DEWI MAUT JILID 181

 “Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng.” kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan.


Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran kepada “siluman” itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu!

Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

“Sialan!” gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. “Uang sialan!” 

Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana kalau sampai pendekar wanita itu tertimpa malapetaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan kemana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

“Uang sialan! Siluman sialan!” dia berkata agak keras dan kembali menonjok ke arah kartung uang.

“Hemm, kiranya disini kau sembunyi!” 

Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. 

Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai! Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. 

Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar laki-laki itu menghardik, 

“Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan dimana kau sembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!”

“Sialan...!” Can Pouw memaki gemas. “Siluman sial dangkalan!” Siapa tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

“Eh, apa maksudmu?” Laki-laki itu menghardik. “Hayo lekas mengaku, siluman keji!”

“Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?” dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

“Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?”

“Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!”

Orang itu kelihatan terkejut bukan main. 
“Apa? Siapa? Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Dimana dia?”

Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. 

“Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan itu kalau aku kau goncang-goncang seperti ini?”

“Brukk!” Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, “Cepat kau ceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?”

Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan. 

Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

“Hemm, kalau awak lagi sial!” dia menggerutu. “Dua kali berturut-turut aku disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!”

“Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!”

“Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan kemudian malam ini kami berdua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah kemana dan selagi aku termenung bingung menanti disini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!”

“Ah, kemana perginya Cia-lihiap...?”

Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

“Bagaimana saya tahu?” 

Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.

“Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?” 

Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak jauh dari situ.

“Ssstt, ada orang datang...!” bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. 

Mereka menanti dan jantung Can Pouw berdebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini dimana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!

Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. 

Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula. Can Pouw membanting-banting kakinya. 

“Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula! Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!

Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio disana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!

Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong! 

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.

Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok, maka dengan hati penasaran pendekar ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan malam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!

Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang. 

Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

“Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka kami hanya dapat mombawa karung ini saja.”

“Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?” terdengar Giok Keng berkata.

“Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?”

“Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!” 

Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar dimana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

“Yap-suheng...!”

“Cia-sumoi, tenanglah,” kata Kun Liong.

Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu. 

Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata,

SELANJUTNYA 

Komentar