DEWI MAUT JILID 134
Bun Houw cepat menjura setelah dia membalikkan pedang-pedangan kayu itu di bawah lengan kanannya.
“Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda, sesungguhnya sama sekali saya tidak berani bersikap sombong, akan tetapi hendaknya paduka ingat bahwa pusaka Cin-ling-pai adalah sebatang pedang dari kayu, yaitu Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) itu. Oleh karena itu, setiap orang muridnya tentu dapat pula memainkan kayu sebagai pedang yang merupakan kepandaian simpanan dari ketua Cin-ling-pai. Maka, kini saya memilih sebatang kayu ini sebagai pengganti pedang sama sekali bukan keluar dari sikap sombong, melainkan karena bagi saya, kayu ini merupakan senjata yang paling baik bagi saya.”
Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia masih sangsi dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya adalah kekasih nona Hong yang amat disuka oleh isterinya itu.
Sementara itu diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya kepada pemuda yang dicinta oleh muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengan sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah!
Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang amat tinggi kepandaiannya, pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbeh di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main.
“Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?”
Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggauta pengawal yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya amat lihai ini ikut tertawa.
“Majulah, Hok Hosiang, sudah sejak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana kerasnya tanganmu dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi nanti!” kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya.
Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).
“Lihat senjata!” bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Biarpun kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan dan ketika tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar.
Dalam serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata, yaitu gulungan sinar senjata tasbehnya yang sudah menyambar ganas dengan gerakan melengkung ke atas lalu menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sin-kangnya yang membuat dia terkenal dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan pukulan dengan jari-jari terbuka ke arah pusar pemuda itu!
Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia telah melakukan serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya.
Raja Sabutai sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, diam-diam merasa ngeri karena agaknya sukarlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari cengerakam maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.
Akan tetapi tidak seorangpun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu!
Cia Bun Houw adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Maka, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andaikata dia tetap bertangan kosong sekalipun, tentu saja dia masih dapat mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu!
Melihat gerakan lawan dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbeh hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itulah.
Memang kelihatannya tasbeh hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk dengan ancaman maut menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sebenarnya mengancam nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sin-kang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!
“Wirrr... wuuuttt...!”
Tasbeh hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin karena kegembiraan hatinya dapat melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoleh kesempatan membalas kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ.
Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaianannya. Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok.
“Syetttt... cessas... aughhh...!”
Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu! Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbeh hijau dan hati Hok Hosiang sudah menjadi girang karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu agaknya mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbeh sehingga kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbeh sambil mengelak, maka dengan girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang olehnya betapa tangan itu akan “memasuki” pusar dan pemuda itu akan roboh dan tewas dalam segebrakan saja!
Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya “digigit” oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah. Bukan main marahnya. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan kayunya dapat melukai punggung tangannya yang penuh terisi sin-kang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa kelaparan, menyerang dengan tubrukan maut, tasbehnya diputar dan dalam sekali terjang saja tasbehnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya.
In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit, akan tetapi biarpun gerakan tasbeh itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu benar-benar amat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga. Terdengar suara keras berkali-kali dan semua serangan tasbeh dapat dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan kayu!
Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw makin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan saja.
“Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main...” terdengar oleh Raja Sabutai bisikan gurunya dan dia terkejut.
Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya dapat memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko dan kini mereka berdua memuji.
“In, Hong, kau telah dipermainkah oleh kekasihmu itu! Hi-hik, jangan kau khawatir, muridku. Dia jauh lebih lihai daripada lawannya.” Yo Bi Kiok juga berbisik kepada muridnya.
Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biarpun gadis ini juga memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, namun dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat. Dia melihat betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar tasbeh yang hijau dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbeh yang mengelilinginya.
“Cruuusss... auuuuuttthhh...!”
Tiba-tiba kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran. Makin teganglah para penonton setelah mulai melihat darah. Mereka tidak tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tahu-tahu bisa robek dan berdarah seperti itu! Bahkan Hok Hosiang sendiripun tidak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbeh, bagaimana tahu-tahu dapat “menyelonong” dan merobek hidungnya?
“Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbeh sampai melukai hidung sendiri!”
Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sesungguhnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbehnya!
Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu dirobek ujung pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok.
Akan tetapi In Hong masih saja belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan.
“Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!” Hok Hosiang membentak.
“Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!”
Bun Houw menjawab sehingga kembali terdengar suara orang tertawa karena sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedagkan pemuda itu mengambil sikap seorang alim!
Hok Hosiang kini menyerang dengan penuh kemarahan, tasbeh hijaunya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya, tidak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu dan setiap kali tasbehnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun hal itu tidak diperlihatkannya.
Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini memekik keras, kayu di tangannya menyambut lalu membuat gerakan memutar dan tasbeh itu tak dapat dipertahankan lagi membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang!
Beberapa kali pendeta gendut ini mengerahkan tenaganya menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbehnya telah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.
“Mampus kau...!” bentaknya dan tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang sekuatnya itu menghantam ke arah dada Bun Houw.
Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia “mengisi” tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mujijat Thian-te Sin-ciang.
“Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!”
Dua tangan bertemu hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbeh itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biarpun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi.
Komentar