DEWI MAUT JILID 177
lengannya tergetar.
“Hebat...!”
Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut.
Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu.
Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat.
Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang!
Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu.
Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.
Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong.
Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.
“Jangan...!”
Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng.
“Sing-sing-singgg...!”
Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu.
“Mengganggu saja!” terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.
“Menjemukan!”
Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke arah Kwi Beng!
“Celaka...!”
Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!
“Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!”
Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.
Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
“Bukan main...” kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. “Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa.”
“Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?” tanya pula Kwi Beng.
“Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini.”
“Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!” Kwi Beng berkata dengan kukuh.
Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya.
“Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?”
Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu.
“Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah memasuki bahaya besar disini karena hendak membantuku menolongya...”
“Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kau minta sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya.” Dia berhenti sebentar, lalu menyambung, “Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu!
Komentar