DEWI MAUT JILID 182
“Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?”
Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat.
“Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emas ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!”
“Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung,” Kim Hwa Cinjin berkata. “Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!”
“Biarkan saya yang melepaskannya!” kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan.
Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.
“Maaf, toanio,” Kim Hwa Cinjin menjura. “Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak dan kekagetan Cia-toanio.”
Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang,
“Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih disini, kenapa sekarang lenyap semua?”
Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.
“Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kaw!”
Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!
Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melihat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong.
Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!
Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan disumbat mulut mereka!
Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepat pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia.
Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng, dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh!
Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng.
Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!
Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak,
“Lihat ini!”
Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.
“Hem, itu punyaku!” teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang bermata juling.
Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!
“Nah, ambillah!” kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.
“Dessss...! Auwww...!”
Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.
“Heh-heh, dan ini punya siapa?”
Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis ketika orangnya mengenal barangnya.
“Si copet busuk! Kembalikan barangku!” hardiknya.
“Boleh, mari ambillah!”
Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.
“Plokkk! Aduhhh...!”
Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan darah mengucur deras.
Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun.
Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian.
Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!
Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-tung.
Berkat jasanya yang besar, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong.
Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri.
Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng,
“Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku.”
“Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu.”
“Lie Seng?” Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.
Kun Liong mengangguk.
“Bagaimana dengan dia, suheng? Dan dimana dia?”
“Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku...”
“Kok Beng Lama...?” Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.
Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.
Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya!
Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!
“Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?”
“Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa.”
“Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!” Giok Keng berkata geram.
“Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?”
Giok Keng terkejut sekali.
“Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?”
Kun Liong mengangguk.
“Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah.”
“Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng,” kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.
Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.
“Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?”
Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang.
“Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati.” Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai.
Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang.
“Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka...”
“Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi...”
“Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kau ceritakan. Bagaimana dengan dia?”
Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Aku belum menemukan jejaknya, sumoi.”
“Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada disini.”
“Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu disini, sumoi.”
Tiba-tiba Giok Keng berkata,
“Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?”
Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu.
“Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?”
“Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?”
“Penculikan? Apa? Siapa...?”
“Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar...”
“Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?”
“Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng.”
“Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!”
“Aku akan membantumu, suheng.”
“Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar...”
“Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong.”
Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih,
“Baiklah, sumoi. Mari kita pergi.”
Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.
Komentar