DEWI MAUT JILID 185

 Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. 

Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

“Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan,” akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. “Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!”

Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

“Ihhhh...!” 

Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan belitannyapun mengendur. 

Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

“Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!” kata Kun Liong. 

Biarpun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

“Aihhh... indah sekali!” Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. “Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini,” katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

“Clupp... aihhh...! Suheng...!” 

Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

“Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun juga!” Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula. “Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!”

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengar wanita itu berseru. 

“Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!” tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. 

Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

“Pegang kuat-kuat, sumoi!” kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh. 

“Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!” 

Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

“Ahhh, suheng...!” Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

“Sumoi...”

“Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal itu...”

“Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku...”

“Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh...” Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia mebersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan.

Kun Liong cepat mencuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

“Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi,” kata Kun Liong.

Giok Keng menarik napas panjang, 
“Sungguh berbahaya... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan untukku, suheng.”

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, 

“Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?”

Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

“Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi.”

“Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya.”

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah Lembah Naga. 

Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya dan menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, 
“Agaknya itu adalah burung-burung rajawali...”

“Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang.”

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

“Ah, burung nazar, burung pemakan bangkai!” kata Kun Liong.

“Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi.”

“Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!”

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

“Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati,” kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib dimana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

“Seng-ji...!” teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

“Ibu...!” Lie Seng juga berteriak girang.

“Sumoi, nanti dulu...!” 

Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu, dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

SELANJUTNYA 

Komentar