DEWI MAUT JILID 112
Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja memperlihatkan sikap bermusuh dan memamerkan kekuatan, dan diapun tidak mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu.
Di lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap dingin, akan tetapi dia mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.
“Wang-taijin, perkenalkan kedua beliau ini adalah guru-guru saya. Pek-hiat Moko (Iblis Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Suhu dan subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya ceritakan kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru).”
Wang Cin sebagai seorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia persilatan, maka tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja dia memandang rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang terlantar atau jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua.
Akan tetapi para pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan terutama sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah mendengar nama mereka sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu cepat menjura dan berkata,
“Sudah lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh menyenangkan sekali hari ini dapat bertemu.”
Nenek itu tidak memperdulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata agak menjuling ke arah Hek I Sian-kouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu melirik ke arah Bouw Thoisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas membayangkan lidah asing.
“Bouw Thaisu meninggalkan tempat yang sunyi di pantai Po-hai dan muncul dalam keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!”
Tiba-tiba terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek,
“Dewi dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya, semua muncul di sini. Betapa ramainya!”
Jelas bahwa nenek itu menujukan kata-katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sinkouw.
Tentu saja Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biarpun tak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal mereka! Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa agak mendongkol karena kakek dan nenek itu seolah-olah tidak perduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal biasa saja, kelas rendahan!
Akan tetapi tentu saja merekapun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati mereka, apalagi ketika itu, Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin,
“Keperluan apakah yang membawa Wang-taijin datang kepada saya? Agaknya ada hal yang amat penting untuk dibicarakan.”
Wang Cin menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Biarpun hatinya panas karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang entah dibuang kemana jenazahnya, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum ketika dia menjawab,
“Saya telah mendengar berita bahwa telah terjadi sesuatu antara paduka dengan Azisha. Karena dia adalah selir kaisar dan dia masih segolongan dengan kita, maka saya menjadi terkejut dan datang menghadap untuk minta penjelasan mengenai peristiwa itu.”
>
Sabutai tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, “Tidak salah apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi.”
Dengan pandang mata keras, tak kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin bertanya,
“Kenapa?”
“Perempuan tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak senonoh. Dalam kemarahan saya melihat ketidak sopanannya dan usahanya untuk merayu, saya memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur.”
Wang Cin menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas,
“Saya tidak mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu.”
Pembesar thaikam ini tidak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin.
“Akan tetapi yang terpenting, kenapa membunuh dia yang dapat menjadi pembantu kita yang amat baik? Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang telah menjadi tawanan, atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan menyerahkan kedudukannya kepada kita?”
Sabutai menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali.
“Wang-taijin! Harap taijin ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang berkuasa. Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja hendak merayu saya, maka saya bunuh dia. Adapun kaisar yang muda itu, saya kagum sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya terus saja membunuh perempuan itu tanpa bertanya siapa yang mendalangi perbuatannya, hal itu karena saya tidak mau memperpanjang urusan.”
Merah juga wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Alisnya berkerut dan diapun mencela,
“Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata saya.”
Sabutai makin marah dan dia sudah bangkit berdiri.
“Wang-taijin yang mengajak bersekutu, bukan saya. Biar kita bekerja sama, akan tetapi sayalah yang menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!”
Melihat suasana menjadi panas ini, Bouw Thaisu cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara halus.
“Harap ji-wi suka bersabar dan bicara dengan kepala dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri kalau menurutkan hati panas. Segala sesuatu dapat dirundingkan secara baik-baik.”
“Heh-heh-heh, omongan Bouw Thaisu sungguh seperti omongan pelawak di atas panggung!” Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. “Kalau mengaku sahabat, mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah hendak berangkat perang?”
“Sungguh sombong!” Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan kasar, membentak marah. “Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi, sekutu yang banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi telah diperlakukan tidak sepatutnya. Sudah tentu saja ke manapun beliau pergi, kami para pengawalnya menjaga keselamatannya, karena siapa tahu di mana-mana terdapat musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat kami mengawal beliau, boleh coba mengusir kami!”
Setelah berkata demikian, Gu Lo it yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung besar dan berjubah hitam dan bertopi itu, sekali meloncat telah berdiri di tengah ruangan, matanya melotot ditujukan kepada nenek bermuka hitam berpakaian serba putih itu dengan sikap menantang.
“Heh-he-he-he, gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?” Nenek itu tertawa, bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It.
“Namaku tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo It.”
“Heh-he-he, engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!”
Nenek itu terkekeh dan kata-kata itu merupakan ejekan yang amat menghina karena nama keturunan Gu Lo It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walaupun bukan itu maksudnya dan hanya bunyi suaranya saja yang sama. Dia dimaki kerbau karena memang She-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena memang hidungnya agak terlalu besar untuk ukuran umum.
Maka tentu saja Si Iblis Bumi ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani menghinanya seperti itu.
“Nenek sombong, engkau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kau coba sambutlah ini!”
Tiba-tiba saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek muka hitam itu dengan gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga besar sekali, menghantam dari kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan dengan tenaga penuh sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri, bersuit suaranya.
Baik Wang Cin maupun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai tidak berani menahan subonya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan gigi maka diapun membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak tuan rumah yang amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.
“Heh-heh-heh, si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!” nenek itu tertawa, kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang terbungkus lengan baju putih itu berobah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu nenek itu telah menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini terbelalak.
Hanya Bouw Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa secara cepat dan aneh, Gu Lo It telah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak mampu berbuat apa-apa ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap.
“Heiii... Mo-ko, kau suka daging kerbau? Nah, terimalah persembahanku ini, heh-heh!” Dan tiba-tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah kakek muka putih.
“Siapa sudi kerbau alot begini?”
Kakek itu sekali bergerak sudah meloncat ke depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu-tahu dia telah menangkap batang leher dan punggung baju Gu Lo It dan sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah terlempar lagi ke arah Hek-hiat Mo-li!
“Ihh, kerbau busuk, aku jijik!”
Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali dan pada saat itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah mulai meronta dan bergerak hendak melawan, namun ujung sepatu nenek itu kembali membuatnya setengah lumpuh dan dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek-hiat Mo-ko.
Terkejut bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya!
“Harap ji-wi maafkan dia!”
Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan Pek-hiat Mo-ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu!
“Plakk!”
Bouw Thaisu terhuyung dengan kaget sekali, akan tetapi dia telah berhasil menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu, sedangkan Gu Lo It dengan muka sebentar pucat sebentar merah telah berdiri di pinggir, tadi disambar oleh suhengnya, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, yang kini memegang lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut.
“Bagus! Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh pantai Po-hai!” Pek-hiat Mo-ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang menangkisnya tadi. “Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!”
Akan tetapi, melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali dan keadaannya tidak menguntungkan fihaknya, Wang Cin sudah bangkit berdiri.
“Cukup semua ini! Harap Bouw Thaisu dan yang lain-lain suka duduk kembali!” Kemudian dia memandang Sabutai dan berkata, “Apakah bantuan kami diterima dengan cara begini oleh bengcu! Apakah semua pengorbanan kami sia-sia belaka?”
Sabutai memberi isyarat kepada suhu dan subonya untuk duduk kembali, kemudian dia berkata,
“Harap maafkan, Wang-taijin. Sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, tentu saja suhu dan suboku akan melayani setiap lawan yang hendak main-main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami berterima kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana, perlukah taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?”
Wang Cin maklum bahwa fihaknya terdesak. Dia berada di guha harimau, maka dia tidak boleh main-main. Andaikata dia boleh mengandalkan ketangguhan tiga belas orang pengawalnya dan ratusan orang sisa pasukan, akan tetapi apa dayanya berada di antara puluhan ribu anak buah Sabutai?
Maka dia mengangguk dan mereka melanjutkan pertemuan yang tadinya menegangkan itu dengan makan minum, dan nama Azisha sama sekali tidak pernah disinggung lagi dalam percakapan. Bahkan Sabutai dan Wang Cin membicarakan tentang beberapa kali terjadinya usaha penyerbuan pasukan Beng-tiauw dibantu oleh beberapa kelompok suku bangsa perantau di utara, untuk membebaskan kaisar.
Namun karena jumlah para penyerbu itu kecil sekali dibandingkan dengan kekuatan barisan anak buah Sabutai, semua usaha penyerbuan itu dapat dihancurkan dan para penyerbu dipaksa untuk mundur.
“Para penyelidik kami melaporkan bahwa di kerajaan terjadi pergolakan, akan tetapi sayang, para sekutu taijin agaknya membelakangi taijin dan saya mendengar bahwa mereka semua telah mengangkat seorang kaisar baru, yaitu Cing Ti.”
Muka Wang Cin menjadi merah mendengar kata-kata ini.
“Kalau begitu, mengapa kita tidak segera menyerbu ke selatan? Bengcu harap percava kepadaku bahwa di sana masih banyak sekutu yang akan membantu kita dari dalam. Kaisar Cing Ti sama saja dengan Kaisar Ceng Tung, diapun membenci bangsa kita. Sebelum kita berhasil merampas tahta kerajaan, bangsa kita akan selalu dianggap sebagai musuh dan tidak mungkin Kerajaan Goan-tiauw yang jaya dapat bangkit kembali.”
Sabutai tersenyum.
“Mungkin taijin mahir dalam urusan pemerintahan, akan tetapi mengenai urusan perang, serahkan saja kepada saya. Kalau sudah tiba saatnya, tentu saya akan menyerbu ke selatan.”
Biarpun hatinya penasaran, namun Wang Cin tidak berani mendesak lagi dan terpaksa dia dan para pengawalnya harus bersabar menjadi tamu-tamu yang keadaannya tidak lebih daripada tawanan-tawanan yang selalu diawasi sungguhpun diperlakukan dengan hormat.
Apa yang dikatakan oleh Sabutai tentang pergolakan di kota raja itu memang benar. Setelah diterima berita bahwa Kaisar Ceng Tung disergap dan ditawan oleh pasukan pemberontak Sabutai, kota raja menjadi geger, apalagi ketika mendengar bahwa delapan orang jenderal tewas dalam melindungi kaisar. Akan tetapi anehnya, keributan tentang berita ditawannya kaisar segera tenggelam, kalah oleh keributan tentang siapa yang harus menjabat kedudukan kaisar yang sementara kosong itu!
Memang sudah menjadi watak manusia yang haus akan kesenangan, haus akan kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Untuk mencapai kesenangan-kesenangan yang dirindukan itu, manusia tidak segan-segan berobah menjadi mahluk sebuas-buasnya, kalau perlu menyingkirkan, merobohkan dan membunuh manusia-manusia lain yang menghalang di tengah jalan, yang dianggapnya sebagai perintang tercapainya apa yang dikejar-kejar, yaitu kesenangan, kekuasaan, dan kemuliaan.
Usaha untuk mencoba menolong dan membebaskan Kaisar Ceng Tung hanya dilakukan sembarangan saja, seolah-olah hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di kota raja, yaitu perebutan kekuasaan yang akhirnya jatuh ke tangan Cing Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar pengganti Ceng Tung yang dianggap sudah tewas!
Komentar