DEWI MAUT JILID 193

 “Anakmu? Dia ini anakmu? Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?”

Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu. Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya! 

Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja.

“Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?” kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.

Kun Liong menyusut air matanya. 
“Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya.”

“Ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?”

“Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati.”

“Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kau apakan sekarang?”

Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, 

“Kong-kong... saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah...”

“Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. 

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak diperalat demi kesenangan diri kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?”

“Terserah kepada kong-kong,” jawab Mei Lan.

“Kau simpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong,” Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.

Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, 
“Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng dan orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan.”

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya dan beberapa kali dia menggeleng kepala dan menghela napas. 

“Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita.”

Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam dan menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. 

“Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungan cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan menyadarkan adik saya Kwi Eng karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalah-sangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak.”

Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. 

“Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?”

“Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw.” 

Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayahnya. 

“Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?”

“Aih, betapa tepatnya apa yang kau katakan semua itu, sumoi!” terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. “Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup...”

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.

“Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...” katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!

Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. 

“Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... kemana saja asal kami dapat hidup berdua...” 

Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.

“Houw-te...!” Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. “Adikku, kemana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?” Kakak yang merasa terharu ini menangis.

Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. 
“Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah kemana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali.”

“Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?” Kun Liong juga berkata kepada adiknya. “Tinggallah disana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian.”

Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, 

“Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi kemana, ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia.”

“Ahh... kau benar... kau benar...” Kun Liong hanya dapat berkata lemah.

“Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami,” kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. “Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu.”

Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.

Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan. 

Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah, 

“Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau...” 

Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!

“Wah, sungguh licik! Engkau masih hutang tiga macam ilmu untuk muridku!” 

Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.

“Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang janjimu dengan baik,” kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur. 

Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.

“Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!” Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.

SELANJUTNYA 

Komentar