DEWI MAUT JILID,178
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong.
Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.
Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat.
Namun, Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.
Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong.
Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.
Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama mati suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!
Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.
“Tidak, biarkan aku mati saja!”
Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.
“Ah, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?”
Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali.
Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.
“Lihiap, mohon lihiap menolong kami...”
“Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?”
Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata,
“Lihiap, kami hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap.”
“Lenyap? Apa yang terjadi?”
“Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!” kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.
“Siluman? Apa maksud kalian?” Giok Keng bertanya heran.
“Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami.”
Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!
“Dimana kota kalian?”
Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!
“Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap.”
“Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman itu.”
Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.
Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!
Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka.
Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi kaisar kembali.
Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling besar hanya terasa di kota raja saja.
Di luar kota raja, apalagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam “kerja sama” di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.
Malam hari itu, Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas, dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.
“Hemm, itu dia silumannya!” pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.
Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.
“Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!” pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu dan bersikap waspada.
Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari pemilik gedung di bawah.
“Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?”
Giok Keng membentak dan tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.
“Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!” Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?, “Ah... aku bukan...”
“Pengecut!”
Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.
“Ehhh...?”
Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang. Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu.
Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.
Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.
“Aduhh...!” Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, “Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya...”
Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.
“Hayo kau ikut bersamaku!” Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.
“Baik, lihiap!”
Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.
“Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!” bentaknya.
“Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.”
Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!
Komentar