DEWI MAUT JILID 104
Ayah dan ibu itu saling pandang dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang.
“Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!”
>
“Engkau sih hanya ingat berdagang saja!” Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia memandang kedua orang anaknya dan berkata, “Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik akan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya.”
“Tidak, ibu. Aku dan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku.”
“Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana.” Kwi Beng juga berkata.
Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya lalu tersenyum dan berkelakar,
“Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?”
“Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!”
“Eh, eh! Kok jadi aku yang kau salahkan, isteriku yang manis?”
“Yuan de Gama, ini adalah gara-gara engkau mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kau suruh mereka baca buku-buku roman itu!”
“Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?”
“Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama untuk memberi hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu.”
“Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!”
Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.
“Dan kita selidiki tentang nona Hong itu,” kata pula Kwi Beng dan ibunya mengangguk.
“Memang sebaiknya begitu, pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau adalah seorang pendekar wanita yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara, bersama anak-anakmu. Dengan kau di samping mereka, hatiku takkan merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini mengurus pekerjaan.”
“Dagang lagi...!” isterinya mencela.
“Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini, isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak bisa berpisah dariku, padahal baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?”
Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini memang biasa bagi mereka.
“Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?”
Li Hwa mencela akan tetapi setelah membalas ciuman suaminya itu. Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bercekcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain.
Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiganya pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya, karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang dekat.
Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita adalah suatu kewajaran dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu.
Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU sehingga menjadi perbuatan membuta dan menjadi hamba daripada nafsu berahi belaka. Kalau sudab begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi kotor den najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang kedukaan dan kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu akan hanya membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan kita sendiri.
Sia-sia belaka mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi dan menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri, akan tetapi di dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri!
Nafsu apapun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak.
Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan!
Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!
Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanyalah dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.
Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja menjadi korban yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi.
Gadis yang cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari dua puluh batang lebih.
Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu. Biarpun suara tangisnya lirih, namun guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk.
Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan dengan Cia Bun Houw karena menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu.
Biarpun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biarpun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biarpun dia diperlakukan dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang “sahabat baik” dari Cia Bun Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau ibu Bun Houw!
Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas mendengar bahwa puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai menjadi isteri puteranya, menjadi mantunya!
Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka, berdasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian dan harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai dan paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab!
Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pcgunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia!
Diam-dam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang telah tergelincir sehingga kini dia menghadapi malapetaka, menghadapi aib dan mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Semua yang dialaminya selama dia tinggal di Cin-ling-san empat lima bulan lamanya, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.
Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia telah tinggal hampir tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw dan menanti-nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang manis, bahkan kadang-kadang dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu para pelayan.
Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka mertuanya, diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam daripada budak belian!
Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya, Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidup sederhana, perbedaan ini tidak nampak benar. Akan tetapi sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itupun rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.
Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena kebodohannya ketika diajar menulis membaca oleh seorang pelayan. Yalima lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu kepada ayah bundanya, akan tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andaikata dia nekat pulang juga, tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!
Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba terdengar teguran halus,
“Yalima, mengapa engkau menangis seorang diri di sini?”
Komentar