DEWI MAUT JILID 154


“Twako! Twako...! Dia telah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!” dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak.

“Ahhhh??” 

Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, malah tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini sudah menjadi setengah gila karena minum obat bius.

“Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!” 

Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, cepat menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!

Si Kwi terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai dimana kepandaian majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Mengandalkan gin-kangnya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak dan balas menendang dari samping ke arah lambung majikan Padang Bangkai itu.

“Ahh!” 

Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu dapat mengelak demikian mudahnya dari serangannya tadi, bahkan dapat membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu. 

Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap, dia menarik kakinya dan dengan loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan dan dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan.

“Plakk!” 

Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itupun terkejut.

“Wah, boleh juga gadis ini!” serunya dan dia kini dengan gembira menubruk lagi. 

Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.

“Aihhh...!” 

Si Kwi menjerit dan biarpun dia sudah cepat meloncat namun tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum.

Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiamnya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya.

Cari lampu penerangan hajat? klik disiniCari keripik pisang banten klik disini jajanan nikmat ADA di sini Cari lampu penerangan hajat? klik disini

style="background-color: #45818e; font-size: 15.84px;" />“Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemm...” 

Ang-bin Ciu-kwi cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis. Terdengar bunyi berkentrangan nyaring ketika sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang telah berobah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu.

“Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?” Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. “Bantulah aku menangkap gadis ini...”

“Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?” isterinya mencela.

“Aaaahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!”

Tentu saja Si Kwi menjadi makin marah dan dia membentak, 
“Mampuslah!” 

Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga.

Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, 
“Bocah sombong, robohlah!”

Si Kwi mendengar suara halus dan maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Cepat dia mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk dan kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tak dapat diketahuinya. Tiba-tiba dia merasa pergelangan kakinya seperti digigit semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!

“Ha-ha-ha!” 

Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa.

Terdengar suara wanita terkekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja.

“Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk dibagi rata ha-ha!” 

Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya. Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. 

Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara ketawanya yang lambat-laun berobah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.

“Kau jadi milikku sekarang, ha-ha. Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!” Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja.

“Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!” 

Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta.

Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. 
“Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?” Dia meragu.

“Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!” tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan diapun bangkit dari tempat duduknya. “Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran mengapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita.” Dia lalu memberi obat kepada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi, “Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!”

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu dan bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu. Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, 

“Kaubantu aku memeganginya setelah kubebaskan totokannya, isteriku!”

Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi. Mereka itu menjadi budak-budak nafsu berahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka nonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu berahi mereka sendiri. 

Maka tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton apabila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan!

Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang telah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biarpun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya.

“Lepaskan aku...!” Si Kwi menjerit ngeri. “Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!”

“Ahhh...?” 

Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini. Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. 

Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya dan dia telah berada di ambang malapetaka yang amat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.

“Benarkah...?” Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.

“Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!” kata pula Si Kwi.

“Akan tetapi, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya.

“Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kau lanjutkan perbuatanmu yang terkutuk dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!” Si Kwi menggertak.

Suiami isteri yang memang amat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu segera melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek.

Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah. 

“Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!” bentaknya.

“Eh... maafkan kami, maafkan aku...” 

Ang-bin Ciu-kwi berkata sambil menenggak araknya. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya, tinggal telan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat setelah mendengar nama kakek dan nenek yang amat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu.

“Sebetulnya kami tidaklah salah,” Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sudah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, lalu diapun duduk di dekat gadis itu. “Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?”

Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka ini benar-benar tangguh. 

“Semua adalah salahnya anak buah kalian,” katanya, “Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku.”

“Sudahlah,” Coa-tok Sian-li menghibur. “Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?”

“Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka.”

“Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?” 

Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu!

Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan, 

“Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perkiraan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian harus cepat-cepat memberi kabar ke Lembah Naga.”

SELANJUTNYA 

Komentar