DEWI MAUT JILID 129
Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subonya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subonya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua Cin-ling-pai!
Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Adapun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang dapat dia andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat orang undangan pembantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.
Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya tentang sang ratu yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong dan pemuda yang kini ikut pula dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong maupun Bun Houw tidak tahu artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan kelihatan lega, hati merekapun tidak khawatir.
Setelah mendengarkan pelaporan komandang pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong, memandang kagum kemudian dia berkata,
“Nona Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke manapun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau mempergunakan akal untuk meloloskan kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, sudah sejak lama dia kami bunuh!”
In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah,
“Saya telah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar keluar dari tempat tahanan. Setelah saya mengaku, maka terserah atas kebijaksanaan paduka!”
Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.
Mendengar ini, tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, mengira bahwa In Hong hendak menyerahkan diri menerima segala hukuman, maka cepat dia berkata,
“Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka tidak semestinya kesalahan ditimpakan kepada nona Hong.”
Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik. Sementara itu, Khamila berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona Hong itu jangan diganggu.
“Mereka saling mencinta...” bisik ratu itu akhimya.
Sabutai tersenyum dan mengertilah dia kini mengapa pemuda itu mati-matian mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran-heran bagaimana Bun Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila. Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong dan telah mendengar penuturan ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri dibantu oleh Ratu Khamila itu.
“Orang muda, siapakah engkau?”
Raja Sabutai bertanya, diam-diam dia menaksir apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong.
“Nama saya... Bun Houw.”
Bun Houw masih menyembunyikan she-nya, karena dia teringat betapa In Hong sendiripun mengira dia she Bun. Pula, di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang terpenting, kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk mencari tiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ.
Sejak tadipun dia sudah memandang-mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang-orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai.
Tiba-tiba Wang Cin berkata,
“Sri baginda, harap sri baginda berhati-hati. Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata-mata dari kerajaan, dan pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata-mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang-terangan telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!”
“Apa yang dikatakan oleh Wang-taijin benar sekali” Tiba-tiba Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. “Sudah sejak dahulu hamba semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata-mata musuh dan tentu sekali waktu akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah seorang jahat yang masih mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang saudara hamba.”
Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang raja ini, di samping ambisinya untuk menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, juga merupakan orang yang keranjingan ilmu silat, amat suka menyaksikan pertandingan silat. Maka melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu bertanya kepada pemuda yang baru datang itu.
“Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?”
“Maaf sri baginda. Mereka itu adalah orang-orang jahat yang tadinya berlima, menamakan diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang telah menyerbu Cin-ling-pai, di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak murid Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai. Selain itu juga bersekutu dengan orang-orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan pengkhianat ini!” Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin.
“maka sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudara mereka termuda yang bernama Toat-beng-kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa.”
“Bohong kau!” Pat-pi Lo-sian membentak marah.
“Dan aku yang membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda.” In Hong kint juga bersikap berani.
“Sri baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua berani menghina saya dan menentang sri baginda!” Wang Cin menuding dengan marah.
In Hong melirik kepada subonya yang hanya memandang ke kanan kiri dengan wajah dingin. Diam-diam gadis ini merasa ngeri. Subonya adalah seorang yang aneh luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subonya berfihak kepada Wang Cin celakalah, pikirnya.
Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap-siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andaikata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini? Dia tidak dapat menjawab saat itu.
Betapapun juga, kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat yang menentukan sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum-senyum misterius.
In Hong menaksir keadaan. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apalagi ditambah tiga Bayangan Dewa, para perwira dan banyak perajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau demikian masih mending, sungguhpun agaknya, dengan kekuatan mereka bertiga sekalipun amatlah sukar lolos dari benteng yang kuat ini.
Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa antara In Hong dan Bun Houw terdapat hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu, tentu berarti dara perkasa yang dikaguminya itu akan membela mati-matian.
Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah-olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin dan kawan-kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu. Pada saat dia meragu, tiba-tiba Khamila menyentuhnya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul surat.
“Harap paduka baca ini dulu...” bisik Khamila.
Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai isyarat agar semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf halus dan indah itu.
Raja Sabutai yang saya hormati,
Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan keluarga anda.
Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka apabila anda suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apabila anda melanjutkan penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.
Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda.
Tertanda,
Kaisar Ceng Tung
Sabutai menyimpan surat itu dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya. Kemudian dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang.
“Kami memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu-tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap Wang-taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya. Hendak kulihat apakah benar-benar kaisar muda itu berkepandaian begitu hebat untuk merampas kembali kedudukannya dan menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha-ha-ha!”
Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam. Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantar Bun Houw ke dalam sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi.
Demikianpun In Hong dan Yo Bi Kiok maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek dan nenek guru Sabutai. Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur, akan tetapi In Hongpun diam saja karena makin lama makin terbukalah matanya betapa subonya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subonya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya.
Komentar