DEWI MAUT JILID 184
Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.
“Tio-twako...!”
Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.
“Eh, kau menangis, Beng-te?” tanyanya kaget dan kecewa karena tak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.
“Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku...”
Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum.
“Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati.”
“Twako, aku menderita sekali...”
Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan.
“Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?”
“Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku.”
“Maksudmu?”
“Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako.”
Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.
“Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak bernasib seperti aku...”
“Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?”
Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?
“Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?”
Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.
“Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau...” Kwi Beng berkata dengan hati terharu.
Akan tetapi Tio Sun telah dapat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum.
“Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya.”
Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.
“Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako.”
“Terima kasih, Beng-te.”
Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu!
Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!
Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.
“Twako... lihat...” Dia berbisik.
“Sstttt...!”
Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.
Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!
Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.
Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah. Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan.
“Nona, kau lekas tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!”
Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini? Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga.
Sedangkan Lie Seng melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga “umpan” itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.
“Tangkap bocah itu!”
“Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!”
Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil “dipancing” hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!
“Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!” bentak Pek-hiat Mo-ko sebal.
Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasarnya anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!
Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.
“Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!”
Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.
“Eh, adik kecil. Kau tidak takut?”
Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar.
“Takut? Takut apa?”
“Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian.”
“Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?”
Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.
“Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?”
“Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat disini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula.”
Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.
“Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?” tanyanya.
“Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian.”
“Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal...”
“Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan.”
Tio Sun kembali tertegun.
“Kau tidak menyesal? Tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?”
Lie Seng menjawab singkat,
“Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?”
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.
“Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?” Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.
Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.
“Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku.”
“Ohhh...!”
Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai!
Komentar