DEWI MAUT JILID 133

 
“Suhu dan subo, pedang ini terlalu berharga, maka sebaiknya suhu dan subo yang menyimpannya agar aman,”

Raja Sabutai berkata sambil menyerahkan pedang itu yang diterima tanpa banyak cakap oleh Pek-hiat Mo-ko dan diselipkan di pinggangnya.

“Sekarang, pertandingan boleh dimulai!” Raja Sabutai berkata. “Orang muda she Bun, apakah kau sudah siap untuk menghadapi lawan?”

“Saya sudah siap!” Bun Houw bangkit berdiri dan melangkah ke tengah ruangan.

“Sayapun siap, sri baginda!” 

In Hong tak dapat mencegah dirinya, diapun sudah meloncat ke depan. Betapapun juga, gadis ini tidak akan membiarkan Bun Houw seorang diri menghadapi tiga Bayangan Dewa yang dia tahu amat lihai itu. Melawan satu orang saja di antara mereka, belum tentu pemuda ini menang, apalagi dikeroyok tiga!

Melihat sikap muridnya, Yo Bi Kiok hanya tersenyum dan berkata, 
“Hong-ji, bodoh kau! Suruh dia minta maaf dulu!” Akan tetapi In Hong tidak memperdulikan kata-kata gurunya itu.

Sementara itu, Raja Sabutai diam-diam juga girang melihat In Hong maju karena sebagai seorang gagah diapun merasa tidak senang kalau pemuda ini harus menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek, maka kini dia berkata kepada Phang Tui Lok, 

“Apakah sam-wi sudah siap dan hendak maju berbareng?”

Phang Tui Lok mengerutkan alisnya 
“Sebetulnya, urusan kami dengan pemuda she Bun sebagai wakil Cin-ling-pai tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Hong maka tidak semestinya kalau nona Hong mencampuri.”

“Manusia curang!” In Hong membentak. “Katakan saja kalian takut dan beraninya hanya ingin maju bertiga mengeroyok satu orang!”

“Siapa takut menghadapi pemuda Cin-ling-pai itu? Mundurlah, nona, dan pemuda itu hanya akan dihadapi oleh seorang di antara kami saja!” kata Phang Tui Lok yang memandang rendah kepada Bun Houw dan lebih jerih menghadapi In Hong.

“Hong-moi, mundurlah, biar aku melawan sendiri mereka,” kata Bun Houw.

“Ha, kami sudah mendengar!” Raja Sabutai berseru gembira. “Satu lawan satu, itu baru adil namanya! Nona Hong, harap mundur dan biarkan Bun-sicu menghadapi seorang di antara tiga Bayangan Dewa!”

Terpaksa In Hong mundur dan karena hatinya gelisah mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu, dia mundur ke dekat gurunya tanpa disadarinya.

“Jangan khawatir, kalau kekasihmu itu kalah, kita dapat menggunakan Siang-tok-swa,” bisik gurunya.
In Hong terkejut, mukanya menjadi merah mendengar gurunya menyebut Bun Houw sebagai kekasihnya. Dia mengerutkan alisnya dan cepat menjauhi gurunya, duduk di atas bangku sambil memandang ke depan, tidak memperdulikan Yo Bi Kiok yang tersenyum dingin.

Phang Tui Lok memberi tanda kepada sutenya yang nomor tiga, yaitu Hok Ho-siang. Hwesio ini sambil tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan melangkah lebar menuju ke tengah ruangan. Sambil berjalan dia memainkan senjatanya, yaitu tasbeh hijau sehingga terdengar suara berderik-derik nyaring sekali dan ketika dia memutar tasbehnya, terdengar suara mengaung dan nampak sinar hijau bergulung-gulung! 

Semua orang terkejut dan maklum bahwa hwesio ini memiliki tenaga sin-kang yang dahsyat dan senjatanya itu amat berbahaya. Ketika hwesio itu menggerak-gerakkan kepala, maka penghias kepalanya yang runcing itu berkilauan, dan diam-diam In Hong terkejut karena hiasan kepala yang runcing itu ternyata merupakan senjata yang hebat pula, terbuat dari baja pilihan! Maka khawatirlah dia melihat Bun Houw berdiri dengan kedua tangan kosong menghadapi lawan yang cukup kuat ini.

“Ha, satu lawan satu, itu baru adil namanya! Dan karena ada tiga orang kakek, harus pula dilawan oleh tiga orang dan akupun ingin mendapat bagian dan meramaikan pesta ini!”

Ucapan nyaring itu disusul berkelebatnya bayangan orang mendahului Bun Houw dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah meloncat ke depan hwesio itu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri. Sikapnya gagah bukan main.

“Eh, Yo-pangcu, kau mau apa?” Hok Hosiang membentak marah akan tetapi juga khawatir sekali.

“Yang diperebutkah adalah Siang-bhok-kiam, bukan? Nah, aku ikut memperebutkan dan kau lawanlah aku. Atau engkau tidak berani? Kalau begitu, bilang saja bahwa kau pengecut dan tidak berani!”

“Oho, wanita sombong! Siapa yang tidak berani?” jawab Hok Hosiang tersinggung.

“Kalau begitu, makanlah ini!” Cepat seperti kilat pedang pendek di tangan Yo Bi Kiok bergerak menyerang.

“Tranggg...!” 

Tasbeh di tangan hwesio itu menangkis, akibatnya, hwesio gendut itu terhuyung dan pada saat itu sinar kilat Lui-kong-kiam menyusul cepat, membuat hwesio itu terkejut setengah mati.

“Tranggg... cringggg...!” 

Kalau tidak dibantu oleh Phang Tui Lok yang membantu temannya menangkis Lui-kong-kiam, agaknya hwesio itu akan celaka.

“Tahan!” Phang Tui Lok membentak marah, lalu menoleh kepada raja. “Kami memprotes campur tangan Yo-pangcu. Sri baginda maklum bahwa pertikaian tentang pedang Siang-bhok-kiam adalah urusan Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai. “Kalau Yo-pangcu menghendaki pedang, semestinya dia baru maju menghadapi pemenang dalam pertandingan ini. Kecuali kalau Yo-pangcu menjadi wakil Cin-ling-pai!”

Raja Sabutai mengangguk-angguk membenarkan. 
“Harap Yo-toanio suka mundur dan jangan mengacaukan pertandingan.”

Bun Houw juga melangkah maju. 
“Harap Yo-toanio tidak mencampuri urusan kami!”

Yo Bi Kiok tersenyum dan menyimpan pedangnya. 
“Baiklah, aku akan maju paling akhir, memang hwesio ini bukan tandinganku!”

Kini Bun Houw menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan kosong dan berkata dengan sikap tenang, 

“Hok Hosiang, aku telah siap. Majulah!”

Hok Hosiang inipun memandang rendah kepada Bun Houw yang biarpun kabarnya pandai akan tetapi kedudukannya hanya sebagai pengawal Liok Sun si pemilik rumah judi! Maka sambil memutar-mutar tasbehnya dia berkata, 

“Orang muda, jangan mati konyol, hayo keluarkan senjatamu!”

“Penjahat tua menyamar sebagai hwesio, tak perlu banyak cakap, aku tidak perlu memegang senjata untuk menghadapimu.”

“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!” Hok Hosiang membentak.

“Tahan dulu...!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong telah tiba di tengah ruangan itu. “Sri baginda, tidak adil kalau pertandingan dilakukan dengan yang seorang memegang senjata sedangkan yang lain tidak!”

Raja Sabutai mengangguk. 
“Pertandingan sekali ini adalah pertandingan untuk menyelesalkan urusan dendam pribadi, maka fihak yang kalah dan tewas tidak boleh merasa penasaran. Bun-sicu, engkau boleh menggunakan senjata pula.”

“Saya... saya tidak mempunyai senjata, sri baginda.”

“Bun-ko, ini pedangmu, pakailah!” In Hong mencabut Hong-cu-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Bun Houw.

Bun Houw cepat mundur dan memandang pedang itu dengan alis berkerut. 
“Aku tidak akan menggunakan senjata pedang itu, Hong-moi. Kau simpanlah...!”

In Hong menghela napas dan menyimpan pedangnya. Dia mengerti bahwa pemuda ini masih belum hilang rasa marahnya, mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh kejam, maka tidak mau menggunakan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir sekali kalau pemuda ini menghadapi Hok Hosiang yang demikian lihai tanpa senjata.

“Sri baginda, karena Bun-twako tidak mempunyai senjata, maka harus diberi kesempatan untuk meminjam senjata dari benteng ini.”

Raja Sabutai mengangguk-angguk, teringat akan pesan isterinya, Ratu Khamila yang pernah membisikkan bahwa pemuda dan gadis itu saling mencinta. Dia lalu memerintahkan pengawal mengambil delapan belas macam senjata yang diangkut ke tempat itu.

“Bun-sicu, silahkan memilih senjata mana yang kau suka dan boleh kau pergunakan dalam pertandingan ini,” kata raja.

Hok Hosiang tersenyum mengejek, berjalan berkeliling dan menggerak-gerakkan tasbehnya sehingga sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata dan suaranya mengaung mengerikan. Dia yakin bahwa semua senjata itu sekali bertemu dengan tasbehnya pasti akan patah-patah. 

Untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kehebatan senjatanya, juga untuk membikin kecil nyali calon lawannya, hwesio ini menggunakan kakinya mencokel sebatang tombak panjang ke atas kemudian menggerakkan tasbehnya yang diputar cepat.

“Krek-krek-krekk!” 

Tombak itu patah-patah menjadi beberapa potong. Demonstrasi ini disambut suara berisik karena orang-orang terkejut sekali melihat betapa senjata tasbeh itu demikian ampuhnya! Padahal tombak itu terbuat dari baja pilihan dan merupakan senjata para pengawal raja!

Melihat ini, Bun Houw merasa sebal. 
“Hong-moi, tolong kau uji dengan pedangmu itu. Senjata mana yang kuat menghadapi babatan pedangmu, akan kupakai.”

In Hong girang. Karena memang diapun tahu bahwa tidak ada senjata di situ yang akan mampu melawan tasbeh Hok Hosiang kecuali Hong-cu-kiam, maka dia sengaja mengangkat setiap pedang, golok atau tombak diadukan dengan Hong-cu-kiam dan semua senjata itu satu demi satu terbacok patah! 

Melihat ini, Raja Sabutai diam-diam kagum. Orang-orang dari selatan ini memang hebat, pikirnya, hebat ilmu kepandaiannya, juga hebat senjata pusakanya.

“Bun-ko, tidak ada senjata yang cukup baik, kau pakailah pedang ini!” 

Akhirnya In Hong menyerahkan pedang Hong-cu-kiam yang tipis dan amat tajam itu. Akan tetapi kembali Bun Houw menggeleng kepala menolak, bahkan pemuda ini lalu mengambil gagang tombak yang terbuat daripada kayu dan menyodorkannya ke arah In Hong.

“Hong-moi, tolong kau potong runcing kayu ini, sepanjang ukuran pedang.”

In Hong mengerutkan alisnya, tidak tahu apa yang dimaksudkan sebenarnya oleh pemuda itu, akan tetapi Hong-cu-kiam berkelebat, sinar emas menyambar dan gagang tombak dari kayu itu terbabat putus dan ujungnya meruncing.

Bun Houw mengobat-abitkan potongan kayu itu seperti sebatang pedang, lalu berkata kepada calon lawannya yang sejak tadi memandang dengan sikap marah karena pemuda itu seolah-olah memandang ringan sekali kepadanya, 

“Hok Hosiang, inilah senjataku!”

“He, orang muda she Bun!” Tiba-tiba Raja Sabutai berseru. “Begitu sombongkah engkau sehingga engkau hendak menghadapi lawan yang memiliki senjata pusaka hanya dengan sebatang gagang tombak pendek dari kayu?” 

Raja ini adalah seorang ahli silat yang lihai pula. Dia mengenal senjata tasbeh yang lihai itu dan tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah berani mempergunakan sebuah senjata aneh seperti tasbeh tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka, melihat pemuda itu hanya menggunakan sebatang pedang-pedangan dari kayu seperti yang biasa dipakai anak-anak yang bermain perang-perangan, tentu saja dia merasa khawatir, penasaran dan juga marah atas sikap Bun Houw yang dianggapnya sombong dan tolol.



SELANJUTNYA 

Komentar