DEWI MAUT JILID 128
Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju ke kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai.
Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong.
“Paduka telah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?”
Khamila menarik napas panjang.
“Enci Hong, engkau benar. Aku telah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi...ah, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku harus berpisah darinya...yang ada hanya ini...”
Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapapun juga, maka tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat.
“Hanya ini yang diserahkan padaku...” katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.
“Untuk siapa?” tanyanya.
“Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai.”
Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Aih, sering kalau aku memandangmu, timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong.”
“Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara.”
“Justeru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke manapun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ah, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang amat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang akan mendatangkan duka saja.”
Ucapan itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang sejak dahulu bebas tidak lagi dapat memakan kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri? Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw.
Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu? Tak disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh.
Sekarang dia tidak lagi marah kepada pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak menuduhnya membunuh orang secara sembarangan saja, bukan fitnah kosong, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subonya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia. Akan tetapi, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri dengan pasukannya tak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu dan melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya kalau mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!
Oleh karena keinginan yang timbul di dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya,
“Hong-moi...!”
In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu amat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.
“Hong-moi...!”
In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak merah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.
“Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?”
Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapt ketika dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata,
“Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?”
Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian, lalu dia mengangguk.
“Enci Hong, siapakah dia ini?”
“Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya,” jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, “Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?”
“Aku... aku telah mendengar akan perbuatanmu yang amat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!”
In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.
“Hemm, kalau sudah begitu mengapa?” tanyanya, dingin dan angkuh.
Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata,
“Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apalagi aku mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!”
“Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?” Tiba-tiba Khamila bertanya.
Bun Houw mengangguk membenarkan.
“Bagaimana kesehatan beliau?” tanya pula ratu itu sehingga Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan suaminya!
Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya tidak menceritakan secara lengkap, apalagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar.
“Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja.”
“Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?” kini In Hong bertanya.
“Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apabila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang mengutus aku karena beliau tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal.”
“Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?”
Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan.
“Akan tetapi...sebagai penyelamat kaisar...engkau harus dibantu...”
“Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?”
“Hemmm...tentang itu...eh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tidak lagi mau membicarakan hal itu. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe.”
In Hong menjadi marah.
“Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku seorang pembunuh. Nih, kau terima kembali pedangmu, bisa kotor terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!”
Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisah.
“Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!”
“Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!”
“Tidak, akupun tidak mau menerimanya kembali.”
Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
“Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?”
Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya.
“Mari kita pergi saja!”
Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw yang masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa?
Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara berisik dan tahu-tahu tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,
“Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng.”
Puteri Khamila mengerutkan alisnya.
“Akupun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini.” Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka. “Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, mari ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai dan semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan.”
Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah siap untuk melawan, akan tetapi In Hong diam-diam khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apalagi di situ masih ada ratusan orang perajurit yang sudah mengepung mereka berdua.
Maka diapun mengangguk, dan Bun Houw juga tidak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biarpun disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang perajurit yang seolah-olah “mengawal” mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.
Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu menjadi berseri seketika setelah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia cepat bangkit berdiri, memegang tangan isterinya dan menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,
“Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin.”
Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik,
“...hamba... kaisar...”
Raja Sabutai tersenyum dan menyentuh tangan isterinya.
“Aku memang bermaksud membebaskannya...” Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.
Komentar