DEWI MAUT JILID 135

 
“Eihhh...?” 

In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang?

Sementara itu, dengan muka pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, kini tubuhnya merendah seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan hiasan kepala yang memakai alat runcing itu menuding ke arah lawan, matanya melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan uap putih.

“Sute, jangan...!” 

Pat-pi Lo-sian berseru namun terlambat sudah, karena Hok Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!

“Bun-ko, awas...!” 

In Hong menjerit karena dia maklum kini mengapa hiasan kepala itu mengandung baja runcing. Kiranya hwesio ini memiliki ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dan dia mendengar dari subonya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.

Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, diapun maklum bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak lalu menggunakan kayu di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya. 

Akan tetapi dia harus memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa murid Cin-ling-pai bukanlah seorang penakut yang jerih menghadapi serangan seperti itu, maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.

“Bun-ko...!” 

In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang memandang dengan hati tegang.

“Desss...!” 

Pertemuan antara kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu dan semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. 

Tubuh gendut hwesio itu seperti sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak.

“Uhhh!” 

Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan dan tubuh hwesio itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu! 

Ternyata bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw mengerahkan sin-kang mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam kepala pemiliknya sendiri, kemudian perut itu berobah lunak sehingga kepala hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!

Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan main. 

In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran mengapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini diapun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan. 

Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi memang tidak berapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri tidak akan berani memasuki bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lwee-kang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran!

Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sutenya itu, kemudian Phang Tui Lok bersama Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali dan berdiri dengan sikap tenang.

“Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam dan nama kami sebagai Bayangan Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu.” 

Phang Tui Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak berapa hebat ini ternyata lihai juga, dan kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sutenya inipun akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama agar dapat membantu sutenya, dan andaikata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekalipun, dia tidak takut karena dia dan sutenya lebih dapat bekerja sama daripada pemuda itu dan In Hong yang tidak mempunyai hubungan apa-apa. 

Dengan bekerja sama, dia dan sutenya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sutenya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sutenya sudah terlatih.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis tersenyum mengejek. 

“Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!” dia menantang.

Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. 
“Hong-moi, harap kau suka mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri.”

“Bun-ko!” In Hong membantah.

“Aku tidak takut, Hong-moi!”

“Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai...”

“Ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?” Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar. 

Bun Houw tidak memperdulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, 

“Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak diperkenankan untuk menyelesaikan urusan dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap kebijaksanaan paduka agar paduka melarang pencampur-tanganan dari fihak luar.”

Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, 
“Pernyataanmu itu benar dan tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba, nona.”

In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.

“Hong-moi, maafkan aku. Kau percayalah, aku dapat mengatasi musuh-musuhku,” kata Bun Houw perlahan.

“Kau... kau... pakailah pedang ini...”

Bun Houw menggeleng kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu. 
“Senjata ini sudah cukup ampuh.”

In Hong membanting kaki kanannya. 
“Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku akan membunuh mereka!” 

Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di tempatnya kembali, disambut oleh subonya dengan senyum.

“Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya,” bisik gurunya.

“Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!”

Sementara itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata, 

“Paduka menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri baginda.”

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, 

“Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Kalau kau keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu.”

Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. 
“Sri baginda, ketika Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut yang setelah melakukan perbuatannya itu, melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut, akan tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apapun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andaikata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!”

Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. 
“Engkau benar-benar seorang gagah dan pantas menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-sicu.” Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, “Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah.”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya dan terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua lengannya bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala dan kuncirnya yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. 

Dengan gerakan perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah sinar kemerahan berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya dia mencabut pedang itu.

Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga besar sekali, dan senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung kedua lengan bajunya. 

Kelihatannya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sesungguhnya kedua ujung lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara tidak terduga dan karenanya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.

Bun Houw bersikap tenang, namun dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang tangguh, terutama sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini. Dia sudah mendenngar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, maka dia bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur lebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerangpun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka.



SELANJUTNYA 

Komentar