DEWI MAUT JILID 113
Untuk ke sekian kalinya, pasukan kecil itu dipukul mundur oleh barisan penjaga di benteng Sabutai karena jumlah mereka jauh lebih kecil. Kakek gagah perkasa yang memimpin penyerangan itu mengamuk seperti seekor naga, akan tetapi betapapun gagahnya dia, tidak mungkin dia dapat membobol penjagaan puluhan ribu orang pasukan Sabutai dan anak buahnya, yaitu pasukan yang terdiri dari orang-orang Nomad, pedagang dan penggembala kuda, telah terpukul mundur. Mereka terpaksa melarikan diri memasuki hutan-hutan dan kakek itu berdiri termenung dengan wajah penasaran.
Beberapa orang pimpinan orang Nomad menghadapnya dan di antara mereka ada yang luka-luka. Orang yang tertua di antara mereka berkata,
“Saya kira tidak ada gunanya lagi, taihiap. Kedudukan Sabutai terlalu kuat, orang-orangnya terlalu banyak. Tanpa adanya bantuan pasuka Kerajaan Beng, mana mungkin kita dapa menyelamatkan kaisar? Setiap penyerbuan hanya merupakan bunuh diri dan kita sudah kehilangan ratusan orang anak buah.”
Cia Keng Hong, kakek pendekar yang gagah perkasa itu, menarik napas panjang, alisnya berkerut dan dia mengepal tinju.
“Sungguh gila! Kenapa dari selatan tidak datang bala bantuan sedangkan sisa pasukan mereka telah lama kembali ke selatan minta bala bantuan? Apakah mereka sudah tidak memperdulikan lagi kaisar mereka yang tertawan musuh?”
Seperti kita ketahui, Cia Keng Hong telah membantu Suku Nomad yang terdiri dari Bangsa Mongol dan Khitan, yang dipimpin oleh Yalu, ketika rombongan ini sedang menggiring kuda mereka dan diganggu perampok yang ternyata adalah anak buah Sabutai juga.
Kemudian, Cia Keng Hong memimpin mereka dan teman-teman mereka yang berhasil dikumpulkan untuk mencoba menolong rombongan kaisar ketika rombongan kaisar terjebak di Lembah Nan-kouw, di lorong yang sempit. Akan tetapi, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak, pasukan orang Nomad ini terpukul mundur dan Cia Keng Hong tidak berhasil menyelamatkan kaisar sehingga kaisar menjadi tawanan Sabutai.
Dengan hati penuh duka dan juga kagum Cia Keng Hong menyempurnakan jenazah delapan orang jenderal yang gugur secara gagah perkasa itu, kemudian pendekar ini menyusun kekuatan, bergabung dengan pasukan pemerintah yang menjaga di tapal batas dan berusaha untuk menyerang benteng Sabutai dan menolong kaisar yang ditawan.
Akan tetapi, usaha yang berkali-kali dilakukan itu gagal terus, dan dengan sia-sia dia menanti bala bantuan dari selatan yang tak kunjung datang. Malam hari itu, kembali mereka telah gagal dan para pemimpin Suku Nomad mulai merasa putus asa dan mulai merasa berat untuk mengorbankan orang-orang mereka lebih banyak lagi demi kepentingan Kaisar Beng, sedangkan bala bantuan dari Kerajaan Beng tidak kunjung datang.
Setelah melihat sikap pasukan orang-orang Nomad yang membantunya menentang Sabutai, dan mendengar pendapat-pendapat, para pemimpin mereka yang mulai merasa putus asa karena banyaknya korban di kalangan mereka dan gagalnya penyerbuan mereka terhadap benteng Sabutai yang amat kuat itu, Cia Keng Hong lalu berkata kepada mereka, ditujukan kepada Yalu, pemimpin suku pedagang kuda yang pernah dibantunya ketika suku ini diserbu oleh pencuri-pencuri kuda.
“Aku dapat mengerti akan keadaan kita, dan aku ikut prihatin melihat jatuhnya banyak korban. Akan tetapi, kita telah melangkah jauh, menentang kemaksiatan dan pemberontakan, sudah banyak pula korban yang jatuh bagaimana kita dapat mundur begitu saja? Harap kalian tenang dan menanti di sini, aku besok akan berangkat ke selatan untuk mencari bala bantuan. Percayalah, aku dahulu sudah banyak membantu kerajaan, bahkan pernah bekerja sama dengan mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu aku akan berhasil mendatangkan barisan besar untuk menggempur benteng Sabutai dan menyelamatkan sri baginda kaisar.”
Yalu dan teman-temannya tentu saja merasa setuju dan girang. Mereka hanya merasa jerih kalau harus menyerang benteng yang kuat itu lagi, akan tetapi kalau hanya menanti, kemudian memperoleh kesempatan membalas kematian teman-teman dan anak-anak buah mereka, tentu saja mereka merasa girang. Maka berundinglah para pimpinan itu dengan Cia Keng Hong yang sudah mengambil keputusan untuk berangkat sendiri ke selatan.
Selagi mereka melakukan perundingan dengan serius, tiba-tiba terdengar suara gaduh, disusul suara suitan-suitan yang menjadi tanda bahwa tempat itu kedatangan musuh! Tentu saja para pemimpin Suku Bangsa Nomad itu terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Cia Keng Hong berkata,
“Harap jangan gugup. Kalian perintahkan anak buah masing-masing untuk mundur dan berpencar. Aku akan lebih dulu pergi memeriksa apa yang terjadi!”
Baru saja habis kata-kata ini, orangnya sudah lenyap dari situ karena pendekar sakti itu telah mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk melesat keluar perkemahan dengan cepat sekali!
Seperti juga dengan lain pemimpin yang cepat berlarian keluar, Cia Keng Hong merasa lega ketika mendengar bahwa ribut-ribut itu bukan disebabkan oleh serbuan musuh, melainkan hanya dua orang mata-mata musuh yang telah dikepung!
“Mereka itu lihai bukan main sampai kami kewalahan dan banyak sudah kawan-kawan yang roboh oleh mereka.”
Mendengar laporan ini, Cia Keng Hong menjadi marah dan penasaran, dia lalu mempercepat larinya menuju ke tempat dimana anak buah Suku Bangsa Nomad itu sedang berteriak-teriak mengepung dua orang. Ketika tiba dekat, Cia Keng Hong terkejut bukan main.
Dia tidak mengenal kakek dan nenek yang sedang duduk di atas tanah, saling beradu punggung dan kini mereka berdua menggerak-gerakkan tongkat butut mereka di atas tangan sambil bernyanyi-nyanyi itu.
Nyanyian itu diucapkan dalam bahasa asing, dan biarpun dia tidak menguasai bahasa itu, Cia Keng Hong yang berpengalaman luas mengenal Bahasa Sailan. Dua orang kakek dan nenek berkebangsaan Sailan muncul di tempat itu, sungguh mengherankan.
Akan tetapi yang mengejutkan hati pendekar sakti ini bukan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang asing dari barat itu, melainkan menyaksikan kelihaian mereka yang luar biasa. Mereka itu kelihatannya hanya memukul-mukulkan tongkat butut ke atas tanah di depan mereka, sama sekali tidak memperdulikan pengeroyokan puluhan orang yang menyerang mereka kalang-kabut dengan senjata mereka.
Akan tetapi kenyataannya, tidak ada sebuahpun senjata para pengeroyok yang mengena tubuh mereka karena selalu tertangkis oleh tongkat butut dan bayangan tongkat sedangkan setiap kali tongkat mereka memukul tanah, pasir dan tanah muncrat meluncur ke depan, mengenai para pengeroyok dan hebatnya, pasir dan tanah ini sudah sanggup merobohkan banyak sekali orang-orang yang mengeroyok itu!
Sekali pandang saja tahulah Cia Keng Hong bahwa dua orang tua itu adalah orang-orang yang amat lihai, gerakan tongkat mereka mengeluarkan angin menderu sehingga semua senjata lawan terhalau, dan tanah dan pasir yang beterbangan merobohkan para pengeroyok itu adalah akibat pencokelan dengan ujung tongkat dan tentu saja ada tenaga sin-kang yang amat kuat tersalur di tangan mereka untuk dapat melakukan serangan balasan itu.
Apalagi kalau dia memandang ke arah wajah mereka yang tertimpa sinar layung matahari senja itu, dia makin kaget karena wajah putih kapur dari kakek itu, dan wajah hitam hangus dari nenek itu, adalah akibat dari hawa beracun yang agaknya dilatih oleh dua orang tua itu, seperti yang kadang-kadang dapat ditemukan di antara tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi.
“Harap kalian semua mundur!”
Cia Keng Hong berseru dan mendengar seruan pendekar tua yang mereka kagumi itu, semua pengeroyok mundur sambil menyeret belasan orang yang telah menjadi korban sambaran tanah dan pasir. Ternyata tanah dan pasir itu menyambar muka dan tubuh mereka demikian kerasnya sehingga menembus kulit daging, seperti peluru-peluru kecil dari baja saja!
Mereka semua memandang kepada Cia Keng Hong penuh harapan, karena merekapun maklum bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang luar biasa yang tidak mungkin dapat dilawan oleh tenaga biasa, dan agaknya hanya Pendekar Sakti Cia Keng Hong saja yang akan dapat menghadapi mereka.
Maka semua orang segera mundur dan duduk menonton, membuat lingkaran lebar. Juga Yalu dan teman-temannya yang sudah tiba di situ memberi isyarat agar orang-orang mereka diam saja jangan mengganggu Cia Keng Hong, akan tetapi juga harus siap menghadapi segala kemungkinan.
Cia Keng Hong melangkah maju, dan kebetulan saja dia kini berhadapan dengan kakek bermuka putih yang masih duduk bersila, sedangkan nenek itupun masih duduk di belakangnya, beradu punggung dan bersila pula. Kakek itu mengangkat muka memandang dan sejenak mereka beradu pandang dengan penuh selidik. Karena Cia Keng Hong tidak mengenal mereka, juga tidak tahu apakah maksud kedatangan mereka, maka dia tidak berani bersikap kasar.
“Ji-wi locianpwe, harap ji-wi suka memaafkan kalau para teman kami bersikap kasar terhadap ji-wi, karena tidak mengenal ji-wi locianpwe. Kalau boleh kami bertanya, siapakah ji-wi locianpwe yang terhormat dan apakah maksud kedatangan ji-wi?”
Mendengar suara yang mengandung wibawa dan tenaga khi-kang kuat itu, si kakek bermuka putih memandang tajam, bahkan nenek muka hitam itupun menoleh dan kini sekali bergerak, tubuhnya yang tadi bersila membelakangi kakek itu, tahu-tahu telah pindah ke sebelah si kakek dan ikut memandang tajam.
Kakek itu lalu terkekeh dan tongkatnya bergerak memukul tanah. Kini bukan pasir dan tanah halus yang berhamburan, melainkan segumpal tanah keras terbang ke arah muka Cia Keng Hong!
Pendekar ini mengerutkan alis, menggerakkan tangannya dan sekali sampok saja gumpalan tanah itu meluncur ke depan si kakek dan amblas masuk ke dalam tanah saking kerasnya pendekar ini menyampok. Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut dan memandang makin tajam penuh selidik.
“Engkau siapa?” Kakek itu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Cia Keng Hong tadi.
“Nama saya Cia Keng Hong,” jawab pendekar itu dengan sikap tenang.
Akan tetapi mendengar nama ini, kakek dan nenek itu sama sekali tidak tenang, bahkan terkejut sekali, memandang kepada Cia Keng Hong dengan mata terbelalak.
“Engkau Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” Nenek itu bertanya, suaranya tinggi mendesis seperti ular marah.
“Benar,” Keng Hong mengangguk.
“Kau dahulu kaki tangan si keparat The Hoo?”
Kakek itupun membentak sehingga Keng Hong menjadi kaget. Kiranya dua orang ini adalah bekas musuh-musuh mendiang Panglima Besar The Hoo.
“Saya dahulu sahabat mendiang Panglima The Hoo,” dia menjawab dan kini balas memandang penuh selidik.
“Dan kau yang memimpin orang-orang ini menyerbu benteng Mongol?” kembali kakek itu bertanya.
Keng Hong mengangguk.
“Secara curang, Sabutai telah menawan Kaisar Beng, maka kami berusaha untuk membebaskan beliau.”
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek bermuka putih itu tertawa, sehingga mulutnya terbuka dan tidak nampak sebuahpun gigi. “Cia Keng Hong manusia sombong! Kau tadi tanya siapa kami dan apa keperluan kami datang ke sini? Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami adalah Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dan calon Kaisar Sabutai adalah murid kami. Kedatangan kami di sini adalah untuk membunuh engkau dan membasmi semua anak buahmu!”
Mendengar bahwa dua orang tua itu adalah guru Sabutai, marahlah Yalu. Dia tadi bersama teman-temannya telah mempersiapkan pasukan anak panah, maka begitu mendengar siapa adanya dua orang itu yang datang mengacau itu, Yalu sudah memberi isyarat kepada pasukan panahnya.
Belasan batang gendewa dipentang dan anak-anak panah dilepaskan. Terdengar suara berdesing-desing ketika belasan batang anak panah menyambar ke arah dua orang tua yang masih duduk bersila berdampingan itu. Mereka hanya terkekeh, sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
“Suuingggg... wirrr... takk-takk-takkk!”
Semua anak panah tepat mengenai sasaran, yaitu tubuh kakek dan nenek itu, akan tetapi betapa kaget hati Yalu dan kawan-kawannya melihat semua anak panah yang mengenai tubuh mereka itu seperti mengenai dua buah arca besi dan patah-patah, runtuh ke atas tanah di sekitar tubuh kedua orang tua itu!
“Serang...!”
Yalu berteriak dan bersama tiga orang temannya, yaitu kepala-kepala Suku Nomad yang bertubuh tinggi besar dan kuat, dia sudah menerjang ke depan. Terlambat Cia Keng Hong mencegah, karena empat orang tinggi besar itu sudah menyerbu dengan golok di tangan membacok dengan ganas.
Komentar