DEWI MAUT JILID 111

 Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak aseli dari Azisha. Memang wanita ini sejak diumpankan kepada kaisar oleh Wang Cin, hanya melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sedikitpun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya!

Kini, kaisar yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagal “utusan Tuhan” atau “putera Tuhan”, telah kehilangan kedudukannya, kehilangan kebesarannya, bahkan telah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan!

Mulailah dia bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani mulai menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, kaisar baru terbuka matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik wajahnya, dan baru dialah mengerti bahwa Azisha merupakan “alat” dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. 

Maka diapun tidak memperdulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca kitab-kitab yang disediakan oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian (samadhi). Kaisar yang usianya masih muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanyalah hubungan yang didasari oleh nafsu berahi saja dari fihaknya, dan dari fihak Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin. 

Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak memperdulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki kamarnya, diapun tidak perduli lagi.

Perhatian Azisha mulai tertuju pada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng Tung yang muda dan halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa. 

Akan tetapi, karena sejak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi dan kalau dia mulai mendekati Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ, bahkan orang yang mempunyai cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah Mongol!

Seperti telah diceritakan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, usianya baru delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai amat cinta kepada isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal dia mengharapkan scorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.

Betapapun juga, agaknya Azisha tidak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. 

Pembesar kebiri ini mulai khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguhpun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, akan tetapi Sabutai agaknya seperti tidak terlalu mengacuhkannya, bahkan desakannya untuk segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan “belum waktunya” dan “belum cukup kuat”. 
Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, agar suka memberi surat kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang.

“Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya melakukan tindakan yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!”

Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Biarpun dia dianggap sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tidak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Pulang kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan membuat dia celaka, tinggal di utara diapun tidak dapat menguasai Sabutai! 

Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya mempunyai seorang isteri itu tentu tidak bahagia dengan isterinya yang cantik dan muda. Isterinya itu bersikap dingin dan tidak acuh kepada suaminya. Maka dia melihat kesempatan baik untuk mempergunakan kecantikan dan kepandaian Azisha yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! 

Maka, mulailah dia mengatur siasat dengan Azisha untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha.

Pada suatu malam, ketika Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia telah dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah lebih dulu disuap oleh Wang Cin! Apalagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka! 

Maka, sambil menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat dan bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai dan memasang telinga untuk mendengarkan kemesraan itu!

Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar suara Azisha yang merdu, seolah-olah bertanya jawab dengan suara Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga, adalah pikiran sendiri.

Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. 

Segala macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini. 

Oleh karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. 

Si aku adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!

Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para pengawal itu yang tidak berani terlalu dekat tidak dapat menangkap jelas sehingga mereka menjadi makin penasaran. 

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Ketika para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata, 

“Lempar mayat perempuan hina itu keluar!”

Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu telah rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu kelihatan mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali tidak menarik lagi, bahkan menakutkan. 

Baju luar wanita itu telah terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang berwarna merah muda. Agaknya wanita muda itu tadi menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya, akan tetapi dia sama sekali tidak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan kemarahannya sehingga orang yang gagah perkasa ini dalam marahnya menampar kepala wanita itu sehingga pecah dan tewas seketika! 

Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang sejak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya. 

Akan tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya memiliki satu saja cita-cita, yaitu membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar, merampas kembali tahta kerajaan dari Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikitpun dia tidak terpikat oleh wanita, apalagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya. 

Maka, melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apalagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin telah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang amat dikaguminya karena kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tak mengenal takut pula, sungguhpun kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik. 

Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya, maka dalam kemarahannya dia menampar, lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak sehinga tewaslah Azisha dengan kepala pecah.

Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia berunding dengan para pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jerih juga atas pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai. 

Di samping tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu.

Tentu saja Sabutai bukan seorang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, karena dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah. 

Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka kepada kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi diapun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan orang sisa perajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. 

Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu. Setelah dalam kemarahannya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya telah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Maka diapun telah bersiap-siap.

Ketika Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti mata harimau. 

Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya, si kakek bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang sama sekali berlawanan warnanya itu membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apalagi karena nenek bermuka hitam hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar dikenal terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali.




SELANJUTNYA 

Komentar