DEWI MAUT JILID 155
“Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. “Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar mereka jangan khawatir. Kami telah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!”
“Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!” Si Kwi berkata sambil memandang marah. “Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!”
Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika melihat suami isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kau laporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!”
Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih mengomel.
“Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!”
Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidak mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali.
Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa ketidak senangan hatinya terhadap suami isteri itu.
“Bagaimana pendapatmu tentang dia?”
Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.
“Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,” jawab isterinya.
“Bagus! Akupun berpikir demikian. Orang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!”
“Kau benar,” isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. “Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!”
Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya.
“Kau manis!”
Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.
Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang penghinaan itu.
Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee.
Kalau perawan itu menyadari kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar “suka sama suka”, tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.
Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu!
Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka!
Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka!
Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu. Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terdapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu.
Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!
Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.
Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu.
Dendam-mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu.
Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.
Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa dan binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya.
Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali.
Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata,
“Tentu engkau hendak mengembalikan siang-kiamku yang ketinggalan!”
Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.
“Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!”
Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurang-ajaran itu.
“Ang-bin Ciu-kwi, mau apa engkau menghadangku? Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-kiamku!” Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.
“Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terlalu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!”
“Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!”
“Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?”
Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab,
“Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!”
Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, maka dia kembali tertawa lebar.
“Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku.”
Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.
Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah.
“Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!”
“Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Disini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali.”
“Keparat busuk!”
Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.
“Tringgg...!” sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.
“Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?”
Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.
Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biarpun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
“Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?” tanyanya. “Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah Naga?”
Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.
“Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!” Si Kwi berkata sambil memandang marah. “Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!”
Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika melihat suami isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kau laporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!”
Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih mengomel.
“Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!”
Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidak mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali.
Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa ketidak senangan hatinya terhadap suami isteri itu.
“Bagaimana pendapatmu tentang dia?”
Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.
“Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,” jawab isterinya.
“Bagus! Akupun berpikir demikian. Orang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!”
“Kau benar,” isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. “Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!”
Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya.
“Kau manis!”
Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.
Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang penghinaan itu.
Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee.
Kalau perawan itu menyadari kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar “suka sama suka”, tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.
Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu!
Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka!
Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka!
Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu. Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terdapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu.
Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!
Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.
Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu.
Dendam-mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu.
Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.
Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa dan binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya.
Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali.
Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata,
“Tentu engkau hendak mengembalikan siang-kiamku yang ketinggalan!”
Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.
“Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!”
Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurang-ajaran itu.
“Ang-bin Ciu-kwi, mau apa engkau menghadangku? Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-kiamku!” Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.
“Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terlalu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!”
“Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!”
“Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?”
Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab,
“Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!”
Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, maka dia kembali tertawa lebar.
“Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku.”
Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.
Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah.
“Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!”
“Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Disini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali.”
“Keparat busuk!”
Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.
“Tringgg...!” sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.
“Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?”
Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.
Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biarpun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
“Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?” tanyanya. “Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah Naga?”
Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.
Komentar