DEWI MAUT JILID 180

 “Siluman, hendak lari kemana kau?” 


Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar, akan tetapi dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Kemanakah perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran terus. Lawannya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap. 

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, terdengar teriakan. 

“Tangkap siluman!” dan muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

“Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!” 

Giok Keng membentak sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

“Omitohud, wanita pembohong!” tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampak kepalanya yang gundul. “Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini mengeruhkan kota Heng-tung!”

Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. 

Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

“Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji... semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!” Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung.”

Giok Keng berkata. 
“Harap losuhu suka membebaskan aku.”

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. 
“Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng dimana kau sembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kau curi malam kemarin.”

“Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu.”

“Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?” 

Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

“Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai...”

“Ohhhhh...!” 

Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. 

Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

“Omitohud...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!”

“Aku tidak bohong, losuhu!” Giok Keng berkata marah.

“Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?”

“Ah, pendeta terkutuk itu?” Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. “Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!”

“Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinkan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai...”

“Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar nyawanya ke neraka!” 

Giok Keng berkata penuh semangat. Memang pengakuannya ini benar. Dalam cerita “Petualang Asmara” dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang “hwesio” bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula! 

Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia. 

Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pengganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! 

Dan bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah kota itu diganggu “siluman”. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk “makanan” mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. 

Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman, karena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali.

Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis dan minta ampun. 

Kini, melihat seorang wenita seperti Giok Keng, yang “matang” bentuk badannya, yang selain cantik jelita juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat dan ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. 

Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya! 

Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai “siluman” yang selama ini mengacau Heng-tung!

Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia berkata, 
“Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita.”

“Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap.”

“Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!”

“Baik, suheng,” jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi meninggalkan kamar itu.

SELANJUTNYA 

Komentar