Hong dan Mayang. Beberapa orang terpelanting roboh disambar sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam di tangan Kui Hong dan beberapa orang lagi roboh disambar pecut di tangan Mayang, walaupun pecut itu telah putus bagian ujungnya. "Enci Hong, cepat kejar mereka, lindungi keluarga Menteri Cang!" Mayang berseru dengan khawatir. Ia sendiri merasa tidak mampu untuk melawan dua orang lihai itu. Mendengar itu, Kui Hong terkejut. Berbahaya sekali kalau orang-orang macam Ki Liong dan Bi Hwa itu benar-benar menyerang keluarga Menteri-Cang. Ia meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Hay Hay yang masih bertanding dengan seru melawan Hek Tok Siansu. Pertandingan antara dua orang itu berlangsung dengan seru. Kakek itu berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan Hay Hay, untuk membalas dendamnya. Dia sudah bertubi-tubi melakukan penyerangan dengan pukulan Angin Taufan, pukulan Gelombang Samudera, bahkan dia sudah menggunakan cara bergulingan seperti trenggiling, lalu mendekam dan melancarkan pukulan sakti seperti katak hendak meloncat. Namun Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri. Langkah-langkah ajaib giau-pouw-poan-san dapat menghindarkan sernua pukulan dan kalau sekali dua kali pemuda itu menangkis, maka keduanya terpental karena memang tenaga sinkang mereka seimbang. Hay Hay juga penasaran jarang dia berhadapan dengan lawan setangguh ini. Baru setelah dia memainkan Ciu-sian Cappek-ciang, yaitu,delapan belas jurus ilmu pukulan yang dipeiajarinya dari Ciu-sian Sin-kai, kakek gendut berkulit hitam itu terdesak mundur. Pada saat itulah Kui Hong meloncat ke belakang meninggalkan gelanggang. "Hay-ko, kau lindungi Mayang. Aku harus melindungi keluarga Cang!” kata Kui Hong. Melihat Kui Hong berlari cepat meninggalkan tempat itu, Hay Hay menjadi sadar. Tadi Sim Ki Liong dan wanita cantik yang dia kenal sebagai Tok-ciang Bi Moli yang pernah mengacau Cin-ling-pai telah melarikan diri. Kalau kini Kui Hong mengatakan hendak melindungi keluarga Cang, berarti kedua orang tadi mungkin merupakan ancaman bagi keluarga bangsawan itu. Akan tetapi Mayang masih dikeroyok beberapa orang anggauta Pek-lian kauw, dan disini terdapat pula Hek Sansu yang lihai. Kalau dia pergi mengejar dan membantu Kui Hong, tentu Mayang terancarn bahaya. Tak mungkin dia rneninggalkan Mayang, apa lagi kelihatannya adiknya itu telah menderita luka-luka. Karena mengkhawatirkan Kui Hong yang melakukan pengejaran seorang diri, juga mengkhawatirkan keadaan Mayang, Hay Hay menjadi rnarah. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya, lalu mengeluarkan teriakan melengking. Teriakan ini mengandung kekuatan sihir yang amat dahsyat sehingga Hek Tok Siansu sendiri sampai terhuyung ke belakang dan mukanya berubah pucat. Saat itu dipergunakan oleh Hay Hay untuk menyerang dengan dorongan kedua tangannya. Saat itu tubuh Hek Tok Siansu sedang terhuyung oleh daya kekuatan lengking nyaring yang dikeluarkan Hay Hay, maka datangnya serangan ini amat dahsyat. Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula. “Desss….!” Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Hay Hay terlempar ke atas. Dia membuat salto sampai lima kaki baru turun ke bawah. Akan tetapi kakek itu terjengkang dan dia cepat duduk bersila mengatur pernapasan dan mengusap darah dari bibirnya. Setelah itu, dia membuka mata, memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata kagum dan tidak percaya, lalu berkata dengan lirih. “Tang Hay, lain kali kita bertemu lagi." Dan diapun bangkit berdiri lalu berkelebat pergi dengan cepatnya. Melihat kakek itu melarikan diri, sisa orang-orang Pek-lian-kauw tentu saja menjadi ketakutan dan merekapun lari meninggalkan kawan-kawan mereka yang terluka atau tewas. "Koko mari cepat kita susul enci Hong. Keluarga Cang berada dalam bahaya!" kata Mayang, akan tetapi ia terhuyung karena lelah dan karena lukanya. Tanpa membuang banyak waktu untuk bertanya, Hay Hay Ialu menyambar tubuh adiknya dan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota, dan langsung pergi ke gedung Menteri Cang yang sudah dikenalnya baik itu. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa secepatnya meninggalkan gelanggang pertempuran yang tidak menguntungkan pihak mereka, dan cepat sekali mereka tiba di istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan Menteri Cang, tentu saja para pengawal juga tidak banyak bertanya melihat mereka datang nampak tergesa-gesa itu. Keduanya langsung saja mencari Cang Hui dan Cang Sun, dengan maksud untuk menangkap mereka. Mereka telah ketahuan, rahasia mereka telah terbuka dengan munculnya Hay Hay dan Kui Hong, maka kalau mereka tidak menyandera putera puteri Menteri Cang, tentu mereka akan celaka. Akan tetapi, mereka tidak melihat Cang Sun, hanya menemukan Cang Hui dan Teng Cin Nio yang sedang menanti pulangnya Mayang karena gadis itu tadi pergi tanpa pamit. Ketika mereka melihat munculnya orang-orang yang mereka kenal sebagai Liong Ki dan Liong Bi, keduanya terkejut, apalagi melihat sikap dua orang itu yang aneh dan tidak seperti biasanya. Cin Nio sendiri belum menduga bahwa Liong Ki yang memperkosa dirinya malam itu, akan tetapi ia memang sudah tidak suka melihat sikap pemuda itu yang kadang-kadang memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Lebih-lebih Cang Hui. Ia pernah dirayu oleh pemuda itu, maka ia merasa tidak suka kepada Liong Ki. "Di mana Mayang?" tanya Cang Hui ketika melihat mereka berdua menghampirinya. Ia dan Cin Nio sedang duduk di taman bunga. "Kemana ia pergi? Sejak tadi aku tidak melihatnya." Cin Nio sendiri hanya memandang dan tidak bicara sesuatu. Liong Ki dan Liong Bi mendekat, dan Liong Ki berkata, "Mayang telah dicelakai orang jahat. Kalianpun akan celaka kalau tidak cepat pergi dari sini. Mari, kami akan melindungi kalian." katanya sambil mendekati Cang Hui. "Pergi? Kemana? Aku tidak mau. Pula, bahaya apa yang mengancam?" Akan tetapi, secepat kilat Sim Ki Liong telah menerjang dan menotoknya, hampir berbareng dengan yang dilakukan Su Bi Hwa kepada Cin Nio. Biarpun dua orang gadis itu pernah berlatih silat dengan tekun di bawah bimbingan Mayang, namun dibandingkan dengan dua orang itu, mereka kalah jauh. Pula, penyerangnya itu tidak mereka duga-duga sama sekali sehingga mereka tidak sempat mengelak, menangkis maupun berteriak. Sesuai dengan rencana yang mereka atur ketika lari tadi, keduanya tanpa banyak cakap lagi memondong kedua orang gadis yang sudah lemas dan tidak mampu bergerak maupun bersuara itu, dan membawanya lari menuju ke belakang dimana terdapat beberapa buah kereta keluarga dan banyak kuda-kuda yang pilihan. Melihat dua orang kepercayaan majikan mereka itu memasang dua ekor kuda di depan sebuah kereta, lalu memapah dua orang siocia mereka kedalam kereta dan menjalankan kereta keluar dari situ, para pelayan hanya memandang dengan melongo, tidak berani menegur atau banyak bertanya. Mereka, hanya mengira bahwa agaknya dua orang nona mereka itu tiba-tiba terserang penyakit lumpuh dan dua orang kepercayaan itu tentu akan membawa mereka mencari tabib dalam keadaan tergesa-gesa. Akan tetapi ketika kereta tiba di pintu gerbang belakang, dari mana kereta-kereta dari istana itu biasanya keluar, lima orang penjaga pintu gerbang menghadang di tengah jalan dan mengangkat tangan memberi isyarat agar kereta dihentikan. "Minggir!” bentak Sim Ki Liong. "Apakah kalian tidak melihat bahwa aku yang membawa kereta keluar.” "Maaf, Taihiap. Akan tetapi kami mendengar bahwa Cang Siocia dan Tang Siocia kau bawa dalam kereta. Kami harus mempertanggung jawabkan ini. Hendak dibawa kemana mereka itu dan mengapa? Apa yang terjadi denga mereka, Taihiap?" “Keparat, kalian tidak percaya kepadaku? Minggir!” bentak Sim Ki Liong yang tidak mau membuang banyak waktu. Sementara itu tanpa banyak cakap lagi Su Bi Hwa menggerakkan tangan lima kali. Lima orang penjaga itu menjerit dan roboh, tewas karena yang memasuki tubuh mereka adalah jarum-jarum beracun yang disambitkan Su Bi Hwa. Sim Ki Liong ,segera melarikan dua ekor kuda yang menarik kereta keluar dari situ dengan cepat. Para penjaga lain yang melihat lima orang rekan mereka tewas, segera berteriak-teriak dan gegerlah seisi istana. Apalagi, ketika Nyonya Cang mendengar bahwa puteri dan keponakannya dilarikan oleh dua orang kepercayaan itu, ia mejadi bingug karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Rasanya, sukar diterima dugaan bahwa dua orang kepercayaan itu menculik dan melarikan dua orang gadis itu. Untuk apa diculik? Selagi semua orang kebingungan karena pada waktu itu Menteri Cang tidak berada di rumah, muncullah Cang Sun yang ketika peristiwa itu terjadi sedang keluar istana dan berkunjung ke rumah seorang sahabatnya. Tentu saja dia menjadi terkejut sekali mendengar bahwa liong Ki dan Liong Bi melarikan Cang Hui dan Cin Nio dengan sebuah kereta. Dia memang mulai curiga kepada dua orang itu, apalagi mengingat sikap Liong Bi yang selalu berusaha merayunya. "Pengawal, cepat kerahkan pasukan pengawal dan mengejar kereta itu!” kata Cang Sun dengan gelisah. Selagi semua orang sibuk, muncullah Kui Hong! "Nona Cia…….. ah, nona Cia…….!” Nyonya Cang merangkul Cia Kui Hong dan menangis. "Mereka melarikan Cang Hui dan Cin Nio….” Sementara itu, Cang Sun juga tertegun melihat munculnya gadis yang selama ini, sebelurn dia bertemu Mayang. "Nona Kui Hong....... !” katanya, disambungnya cepat-cepat, "Nona, kau harus menolong Hui-moi dan Ci-moi. Mereka berdua dilarikan Liong Ki dan Liong Bi dengan kereta!" "Mereka itu dua orang penjahat besar yang kejam! Aku akan mengejar mereka!” kata Kui Hong dan iapun melompat dan berlari cepat meninggalkan rumah itu. Di pintu gerbang, ia rnendapat keterangan dari penjaga bahwa kereta itu dilarikan ke arah barat. Pantas saja ia tadi tidak berternu karena ia masuk kota melalui pintu gerbang selatan. Melihat seekor kuda milik para penjaga, ia lalu berkata. “Aku pinjam kuda kalian sebentar!” Para penjaga sudah mengenal Kui Hong yang mereka kagumi ketika gadis itu dahulu pernah tinggal di rumah Menteri Cang. Mereka tahu bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan kabarnya menjadi ketua Cin-ling-pai. “Silakan, nona!” Kui Hong membalapkan kudanya melakukan pengejaran. Akan tetapi karena kereta itu sudah jauh meninggalkan pintu gerbang kota raja, karena memang kedua orang itu memilih kuda terbaik sehingga kedua kuda itu berlari cepat sekali. Namun, jejak kereta itu jelas dan Kui Hong terus melakukan pengejaran. "Hong-moi, perlahan dulu....... !” Suara itu terdengar jelas sekali walaupun lirih, seolah-olah yang bersuara itu berbisik di dekat telinganya. Tahulah ia bahwa itu adalah suara Hay Hay dan bahwa orang yang selama ini selalu tak pernah meninggalkan hatinya itu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh yang hanya dapat di lakukan orang yang memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Ia menahan kudanya dan menengok. Benar saja. Bayangan itu seperti terbang saja datang dari belakang, cepatnya bukan main. Ia harus mengakui bahwa ia sendiri tidak rnungkin dapat menandingi ilmu berlari cepat Hay Hay. Memang seorang diantara guru Hay Hay, yaitu See-thian La-rna adalah seorang ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sukar dicari bandingnya. Dan agaknya Hay Hay telah menguasai ilmu-ilrnu peninggalan para gurunya dengan baik bahkan mungkin gurunya sendiri lebih baik dibandingkan setelah pemuda ini mendapat gemblengan dari Song Lojing seorang sakti yang menyempurnakan semua ilmunya. "Hay-ko bagaimana dengan mereka tadi?" "Hek Tok Siansu melarikan diri, orang-orang Pek-lian-kauw juga lari. Mayang berada di rumah Cang Taijin." "Hay-ko, kenapa engkau menahanku? Bukankah kita harus cepat mengejar dan menyusul kereta itu?" Ia menunjuk ke depan dan kereta itu kini nampak sudah jauh. "Hong-moi, kita harus berhati-hati menghadapi dua iblis itu. Kalau kita mengejar seperti ini dan mampu menyul, mereka akan memperguakan dua orang gadis itu sebagai sandera dan kalau mereka mengancam dua orang gadis bangsawan itu, apa yang dapat kita lakukan?" Kui Hong mengangguk. "Lalu apa yang harus kita lakukan?" "Kita harus menyamar sebagai dua orang perampok yang menghadang perjalanan mereka, menutupi muka dengan saputangan. Kalau mereka mengira kita perampok, tentu mereka akan menyerang dan kesempatan itu untuk menyelamatkan dua orang gadis tawanan itu." "Engkau benar, Hay-ko. Mari kita cepat menyamar dan megejar." Kui Hong Ialu menggunakan saputangan menutupi mukanya dari bawah mata ke bawah, dan membungkus rambut kepalanya dengan kain pula sehingga sukarlah mengenal ketua Cin-ling-pai ini. Hay Hay juga menggunakan saputangan lebar menutupi mukanya, mengacaukan rambutnya sehingga riap-riapan. "Hong-moi, sembunyikan sepasang pedangmu agar tidak dikenal." kata Hay Hay, dan Kui Hong cepat menyimpan sepasang pedang di balik bajunya yang longgar. Kemudian, gadis itu menatap wajah Hay Hay yang sudah tertutup saputangan. Mereka hanya saling beradu pandang mata Sejenak sinar mata mereka bertaut lalu dengan suara menggetar Kui Hong berkata. “Hay-ko, betapa banyaknya yang ingin kubicarakan denganmu. Akan tetapi waktunya tidak ada. Kelak saja kalau sudah selesai urusan ini Mari kita kejar mereka!" Iapun melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda kedepan mengerahkan gin-kangnya Hay Hay juga melesat cepat mengejar kuda itu. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa rnerasa lega. Memang semua cita-cita mereka hancur dan gagal, dan mereka tidak mungkin menjadi orang kepercayaan Menteri Cang, akan tetapi setidaknya mereka dapat menyelamatkan diri. Dengan adanya Cang Hui dan Cin Nio sebagai sandera, takkan ada orang yang berani menggannggu mereka, apalagi menyerang mereka. Dan kini Ki Liong masih mempunyai harapan tipis, yaitu dengan menyandera Cang Hui, mungkin Menteri Cang akan mengalah demi keselamatan puterinya dan akan suka menerimanya sebagai mantu. Mengingat betapa dia pernah berjasa dan menjadi orang kepercayaan Menteri Cang, dan mengingat pula bahwa bangsawan tinggi itu tentu akan menjaga nama baik keluarganya daripada aib, besar kemungkinan niatnya itu akan terkabul. Kini kereta itu telah tiba di luar kota raja, mendekati kaki sebuah bukit dan hati mereka sudah merasa senang. Dua orang gadis yang mereka tawan masih rebah setengah duduk dalam keadaan lemas tak mampu bergerak di dalam kereta. Ki Liong memegang kendali, dan Bi Hwa duduk di sampingnya sambil mengawasi dua orang tawanan mereka. “Aih, engkau mau enak sendiri saja." kata Bi Hwa bersungut-sungut, "Kita menculik dua orang gadis, hanya akan menyenangkan engkau saja. Aku tentu hanya akan menjadi penonton yang panas perut." Ki Liong tertawa dan mengelus dagu perempuan yang duduk di sampingnya. “Ah, engkau ini masih mempunyai cemburu? Ha-ha, jangan berpendapat sepicik itu, Bi Hwa. Kalau tadi ada Cang Sun, tentu akan kuculik pula pemuda itu untukmu. Yang penting bukan kesenangan, melainkan keselamatan kita lebih dahulu. Dengan adanya mereka, kita akan selamat. Siapa tahu, kelak Cang Taijin akan mau menerimaku sebagai mantu. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan melupakan engkau, manis." Tiba-tiba mereka menjadi tegang dan memandang ke depan. Ada dua orang yang mukanya tertutup sapu tangan menghadang di depan. Dua orang itu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat untuk berhenti. Dari pakaian mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi baik Ki Liong maupun Bi Hwa tidak mengenal mereka karena wajah mereka tertutup saputanga, bahkan wanita itu kepalanya dikerudungi, dan yang pria rambutnya riap-riapan. Karena tidak ingin kuda yang menarik kereta ketakutan dan sukar dikendalikan, terpaksa Liong menahan kedua ekor kuda yang sudah kelelahan itu. “Heii, kalian mau apa?" bentaknya penuh wibawa. “Minggir!" "Kalian yang cepat turun dan serahkan kereta dan kuda kepada kami." kata pria bertopeng yang rambutnya riap-riapan. Suaranya parau dan dalam. Tahulah Ki Liong dan Bi Hwa bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perampok yang hendak merampas kereta dan kuda. Mereka marah bercampur geli. "Hemm, kalian sudah bosan hidup!" bentak Su Bi Hwa dan tangannya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur menjadi sinar hitam kehijauan menyambar ke arah kedua orang perampok itu. Akan tetapi, kini kemarahan dua orang itu berubah menjadi kekagetan dan keheranan. Dua orang "perampok" itu menggerakkan tangan mengibas dan semua jarum itu runtuh oleh hawa pukulan dari tangan mereka! Kibasan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sin-kang (tangan sakti) yang kuat. "Keparat, kalian benar-benar ingin mampus!" Bi Hwa hendak melompat turun, akan tetapi tiba-tiba Ki Liong memegang pergelangan tangannya. "Jangan turun, jaga dan todong kedua orang tawanan kita.” Bisiknya. Bi Hwa adalah seorang wanita yang berpengalaman dan cerdik, maka seketika, iapun sadar, dan pedang yang tadinya sudah ia cabut untuk “menghajar” kedua orang perampok itu, kini sebaliknya ia todongkan kearah dua orang tawanan yang sudah tidak berdaya. Ki Liong yang masih di bagian depan kereta memegang kendali kuda, kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, Kui Hong dan Hay Hay, kalian kira aku begitu tolol untuk dapat kalian tipu? Jangan kalian bergerak, karena begitu kalian bergerak, nona Cang Hui dan Teng Cin Nio akan kami bunuh!" Tentu saja Hay Hay dan Hui Hong terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa Ki Liong demikian cerdiknya sehingga tidak dapat mereka pancing meninggalkan dua tawanannya. Mereka merasa tidak ada gunanya lagi menyamar, rnaka mereka merenggut lepas sapu tangan penutup kepala dan muka. "Ki Liong, engkau iblis cerdik," kata Hay Hay, suaranya tenang saja walaupun didalam hatinya, dia merasa khawatir. "Bagaimana engkau dapat mengenal kami?" "Heh-heh, Hay Hay, kau kira aku begitu bodoh? Ingat, sudah lama aku mengenal Kui Hong. Aku pernah tergila-gila kepadanya, dan aku ingat benar bentuk dan sinar matanya, ingat akan bentuk tubuhnya. Siapa lagi, kalau bukan ia yang dapat meruntuhkan jarum-jarum Tok-ciang Bi-Moli semudah itu? Dan yang pria tentu saja engkau, karena tadi kalian yang menentang kami. Nah, mudah sekali, bukan? Dan kalian yang bodoh. Jangan bergerak kalau menghendaki dua orang nona itu tidak mampus lebih dulu!" cerita silat online karya kho ping hoo Hay Hay menahan nafas, merasa tidak berdaya. Mengunakan sihir? Dia tahu bahwa Ki Liong terlalu lihai untuk dikuasai dengan sihir, karena tentu pemuda itu sudah siap siaga. Dan Su Bi Hwa adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw, tentu saja ahli sihir dan kalau mereka berdua sudah siap siaga menjaga diri, sukarlah menguasai mereka dengan sihirnya. Berbahaya, tentu pedang di tangan iblis betina itu akan membunuh kedua orang gadis tawanan itu. Selagi Hay Hay merasa bingung, dan tak berdaya, tiba-tiba Kui Hong mengeluarkan suara mengejek. "Huh, engkau iblis berrnuka manusia, srigala berkedok domba, engkau jahanam busuk dan terkutuk Sim Ki Liong! Kau kira dapat menggertak kami dengan menyandera kedua gadis bangsawan itu? Bunuhlah mereka kalau engkau mau membunuh, akan tetapi ingat, kalau engkau dan siluman itu membunuh mereka, aku dan Hay-ko akan menangkap kalian dan engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah cucu Pendekar Sadis! Dan engkau lebih mengetahui bahwa kakekku yang pernah menjadi gurumu itu dijuluki Pendakar Sadis bukan sekedar omong kosong. Aku juga tahu bagaimana caranya menyiksa kalian sesadis-sadisnya sebelum kalian mampus sehingga kalian akan mati seribu kali!” Mendengar ancaman ini, meremang bulu tengkuk Ki Liong dan Bi Hwa. Mereka yakin bahwa kalau sedang marah, bukan tidak mungkin ancaman ketua Cin-ling-pai itu akan dilaksanakan! Ki Liong dan Bi Hwa saling lirik dan muka mereka berubah agak pucat mendengar ancaman Kui Hong itu. Mereka berdua maklum bahwa kalau mereka membunuh dua orang gadis tawanan, pasti mereka harus melawan Kui Hong dan Hay Hay, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan menang. Kalau mereka tertawan dan ketua Cin-ling-pai, cucu Pendekar Sadis itu melaksanakan ancamannya, wah, sungguh rnengerikan sekali membayangkan derita siksaan yang akan mereka alami. Diam-diam Hay Hay kagum kepada Kui Hong. Gadis pujaan hatinya itu telah mempergunakan siasat yang tepat sekali. Gertak dilawan dengan gertakan yang lebih hebat lagi! Dia tahu bahwa dalam keadaan bingung dan ragu, bisa saja dua orang manusia sesat itu menjadi nekat dan benar-benar membunuh dua orang gadis bangsawan, maka diapun cepat bicara dengan suara yang juga mengandung ejekan. "Nah, kalian sudah mendengar sendiri ancaman cucu Pendekar Sadis! Aku sendiri hanya akan menyaksikan dari jauh karena aku pasti tidak tega melihat siksaan yang hanya dapat terjadi di neraka! Bagaimanapun juga, akhirnya kedua orang tawanan kalian mati kalian bunuh, dan kalian mati disiksa pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai. Nah, bagaimana kalau kita biarkan kalian berempat tetap hidup? Dalam keadaan panik dan bingung, ucapan Hay Hay itu merupakan pegangan harapan terakhir bagi Sim Ki Liong. "Aku setuju! Cia Kui Hong, aku menawarkan penukaran nyawa kami berdua dengan nyawa dua orang tawanan kami." Kui Hong tersenyum mengejek. "Kalau menurut kata hatiku, aku tidak mungkin sudi melepaskanmu untuk kedua kalinya, Ki Liong. Dahulu, Mayang memohon dan mintakan ampun bagimu karena ia tertarik dan terbujuk rayuanmu. Karena mengira bahwa engkau akan berubah dan kembali ke jalan benar, aku membiarkan engkau pergi. Ternyata engkau malah mengkhianati Mayang! Karena Mayang tidak berada disini, biarlah kakaknya yang mengambil keputusan. Hay-ko, terserah kepadamu apa yang harus kita lakukan terhadap dua iblis ini." Hay Hay bersikap acuh dan acuh dan suaranya sambil lalu saja ketika dia bertanya, "Sim Ki Liong, mengadakan perjanjian dengan orang seperti engkau sungguh merugikan diri sendiri karena engkau adalah seorang pengkhianat yang tidak suka memegang janji. Nah, tawaran penukaran yang kau maksudkan itu bagaimana? Jelaskan, nona Cia Kui Hong dan aku akan mempertimbangkannya. Akan tetapi awas, kalau engkau bertindak curang apa yang diancamkan nona Cia Kui Hong tadi pasti akan menjadi kenyataan." Sikap dan suara Hay Hay juga seperti orang yang tidak begitu memperdulikan nasib kedua gadis bangsawan itu sehingga Sim Ki Liong dan Siu Bi Hwa merasa kalah angin. Kalau saja yang mereka hadapi itu bukan Kui Hong dan Hay Hay, pikir mereka, kalau yang mereka hadapi itu Menteri Cang, pasti menteri itu tidak bersikap acuh seperti ini, tentu akan memperhatikan apa yang mereka tuntut dan memenuhinya tanpa banyak berbantah lagi. Akan tetapi, dua orang ini tidak dapat mereka gertak dan agaknya tidak perduli apakah mereka akan membunuh dua orang gadis itu atau tidak. Sebaliknya merekalah yang terancam! "Kui Hong dan Hay Hay, kalau kalian mau berjanji tidak akan menyerang kami, dan membiarkan kami pergi dari sini, maka kami pun akan menyerahkan dua orang gadis di dalam kereta ini kepada kalian. Kami percaya akan janji kalian, terutama sekaii janji yang keluar dari mulut ketua Cin-ling-pai. Kalau kalian tidak mau, apa boleh buat, dua orang nona ini akan kami bunuh, kemudian melawan kalian mati-matian mengadu nyawa. Bagaimanapun juga, kami sudah untung membunuh dua orang gadis tawanan ini." Hay Hay pura-pura meragu lalu bertanya, sambil menoleh kepada Kui Hong, “Bagaimana pendapatmu, Pangcu (ketua)? Rasanya sayang membiarkan dua ekor tikus busuk ini pergi, setelah kita dengan mudah akan dapat menangkapnya dan menyeretnya ke depan Menteri Cang, atau rnembunuh mereka disini seperti dua ekor tikus. Bagaimana pendapatmu dengan penawaran mereka itu?" Kui Hong juga memperlihatkan sikap ragu-ragu. "Hemm, akupun merasa sayang kalau harus melepaskan dua iblis busuk yang layak mampus ini. Akan tetapi, bagaimanapun juga, nyawa mereka tidak ada harganya. Dua orang nona itu jauh lebih berharga. Biarlah untuk sekali ini kita mengalah dan membiarkan mereka pergi, akan tetapi lain kali kita tidak akan mengampuni mereka lagi." "Nah, Cia Kui Hong, sebagai ketua Cin-ling-pai, berjanjilah bahwa engkau dan Hay Hay tidak akan menyerang kami dan membiarkan kami pergi." kata Sim Ki Liong, diam-diam merasa girang sekali. Bagi dia dan Bi Hwa pada saat itu, yang paling penting adalah kebebasan dan keselamatan mereka. Yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau mereka masih hidup, tentu mereka akan dapat bercita-cita lagi, mengejar segala macam kesenangan lagi. Kui Hong mengangguk. "Baik sekali ini aku berjanji akan membiarkan kalian pergi, akan tetapi lain kali kita bertemu lagi, aku pasti tidak akan mengampuni kalian. Nah, pergilah cepat!” Setelah rnendengar janji Kui Hong, Sim Ki Liong memandang dengan wajah berseri dan ia menjadi berani. Dia yakin bahwa orang seperti Cia Kui Hong, sampai matipun tidak akan sudi melanggar janjinya. "Bi Hwa, tinggalkan mereka!” katanya kepada Su Bi Hwa. Biarpun hatinya ragu dan khawatir, akan tetapi Bi Hwa percaya kepada Ki Liong dan melihat Ki Liong melompat turun dari kereta, iapun meninggalkan dua orang tawanan itu. Ki Liong tersenyum dan berkata kepada Kui Hong. "Nah Kui Hong, ambillah mereka dan biarkan kami membawa kereta itu. Atau kalian tukar dengan dua ekor kuda kalian, bukankah kalian masih untung sebuah kereta dalam penukaran ini?" Kui Hong menudingkan telunjuknya ke arah bekas suhengnya itu. "Sim Ki Liong manusia iblis tak tahu malu. Kalau engkau dan iblis betina ini mau pergi, cepatlah pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaranku dan lupa diri, lupa janji! Semua kuda dan kereta ini milik Menteri Cang, kalian hanya mencuri. Nah, cepat menggelinding pergi dari sini!” Ki Liong menyeringai, hatinya panas sekali, akan tetapi dia tidak berdaya. Kalau dia tidak terima, apakah yang dapat dia lakukan? Marah dan menyerang mereka? Kalau begitu, jelas diluar perjanjian dan berarti dia mencari penyakit, bahkan mungkin saja mencari mati. Karena merasa betapa Kui Hong sudah diikat janji, maka untuk melampiaskan kemarahan hatinya, diapun berseru marah. "Cia Kui Hong, aku tidak akan melupakan penghinaan ini. Ingat baik-baik, sekali waktu engkau akan terjatuh ke tanganku dan engkau akan membayar semua hutangmu kepadaku berikut bunganya!” Setelah berkata demikian, diapun memberi isyarat kepada Bi Hwa dan mereka berdua membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. "Hemm, ingin sekali aku memukul pecah kepala yang isinya pikiran busuk itu!” kata Hay Hay. "Sabarlah, yang paling penting kita menyelamatkan Cang Siocia." kata Kui Hong sambil mendekati kereta. Melihat Cang Hui dan Cin Nio dalam keadaan lemas tertotok, Kui Hong menggerakkan jari tangannya membebaskan mereka dari pengaruh totokan. Begitu dapat menggerakkan tubuhnya, Cang Hui lalu merangkul Kui Hong sambil menangis. "Enci Hong.........!!” Kui Hong menepuk-nepuk pundak Cang Hui. "Tenangkan hatimu, Nona. Engkau tidak diganggu oleh iblis itu, bukan?" Cang Hui mengerti apa yang dimaksudkan Kui Hong dan ia menggeleng kepala, "Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, enci Hong. Mereka itu tiba-tiba saja datang dan menotok lalu menculik kami. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan Mayang dan mengapa pula mereka berdua yang selama ini diperlakukan dengan baik oleh ayah, kini berbalik menculik aku dan Cin Nio." Kui Hong mengerutkan alisnya, "Nona Cang, agaknya engkau belum mengenal betul siapa mereka tadi?" "Tentu saja aku mengenal mereka. Mereka telah diterima sebagai pembantu dan pengawal keluarga kami oleh ayah. Mereka kakak beradik bernama Liong Ki dan Liong Bi!” kata Cang Hui heran. Kui Hong menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. "Rumah ayahmu telah kemasukan dua orang manusia iblis yang amat jahat, Nona. Akan tetapi panjang ceritanya dan nanti kita bicara dalam perjalanan pulang. Kami akan mengantar kalian pulang. Siapakah nona ini?" tanya Kui Hong menunjuk kepada Cin Nio. Ketika ia berada di istana Menteri Cang dahulu, Cin Nio belum berada disana maka ia tidak mengenalnya. "Ia adalah saudara misanku bernama Tan Cin Nio dan tinggal bersama kami. Dan siapakah pendekar ini?" Cang Hui memandang kepada Hay Hay, juga Cin Nio memandang. "Aku, ji-wi Sio-cia (nona berdua)? Namaku Tang Hay akan tetapi panggil saja aku Hay Hay. Ah, sekarang aku mengerti mengapa Sim Ki Liong yang jahat itu menculik kalian. Kiranya kalian adalah dua orang nona bangsawan yang cantik jelita bagaikan dua tangkai bunga yang sedang mekar merekah dengan harumnya.......” "Ihhhh.......” Cang Hui terkejut mendengar ucapan yang Memuji dan merayu itu, dan ia menoleh kepada Kui Hong dengan sinar mata bertanya-tanya mengapa Kui Hong berkawan dengan pria yang kurang ajar itu! Kui Hong tersenyum. “Saudara Tang Hay atau Hay Hay ini adalah seorang pendekar yang dikenal baik oleh ayahmu. Jangan kaget melihat dan mendengar sikapnya yang seperti merayu karena memang julukannya adalah Pendekar Mata Keranjang! Akan tetapi hatinya bersih. Hay-ko, jagalah sikap dan kata katamu agar tidak mengejutkan nona Cang dan nona Teng.” Hay Hay tersenyum. Girang hatinya mendengar ucapan Kui Hong tadi karena ucapan itu jelas membuktikan bahwa Kui Hong telah mengenalnya dan tidak akan merasa cemburu kalau dia memuji-muji kecantikan wanita dengan sejujurnya. "Ji-wi Sio-cia, harap ji-wi sudi memaafkan kalau sikapku tidak berkenan di hati ji-wi. Dua orang dara seperti jiwi yang anggun seperti bidadari, tentu memiliki belas kasihan seperti bidadari pula dan sudi memaafkan seorang hamba rendah macam diriku.” Cang Hui adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan selalu gembira. Biarpun baru saja terbebas dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut, namun kini setelah mendengar keterangan Kui Hong tentang Hay Hay dan mendengar ucapannya yang terakhir itu, mau tidak mau ia terkekeh geli. "Aduh, setiap orang gadis harus berhati-hati sekali menjaga diri kalau bertemu dengan Tai-hiap ini! Kalau tidak hati-hati tentu akan mudah jatuh bangun!” Hay Hay menjadi semakin gembira. Kiranya puteri Menteri Cang Ku Ceng ini seorang gadis yang lincah jenaka. "Maaf, Siocia. Apanya yang jatuh bangun itu?" "Apanya? Tentu saja hatinya!" kata Cang Hui. "Enci Hong, sekarang ceritakan, apa artinya kata-katamu, tentang diri Liong Ki dan Liong Bi tadi?” "Mari kita naik kereta. Hay-ko, engkau yang menjadi kusir." kata Kui Hong. Hay Hay tertawa dan mereka semua naik ke dalam kereta. Tiga orang itu duduk di dalam dan Hay Hay duduk di depan, di tempat kusir. Dua ekor kuda itu memang kuda pilihan, dan kuda yang tadi dituggangi Kui Hong diikat di belakang kereta. Dalam perjalanan kernbali ke kota raja itulah Kui Hong memberi penjelasan kepada Cang Hui dan Cin Nio tentang dua orang yang selama ini dipercaya oleh keluarga Cang itu. "Orang yang kalian kenal sebagai Liong Ki itu sebetulnya bernama Sim Ki Liong, dan dia sebetulnya adalah murid dari kakekku, akan tetapi telah menyeleweng dan tidak diakui lagi bahkan menjadi musuh besarku. Dia pengkhianat, curang dan licik, seorang yang berbahaya sekali karena dia pandai bersikap seperti seorang pendekar budiman. Dia pernah membantu gerakan pemberontak yang telah dihancurkan. Dia amat jahat dan palsu. Untunglah bahwa engkau dapat terlepas dari tangannya, Nona." Tiba-tiba Teng Cin Nio menangis. Gadis ini merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk ketika mendengar ucapan Kui Hong. Ia telah menjadi korban kejahatan Sim Ki Liong! Hanya Mayang seorang yang tahu akan peristiwa itu, dan hanya karena bujukan Mayang sampai hari ini ia masih hidup, karena aib itu membuat ia ingin bunuh diri saja. "Enci Cin, kenapa engkau menangis?” tanya Cang Hui. "Sepatutnya kita bersukur telah terbebas dari tangan dua orang manusia iblis itu.” "Adik Hui, aku teringat akan Mayang. Kalau mereka itu demikian jahatnya, kenapa Mayang datang bersama mereka ke rumah keluarga Cang? Kenapa Mayang mau berdekatan dengan mereka, padahal kita mengetahui benar bahwa Mayang adalah seorang gadis yang baik?" "Ah, hal itu memang perlu dijelaskan agar tidak salah sangka." kata Kui Hong. “Memang Nona benar kalau mengatakan bahwa Mayang adalah seorang gadis yang baik dan gagah perkasa. Bagaimana tidak akan demikian kalau ia adalah adik dari Pendekar Mata Keranjang ini?" “Aihh, Hong-moi, kenapa engkau suka sekaili menyebut mata keranjang? Engkau bisa membuat aku benar-benar merasa mata keranjang!” "Memang kau mata keranjang, habis disuruh mengatakan apa? Akan tetapi aku sekarang tahu bahwa seluruh pria di dunia ini, bahkan seluruh mahluk jantan di dunia ini, semua mata keranjang! Hanya ada yang kecil. ada yang besar kadarnya, ada yang jujur seperti engkau, ada yang pura-pura, ada yang kasar dan ada yang halus, ada yang mampu mengendalikan diri dan ada yang menjadi hamba nafsunya." "Enci Kui Hong, kalau memang Mayang seorang pendekar wanita yang perkasa, kenapa ia ikut-ikutan, menyelundup kedalam keluarga Cang?" Kini Cin Nio mendesak, marasa penasaran. "Karena Mayang pernah terpikat dan jatuh cinta kepadanya, itulah sebabnya. Ketika aku akan membunuhnya dalam pertempuran menghancurkan pemberontak, Mayang mintakan ampun untuknya, karena Mayang berharap agar Ki Liong dapat sadar dari kesesatannya. Dan entah bagaimana Mayang dapat bergaul pula dengan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan mau saja diajak menyusup ke dalam keluarga Cang. Hal itu tentu ada sebabnya dan nanti Mayang dapat menjelaskan kepada kita. Mungkin Mayang tidak tahu siapa sebenarnya iblis betina yang memakai nama Liong Bi itu. Kemudian, agaknya ia mengetahui juga rahasia mereka dan karenanya ia menentang mereka yang dibantu pula oleh Hek Tok Siansu, seorang datuk yang lihai." "Kakek itu diakui guru oleh mereka, bahkan mereka mengajak kakek itu menghadap ayah!” kata Cang Hui terkejut. "Sungguh berbahaya sekali. Untung sekarang rahasia mereka telah diketahui dan mereka tidak akan mungkin berani lagi muncul di rumah keluarga Cang." kata Kui Hong. "Hampir saja Mayang menjadi korban ketika dikeroyok oleh dua orang iblis itu, ketika aku dan kemudian Hay-koko ini muncul dan membantu Mayang.” "Aku yakin bahwa Mayang tentu mempunyai alasan yang kuat kenapa ia dapat datang bersama mereka menghadap ayah." kata Cang Hui. "Dimana sekarang Mayang dan bagaimana keadaannya?" "Ia menderita luka, akan tetapi agaknya tidak parah dan sekarang telah berada di rumah keluargamu, Siocia. Tadi ia dilindungi kakaknya dan diantar kesana." Kereta telah tiba di pekarangan gedung tempat tinggal keluarga Cang. Tentu saja mereka disambut dengan penuh kegembiraan, bukan saja oleh Cang Sun, ibunya dan Mayang, bahkan semua pengawal merasa gembira dan lega karena tadi mereka tentu saja merasa khawatir dan tentu mereka akan mendapat hukuman berat dari Menteri Cang kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Cang Siocia. Sebelum mereka itu tiba, lebih dahulu Mayang dan Cang Sun telah bicara dari hati ke hati. Melihat tadi Mayang diantar oleh Hay Hay dalam keadaan luka-luka, tentu saja Cang Sun merasa khawatir sekali dan cepat-cepat dia memanggil tabib yang pandai untuk mengobati luka-luka yang diderita Mayang. Akan tetapi luka-luka itu tidak berat dan tak lama kemudian Mayang telah diajak bicara empat mata oleh Cang Sun, di ruangan sebelah dalam. Tak seorangpun pelayan diperbolehkan mendekat dan setelah duduk berhadapan berdua saja, Cang Sun mengamati waiah gadis yang di cintanya itu dan dengan nada suara khawatir dia mengajukan pertanyaan kepada Mayang apa yang sesungguhnya terjadi. “Engkau tentu mengerti segalanya, dan ceritakan mengapa Liong Ki dan Liong Bi melakukan perbuatan menculik Hui-moi dan Cin-moi.” Mayang menundukkan mukanya sampai beberapa saat lamanya. Kemudian, ketika ia mengangkat muka memandang, Cang Sun semakin khawatir. Wajah gadis itu agak pucat dan pandang matanya demikian sayu minta di kasihani. “Kongcu, sekarang saatnya aku menceritakan segalanya secara terus terang kepadamu. Sungguh tugas ini amat menakutkan hatiku, kongcu, karena besar kemungkinan setelah kongcu mendengar keteranganku, kongcu akan membenciku. Aku telah melakukan kesalahan besar sekali diluar kesadaranku, dan kesalahanku ini hampir saja mencelakakan keluargamu, bahkan kini kita masih belum tahu bagaimana nasib adik Hui dan adik Cin.” Suara Mayang terdengar gemetar penuh perasaan sesal. “Mayang, ceritakanlah. Aku bukan anak kecil, aku sudah dewasa dan aku dapat mempertimbangkan persoalan dengan adil. Apalagi engkau mengatakan tadi bahwa kesalahan itu kau buat di luar kesadaranmu, itu saja sudah menghapus sebagian besar dari kesalahanmu, kalau memang ada. Ceritakanlah.” Berceritalah Mayang. Semua ia ceritakan dari permulaan. Sejak ia menyelamatkan Sim Ki Liong sehingga tidak sampai dibunuh oleh Cia Kui Hong karena ia merasa kasihan kepada Ki Liong, karena iapun membalas cinta pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat kembali ke jalan benar. Betapa ia dan Ki Liong melakukan perjalanan dan di tengah jalan bertemu dengan Su Bi Hwa yang tidak dikenalnya dan yang diakui sebagai seorang sahabat lama oleh Ki Liong. “Aku sempat melihat perbuatan mereka terhadap Kongcu. Aku tegur mereka dan mereka menyatakan bahwa mereka melakukan itu agar dapat memperoleh Kedudukan dan pekerjaan yang baik agar dipercaya oleh keluarga Kongcu. Mulai saat itu aku sudah merasa curiga dan tidak suka, akan tetapi karena menyangka bahwa mereka memang ingin mencari kedudukan yang pantas, akupun menahan diri. Mereka mempergunakan nama palsu dan mengaku sebagai kakak beradik agar tidak menimbulkan kecurigaan. Aku yang bodoh, dapat saja mereka tipu dan aku sama sekali tidak mempunyai prasagka buruk terhadap mereka, hanya curiga. Akan tetapi, mereka membuat jasa, mereka nampakya setia kepada ayah Kongcu, bahkan mereka merobohkan orang-orang jahat yang hendak membunuh ayah Kongcu. Baru sekarang aku mengerti bahwa para pembunuh itu tentulah kawan-kawan mereka karena Su Bi Hwa itu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw.” Cang Sun terbelalak. "Orang Pek-lian-kauw? Betapa berbahayanya...... !” “Aku sama sekali tidak tahu dan mereka kelabui, Kongcu. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa mereka bukan orang baik-baik, bahwa Sim Ki Liong tidak dapat kembali ke jalan benar, bahkan semakin jahat. Maka aku lalu mengambil keputusan untuk menentangnya, untuk membongkar rahasia mereka. Namun, aku terjebak dan dikepung, dikeroyok dua oleh mereka. Karena merasa bahwa rahasia buruk mereka telah kuketahui dan mereka tidak aman lagi, mereka berusaha untuk membunuhku. Aku melawan mati-matian akan tetapi karena mereka berdua memang lihai, aku sudah terluka ketika muncul enci Kui Hong.” Cang Sun mengangguk. “Sukurlah, ia tadi kesini dulu lalu kami minta ia suka menolong Hui-moi dan Cin-moi. Jadi engkau sudah mengenal Kui Hong?” "Mengenal enci Hong? Ah, Cang-kongcu, bukan hanya mengenal, akan tetapi kami adalah sahabat baik dan lebih dari itu, enci Hong adalah calon kakak iparku.” "Ehh? Calon kakak iparmu?” Can Sun menegas karena tidak mengerti. “Ia akan berjodoh dengan kakakku." "Siapakah kakakmu, Mayang?" "Kongcu mengenal dia dengan baik Dia adalah yang mengantarku kesini tadi." Sepasang mata Cang Sun terbelalak. "Tang-taihiap? Si Pendekar Mata Keranjang? Aih, jadi engkau ini adiknya?” “Adik seayah berlainan ibu, Kongcu." Cang Sun mengangguk-angguk. Pemuda bangsawan ini sudah mendengar banyak tentang diri Tang Hay, Tang Hay adalah anak dari jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) yang amat jahat dan keji. Akan tetapi, Tan Hay tidak menuruni watak jahat itu walaupun menuruni sifat mata keranjangnya, bahkan Ang-hong-cu roboh dikalahkan Tang Hay sendiri. Jadi Mayang inipun anak dari mendiang Ang-hong-cu? Dia dapat menduga bahwa seperti juga para wanita lain, ibu Mayang tentu juga menjadi korban dari Si Kumbang Merah. "Teruskan ceritamu, Mayang.” Melihat betapa pemuda itu hanya kelihatan kaget dan heran, tidak marah kepadanya, Mayang berani melanjutkan. “Dengan bantuan enci Hong, kami berdua dapat mendesak dua orang jahat itu.Akan tetapi kiranya mereka memang sudah membuat persiapan, karena segera muncul Hek Tok Siansu.......” “Pendeta yang mereka perkenalkan sebagai guru mereka itu?" "Sama sekali bukan guru mereka, Kongcu. Hek Tok Siansu itu lihai bukan main dan kemunculannya membuat enci Hong dan aku kembali terancam. Akan tetapi, Tuhan tidak membiarkan orang-orang jahat merajalela terus. Muncul kakakku Tang Hay. Setelah kami melawan, diperkuat oleh Hay-koko. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang licik dan pengecut itu Ialu melarikan diri. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kong-cu, maka aku minta enci Hong melakukan pengejaran kesini.......” "Keselamatanku'?" Cang Sun bertanya heran. "Kongcu, sejak mereka tinggal disini, Su Bi Hwa itu berusaha untuk memikatmu dan Sim Ki Liong berusaha memikat adik Cang Hui. Tentu mereka bermaksud agar mereka dapat menjadi mantu ayahmu. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kongcu dan juga adik Hui. Karena Kongcu sedang tidak berada di rumah, maka tadi yang diculik adalah adik Hui dan adik Cin." "Hemm, nona Cia Kui Hong datang kesini dan kami minta ia pergi mengejar dua orang adikku yang diculik itu. Lalu bagaimana lanjutannya dengan pertempuran setelah nona Kui Hong pergi melakukan pengejaran?" "Kakakku dapat mendesak dan mengalahkan Hek Tok Siansu. Kakek itu melarikan diri dan sisa orang-orang Pek-liankauw yang megeroyok juga melarikan diri. Hay-koko lalu membawa aku kesini dan setelah kini dia dan enci Hong yang melakukan pengejaran, aku yakin bahwa adik Hui dan adik Cin akan dapat diselamatkan." Setelah gadis ini berhenti bercerita, Cang Sun mengangguk-angguk. "Ceritamu sungguh menarik sekali, Mayang. "Menarik? Apakah Kongcu…… tidak....... marah dan benci kepadaku setelah mendengar ceritaku tadi?" Mayang memandang dengan muka terangkat. Sepasang mata sipit dan jeli itu memandang penuh selidik, mulut yang kecil itu agak terbuka penuh ketegangan dan alisnya berkerut mengandung kegelisahan. Cang Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. "Kenapa harus membencimu, Mayang? Tidak, aku tidak membencimu, tidak marah kepadamu." "Tapi….. tapi aku…… aku telah menipumu, tidak berterus terang, aku bahkan seperti melindungi dua orang penjahat keji yang membahayakan keluarga Cang." Kembali Cang Sun menggeleng kepalanya, "Engkau melakukan hal itu tanpa kau sadari, Mayang. Dan kejujuranmu bahkan mengagumkan hatiku. Engkau sungguh polos, engkau selalu mempunyai niat baik. Aku tidak membencimu, bahkan semakin menyayangmu, Mayang.” Mayang menelan isaknya, seperti tidak percaya kepada pendengarannya sendiri. Tadinya ia membayangkan bahwa Cang Sun tentu akan marah kepadanya, akan membencinya dan cintanya akan hilang, seperti cintanya terhadap Liong Ki yang bukan hanya lenyap, bahkan berubah menjadi kebencian setelah ia melihat Liong Ki tidak kembali ke jalan benar bahkan menjadi amat jahat. Adakah cinta kasih diantara manusia yang tanpa syarat, tanpa pamrih? Kiranya cinta kasih tanpa syarat dan tanpa pamrih tidak akan mungkin dapat ditemui diantara manusia yang selalu menjadi permainan nafsu daya rendah. Dan apapun yang dikemudikan nafsu, selalu pasti mempunyai pamrih demi kesenangan dan pemuasan nafsu itu sendiri, dan manusia menjadi alat, menjadi hamba nafsu. "Tapi……. tapi, Kongcu…….” saking herannya Mayang berkata gagap. Cang Sun memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Sudahlah, Mayang. Aku tetap cinta padamu, dan agaknya sekarang tiba saatnya aku mendapatkan jawaban dan kepastian darimu. Maukah engkau menjadi isteriku, Mayang?" Inilah saat yang dinanti-nanti Mayang sejak ia mulai menanggalkan cintanya terhadap Ki Liong, sejak ia mendengar pengakuan cinta dari Cang Su. Akan tetapi, ia membutuhkan kekuatan dan iapun membalas genggaman kedua tangan pemuda bangsawan itu sebelum menjawab. Ia mengangkat muka dan mereka saling pandang. "Kongcu…….. orang sehina dan serendah aku ini tentu saja merasa mendapat anugerah besar sekali mendengar pinanganmu. Akan tetapi, maafkan aku, Kongcu. Terpaksa sekali aku harus mengatakan bahwa aku hanya dapat menerima pinanganmu untuk menjadi isterimu, kalau Kongcu suka memenuhi sebuah permintaanku." Cang Su mengamati wajah gadis itu seperti mengamati sesuatu yang lucu. "Eh? Engkau, mempunyai syarat, Mayang? Sudah sepantasnya seorang gadis pilihan seperti engkau mengajukan syarat dalam perjodohan. Nah, katakan, apakah syarat itu? Mudah-mudahan tidak terlalu sulit bagiku untuk memenuhinya."......
Jilid 20
"Syarat itu hanya satu, Kongcu. Yaitu, aku baru mau menjadi isterimu kalau engkau menikah dengan adik Teng Cin Nio…….” "Apa ...??" Cang Sun sedemikian terkejut sehingga dia melepaskan kedua tangan itu, bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah kemerahan. "Kau ... kau .......... sudah gilakan engkau, Mayang? Aku meminangmu untuk menjadi isteriku, dan engkau mengajukan syarat agar aku menikah dengan aku Cin Nio? Tidak kelirukan pendengaranku?" "Benar, Kongcu. Engkau tidak keliru Memang itulah syaratku. Aku mau menjadi isterimu kalau engkau menikah dengan adik Cin Nio." "Akan tetapi, apa artinya ini? Mengapa begini dan apa sebabnya engkau mengajukan syarat yang amat aneh ini? Aku hanya cinta padamu, Mayang." "Dan aku pun…..cinta padamu, Kongcu. Juga adik Cin Nio amat mencitamu." "Tapi itu bukan alasan bahwa aku harus menikahinya, Mayang. Engkau tidak adil dan amat aneh!" "Memang bukan itu alasannya. Akan tetapi kalau Kongcu tidak menikah dengan adik Cin, mungkin ia akan bunuh diri dan kalau hal itu terjadi,maka akulah penyebabnya, seolah akulah yang membunuhnya." Cang Sun terbelalak. "Apa artinya semua ini, Mayang? Ceritakanlah yang jelas agar aku dapat mengerti yang kau maksudkan dengan permintaan yang aneh dan tak masuk akal ini?" Mayang lalu menceritakan apa yang telah terjadi, musibah yang menimpa diri Teng Cin nio yang diperkosa oleh Sim Ki Liong karena gadis itu tidur di dalam kamarnya. "Sebetulnya jahanam itu bermaksud untuk memperkosaku, Kongcu. Mungkin makanan kami bertiga, yaitu adik Hui, adik Cin dan aku, diberi obat pembius sehingga setelah makan minum, aku merasa mengantuk sekali. Adik Cin lalu menyuruh aku tidur di tempat tidurnya, dan ia tidak tega membangunkan aku, maka ia sendiri lalu tidur di kamarku malam itu. Maka, malapetaka yang mestinya menimpa diriku, berbalik menimpa dirinya." "Keparat si Ki Liong itu!" Cang Sun mengepal tinju dengan marah. "Setelah terjadi Peristiwa itu, adik Cin berusaha membunuh diri, akan tetapi aku dapat rnencegah dan membujuknya. Nah, itulah yang terjadi dan mengapa aku mengajukan syarat agar engkau suka menikah dengannya, Kongcu. Pertama, untuk menebus penyesalan hatiku bahwa ia menjadi korban karena aku. Ke dua untuk rnencuci aib yang menimpa dirinya agar ia tidak melakukan kenekatan membunuh diri karena kalau hal itu terjadi, selama hidupku aku akan merasa menyesal dan merasabersalah.” Cang Sun mengangguk-angguk, termenung. Sungguh kasihan sekali Cin Nio pikirnya. Dia pun tahu bahwa Cin Nio jatuh cinta padanya. Hal ini mudah saja dilihat dari sikapnya, suaranya, da terutama sekali pandang matanya kalau berhadapan dengan dia. Dia tahu pula bahwa ayah dan ibunya mengharapkan agar dia menikah degan Cin Nio. Akan tetapi, ketika itu hati dan pikirannya masih, dipenuhi bayangan Cia Kui Hong. Kemudian, muncul Mayang dan dia jatuh cinta kepada gadis peranakan Tibet itu. Dan kini, Mayang hanya mau menjadi isterinya kalau dia menikahi Cin Nio. Baru sekarang dia mendengar ada seorang gadis yang minta agar dimadu! "Bagaimana, Kongcu? Kuharap engkau suka memberi keputusan sekarang." "Tapi ia……eh, mereka……belum kembali, mereka masih berada dalam tangan penculik…….” "Kongcu, aku percaya sepenuhnya kepada kakakku Tang Hay dan kepada enci Kui Hong. Mereka berdua pasti akan berhasil menyelamatkan adik Hui dan adik Cin. Aku menghendaki agar sebelum adik Cin pulang, engkau sudah dapat mengambil keputusan sekarang agar nanti kalau ia pulang, Kongcu langsung melamarnya. Kalau begitu, barulah aku akan menerima pinanganmu dengan sepenuh hatiku." Cang Sun kini menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Selama hidupku belum pernah aku mendengar hal yang seaneh ini, Mayang. Engkau seorang gadis yang luar biasa aneh akan tetapi juga baik budi. Baiklah, Mayang, kalau itu yang kau kehendaki. Aku akan menikah dengan engkau dan Cin-moi. Akan kuminta kepada ayah ibuku agar aku menikah dengan kalian dalam waktu yang sama.” "Dan begitu adik Cin pulang, engkau akan langsung melamarnya agar hatiku tenteram dan ia tidak melakukan hal yang bukan-bukan?" Aku akan langsung rnelamarnya, akan tetapi dengan satu syarat” "Eh? Engkau mengajukan syarat pula." Apa syaratmu Kongcu?" “Engkau harus menemaniku, atau setidaknya engkau harus hadir dan menjadi saksi ketika aku melamarnya." Berkata demikian, Cang Sun kembali memegang kedua tangan Mayang. Baik, aku akan menghadirinya....... .” kata Mayang dan ia pun tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan penuh kebahagiaan Cang Sun sudah mendekapnya. *************** Kedatangan kereta yang membawa Cang Hui, Cin Nio, kui Hong dan Hay Ha disambut penuh kegembiraan. Mayang segera lari menyambut kakaknya dan dengan sikap manja ia merangkul Hay Hay. "Hay-koko, aku meyakinkan Cang-kongcu bahwa engkau dan enci Hong sudah pasti akan mampu menyelamatkan adik Hui dan adik Cin." "Kau anak Bengal! Bagaimana engkau sampai tertipu dan diperalat manusia-manusia macam Ki Liong dan Tok-ciang Bi Moli?" tegur Hay Hay kepada adiknya. Mayang menoleh dan tidak menjawab karena ia melihat Cin Nio yang turun dari kereta bersama Cang Hui kini lari ke dalam. Ia melepaskan rangkulannya dari leher Hay Hay, menoleh ke arah Cang Sun dan memberi isyarat dengan pandang matanya, lalu ia berlari mengejar Cin Nio. Ketika Maynag memasuki kamar, ia mendapatkan Cin Nio rebah menelungkup di pembaringannya dan menangis tersedu-sedu. “Adik Cin……! ” Mayang menghampiri, duduk di tepi pembaringan. Cin Nio mengangkat muka menoleh dan melihat Mayang, ia lalu bangkit duduk dan merangkul Mayang sambil menangis terisak-isak. “Mayang……ah, Mayang ……aku…….aku tidak mungkin dapat hidup terus…….” “Hush, adik Cin. Ceritakan dulu apa yang terjadi. Tadi aku belum sempat mendengar dari Hay-koko atau enci Kui Hong. Engkau dan adik Hui di selamatkan mereka, bukan? Lalu bagaimana dengan mereka, dengan kedua orang iblis busuk itu?” "Mereka takut kepada kakakmu dan Cia-lihiap, mereka menggunakan kami berdua sebagai sandera dan akhirnya mereka menukar nyawa mereka dengan kami berdua. Kakakmu dan Cia-lihiap terpaksa melepaskan mereka dan sebagai gantinya, kami berdua pun dibebaskan. Mereka telah berhasil lolos Mayang, kalau aku tidak mampu melihat musuh besar itu binasa, bagaimana mungkin aku dapat hidup terus? Cin Nio menangis lagi. Adik Cin, ingatlah baik-baik. Tidak ada orang lain yang mengetahui peristiwa itu kecuali engkau dan aku. Karena tidak ada yang tahu, maka namamu tidak akan tercemar. Engkau tidak boleh putus asa. Percayalah, aku akan minta kepada kakakku, juga kepada enci Hong yang menjadi calon kakak iparku untuk mencari jahanam itu dan membunuhnya. Aku sendiri akan membunuhnya untuk membalaskan sakit hatimu." "Tapi, Mayang, bagaimana aku dapat berlahan untuk hidup terus setelah aku ternoda? Akhirnya akan ada yang tahu dan aku tidak akan sanggup menahan derita karena malu!" Mayang maklum apa yang dimaksudkan Cin Nio. "Adik Cin, engkau hanya mau menikah dengan pria yang kau cinta bukan? Dan engkau mencinta Cang Kongcu, bukan?" Mendengar ucapan ini, Cin Nio menjerit, akan tetapi jerit itu tidak keluar dari kamar karena ia mendekap mulutnya sendiri. Ia sesenggukan dan memandang wajah Mayang dengan mata merah dan muka basah air mata. "Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu seperti pedang beracun menembus jantungku. Mayang, kau kira aku ini orang macam apa? Aku menganggapmu seperti saudaraku sendiri. KandaCang Sun hanya mencinta nona Cia Kui Hong, kemudian engkau muncul dan karena cintanya terhadap Cia-lihiap tidak terbalas, dia jatuh cinta kepadamu, Dia tidak cinta kepadaku, Mayang. Dan pula,bagaimana aku dapat mengharapkan berjodoh dengan dia setelah keadaanku seperti sekarang ini? Dahulu pun sebelum malapetaka menimpa diriku, dia tidak cinta padaku, apalagi sekarang……." Sebelum Mayang menjawab, terdengar ketukan pada pinti, dan daun pintu didorong dari luar, kemudian nampak Cang Sun memasuk! kamar itu. Melihat siapa yang datang, Cin Nio terbelalak dan cepat ia bangkit duduk sambil mengusap air matanya. "Sun-ko .…." katanya heran dan juga kaget melibat munculnya pemuda itu yang tak disangkasangkanya. "Cin-moi, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Cin-moi, biarlah aku membuktikan tidak benarnya pendapatmu itu dengan meminangmu sekarang juga, Cinmoi, maukah engkau menjadi isteriku?" Tentu saja Cin Nio terbelalak, mukanya tiba-tiba menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Cang Sun seperti orang melihat setan di tengah hari. "Cin-moi, bagaimana jawabanmu? Maukah engkau menjadi isteriku?" Cang Sun mengulang dan kini dia melihat betapa Cin Nio menitikkan air mata. Hatinya merasa terharu bukan main. Mayang memang benar sekali dan keputusannya yang aneh itu memang tepat, mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan adik misannya ini. "Sun-ko.... jangan…. jangan bergurau……akhirnya Cin Nio berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. "Bergurau? Cin-moi, pandanglah aku. Apakah aku biasa bergurau dalam urusan yang begini penting? Mari, mari kita menghadap ayah dan ibu agar kita semua dapat membicaraka urusan perjodohan kita." Cang Sun melangkah maju hendak memegang kedua tangan gadis itu. "Tidaaaak…..! Jangan sentuh diriku, Sun-ko….! Tidak, aku……..aku tidak bisa…….aku tidak mungkin menjadi isterimu…….! ” Ia menjerit dan melempar tubuhnya kembali ke pembaringan, memeluk bantal dan menangis, tersedu-sedu. Cang Sun saling pandang dengan Mayang. Cang Sun menggerakkan kedua pundak menunjukkan bahwa dia tidak berdaya membujuk, sedangkan Mayang mengangguk lalu ia menghampiri pembaringan dan menyentuh pundak yang terguncang menangis itu dengan lembut. “Adik Cin, hentikan tangismu dan jangan berduka. Bukankah pinangan Cang Kongcu sepatutnya kau sambut dengan perasaan bahagia, bukan dengan tangis duka?” Mendengar ucapan Mayang, Cin Nio bangkit duduk dan memandang kepada gadis tibet itu. Sambil terisak-isak ia berkata. “Mayang, bagaimana engkau dapat berkata demikian? Mayang, bagaimana engkau tega berkata demikian…? Bagaimana mungkin aku…aku….” Ia pun menangis lagi dan kini menubruk dan merangkul Mayang. Mayang mendekap Cin Nio dan mengelus rambutnya sambil berkedip kepada Cang Sun. Pemuda itu menghampiri dan setelah dekat dia pun berkata. “Cin-moi, hentikan tangismu itu. Aku sudah tahu apa yang menimpa dirimu dan menurut pendapatku, engkau tidak bersalah, Cin Moi.” Isak itu terhenti. Dengan muka pucat, Cin Nio yang kini mengangkat mukanya itu memandang kepada Cang Sun melalui genangan air matanya. “Apa….? Engkau sudah tahu bahwa aku….., aku….dan engkau tadi masih….?” Cang Sun mengangguk. “Benar, aku sudah tahu akan malapetaka yang menimpa dirimu, akan tetapi karena engkau tidak bersalah, akupun tidak akan mengingat hal itu lagi dan aku tadi meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana jawabanmu?” Sepasang mata itu masih terbelalak, memandang kepada Cang Sun kemudian kepada Mayang, penuh keheranan dan tidak percaya. “Sun-ko, engkau tahu bahwa aku telah ternoda akan tetapi engkau tetap hendak meminangku, padahal engkau…..dan Mayang…..kalian saling mencinta, bukan….? Apa artinya ini?” Mayang memegang kedua tangan Cin Nio dan mereka saling pandang. “Adik Cin, dengar baik-baik. Peristiwa yang menimpa dirimu itu hanya di ketahui kita bertiga dan Cang Kongcu tidak menyalahkanmu. Dia mencintamu, adik Cin, juga mencintaku, dan kita berdua mencintanya, bukan? Nah, sekarang dia hendak memperisteri kita berdua. Maukah engkau menjadi maduku, adik Cin Sin?” Sejenak Cin Nio memandang nanar, akan tetapi segera pengertiannya menembus semua kekagetan dan keheranannya. Ia pun mengerti bahwa semua ini adalah usaha Mayang! Ia sendiri memang mencinta Cang Sun, maka kalau Cang Sun mau melupakan semua peristiwa itu, tidak menyalahkannya dan mencintanya, tentu saja dengan sepenuh hati ia mau menerima pinangan itu. Mayang.......!” Ia menjerit lemah dan terkulai dalam rangkulan Mayang. Pingsan! Cang Hui sedang sibuk menceritakan pengalamanya yang menegangkan kepada ibunya, didengarkan pula oleh para pelayan dan kesempatan ini dipergunakan Hay Hay untuk mengajak Kui Hong bicara. Kui Hong juga ingin bicara banyak dengan pemuda itu, maka ialah yang mengajak Hay Hay memasuki taman di sebelah kiri istana keluarga Cang. Ia memang sudah hafal akan keadaan di tempat itu. Mereka duduk di bangku dekat kolam ikan, terlindung oleh semak-semak dan bunga-bunga yang indah. Hong-moi, ketahui bahwa aku membawa tugas yang teramat penting untuk pemerintah, dan ada sesuatu yang harus segera kusampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena Menteri Cang sedang tidak berada di rumah, maka harus cepat menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Akan tetapisebelum aku pergi kesana, aku ingin mendengar dulu apa yang hendak kau bicarakan denganku. Aku merasa seperti bermimpi ketika melihatmu, Hong-moi." Kui Hong menatap pria yang dicintanya itu. Agak kurus, dan pandang matanya agak sayu walupun sikapnya masih gembira seperti biasa, pikirnya. Hatinya terharu karena ia maklum bahwa kalau perpisahah di antara rnereka rnembuat ia pernah jatuh sakit, tentu bagi pemuda ini lebih menderita lagi. Pemuda ini telah ditolak oleh ayah ibunya! “Hay-ko, ada dua buah pertanyaan saja yang ingin kutanyakan kepadamu dan sejujurnya kuharap engkau suka menjawab dan setulus hatimu." Hay Hay juga menatap wajah gadis itu, tak pernah berkedip dan penuh kasih sayang. Setelah kini berhadapan, baru dai menyadari benar-benar bahwa selama inidia amat mencinta Kui Hong dan betapa selama ini dia merindukan Kui Hong, akan tetapi perasaan itu dia tutup-tutupi dengan wataknya yang gembira. "Hong-moi, engkau tentu tahu bahwa terhadapmu, aku selalu akan bersikap jujur dan tulus. Tanyakanlah, dan aku akan rnenjawab sesuai dengan suara hatiku." "Pertanyaanku yang pertama, apakah engkau suka memaafkan ayah ibuku yang pernah menyakiti hatimu dengan penolakan mereka terhadap dirimu dahulu tu? " Suara gadis itu terdengar gemetar, tanda bahwa hatinya dicengkeram penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, Hay Hay terbelalak, lalu mulut dan matanya tertawa Kui Hong melihat bahwa tawa itu bukan dibuat-buat, melainkan wajar sehingga ia merasa lega. Bukan tawa yang mengandung ejekan, tidak sinis. “Ha-ha-ha. pertanyaanmu ini sungguh aneh sekali, Hong-moi. Kenapa harus kumaafkan? Ayah ibumu adalah orang-orang bijaksana yang hanya mengatakan hal hal yang benar. Tidak ada yang perlu dimaafkan karena pendapat mereka memang tepat. Engkau adalah puteri keluarga ketua Cin-ling-pai yang namanya terkenal bersih dan gagah perkasa di dunia kang-ouw, sedangkan aku adalah putera seorang jai-hwa-cat yang tersohor jahat. Mereka benar dan aku sendiri pun kalau menjadi, mereka akan berpendapat dan bersikap yang sama." Kui Hong memandang wajah pria itu dengan penuh selidik. Bukan ucapan ejekan atau sindiran, melainkan sejujurnya. "Bagaimanapun juga, penolakan mereka itu telah memisahkan kita dan tentu telah menghancurkan hatimu atau mungkin bagimu perpisahan denganku itu tidak berarti apa-apa?" "Hong-moi....... !” Kenapa engkau berkata demikian? Hampir mati aku karena duka, nyaris gila karena merana. Akan tetapi aku menyadari keadaan diriku dan aku dapat menerima keadaan, rnenerima kenyataan, betapa pahit pun." "Nah, itulah yang kutanyakan kepadamu. Ayah ibuku telah menyebabkan engkau menderita, oleh karena itu aku bertanya apakah engkau suka memaafkan mereka? Jawablah, Hay-ko, jawablah agar hatiku lega, apakah engkau mau memaafkan ayah dan ibu atas penolakan mereka terhadap dirimu dahulu itu?" Dalam suara gadis itu terkandung himbauan dan permohonan yang membuat suara itu menggetar sehingga hati Hay Hay tidak tega untuk menolak permintaannya. Dengan kesungguhan hati dia pun mengangguk. “Tentu saja, Hong-moi. Kalau memang dikehendaki, aku selalu siap sedia untuk memberi maaf sampai seribu kali kepada ayah ibumu." Kui Hong menghela napas panjang dan hatinya terasa lega dan senang bukan main. "Aihh, Hay-ko, jawabanmu tadi telah menyingkirkan beban berat yang selama ini menghimpit perasaan hatiku. Percayalah, Hay-ko, ketika engkau pergi meninggalkan aku, penderitaan batin yang kurasakan tidak kalah berat dibandingkan dengan penderitaanmu. Biarpun sudah kucoba untuk melupakannya dengan bekerja untuk Cin-ling-pai, tetap saja aku merana, hampir gila, bahkan hampir mati karena sakit." "Hong-moi……!” Hay Hay memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh penyesalan. "Kalau begitu, aku telah berdosa kepadamu. Kau maafkanlah aku, Hong-moi.” Kui Hong tersenyum, "Yang patut minta maaf adalah kami sekeluarga, Hay-ko, bukan engkau. Akan tetapi sudahlah, tentang maaf-maaf ini aku percaya bahwa engkau suka memaaf kan kami dengan setulus hatimu. Sekarang ada pertanyaanku yang ke dua kuharapkan pertanyaan ini terutama sekali harus kau jawab dengan sejujurnya." Tanyalah, Hong-moi, jangan membikin aku tegang menantinya. Tentu saja aku selalu bersikap jujur kepadamu." "Nah, jawablah, Hay-koko. Apakah engkau masih cinta padaku?" Mendengar pertanyaan ini, kembali kedua mata Hay Hay terbelalak, kemudian alisnya berkerut dan matanya memandang dengan penuh penasaran. "Ya Tuhan, Masih perlukah engkau bertanya seperti ini, Hong-moi? Masih belum percayakah engkau bahwa aku mencintamu sampai aku mati kelak? Hongmoi, apa kau kira cintaku kepadamu dapat berubah-ubah seperti awan di langit? Apa pun yang terjadi, aku tetap cinta padamu, Hong-moi, dahulu, sekarang, kelak dan selamanya. Perlukah aku bersumpah? Dan mengapa pula engkau menanyakan hal itu?” Ucapan pemuda itu terdengar bagaikan musik yang amat merdu dalam telinga Kui Hong, membuatnya tersenyum manis dan kedua pipinya menjadi kemerahan, "Aku menanyakan hal itu bukan karena meragukanmu, Hay-ko, melainkan agar aku merasa yakin karena aku…..aku…..selalu cinta padamu dan…..aku mengharapkan untuk menjadi isterimu, yaitu….kalau engkau sudi melamarku……” “Hong-moi……! Tidak mimpikah ini? Dan bagaimana nanti ayah ibumu?” "Mereka telah menyetujui, Hay-ko, mereka telah menyadari kesalahan mereka, dan mereka akan menerirna dengan hati tulus kalau engkau datang meminangku." "Hong-moi……ya Tuhan, Hong-moi…….!" Hay Hay bersorak, menerjang ke depan, menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya ke atas! Seperti sebuah boneka saja tubuh Kui Hong terlempar ke udara dan ketika turun, Hay Hay menyambut dengan kedua lengan, merangkul, mendekap dan keduanya tenggelam dalam pelukan mesra yang membuat mereka sukar bernafas. Setelah waktu yang entah berapa lamanya lewat, terdengar bisikan Kui Hong dari dalam dekapan Hay Hay. "Hay-ko, tugasmu…..” Hay Hay melepaskan pelukannya, memegang kedua pipi Kui Hog seperti mengamati sebuah benda mustika yang amat berharga, lalu menciumnya dengan lembut seperti takut kalau-kalau mustika itu akan rusak oleh ciumannya, dan dia pun tertawa. "Engkau benar, aku hampir lupa. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menemui Menteri Yang. Urusan ini penting sekali dan nanti di perjalanan akan kuceritakan semua padamu.” Mereka bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki istana untuk berpamit. Dan di ruangan tengah, mereka mendapatkah keadaan yang membahagiakan. Dengan wajah berseri-seri, Cang Hui dan ibunya memberi tahu kepada mereka bahwa Cang Sun telah bertunangan dengan Mayang dan Cin Nio. Sekaligus bertunangan dengan dua orang gadis itu. Hay Hay terbelalak ketika ibu Cang Sun berkata kepadannya. "Tang-taihiap, karena engkau adalah kakak Mayang, maka sebelum ayah Cang Sun pulang, biarlah aku mewakili keluargaku mengajukan pinangan kepadamu sebagai wali dari Mayang. Kami melamar Mayang untuk dijodohkan dengan putera kami, Cang Sun.” Hay Hay cepat memberi hormat untuk membalas nyonya bangsawan itu dan dia berkata dengan gugup, "Eh……maaf Cang-hujin (Nyonya Cang), saya……eh, saya tidak tahu bagaimana…….heii, Mayang, bagaimana ini?" Hay Hay tentu saja menjadi kikuk dan bingung ketika tiba-tiba saja dia menjadi wali dan menerima pinangan orang atas diri Mayang. Mayang menghampiri kakaknya dan merangkul pundak Hay Hay dengan sikap manja. "Koko, apakah engkau mau mengatakan bahwa engkau tidak setuju kalau aku menjadi isteri kanda Cang Sun?" Ditodong dengan pertanyaan seperti itu, Hay Hay ingin menjewer telinga adiknya. "Hushh, jangan sembarangan bicara. Tentu saja aku setuju sepenuhnya. Akan tetapi, bagaimana aku dapat memutuskan? Seharushya engkau bertanya kepada ibumu, bukan kepadaku." "Hay-ko, ibuku jauh dan waliku yang terdekat hanya engkau. Nah, engkaulah yang,harus menjawab. Apakah engkau setuju dengan pinangan keluarga Cang atas diriku?" Hay Hay mendekatkan mukanya kepada muka adikya dan berbisik, "Kenapa bertunangan sekaligus dengan dua orang gadis?" Mayang terseyum manis. "Itu sudah menjadi keinginan kami bertiga engkau tidak perlu mencampuri, Hay-koko. Sekarang katakan saja bahwa engkau setuju dan menerima pinangan itu, habis perkara!” Hay Hay mengangguk-angguk, lalu menghampiri nyonya Cang dan berkata dengan dengan sikap hormat. "Saya sebagai wali adik saya Mayang merasa setuju dan menerima dengan baik pinangan keluarga Cang." Tentu saja nyonya Cang, Cang Sun dan Cang Hui menjadi gernbira sekali. "Tang-taihiap,” kini Cang Sun yang bicara dengan sikapnya yang lembut dan tenang. "Tentu saja kami akan mengirim utusan kepada ibu Mayang untuk mengajukan pinangan resmi, akan tetapi sementara ini, persetujuan Taihiap amat menggembirakan hati kami." "Peristiwa menggembirakan ini patut dirayakan. Mari kita semua pergi ke dalam untuk merayakan pertunangan ini." kata Nyoya, Cang. Hay Hay cepat memberi hormat. "Harap memaafkan kami. Terus terang saja, saya mempunyai urusan yang teramat penting yang harus saya sampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karenasekarang Menteri Cang kebetulan tidak berada di rumah, terpaksa saya akan menghadap Menteri Yang untuk menyampaikan sesuatu yang teramat penting bagi keamanan negara. Nanti setelah semua urusan selesai, baru saya akan kembali ke sini ikut bergembira." "Saya pun akan ikut dan membantu Hay-koko." kata Kui Hong dengan wajah berseri. Mayang segera memegang tangan Kui Hong, lalu menoleh kepada kakaknya, "Hay-ko aku adikmu sudah bertunangan dan akan menikah. akan tetapi engkau yang menjadi kakakku, kapan engkau akan menikah dengan enci Hong?" Hay Hay dan Kui Hong saling pandang dan mereka tersenyum, dan Kui Hong yang mewakiii HayHay, merangkul Mayang dan berkata, "Engkau tunggulah saja, Mayang, tidak lama lagi kami pun akan menikah." Karena mempunyai tugas yang penting sekali, Hay Hay dan Kui Hong Ialu meninggalkan keluarga yang berbahagia itu untuk menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Dalam perjalanan ini dia mengomel, "Enak benar Cang Kongcu, sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik." Tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya. Ketika Hay Hay juga berhenti dan menengok, dia berhadapan dengan gadis yang mukanya kemerahan, Matanya berapi dan kedua tangannya bertolak pinggang. "Apa kau bilang tadi, Hay-ko? Jadi kau anggap Cang Kongcu senang dan enak, ya? Sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik? Engkau rnerasa iri? Boleh kau cari seorang gadis lain lagi dan aku akan menghadapi kalian dengan pedang!” Hay Hay terbelalak. Dia tahu bahwa sekali Kui Hong cemburu dan marah, mengira dia iri hati terhadap Cang Sun dan ingin pula mengawini dua orang gadis seperti pemuda bangsawan itu. Dan baru sekarang dia melihat Kui Hong, calon isterinya itu, berdiri bertolak pinggang dan marah seperti itu. Tiba-tiba dia pun membayangkan Cang Sun berdiri menghadapi dua orang isteri di kanan kiri, dua orang isteri yang berdiri bertolak pinggang dan marah-marah kepadanya, apalagi Mayang adiknya yang galak itu. Membayangkan ini, Hay Hay tertawa bergelak. "Hemm, engkau malah mentertawaiku?" Kui Hong membentak dan membanting-banting kaki kanannya.Hay Hay semakin gembira. Gerakan membanting kaki kanan ini sungguh ciri khas dari Kui Hong kalau sedang marah. Karena dia tahu benar bahwa kekasihnya sudah marah, dia lalu menghentikan tawanya. "Aku menertawakan Cang Sun, bukan mentertawakan engkau, Hong-moi. Kini aku teringat bahwa keadaannya sama sekali tidak senang, karena kalau kedua orang isterinya itu marah-marah dalam saat yang bersamaan, aduh, celaka tiga belaslah dia!" Hay Hay tertawa lagi. "Apalagi Mayang galaknya tidak alang kepalang, aku tertawa membayangkan bagaimana dia akan melindungi dirinya dari dua ekor harimau betina yang marah-marah." cerita silat online karya kho ping hoo "Mau tidak mau Kui Hong tersenyum juga mendengar ucapan kekasihnya. "Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Birpun Cang Sun seorang pemuda bangsawan, aku mengenal dia sebagai seorang pemuda yang baik tidak mata keranjang seperti engkau. Dan betapapun anehnya Mayang, kalau ia sampai bersedia dimadu dengan Cin Nio, jelas ada apa-apanya di balik semua itu yang hanya diketahui mereka bertiga. Bukan urusan, kita. Nah, sekarang ceritakan tugas penting apakah yang kau laksanakan, dan apa perlunya kita menghadap Menteri Yang." Hay Hay lalu menceritakan dengan singkat namun jelas tentang mendiang Yu Siu-cai, sasterawan tua yang menulis laporan yang amat penting tentang keadaan di kota Cang-cow, tentang persekutuan yang dilakukan orang-orang Portugis dengan para pejabat tinggi di kota Cang-cow, juga dengan para bajak laut jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, betapa orang-orang Portugis di sana telah membuat benteng yang diperkuat meriam, betapa pejabat yang bersekongkol dengan orang Portugis itu telah menculik dan membunuh banyak pejabat yang setia kepada pemerintah. "Aih, begitu hebatkah?" Kui Hong sangat kaget mendengar ini. "Bahkan kepala daerah dan wakilnya di Cang-cow sudah tunduk kepada orang-orang Portugis," kata Hay Hay. “Di sepanjang perjalanan, banyak orang kang-ouw yang menghadangku dan mencoba merampas gulungan kertas laporan dari Yu Siucai. Itu saja membuktikan bahwa persekutuan itu telah meluas dan agaknya banyak orang Kang-ouw terlibat." "Ah, kalau begitu, kita harus cepat menghadap Menteri Yang. Urusan ini teramat penting dan tidak boleh ditunda lebih lama lagi." kata Kui Hong dan mereka lalu bergegas pergi ke istana Menteri Yang Ting Hoo, menteri yang merupakan orang ke dua setelah Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai menteri yang setia, jujur, pandai dan mereka berdualah yang berdiri di belakang kaisar, mengatur pemerintahan sehingga Kerajaan Beng pada waktu itu menjadi semakin berkembang. Menteri Yang Ting Hoo menerima mereka dengan ramah karena pejabat tinggi ini sudah lama mengenal nama mereka sebagai pendekar-pendekar yang berjasa terhadap negara. Hay Hay dan Kui Hong dipersilakan duduk diruang tamu dan ketika menteri yang tinggi kurus berjenggot panjang, bermata sipit dan wajahnya membayangkan keramahan dan kesabaran itu muncul, mereka berdua cepat memberi hormat." Menteri Yang Ting Hoo berusia kurang lebih lima puluh empat tahun, lebih muda dibandingkan Menteri Cang Ku Ceng dan biarpun matanya sipit, namun sepasang mata itu memiliki sinar kilat yang membayangkan kecerdikannya. Setelah memasuki ruangan tamu dan membalas penghormatan dua orang tamunya, pembesar itu lalu memberi isyarat kepada para penjaga untuk meninggalkan ruangan itu. Melihat dua orang tamunya kelihatan heran melihat dia menyuruh semua pengawal pergi, pembesar itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Kami telah mengenal baik nama besar ji-wi yang gagah perkasa.Kalau ji-wi saat ini berkunjung dan minta bertemu dengan kami, jelas bahwa ji-wi tetu membawa berita yang teramat penting. Oleh karena itu, sebaiknya kalau tidak ada orang lain yang mendengar agar lebih leluasa ji-wi menyampaikannya kepada kami." Hay Hay dan Kui Hong saling pandang. Betapa cerdik dan bijaksananya pembesar ini dapat dilihat dari sikapnya itu. “Tepat sekali dugaan paduka, Tai-jin." kata Hay Hay sambil mengeluarkan gulungan kertas bernodadarah itu. "Saya ingin menghaturkan surat laporan yang amat penting ini." Melihat gulungan kertas itu, Menteri Yang berseru, "Aih, jadi benarkah berita yang kami dapat bahwa ada surat laporan rahasia yang ditulis oleh seorang siucai tua dari Cang-cow yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw? Inikah surat itu?" Kembali Hay Hay dan Kui Hong kagum. Kiranya pembesar bijaksana ini telah mendengar pula tentang surat laporan itu! "Benar sekali, Tai-jin. Penulis laporan adalah mendiang Yu Siucai dan kebetulan dia serahkan kepada saya sebelum dia meninggalkan dunia, dan ketika saya membawanya ke kota raja untuk menyerahkannya kepada paduka atau kepada Cang-taijin seperti dipesan oleh Yu Siucai, banyak orang hendak merampasnya.” "Menteri Cang sedang bertugas ke luar kota raja, jadi ji-wi (anda berdua) membawanya kepada, kami?” "Menurut pesan mendiang Yu Siucai, laporan ini harus saya berikan kepada Menteri Cang atau kepada paduka." Menteri itu menerima gulungan surat laporan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan dia memegang surat yang sudah dia buka gulungannya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kini dikepal. "Ah, keparat. Memang mereka selalu mengadakan kekacauan, orang-orang biadap Portugis itu! Sekarang juga kami akan mengirim pasukan besar untuk menghajar mereka dan membasmi para pemberontak di Cang-cow!" katanya dan dia pun memberi isyarat memanggil para pengawal. Maka sebentar saja mereka bermunculan dari segala penjuru sehingga Hay Hay dan Kui Hong maklum bahwa setiap saat, pembesar itu terlindung ketat walaupun nampaknya seorang diri saja. Yang-taijin segera memerintahkan kepala penjaga untuk memanggil para perwira pasukan pengawal untuk perg mengundang panglima pasukan keamanan. Melihat kesibukan itu, Hay Hay dan Kui Hong menawarkan tenaga untuk. membantu. Menteri Yang mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Tai-hiap dan Li-hiap, urusannya sekarang adalah urusah ketentaraan. Kami akan mengirim pasukan untuk menghancurkan pemberontak. Kalau ji-wi ingin membantu, ji-wi dapat menjadi penyelidik ke Cang-cow, kemudian kalau ada hal penting yang perlu diketahui panglima pasukan, ji-wi dapat menghubungi dia. Jasa jiwi akan kami catat, menambah jasa-jasa jiwi yang pernah ji-wi berikan kepada pemerintah ketika ji-wi membantu Menteri Cang.” Mereka menyatakan kesanggupan mereka, kemudian meninggalkan istana itu dan mereka kembali ke istana keluarga Menteri Cang karena sebelum meninggalkan kota raja mereka ingin pamit dulu dari keluarga yang mereka kenal baik itu. Ketika mendengar keterangan Hay Hay bahwa dia bersama Kui Hong hendak pergi ke Cang-cow membantu pemerintah membasmi para pemberontak, Mayang segera menyatakan hendak ikut pergi. "Hay-koko, aku harus ikut denganmu untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak!" Mendengar ini, Cang Sun mengerutkan alisnya. "Mayang, untuk membasmi pemberontak, sudah ada pasukan besar yang akan melakukannya. ini bukan merupakan tugasmu, dan kalau engkau pergi, engkau hanya akan membuat kami di rumah merasa khawatir .” Cin Nio juga memegang tangan Mayang. "Kalau engkau pergi, aku pun harus ikut pergi bersama, Mayang." "Ih, kalau kita berdua pergi, kasihan…..tunangan kita, adik Cin!" semua orang tertawa mendengar ucapan Mayang tanpa sungkan-sungkan itu. "Mayang, jangan seperti anak kecil. Engkau tidak boleh pergi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua perintah Cang Kongcu. Tentang pemberontak itu, memang akan ditanggulangi Menteri Yang dan akan dikirim pasukan besar. Aku dan Hong-moi juga hanya akan membantu melakukan penyelidikan saja." "Tapi, aku merasa benci sekali kepada Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa. Kalau aku belum dapat membunuh dua jahanam itu, selama hidupku, aku akan merasa penasaran terus Hay-ko." "Kalau begitu, biarlah aku mewakilimu untuk mencari dan membasmi dua orang itu. Mereka memang merupakan dua orang yang berbahaya kalau dibiarkan hidup terus." "Aku pun merasa berkewajiban melenyapkan Sim Ki Liong karena dia hanya akan mengotori naroa baik kakekku di pulau Teratai Merah." sambung Kui-Hong. Mayang memandang kepada Cin Nio yang berbalik juga memandangnya. Pertukaran pandang antara dua orang wanita itu sudah cukup bagi mereka. Mayang bertekad hendak membunuh Sim Ki Liong, terutama sekali untuk membalaskan dendam hati Cin Nio yang pernah diperkosa laki-laki jahat itu. Cang Sun yang merupakan orang ke tiga yang tahu akan peristiwa itu, segera berkata dengan suara tenang berwibawa. "Mayang, engkau sudah mendapat janji kakakmu dan Cia-lihiap. Aku yakin bahwa mereka berdua akan dapat menghukum dua orang manusia iblis itu. Engkau dan Cin-moi tidak perlu pergi sendiri. Kalian harus berada di sini, menanti sampai ayah pulang agar urusan perjodohan kita dapat dibicarakan." Karena maklum bahwa Cang Sun dan Cia Nio tidak meghendaki ia pergi, maka! Mayang juga tidak memaksakan kehendaknya. setelah ia menjadi tunangan Cang Sun, gadis ini terpaksa harus mengendalikan diri, karena ia tidak lagi bebas seperti dahulu. la merasa terikat, akan tetapi betapa manisnya dan menyenangkan ikatan itu baginya! Ia merasa diperhatikan, dipermanjakan, diperdulikan! Pada hari itu juga berangkatlah Hay Hay dan Kui Hong meninggalkan kota raja, menuju ke kota Cangcow. Cang Sun memberi mereka dua ekor kuda yang baik, dan mereka melakukan perjalanan cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan dari kota raja. Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan berhari-hari, mereka tiba di sebuah hutan di bukit kecil di sebelah barat kota Cang-cow, dan teringatlah Hay Hay kepada Sarah yang cantik manis. Tentu saja dia tidak pernah bercerita kepada Kui Hong tentang Sarah. Namun, dia tidak akan pernah dapat melupakan gadis Portugis berambut kuning emas bermata biru yang indah itu. Kini tentu Sarah sudah tidak lagi berada di Cang-cow dan dia merasa senang mengingat akan hal itu. Dia bersyukur karena kini Sarah tentu telah berlayar meninggalkan negeri ini bersama Aaron, pemuda kekasihnya dan mereka berdua tentu akan terhindar dari bahaya maut kalau pasukan pemerintah menyerbu Cang-cow. KuiHong mengajak Hay Hay beristirahat di bukit itu. Mereka sendiri tidak begitu lelah, akan tetapi kuda tunggangan mereka sudah tampak letih. Mereka perlu dibiarkan mengaso dan makan rumput hijau tebal yang terdapat di bukit itu. Keduanya membiarkan kuda mereka terlepas makan rumput, dan mereka sendiri duduk berhadapan di atas rumput tebal. Kui Hong bertanya tentang Cang-cow dan Hay Hay menceritakan apa yang dia ketahui. Antara lain dia bercerita bahwa kota itu menjadi pusat orang-orang Portugis yang memiliki pasukan kuat karena mereka semua mempunyai senjata api. Tiba-tiba, mereka berdua bangkit berdiri dan bersikap waspada. Pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap gerakan orang. Tempat itu memang dikelililingi pohon-pohon dan semak belukar. Kecurigaan mereka memang terbukti. Jarum-jarum lembut menyambar dari kiri ke arah mereka! Dengan mudah pasangan pendekar yang tangguh ini memukul runtuh semua jarum dengan kibasan tangan mereka yang mendatangkan angin kuat. “Kiranya siluman beracun dari Pek-lian-kauw yang datang! Pengecut curang, keluarlah kalau memang engkau ingin mampus!" bentak Kui Hong yang mengenal senjata rahasia itu. Nampak bayangan berkelebat dan benar saja, Tok-ciang Bi-mo-li Su Bi Hwa telah berada di situ, tersenyum simpul dengan sikap genit memandang kepada Hay Hay. Baik Hay Hay maupun Kui Hong maklum sepenuhnya bahwa wanita siluman ini tidak akan berani banyak berlagak di depan mereka kalau saja ia tidak mengandalkan orang lain, maka keduanya bersikap waspada. Kalau tidak mempunyai andalan, mustahil Tok-ciang Bi-mo-li berani muncul memperlihatkan diri kepada mereka. Hal ini sama saja dengan seekor ular mendekati pemukul. Dugaan mereka memang tepat karena dari kanan kiri nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan ternyata seorang, seperti mereka berdua telah menyangka sebelumnya, adalah Sim Ki Liong! Melihat pemuda bekas murid kakeknya ini, Kui Hong tersenyum mengejek dan mendengus. "Huh, kiranya si anjing keparat, pengkhianat murtad pengecut busuk Sim Ki Liong masih berani mengantar nyawa. Sekali ini, aku akan mencabut nyawamu!" Sementara itu Hay Hay juga mengenal Hek Tok Siansu, kakek berbahaya yang amat lihai dan yang pernah dia kalahkan walaupun dengan susah payah. Dia pun tersennyum dan menggerakkan kedua tangan ke depan dada. "Kiranya Hek Tok Siansu yang kembali menghadang kami. Apakah engkau hendak melanjutkan pertandingan tempo hari, Sian-su?" Dalam pertanyaan ini terkandung ejekan yang membuat wajah di gundul itu menjadi semakin hitam kehijauan dan seyuman yang selalu membayang di bibir, senyum mengejek, kini berubah menjadi senyum masam dan hambar. Akan tetapi sekali ini dia tidak banyak cakap, melainkan memberi isyarat kepada Sim Ki Liong dan pemuda ini tanpa banyak bicara lagi sudah menerjang maju dan biarpun dia belum menguasai dengan sempurna, dia sudah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang, yaitu ilmu silat yang paling hebat dan menjadi andalan dari gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin! Ilmu ini memang hebat bukan main, dan hanya mempunyai delapan jurus. Namun, dibutuhkan orang yang telah memiliki tenaga sakti yang mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat memainkannya. Kalau Pendekar Sadis yang memainkanya, tentu saja akan jarang ada orang mampu menandinginya. Bahkan dalam hal permainan ilmu-ilmu tertinggi dari pulau Teratai Merah, Sim Ki Liong masih kalah setingkat dibandingkan Cia Kui Hong. Semenjak Sim Ki Liong minggat dari pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka, Pendekar Sadis dan isterinya menurunkan ilmu-ilmu andalan mereka kepada Kui Hong agar gadis itu dapat mengatasi kepandaian Ki Liong. Betapapun juga, karena ilmu Hok-liong Sin-ciang memang hebat, Hay Hay tidak berani memandang ringan, apalagi pada saat itu Hek Tok Siasu juga sudah bergerak menyerangnya. Hay Hay dikeroyok dua oleh Ki Liong dan Hek Tok Siansu sehingga mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepadaiannya untuk menandingi mereka. Sementara itu, Kui Hong sudah menerjang dan menyerang Tok-ciang Bi mo-li Su Bi Hwa dan karena Kui Hong amat marah kepada iblis betina itu yang pernah nyaris menghancurkan Cin-ling-pai, bahkan pernah melawan ayah-bundanya dan kakeknya, maka begitu menyerang ia telah mempergunakan jurus ampuh dari Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang. Hebat, bukan main serangan Kui Hong, dan dalam sekali serangan itu saja Su Bi Hwa terhuyung ke belakang dan tentu ia akan celaka kalau saja pada saat itu tidak ada dua orang tosu Pek-lian-kauw yang amat tangguh karena mereka adalah dua orang tosu Pek-lian-kauw tingkat dua. Kui Hong merasa terkejut juga ketika meyambut seragan dua orang tosu Pek-lian-kauw karena serangan mereka sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali! Tingkat kepandaian dua orang tosu ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Su Bi Hwa. Memang, tidak mengherankan kalau dua orang tosu Pek-lian-kauw ini lihai karena mereka adalah Gin Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, dua orang tosu yang merupakan saudara-saudara seperguruan dari mendiang Pek-lian Sam-kwi. Tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit lebih rendah dibandingkan Kui Hong, maka setelah kini mereka maju berdua, ditambah lagi dengan bantuan Su Bi Hwa, tentu saja Kui Hong menjadi kewalahan. Kalau Kui Hong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, sama pula keadaan Hay Hay. Pemuda perkasa ini mendapatkan lawa tangguh dalam diri Hek Tok Siansu, dan kini karena Hek Tok Siansu dibantu Sim Ki Liong, dia menjadi terdesak. Memang semua ini telah diatur oleh Sim Ki Liong dan Su Bl Hwa. Dua orang yang cerdik dan licik ini sudah memperhitungkan bahwa dengan pengeroyokan seperti itu, mereka akan dapat mengalahkan Hay Hay dan Kui Hong. Kalau Hay Hay dalam ilmu langkah ajaibnya Jiauw-pou Poan-san masih dapat menghindarkan hujan serangan dari dua orang pengeroyoknya yang tangguh, keadaan Kui Hong lebih, gawat. Gadis ini juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun karena tiga orang pengeroyoknya semua memiliki ilmu kepandaia tinggi, sejak semuia ia sudah repot dan setelah lewat tiga puluhan jurus saja, iaharus memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri tanpa dapat membalas serangan lawan sama sekali. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dimainkannya itulah yang sampai sekian lamanya dapat menyelamatkannya sehingga tiga batang pedang lawan belum mampu menembus benteng sinar sepasang pedangnya. Biarpun demikian, Kui Hong maklum benar bahwa kalau hal seperti itu berkelanjutan, akhirnya ia akan terancam bahaya. Tidak mungkin berkelahi hanya mengandalkan pertahanan saja, tanpa dapat membalas serangan lawan. Untung bagi Kui Hong bahwa ketika ia digembleng. kakek dan neneknya ia telah menguasai ilmu meringankan tubuh yang amat hebat. Gin-kang (ilmu meringankan) tubuh) nenak Toan Kim Hong memang amat luar biasa, bahkan lebih hebat dibanding gin-kang suaminya, Si Pendekar sadis. Karena itu, biarpun ia terdesak dan tidak mampu membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, sebegitu jauhnya Kui Hong belum pernah terkena senjata lawan. Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Kui Hong dan Hay Hay, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang nyaring, "Adik Kui Hong, jangan khawatir, kami datang membantu!" "Enci Bi Lian!" Kui Hong girang bukan main melihat munculnya Bi Lian, apalagi gadis itu datang bersama Pek Han Siong! Suami isteri yang terpaksa saling berpisah selagi merayakan hari pernikahan itu kini menerjang dua orang tosu Pek-lian-kauw yang mengeroyok Kui Hong sehingga Kui Hong berhadapan sendiri satu lawan satu dengan Su Bi Hwa. Wanita Pek-lian-kauw ini terbelalak ketakutan ketika muncul dua orang tangguh yang begitu menerjang membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw terdorong, ke ,belakang. Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan bencikepadanya karena ia pernah mengacaukan Cin-ling-pai! Ia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diri pun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat dan ke mana pun ia lari, tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah. Oleh karena itu, ia pun menggigit bibirhya dan dengan nekat ia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya sudah sejak tadi habis karena ketika ia mengeroyok tadi, ia masih melepaskan jarumnya terus-menerus sampai habis, namun gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu. "Su Bi Hwa, -dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggungjawabkan semua dosamu! " seru Kui Hong dania pun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jerih sekali itu. Karena maklum bahwa kalau sampai iblis betina itu mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain, maka. Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi dan dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagaikan dua ekor naga sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa! Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan , putaran pedangnya, namun terdengar Kui Hong membentak nyaring, sinar kedua pedangnya berkelebat dan Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu meloncat tinggi ke'atas untuk menghindar. Namun, tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan ia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara. Su Bi Hwa berusaha menangkis, namun hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, sedangkan pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya. Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan mandi darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Ia tewas seketika. Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong maupun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw akan tetapi Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu. "Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!" Kui Hong membentak dan dengan sepasang pedangnya, ia pun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu. Ki Liong menyambut dengan nekat walaupun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jerih sekali. Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, dan Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, dia pun berusaha untuk lebih dulu merobohkan Hay Hay bersama Hek Tok Siansu. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan batuan Hek Tok Siansu pan dua orang tosu Pek-lia-kauw, kiranya dia dan kawan-kawannya ticPak perlu takut lagi. Akan tetapi, teryata amat sukar untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya, Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong menyerangnya, maka tidak ada jalan lain baginya keculi melawan mati-matian dengan nekat. Kini terjadilah perkelahian satu lawan satu yang amat hebat. Sungguh merupakan pertandinga tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya. Sayang pertandingan yang demikian hebatnya tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari. Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu terjadi amat serunya karena tingkatkepandaian mereka seimbang. Biarpun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling. hebat, yaituKim-ke-kiamsut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, namun lawannya adalah seorangtokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya. Sebagai saudara seperguruan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian) Lian Hwa Cu memiliki kepandaian tinggi dan dia memiliki ilmu pedang yang berbahaya karena dia memiliki ilmu andalan seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suhengnya yang merupakan seorang di antara Pek-lian Sam-kwi. Ilmu itu adalam penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya dan ketika dia menggunakan ilmu itu, untuk pertama kali, Bi Lian terkejut dan hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja ia tidak mengira sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat ia elakkan itu, tiba-tib meluncur terus membacok lehernya! Ia tidak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu. Akan tetapi setelah ia mengetahui, ia kemudian dia dapat mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan beberapa kali, ketika, lengan itu mulur, Bi Lian menyerang ke arah lengan untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan. Setelah ilmu yang diandalkan itu kini bahkan membahayakan dirinya sehingga dia tidak berani lagi mempergunakannya, mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang amat dahsyat. Beberapa kali Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya, mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi Bi Lian. Namun setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik dan menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnyabahkan hampir mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, mengira bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir. Tentu saja tidak demikian halnya. Biarpun ia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi, semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main, selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari penyerangan sihir lawan. Han Siong maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biarpun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, namun dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, isterinya akan terancam bahaya......
Jilid 21
Gin Hwa Cu sendiri begitu tadi diserang Han Siong, dia mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dan mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah. "Orang muda, pandang mataku!" bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan, dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong. Pemuda ini mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Biarpun Han Siong seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, namun melihat sepasang mata itu, dia pun merasa geli juga. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir Gin Hwa Cu, dia pun berkata, bukan main-main, melainkan sejujurnya. "Sudah kupandang, matamu juling!" Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya,tidak menjatuhkan diri berlutut, sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak. "Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt……phuahhh!" Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya senyum-senyum dan bersikap tenang. "Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?" dia bertanya. Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dengan sihirnya,dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu. Maka dia pun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan betakan nyaring, dia pun menerjang maju. Han Siong mempergunakan Kwan-imkiam dan setelah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang, ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi,dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tak sebuah pun di antara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri! Namun karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan, Gin Hwa Cu tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawan sutenya,yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan. Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek Tok Siansu. Sebetulnya,kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban Tok Siansu untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman. Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka peroleh. Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong dan, guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka sudah dibuat marah karena penderitaan penolong mereka itu,bahkan Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam penderitaan, di rangkulan mereka. Karena menganggap bahwa yang menjadi biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Akan tetapi, bukan suami isteri itu yang dapat mereka bunuh, sebaliknya Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu! Hek Tok Siansu tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, kepada keluarga Siangkoan Ci Kang, juga kepada Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya. Kini, Hek Tok Siansu sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu. Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya karena pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantram, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Kemudian, dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya genggaman, ditiupnya tiga kali kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa. “Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!" Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan………nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay. Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan main melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay. "Hay-ko, awas………!” teriaknya dan karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya. Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, ia pun bergulingan sambil menangkis. Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang penah membuatnya tergila-gila akan tetapi yang juga merupakan penyebab utama penyelewengannya ke dalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biarpun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong telah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut. Sementara itu, melihat ada naga hitam hendak menerkamnya dari udara seperti yang dilihat Kui Hong, Hay Hay tenang saja, berdiri tegak, bahkan kedua tangannya menolak pinggang dan mulutnya tersenyum, seolah seorang dewasa melihat lagak seorang anak-anak. Dan dia sempat melirik ke arah Kui Hong dan biarpun dia melihat Kui Hong bergulingan dan didesak dengan serangan bertubi oleh Ki Liong, Hay Hay tidak merasa khawatir. Dengan ilmunya yang tinggi, dia dapat melihat bahwa Kui Hong bergulingan bukan karena terdesak, melainkan bergulingan untuk memancing lawan menjadi lengah. Maka dia pun memperhatikan kembali lawannya sendiri dan melihat kakek itu mengangkat kedua tangan ke atas, seolah-olah hendak mengemudikan naga hitam itu dan mulutnya tetap perkemak-kemik membaca mantram. "Hek Tok Siansu, engkau bermain-main dengan seekor cacing tanah untuk apa? Cacingmu itu hanya pantas untuk menakut-nakuti anak perempuan saja!" Hek Tok Siansu terkejut karena dalam pandang matanya sendiri, naga hitam jadi-jadian itu benar-benar berubah menjadi seekor cacing hitam! Dia membaca mantram lagi dan mengerahkan tenaga sihir sekuatnya, menggerakkan kedua tangannya ke arah bayangan naga yang berubah menjadi cacing sehingga kini perlahan-Iahan, cacing itu membesar dan menjadi naga kembali. Hay Hay diam-diam kagum. Kakek ini boleh juga, memiliki kekuatan sihir yang ampuh. Maka, dia pun merendahkan tubuhnya, tangan kanannya mengambil segenggam tanah dan melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga sambil membentak, "Hek Tok Siansu, engkau tidak dapat mengubah kenyataan. Asal dari tanah kembali menjadi tanah!" Genggamam tanah itu disambitkan ke arah bayangan, nampak sinar hitam menyambar ke arah naga jadi-jadian dan bayangan itu pun lenyap, yang nampak hanya tanah berhamburan jatuh kembali ke bawah. Kembali Hek Tok Siansu membaca mantram dan tubuhnya membuat gerakan berputar seperti gasing dan mulutnya terdengar berkata "Angin hanya terasa dan tidak nampak, aku menggunakan ilmu angin, bersatu dengan angin…..!” suaranya bergema di udara, tubuhnya berputar semakin cepat dan akhirnya bayangannya pun tidak nampak, hanya terdengar bunyi angin berdesir timbul dari gerakannya berputar cepat itu! Sungguh hebat ilmu ini karena tentu saja lawan menjadi bingung melawan seseorang yang tidak nampak dan hanya terasa sambaran anginnya. Sambil berputar itu Hek Tok Siansu meluncur ke arah Hay Hay. Disangkanya bahwa ilmu yang mengandung kekuatan sihir itu sekali ini mempengaruhi lawannya, maka dia pun cepat menyerang dengan pukulan maut dari arah belakang Hay Hay. Akan tetapi, Hay Hay yang memiliki kekuatan sihir amat kuat itu tentu saja tidak terpengaruh dan kalau orang lain tidak dapat melihat bayangan kakek itu, dia sendiri dapat mengikuti dengan baik maka dia pun tahu bahwa kakek itu menyerangnya dari belakang. Dia tersenyum dan membiarkan kakek itu mengira dia terpengaruh. Hal ini bahkan dia pergunakan untuk keuntungannya. Karena mengira dia terpengaruh, kakek itu sudah yakin bahwa serangannya akan mengenai sasaran dan dia merasa tidak perlu bersikap waspada menjaga diri. “Wuuuuutttttt……..!!” Ketika serangan itu sudah datang dekat dan Hek Tok Siansu merasa yakin lawannya sekali ini akan dapat dipukul roboh dengan pukulan beracun, tiba-tiba saja dengan cepat bukan main Hay Hay telah melempar tubuh ke samping, dan kakiya mencuat dari samping menyambar ke arah dada lawan. Hek Tok Siansu yakin bahwa lawannya akan roboh dengan tubuh menjadi hitam seperti arang terkena pukulan racun hitamnya, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tibasaja tubuh Hay Hay mengelak dan kaki pemuda itu bahkan menyambar ke dadanya secepat kilat! Hek Tok Siansu yang tidak menyangka sama sekali, mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuhnya. Biarpun dadanya terhindar dari tendangan, namun kaki Hay Hay masih mengenai pangkal lengan kirinya, membuat dia terpelanting dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri bergulingan, tentu tubuhnya akan terbanting keras. Dan dia pun terus bergulingan seperti seekor binatang trenggiling, dan setiap kali tubuhnya bangkit dia mengirim pukulan seperti seekor katak berjongkok dan kedua tangan yang didorongkan ke arah Hay Hay itu mengandung tenaga sik-kang yang amat dahsyat. Namun, Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri dari serangan aneh ini, ilmu campuran antara binatang trenggiling yang bergulingan dan binatang katak. "Haiiiiittttt!" Gin Hwa Cu membentak marah karena sudah dua kali dia terpelanting oleh tendangan kaki Han Siong. Kemarahannya membuat dia nekat karena dia merasa dipermainkan lawan. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar dan bagaikan badai mengamuk dia pun menerjang ke arah Han Siong. Seluruh tenaganya dia kerahkan untuk penyerangan itu, tanpa memperdulikan segi perlindungan diri karena dia sudah nekat hendak mengadu nyawa. Melihat kenekatan lawan, Han Siong maklum bahwa kalau dia tidak cepat merobohkan lawan dan selalu mengalah, keadaan dapat berbahaya baginya. Melawan orang nekat amatlah berbahaya, maka dia pun mempercepat gerakan pedangnya. Ilmu pedang Kwan-im-kiamsut yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu membuat lawan menjadi bingung. Seperti para tokoh Pek-lian-kauw, Gin Hwa Cu ini juga memiliki banyak macam ilmu hitam di samping ilmu silatnya yang lihai. Karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya dia tidak akan menang melawan orang muda yang tangguh dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu, dia lalu mencoba untuk menyerang dengan ilmu lain. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara nyanyian yang aneh, nadanya tinggi sampai seperti melengking-lengking. Suara ini seperti pedang runcing menusuk ke dalam telinga Han Siong! Inilah ilmu yang berbahaya sekali bagi lawan karena suara melengking itu dapat membuat lawan menjadi bingung dan telinga seperti ditusuk benda tajam. Bahkan kalau lawan kurang kuat, suara ini dapat menyerang kedalam kepala dan mematikan! Ilmu ini didorong oleh tenaga sakti yang bercampur dengan ilmu hitam. Namun, Pek Han Siong, adalah seorang pemuda bekas Sin-tong (anak ajaib). Selain dia memang memiliki pembawaan lain sejak lahir, memiliki dasar lebih kuat secara batiniah, juga dia telah berkenalan dengan ilmu sihir sejak kecil dari ibunya, bahkan kemudian menerima pelajaran ilmu sihir yang ampuh dari Ban Tok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Oleh karena itu, dia memiliki kekuatan sihir yang hebat sehingga menghadapi serangan suara dari Gin Hwa Cu, dia bersikap tenang saja. Dengan tenaga saktinya, dia dapat menutup kedua telinganya sehingga tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia mempercepat gerakan pedangnya mendesak. Gin Hwa Cu terkejut. Pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh oleh serangan suaranya, sebaliknya malah mendesaknya secara gencar Sehingga terpaksa dia memutar pedangnya dan terhuyung-huyung. Karena terdesak, maka perhatiannya terpecah dan suara lengkingannya itu menjadi kacau dan sumbang, bahkan menurun, dansebuah tendangan kaki Han Siong membuat dia terpelanting. Dengan kaget dan gentar, Gin Hwa Cu yang terpelanting itu dapat bergulingan utnuk menghindarkan diri dari serangan susulan lawan. Namun, Han Siong adalah seorang pendekar gagah sejati yang sudah tidak mau menyerang lawan yang sudah roboh, maka melihat tendangannya membuat tosu Pek-liankauw itu terguling-guling, dia hanya berdiri tegak dan memandang saja. Kesempatan itu dipergunakan Gin Hwa Cu untuk memulihkan diri. Dada kanannya terasa nyeri oleh tendangan tadi, akan tetapi dia sudah melompat bangun dan mulut berkemik-kemik, lalu dia mengembangkan jubahnya dan melambaikannya ke atas kepalanya. Ini merupakan ilmu sihir untuk membuat dirinya tidak nampak oleh orang lain! Setelah memutar jubah di atas kepala dan yakin bahwa dia lenyap dari pandang mata lawan, diapun tiba-tiba meloncat kedepan dan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada Han Siong yang disangkanya tidak dapat melihatnya dan tentu dadanya akan tertembus pedang. “Wuuuuttt ….. singgg ……. Cappp!” Sinar pedang berkilat, sebuah dada tertembus pedang yang cepat tercabut kembali, darah muncrat dan robohlah tubuh Gum Hwa Cu! Kiranya ilmunya menghilang itu tidak mempengaruhi Han Siong sehingga pendekar itu melihat jelas semua gerakan lawan. Ketika Gin Hwa Cu menusukkan pedangnya dengan keyakinan pasti akan berhasil sehingga tidak melakukan penjagaan diri sama sekali, dengan mudah Han Siong miringkan tubuh dan menggeser kaki kesamping dan pada saat tubuh lawan berlebat ke depan, diapun menggerakkan pedangnya yang menembus dada Gin Hwa Cu. Ketika tubuh tosu itu roboh dan tewas, Han Siong sduah melompat meninggalkannya untuk membantu isterinya, Siangkoan Bi Lian. Wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa ini sebetulnya tidak perlu dibantu. Biarpun lawannya,Lian Hwa Cu, amat lihai, namun Bi Lian dapat mengimbanginya, bahkan setelah ia memainkan Kwanim-kiam-sut, tosu Pek-lian-kauw itu menjadi sibuk sekali. Kawan-im-kiam-sut merupakan ilmu pedang yang nampak lembut, gerakannya halus seperti gerakan wanita cantik menari pedang, atau seperti Dewi Welas Asih Kwan Im beterbangan dan bermain di awan, namun di balik keindahan dan kelembutan gerakan itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali. Melihat isterinya mendesak lawan dan tidak terancam bahaya, Han Siong tentu saja tidak mau melakukan pengeroyokan. Bukan saja dia tidak mau bertindak curang, juga dia tahu bahwa kalau dia turun tangan mengeroyok, tentu isterinya akan merasa tidak senang. Maka dia hanya berdiri menjadi penonton sambil siap membantu atau melindungi kalau lawan isterinya mempergunakan kekuatan sihir terhadap isterinya. Diapun memperhatikan perkelahian yang terjadi di situ. Sim Ki Liong terdesak hebat. Pria yang sudah terlalu banyak menumpuk dosa ini, yang beberapa kali ingin bertaubat namun selalu gagal, repot bukan main menghadapi desakan Kui Hong yang mengamuk bagaikan seekor naga betina marah. Sim Ki Liong sudah mengluarkan semua epandaiannya. Akan tetapi, semua gerakan silatnya dikenal Kui Hong, maka tentu saja gadis perkasa ini mampu membuyarkan semua serangan Ki Liong, dan sebaliknya, dengan menggunakan ilmu-ilmu yang tak pernah dipelajari lawan, Kui Hong mendesak terus. Sebetulnya, sudah lama Kui Hong memaafkan kesalahan yang diperbuat Ki Liong ketika pemuda ini pernah merayunya, kemudian bahkan melarikan diri minggat dari pulau Teratai Merah dan melarikan pula pedang pusaka milik kakek dan neneknya. Kebenciannya terhadap Ki Liong pernah lenyap berganti perasaan iba ketika Mayang memintakan ampun untuk Ki Liong demi cinta kasih gadis adik tiri Hay Hay itu terhadap Ki Liong. Akan tetapi,setelah melihat kenyataan bahwa pemuda ini mengkhianati cinta Mayang, bahkan kembali bergaul dengan golongan sesat dan terjun kembali menjadi orang jahat, Kui Hong marah bukan main dan ia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini ia harus membunuh pemuda jahat ini. Demi Mayang,demi dunia persilatan, karena kalau di biarkan hidup, pemuda ini hanya akan mendatangkan banyak bencana bagi orang banyak. Sambil membela diri mati-matian, memutar pedangnya seolah sinar pedangnya bergulung-gulung itu menjadi perisai baginya, di dalam hatinya Ki Liong menyesal bukan main. Seperti serangkaian gambar yang diputar, dia melihat betapa dia tersesat, terbujuk oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga akhirnya dia kini harus menghadapi akibat yang mencelakakan dirinya. Dia seolah melihat mata pedang sduah menempel di lehernya, tidak ada jalan keluar lagi, dan dia merasa takut dan menyesal mengapa dia yang tadinya sduah tertolong oleh Mayang, menyia-nyiakan cinta kasih Mayang dan terbujuk oleh Su Bi Hwa, wanita iblis yang kini menggeletak tanpa nyawa. Kita semua, seperti juga Ki Liong, yaitu manusia pada umumnya, memang merupakan mahluk yang amat lemah menghadapi nafsu-nafsu yang berada di dalam diri kita sendiri. Nafsu-nafsu dalam diri kita merupakan suatu pembawaan sejak kita lahir, memang diikutsertakan dengan kita karena kehidupan manusia ini baru mungkin dapat berkembang selama adanya nafsu. Nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu karena nafsu mendatangkan kenikmatan. Nafsumendatangkan kenikmatan dalam mulut sehingga kita bergairah untuk makan, satu diantara sarat untuk kelangsungan hidup. Nafsu pula yang mendatangkan kenikmatan dalam hubungan badan sehingga kita bergairah untuk berjodoh, yang merupakan syarat bagi perkembangbiakan manusia. Dan demikianseterusnya. Tanpa adanya daya nafsu rendah, kita tidak akan bergairah melakukan apa yang menjadi syarat utama untuk kelangsungan hidup. Nafsu-nafsu menyelinap dan menjadi gerak pendorong bagi hati akal dan pikiran sehingga timbul gairah untuk mengerjakan pikiran demi kenikmatan kehidupan kita, maka nafsu daya rendah telah mendorong kita untuk menggunakan akal, berpikir untuk membuat segala sesuatu demi kenikmatan dan kesenangan hidup. Maka manusia dapat membuat segala macam benda, perabot-perabot hidup, pakaian, rumah dan segala macam benda yang dibuat melalui akal pikiran untuk mendatangkan kenikmatan dalam kehidupan. Puji Tuhan Maha Pengasih! Hanya karena kasih Tuhan sajalah maka manusia diberi semua itu, diberi peserta-peserta seperti nafsu daya rendah sehingga kita dapat menikmati kehidupan. Naun, nafsu yang sedianya menjadi peserta yang amat berguna itu, yang menjadi hamba yang melayani semua kebutuhan jiwa dalam badan yang berujud manusia ini, terjadi karena daya-daya rendah yang saling berlomba untuk menguasai kita! Nafsu daya rendah membutuhkan badan manusia yang dapat menyampaikan dan memuaskan keinginannya, oleh karena itu, nafsu-nafsu daya rendah berebut untuk menguasai kita agar manusia saja segala kehendak nafsu. Nafsu yang tadinya menjadi alat kita, berbalik ingin memperalat kita. Nafsu yang sedianya menjadi hamba kita, berbalik ingin memperhamba kita. Kita diperhamba melalui kenikmatan dan kesenangan tadi. Kita di perhamba nafsu melalui bendabenda yang kita buat sendiri seperti harta kekayaan, uang, dan sebagainya. Melalui makanan, melalui hubungan seksuil, pendeknya semua daya rendah saling berebut untuk menguasai kita. Nafsu itu mutlak penting bagi kita, namun juga mutlak berbahaya. Seperti api, kalau menjadi alat kita teramat penting, akan tetapi kalau sudah menjadi liar tak terkendali, akan menghabiskan segala! Akan membakar kita. Seperti kuda, kalau jinak, menjadi hamba yang amat berguna, sebaliknya kalau liar, kita dapat dibawa kabur memasuki jurang. Manusia baru tahu akan bahayanya nafsu dalam diri sendiri setelah merasakan akibat buruknya. Memang sifat nafsu itu selalu mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Maka, pengetahuan tentang akibat buruk itu pun datang dari nafsu, dan tentu saja nafsu berkeinginan pula untuk mengubah yang buruk dan menyusahkan itu. Dan kitapun terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya. Hati akal pikiran dipergunakan untuk mengendalikan nafsu, tidak kita sadari bahwa hati akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu, sudah dikuasai nafsu! Maka, apa pun yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sejalan dengan kehendak nafsu, yaitu mengejar kesenangan, masih tetap dalam ruangan yang sama dimana nafsu menjadi rajanya. Karena itu, segala macam usaha yang diperbuat manusia untuk “menjadi orang baik” selalu gagal karena usaha itu pun timbul dari keinginan nafsu dengan dasar bahwa menjadi orang baik berarti akan terbebas dari kesusahan dan berada di dalam kenikmatan atau kesenangan, walaupun mungkin dengan jubah yang lebih halus dan bersih. Kenyataan terbukti kalau kita melihat keadaan manusia dalam dunia ini. Setiap orang manusia berusaha melalui segala cara, melalui kebudayaan, melalui keagamaan, melalui filsafat, pelajaran budi pekerti, melalui pengertian, untuk menjadi “orang baik” karena melihat betapa ketidakbaikan sebagai manusia telah mendatangkan berbagai malapetaka. Namun, adakah nampak hasil dari semua usaha untuk menjadi baik itu? Kalau kita mempelajari sejarah dan melihat keadaan di dunia ini, kita harus dengan jujur mengakui bahwa semua usaha itu agaknya belum dapat dibilang berhasil! Dunia masih kacau balau, kehidupan masih merupakan penderitaan yang berkepanjangan, permusuhan yang berkepanjangan, permusuhan terjadi di mana-mana, nampak sekali bahwa nafsulah yang menjadi raja, yang merajalela menguasai hati akal pikiran semua manusia. Bahkan segala pemenuhan dan hasil buatan manusia, menjadi alat nafsu untuk mengumbar angkara murka! Kita telah gagal! Keadaan kita sama benar dengan keadaan Sim Ki Liong. Sebagai manusia, mula-mula dia diseret oleh dorongan nafsu yang memang ada dalam dirinya seperti dalam dirinya seperti dalam diri kita, dorongan yang membuat dia melakukan hal yang tidak patut. Kemudian, akibat perbuatannya yang mendatangkan kepahitan membuat dia menyesal dan ingin memperbaiki jalan hidupnya. Penyesalan yang datang dari akibat pahit, jadi jelas dari nafsu. Keinginan untuk mengubah cara hidup, juga keinginan nafsu yang hanya ingin mengubah yang tidak enak menjadi yang enak, melalui istilah yang lebih baik menjadi yang baik! Tentu saja dia gagal, karena nafsu hanya menuntunnya kejalan di mana dia akan mendapatkan kesenangan, kenikmatan, dan karena itulah maka Ki Liong juga gagal. Seperti juga semua orang di dunia ini, dia tahu bahwa dia melakukan kejahatan dan melalui jalan yang tidak benar, bahwa dia jahat. Namun, dia tak kuasa menghentikannya. Pencuri manakah di dunia ini yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak baik? Namun, pengetahuan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan nafsu. Biarpun tahu bahwa perbuatan itu tidak benar dan tidak baik, namun kita tidak mampu mengalahkan dorongan nafsu dalam diri yang telah mencengkeram kita melalui hati akal pikiran dan panca-indera kita. Tahu belum berarti mengerti. Bahkan biarpun mengetahui dan mengerti sekalipun, belumlah yakin kalau belum merasakan. Namun, kelengkapan dari tahu, mengerti dan dan merasa pun tidak cukup kuat untuk menguasai gelora nafsu. cerita silat online karya kho ping hoo Lalu bagaimana nasib kita ini kalau kita ini tidak dapat hidup tanpa nafsu, namun juga kita dicengkeram oleh nafsu? Bagaimana kita akan mampu mengalahkan nafsu, atau lebih tepat, bagaimana kita akan dapat mengendalikan nafsu dalam kedudukannya semula, yaitu menjadi alat dan hamba, menjadi peserta yang baik dari kita? Tidak ada caranya! Karena cara ini merupakan jalan dari pikiran pula. Kita, dengan akal pikiran dan hati, tidak akan mungkin dapat mengalahkan nafsu kita. Hanya ada Satu yang dapat menguasai nafsu, yaitu Pencipta nafsu itu sendiri, Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa yang menciptakan segala apa pun di dalam alam mayapada ini. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang mampu mengendalikan yang bengkok menjadi lurus, yang salah menjadi benar. Karena itu, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyerah! Menyerah lahir batin, menyerah sepenuhnya, dan penuh keikhlasan dan ketawakalan, sepenuh iman kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dan kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja dalam diri kita, maka dengan sendirinya semua akan berjalan dengan baik dan sewajarnya menurut kodrat masing-masing. Menyerah bukan dalam arti kata yang sempit, juga bukan dalam arti kata untuk mencari enaknya saja.Yang menyerah itu seluruh jiwa raga, sebagai dasar dari semua tindakan kita dalam hidup. Hati akal pikiran harus bekerja, bahkan bekerja dengan sepenuhnya, sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan kewajibannya. Hati akal pikiran sudah diciptakan untuk bekerja membantu manusia, mengatur semua alat tubuh untuk bekerja, untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia ini. Ki Liong selalu dipermainkan nafsu-nafsunya yang semakin kuat. Sebagai manusia, Ki Liong telah menjadi hamba nafsunya. Keadaan telah berbalik, maka setiap derap langkahnya dalam hidup, selalu ditujukan untuk mencari kesenangan, tanpa menghiraukan segala cara. Perintah nafsu setiap saat berteriak lantang dalam hatinya, sebaliknya, suara nurani yang memperingatkan hanya terdengar bisikbisik dan sayup sampai saja. Kini dia merasa menyesal, namun penyesalan yang tidak ada gunanya lagi. Andaiakata dia mendapatkan kesempatan kedua seperti ketika dia dimintakan ampun oleh Mayang, belum tentu dia akan benar-benar insyaf dan menjadi baik kembali. Selama nasu masih mencengkeramnya, dia akan selalu saja melakukan penyelewengan untuk mengejar kesenangan. Karena tidak melihat jalan keluar, Ki Liong menjadi nekat dan diapun melawan mati-matian mengeluarkan segala kepandaiannya. “Sing-sing-singgg ……!” Ki Liong menggerakkan pedangnya dengan nekat, mengerahkan tenaga sakti Thian-te-sin-kang dan pedangnya memainkan jurus ilmu pedang Gin-hwa-kiamsut menyambarnyambar dengan dahsyat. Namun, Kui Hong sudah mengenal baik ilmu dari kakeknya itu. Ia menyambut dengan tangkisan kedua pedangnya, kemudian, pada saat yang baik ia melihat kesempatan dan kedua pedangnya menyambut pedang Ki Liong dengan menggunting dari kanan kiri. Pedang Ki Liong tertahan dan ketika dia mengerahkan tenaga, tiba-tiba saja pedang di tangan kiri Kui Hong sudah meluncur ke depan sedangkan pedangnya yang kanan masih tetap menempel pedang lawan. Ki Liong melihat luncuran sinar itu dengan mata terbelalak, tidak sempat lagi menghindar dan dia seolah melihat betapa pedang itu memasuki dadanya. “Ohhhhhh …….!” Ki Liong melepaskan pedangnya, mendekap dada yang terluka, lalu terhuyung. Kui Hong sudah meloncat kebelakang dan berdiri tegak dengan sepasang pedang di tangan, matanya memandang tajam. Ki Liong mundur dan terhuyung, memandang kepada Kui Hong dengan mata yang membayangkan kedukaan dan ketakutan, lalu diapun jatuh terjengkang dan tewas. Kui Hong menoleh dan melihat betapa Hay Hay masih bertanding melawan Hek Tok Siansu dan Bi Lian masih menandingi seorang tosu Pek-lian-kauw yang tangguh. Juga ia melihat Han Siong berdiri nonton. Ia mengerutkan alisnya. “Pek Han Siong, bagaimana sih engkau ini? Menjadi penonton saja dan tidak membantu Bi Lian dan Hay-ko?” tegurnya. Han Siong tersenyum. “Aku tidak mau dikatakan curang dan ……” “Ih, bodoh sekali, dalam pertandingan mengadu ilmu, memang tidak boleh melakukan pengeroyokan dan kecurangan, menang atau kalah harus seperti seorang pendekar sejati. Akan tetapi, yang kita hadapi ini adalah segerombolan tokoh sesat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kecurangan. Mereka tadi pun mengeroyok kami. Kita hadapi mereka untuk membasmi kejahatan, bukan untuk mengadu ilmu. Nah, terserah padamu, akan tetapi aku akan membantu Hay-ko!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Kui Hong sudah melompat dan terjun ke dalam lapangan perkelahian, sepasang pedangnya menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek Tok Siansu! “Sing ….! Sing ……..!!” Dua sinar berkliat, membuat Hek Tok Siansu terkejut karena dia tahu bahwa sepasang pedang itu lihai dan berbahaya sekali. Cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan baju yang panjang itu menyambt sepasang pedang. Bagaikan dua ekor ular saja, lengan baju itu menangkap dan membelit sepasang pedang Kui Hong. Gadis itu terkejut, berusaha menarik kembali sepasang pedangnya, namun belitan ujung lengan baju itu terlampau kuat dan sepasang pedang itu tidak dapat terlepas lagi. Melihat ini, Hay Hay menyerang dari samping. Tentu saja Hek Tok Siansu maklum bahwa serangan Hay Hay jauh lebih berbahaya daripada sepasang pedang itu, maka terpaksa dia melepaskan libatan kedua ujung lengan bajunya pada pedang-pedangitu untuk dapat meloncat ke belakang dan mengelak. “Hay-ko, mari kita basmi tosu iblis ini!” kata Kui Hong yang sudah bergerak menyerang lagi. Namun, lebih mudah mengeluarkan ucapan itu daripada melaksanakannya. Hek Tok Siansu adalah seorang datuk yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali sehingga walau kini dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong, tetap saja dia dapat mempertahankan diri dengan ilmu-ilmu pukulannya yang dahsyat. Kadang dia mengeluarkan ilmu pukulan Angin Taufan, kadang mengerahkan tenaga sakti dan menyerang dengan ilmu pukulan Gelombang Samudera, bahkan kadang dia mengejutkan Kui Hong dengan serangan bergulingan seperti trenggiling, dan melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan kedua tangannya sambil berjongkok dan dari perutnya keluar suara berkokokan. Sementara itu, mendengar ucapan Kui Hong, Han Siong diam-diam kagum dan mengangguk membenarkan. Memang, perkelahian itu bukanlah adu kepandaian diantara orang-orang gagah, melainkan sebuah pertempuran antara mereka melawan segerombolan orang sesat. Tugas mereka adalah membasmi orang sesat. Akan tetapi karena dia melihat bahwa isterinya sama sekali tidak membutuhkan bantuan, bahkan Bi Lian mendesak tosu yang menjadi lawannya, diapun ragu-ragu untuk membantu. Dia tidak ingin mengecewakan hati isterinya. Maka, dia tidak mau membantu secara langsung, hanya berseru dengan suara berwibawa, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hwa Cu yang sedang repot menghindarkan rangkaian serangan Bi Lian. “Lian-moi, tosu lawanmu itu hanya seorang yang kerdil dan lemah, sedangkan engkau memiliki tubuhraksasa dan bertenaga raksasa, kenapa tidak segera merobohkannya?” Mendengar ucapan itu, diam-diam Bi Lian merasa heran karena ia tidak mengerti mengapa suaminyamengatakan ia bertubuh dan bertenaga raksasa sedangkan lawannya seorang kerdil dan lemah. Akantetapi, keheranannya bertambah menjadi terkejut sekali ketika melihat bahwa lawannya benar-benardalam pandangannya menjadi seorang yang kerdil, hanya setinggi lututnya! Sebaliknya, tosu itu pun terbelalak ketika mendengar ucapan itu kini melihat betapa lawannya menjadi seorang wanita yang tinggi besar menakutkan! Sebagai seorang ahli sihir, dia pun segera menyadari bahwa ucapan tadi mengandung tenaga yang amat kuat dan telah mempengaruhinya, maka cepat dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan pengaruh yang menakutkan itu. Namun, pada saat itu Bi Liansudah menyerang dengan pedangnya dan karena pedang itupun nampak besar dan panjang sekali, lebih panjang dari pada tingi tubuhnya, maka mengelak pun amat sukar bagi Lian Hwa Cu dan pinggangnya tersabet ujung pedang. Diapun terjungkal roboh dam tidak mampu bangkit kembali karena beberapa saat kemudian dia tewas. Baru dua hari suami isteri ini saling berjumpa. Seperti yang telah diduga oleh Pek Han Siong, isterinya itu pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika kemala penghisap racun ke Cin-ling-pai. Di Cinling-pai, Bi Lian tidak bertemu dengan Hay Hay, bahkan mendengar bahwa Kui Hong juga pergi mencari Hay Hay ke kota raja. Ia pun segera pergi ke kota raja. Han Siong yang juga mengejar isterinya itu, melakukan perjalanan cepat, tidak seperti Bi Lian yang mencari Hay Hay. Oleh karena itu, dua hari yang lalu, Han Siong berhasil menyusul Bi Lian dan suami isteri ini merasa gembira dan bahagia bukan main. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan, akan tetapi di tengah perayaan itu datang gangguan yang membuat mereka saling berpisah. Dan pertemuan dengan suami tersayang itu semakin menjadi berbahagia ketika ia mendengar dari Han Siong bahwa ayahnya telah di sembuhkan oleh obat yang ditinggalkan Hek Tok Siansu. Dapat dibayangkan betapa suami isteri ijni selama dua hari dua malam itu menumpahkan kerinduan dan kasih sayang hati masing-masing sebagai pengantin baru yang berbulan madu. Dan pada hari ke dua, ketika mereka sedang berbulan madu di sebuah rumah penginpan, tidak melanjutkan usaha mereka mencari Hay Hay, dari dalam kamar penginapan itu mereka mendengar suara orang yang amat mereka kenal, yaitu suara Hek Tok Siansu! Mereka mengintai dan melihat serombongan orang memasuki rumah penginapan itu, langsung menuju ke ruangan belakang. Suami isteri ini terkejut dan heran mengenal adanya Sim Ki Liong di antara rombongan itu. Selan Hek Tok Siansu dan Sim Ki Liong, ada pula dua orang tosu dan seorang wanita cantik yang tidak mereka kenal. Tadinya Bi Lian hendak menerjang keluar, mengingat bahwa Hek Tok Siansu adalah musuh besar yang bersama mendiang Ban Tok Siansu telah menyerang ayahnya. Akan tetapi suaminya merangkulnya dan mencegahnya, membisikkan bahwa yang melukai Siangkoan Ci Kang adalah Ban Tok Siansu, dan bahwa Hek Tok Siansu malah meninggalkan obat penawar racun yang telah menyembuhkan ayah mertuanya itu. Betapapun juga, ketika pada keesokan harinya pagi-pagi sekali rombongan itu pergi, seperti yang mereka dengar dari pelayan rumah penginapan, Han Siong dan Bi Lian merasa tertarik dan melakukan perjalanan cepat mengejar ke arah perginya rombongan itu, yaitu ke arah kota raja. Dan akhirnya mereka melihat Hay Hay dan Kui Hong dikeroyok oleh rombongan itu, terdesak dan keadaannya gawat. Maka, tanpa diminta lagi mereka lalu terjun ke dalam pertempuran dan mereka berdua akhirnya dapat merobohkan dua orang tosu Pek-lian-kauw. Kini mereka memandang ke arah perkelahian antara Hek Tok Siansu yang dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong. Mereka tidak maju membantu, karena mereka ingat bahwa bagaimanapun juga, Hek Tok Siansu telah memberi obat penawar racund an menyembuhkan Siangkoan Ci Kang. “Kita tidak boleh mencampuri, apalagi pihak Hay Hay dan Kui Hong sama sekali tidak membutuhkan bantuan,” kata Han Siong dan isterinya mengangguk membenarkan. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara orang riuh mendatangi ke arah tempat itu. Han Siong dan Bi Lian mengangkat muka memandang dan mereka terkejut ketika melihat rombongan orang yang tidak kurang dari seratus orang datang dari arah kota Cang-cow yang temboknya sudah nampak dari situ. Dan rombongan ini tanpa banyak cakap lagi menggunakan senjata mengepung Kui Hong dan Hay Hay yang sedang bertanding melawan Hek Tok Siansu, dan dari sikap mereka jelas bahwa mereka berpihak kepada Hek Tok Siansu! Padahal, mereka itu terlihat seperti para petugas keamanan dari kota Cang-cow, sebagian menganakan seragam, akan tetapi di antara mereka terdapat pula orang barat yang bermata biru, adapula orang asing yang pendek dan mengingatkan Han Siong pada orang Jepang, dan ada pula beberapa orang tosu seperti dua orang tosu yang mereka lawan tadi, yaitu tosu Pek-lain-kauw! Maklum bahwa Hay Hay dan Kui Hong berada dalam bahaya, suami isteri muda ini tanpa banyak cakap lagi, segera mereka menerjang ke arah gerombolan orang yang baru tiba itu dan mengamuk dengan pedang mereka. Segera puluhan orang mengeroyok suami isteri ini. Melihat itu, Kui Hong yang tahu bahwa kekasihnya tidak akan kalah melawan Hek Tok Siansu, segera meloncat dan membantu suami isteri itu, menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kini terjadi pertempuran yang amat hebat. Tigaorang ini, Cia Kui Hong, Siangkoan Bi Lian, dan Pek Han Siong mengamuk dan diantara parapengeroyok banyak yang roboh bergelimpangan terkena sambaran sinar pedang mereka yang bergulung-gulung! Betapapun gagah perkasanya tiga orang pendekar ini, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang mendekati seratus jumlahnya, apalagi di situ terdapat orang Pek-lian-kauw, jagoanjagoan bajak laut Jepang, dan beberapa orang Portugis yang pandai mempergunakan pedang tipispanjang dan runcing, mereka terdesak juga dan terpaksa harus memutar pedang menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai diri mereka. Pertandingan antara Hay Hay dan Hek Tok Siansu juga amat seru. Hek Tok Siansu juga merasa penasaran dan marah bukan main ketika tadi terdesak karena masuknya Kui Hong ke dalam perkelahian. Kini dia melawan Hay Hay satu lawan satu, dan dia merasa penasaran. Apalagi hatinya besar karena munculnya rombongan para rekan dari kota Cong-cow. Memang Su Bi Hwa, yang kini telah tewas, seorang wanita amat cerdik dan luas hubungannya. Ketika mereka bertiga melarikan diri dari kota raja, atas petunjuk Bi Hwa, mereka lari ke Cong-cow dan di kota itu ternyata Su Bi Hwa mempunyai hubungan dengan para tosu Pek-lian-kauw yang bersekutu dengan orang Portugis dan pejabat Cong-cow, juga dengan bajak-bajak laut Jepang. Tentu saja Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu diterima dengan baik oleh pejabat Cong-cow yang bersekutu dengan orang Portugis, yaitu kepala daerah Yong Ki Hok dan wakilnya, yaitu Ouw Seng. Dua orang pejabat yang merencanakanpemberontakan karena mengandalkan kekuatan orang Portugis ini membutuhkan orang-orang pandai. Apalagi Hek Tok Siansu, Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong datang diperkenalkan oleh orang-orang Pek-liankauw. Ketika mendengar dari mata-mata yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan di luar kota bahwa Hay Hay dan Cia Kui Hong menuju ke kota Cong-cow, Hek Tok Siansu, Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai, melakukan penghadangan. Agar tidak menarik perhatian, maka tidak dikirim pasukan, apalagi Hek Tok Siansu memastikan bahwa pihak mereka tentu akan cukup kuat untuk meringkus atau membunuh Hay Hay dan Kui Hong. Hanya ada beberapa orang mata-mata saja yang melakukan pengintaian untuk melihat hasil penghadangan terhadap dua orang musuh itu. Para mata-mata inilah yang cepat mengirim laporan ke kota Cong-cow ketika pihak mereka kewalahan. Kepala daerah Yong Ki Hok cepat mengirim serombongan orang-orang yang terdiri dari campuran persekutuan mereka, namun kedatangan rombongan itu terlambat karena di antara limaorang jagoan mereka yang kini masih dapat bertahan hanyalah Hek Tok Siansu seorang, sedangkan empat orang yang lain, yaitu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tadinya disombongkan oleh para orang Pek-lian-kauw sebagai jagoan tangguh, juga Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong, telah tewas! Melihat munculnya gerombolan yang mempunyai banyak orang tangguh itu, Hay Hay merasa khawatir juga. Biarpun dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Han Siong, Bi Lian dan Kui Hong, namun jelas nampak bahwa mereka mulai terhimpit oleh banyaknya musuh. Maka, diapun mengambil keputusan untuk cepat merobohkan Hek Tok Siansu. Namun, ternyata kakek ini pun berusaha mati-matian, bukan hanya untuk melindungi dirinya, melainkan juga untuk membalas dengan serangan yang amat dahsyat, yang membuat Hay Hay tidak berani bersikap lengah. “Aaauuughhhhhhhh!!” Hek Tok Siansu kini mengirim serangan dengan ilmunya Angin Taufan yang dahsyat, dengan kedua lutut di tekuk dia meloncat ke depan dan mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Hay Hay. Pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak cepat mengalahkan orang ini, maka tiga orang temannya akan terancam bahaya. Sekali ini dia tidak lagi mengelak atau menangkis, melainkan dia mengerahkan sinking pula dan menyambut dorongan itu dengan dorongan kedua telapaktangannya pula. “Plakkk!!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan melekat! Keduanya mengerahkan tenaga sakti yang melalui telapak tangan mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh lawan yang kuat sekali pun. Keduanya tak mau kalah karena mundur berartu hancur. Mengalah berarti terancam maut. Kini keadaan mereka sudah terlanjur, kedua pasang telapak tangan itu sudah saling melekat dan terjadi adu sin-kang yang tak dapat dilihat orang lain. Tubuh mereka tergetar dan dari ubun-ubun kepala mereka keluar mengepul uap tebal! Dalam adu tenaga itu, Hay Hay maklum bahwa tenaga lawannya sunggguh amat dahsyat. Walaupun dia tidak dapat dikatakan lebih lemah, namun dia tidak berani menganggap diri lebih kuat. Andaikata ada selisihnya, maka dia hanya menang sedikit saja dan ini tidak cukup untuk dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Tahulah Hay Hay bahwa adu tenaga sin-kang ini akan berlangsung lama sebelum dia akan mampu mengalahkan kakek itu. Kini hanya tinggal mengadu daya tahan dan kekuatan napas saja karena tenaga mereka seimbang. Kalau saja Kui Hong tidak meninggalkannya untuk membantuHan Siong dan Bi Lian, tentu dengan bantuan kekasihnya itu dia akan mampu mendapat kemenangan tanpa banyak membuang waktu. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Kui Hong. Memang Han Siong dan Bi Lian lebih perlu dibantu.Tiba-tiba seorang tosu Pek-lian-kauw yang datang bersama rombongan itu, meloncat ke belakang Hay Hay yang berdiri dengan kedua lutut di tekuk dan kedua lengan diluruskan, dengan telapak tangan menempel pada kedua telapak tangan Hek Tok Siansu. Tosu Pek-lain-kauw itu tanpa banyak cakap lagi sudah menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Hay Hay dengan pengerahan sin-kang yang cukup dahsyat. “Plakkk!” telapak tangan itu menempel di punggung Hay Hay dan tenaga yang kuat memasuki tubuh Hay Hay melalui punggung itu. Si tosu terkejut karena sama sekali tidak ada perlawanan dari orang yang dipukulnya, bahkan tenaga sin-kang dari telapak tangannya itu seperti menembus punggung dan memang hal itu di sengaja oleh Hay Hay. Dengan tingkatnya yang tinggi berkat gemblengan Sang Lojin, dia dapat menerima dan menampung tenaga dari hantaman tosu itu dan langsung menyalurkan hawa itu ke arah kedua telapak tangannya sehingga tenaganya bertambah besar menghadapi kedua telapak tangan Hek Tok Siansu. “Uhhhh ……!” Hek Tok Siansu menyemburkan darah dari mulutnya dan dia emandang kepada tosuPek-lian-kauw itu. Dia tidak berani membuka mulut melarangnya karena mengeluarkan kata-kata berarti memecah tenaga dan hal ini akan membahayakan nyawanya. Akan tetapi membiarkan saja tosu itu membantunya dan juga mendorongnya ke ambang maut karena lawannya yang masih muda itu mampu memanfaatkan serangan tosu itu untuk memperbesar tenaga sin-kangnya! Akan tetapi, tosu Pek-lian-kauw itu biarpun dia seorang tokoh yang lihai, namun dia terlalu memandang rendah Hay Hay. Menerima dan menyalurkan tenaga lawan demi keuntungan diri sendiri merupakan ilmu yang amat langka, maka dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu mampu melakukan hal itu, dan disangkanya bahwa Hek Tok Siansu sudah terluka dan lemah, maka diapun ketika melihat kakek itu menyemburkan darah, bermaksud untuk membantunya dan kini tangan kirinya di hantamkan ke punggung Hay Hay sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya. “Dessssss …….!!” Akibatnya hebat sekali. Hek Tok Siansu kembali menyemburkan darah dan diapun terjengkang, sedanglan tubuh Hay Hay bergulingan menjauh. Ketika pemuda ini meloncat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah, namun dia tidak terluka, sedangkan ketika dia menoleh ke arah Hek Tok Siansu, kakek itu rebah terlentang dan telah tewas! Kini barulah tosu Pek-lian-kauw itu tahu apa yang terjadi. Hek Tok Siansu tewas karena tanpa disadarinya dia telah membantu pemuda itu yang mampu menerima dan menyalurkan tenaga hantamannya tadi untuk menyerang Hek Tok Siansu. Dia pun menjadi marah, lalu meneriaki kawan-kawannya untuk mengeroyok Hay Hay. Biarpun kini bertambah dengan Hay Hay, tetap saja para pendekar itu kewalahan menghadapi pengeroyokan musuh yang sedemikian banyaknya. Mereka segera bergabung membentuk sebuah lingkaran dengan saling membelakangi. Empat orang pendekar atau dua pasang orang muda perkasa itu masing-masing menghadap empat penjuru sehingga pihak musuhnya hanya dapat menyerang mereka dari depan dan kanan kiri saja. Kalau saja Hay Hay dan Han Siong tidak memiliki kekuatan sihir yang hebat di samping ilmu silat mereka, agaknya mereka berempat tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Namun, kedua orang mudaperkasa ini berulang-ulang mengeluarkan bentakan-bentakan yang menggetarkan, membuat banyak pengeroyoknya terjungkal tanpa dipukul, terpelanting atau terjengkang karena pengaruh suara yang mengandung kekuatan sihir Hay Hay dan Han Siong. Namun, mereka tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri karena pengepungan itu berlapis-lapis dengan datangnya bala bantuan bagi musuh yang mengalir keluar dari kota Cong-cow. Keadaan benarbenar gawat! Bahkan empat orang pendekar muda itu sudah menerima beberapa kali serangan yang mendatangkan luka di tubuh mereka, walaupun berkat kelihaian mereka, luka-luka itu tidaklah parah. Keadaan yang amat gawat bagi dua pasang pendekar itu tiba-tiba berubah ketika terdengar suara tambur dan sorak-sorai, diikuti munculnya pasukan pemerintah yang besar jumlahnya! Di antara para panglima dan perwira yang memimpin pasukan itu terdapat pula Mayang, Cang Hui dan Teng Cin Nio! Bahkan Cang Sun yang tidak pernah bertempur itu terdapat pula diantara mereka. Tentu saja gerombolan pemberontak itu tidak mudah di basmi, bahkan pasukan-pasukan yang dipimpin langsung oleh Menteri Yang Ting Hoo itu terus menyerbu ke dalam kota Cong-cow, bergabung dengan pasukan pemerintah yang masih setia kepada pemerintah dan tidak ikut terseret ke dalam gerombolan persekutuan pemberontak. Hay Hay, Kui Hong, Han Siong dan Bi Lian tidak ikut menyerbu ke kota itu, melainkan menumpang dalam kereta besar bersama Cang Sun, Mayang, Cang Hui dan Cin Nio, kembali ke kota raja. Dua pasang pendekar itu sempay saling mengobati luka-luka kecil di tubuh mereka, kemudian mereka semua menghadap Menteri Cang Ku Ceng yang menyetakan penyesalannya bahwa keluarganya sampai diselundupi orang-orang macam Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong sehingga hampir saja mendatangkan malapetaka, bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi istana kerajaan. Menteri Cang Ku Ceng dengan keluarganya menyambut gembira ketika puteranya, Cang Sunmenyatakan keinginannya untuk menikah dengan Mayang dan Cin Nio sekaligus! Dalam kesempatan ini, Cang Sun yang tentu saja sudah di bujuk oleh Mayang, minta kepada ayahnya agar suka menjadi wali bagi Hay Hay untuk mengajukan pinangan ke Cin-ling-pai, meminang Cia Kui Hong untuk menjadi jodoh Hay Hay. Bahkan dia menyatakan, tentu saja atas desakan Mayang pula, bahwa hari pernikahannya akan dibarengkan dengan hari pernikahan Hay Hay. Menteri Cang Ku Ceng yang merasa betapa besar jasa Hay Hay selama ini, menyatakan setuju. Orang-orang Portugis, untuk sekian kalinya, kembali di halau pergi oleh pasukan pemerintah dari kota Cong-cow. Banyak diantara mereka yang tewas bersama sekutu mereka di Cong-cow dan sisanya dihalau pergi, melarikan diri dengan kapal-kapal mereka ke lautan. Akan tetapi, agaknya pemerintah kerajaan Beng tidak pernah jera menghadapi kecurangan orang-orang Portugis. Memang tertanam kebencian dan kecurigaan terhadap orang-orang kulit putih karena ulah orang-orang Portugis yang merupakan pendatang orang kulit putih pertama di daratan China. Akan ttapi pemerintah dan para pedagang melihat keuntungan besar dengan adanya perdagangan antara bangsa pribumu dengan orang-orang asing barat itu. Rempa-rempa yang dianggap kurang berharga didaratan Cina, amat dihargai oleh orang-orang kulit putih, dan rempa-rempa itu ditukar dengan bendabenda asing yang langka didapat di daratan. Perdagangan yang dianggap menguntungkan kedua pihak inilah yang membuat pemerintah kerajaan merasa sayang untuk menolak sama sekali kedatangan orang-orang Portugis. Akhirnya, beberapa tahun kemudian, dalam tahun 1557, pemerintah yang di dukung oleh pejabat daerah yang memperoleh banyak keuntungan melalui pajak dan sogokan perdagangan itu, mengijinkan orang-orang Portugis untuk mendarat di Macao, sebuah semenanjung di Kanton, sebuah tempat yang terpencil dan jauh dari kota-kota yang penting. Bahkan sebuah pasukan yang kuat ditempatkan di perbentengan untuk mencegah orang-orang Portugis masuk ke pedalaman. Karena ulah orang-orang Portugis inilah maka sampai bertahun-tahun lamanya, rakyat Cina tidak percaya kepada orang-orang kulit putih, biarpun mereka itu bukan orang Portugis, melainkan dari daratan Europa yang lain, seperti Belanda dan Inggeris. Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, tentu saja menerima dengan penuh penghormatan ketika utusan Menteri Cang Ku Ceng datang untuk meminang Kui Hong, dijodohkan dengan Tang Hay. Suami isrteri ini sekarang yakin bahwa jodoh berada di tangan Tuhan, dan kalau puteri mereka sudah salingmencinta dengan Tang Hay, merekapun tidak mampu menghalangi. Tak lama kemudian, dilangsungkan pernikahan pada hari yang sama antara Tang Hay dan Cia Kui Hong, dan antara Cang Sun dan kedua orang isterinya, yaitu Mayang dan Cin Nio. Perayaan pengantin kembar itu dirayakan secara besar-besaran di kota raja, di gedung istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng, dihadiri oleh para pejabat tinggi dan oleh tokoh-tokoh persilatan. Diantara mereka, hadir pula, tentu saja Pek Han Siong dan isterinya tecinta, yaitu Siangkoan Bi Lian. Sampai disini selesailah sudah kisah Jodoh Si Mata Keranjang ini, disertai harapan pengarang semoga kisah ini, selain dapat menghibur pembacanya, juga mengandung manfaat bagi kita semua. Sampai jumpa di lain kisah. T A M A T Serial Selanjutnya : Pendekar Kelana
Komentar