DEWI MAUT JILID 105

 Yalima terkejut, akan tetapi ketika dia mengangkat muka memandang dan mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis makin sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.
Cari lampu penerangan hajat? klik disini
Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal. 

Cari keripik pisang banten klik disini
Bun Houw pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun yang segar dan murni itu, lebih pantas menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, telah berusia dua puluh lima tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlalu tampan, juga tidak buruk, sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat kegagahan.

“Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu, Yalima.”

Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima mengangkat muka memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. 

“Tidak ada apa-apa, kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan aku rindu kampung halamanku...”

“Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini, dan mendiang ayahku dahulupun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kau sebut saja kakak kepadaku.”

“Terima kasih, Kwee-koko.” 

Mendengar kata-kata yang halus dan sikap yang ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum sedikit sungguhpun kedua pipinya masih basah air mata. 

Melihat wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya kalau tergigit sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan hatinya dipenuhi keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya saputangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata itu, kemudian saputangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata, 

“Nih, kau keringkanlah mata dan hidungmu.”

Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima saputangan itu, menyusuti air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai saputangan itu menjadi basah semua! Dia akan mengembalikan saputangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong menerimanya, dia menarik kembali saputangan itu sambil berkata, 

“Akan kucuci lebih dulu, kongcu... eh, koko, besok setelah bersih kukembalikan.”

“Tidak usah...” Kwee Tiong menarik saputangannya akan tetapi dipertahankan oleh Yalima.

“Saputanganmu kotor, koko...”

“Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas air matamu, Yalima.”

Merah seluruh muka dara itu dan dengan tangan gemetar dia melepaskan saputangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium saputangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.

“Kwee... koko... mengapa kau lakukan itu...?” Yalima bertanya, hatinya tergetar keras.

“Mengapa? Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian.”

“Kwee-koko...! Apa artinya ini?” 

Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!

“Artinya? Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu...” 

Kwee Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh kedukaan.

Wanita juga adalah seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dengan hati dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw tak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun Houw.

Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi karena di perkampungannya, dia melihat pemuda-pemuda Tibet tidak ada yang segagah Bun Houw. 

Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol dan sekaligus memikat hatinya. Kini, di Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa, biarpun tidak mudah mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-galanya!

Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita dan segala jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan akan banggalah hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.

Wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji, sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya. 

Yalimapun demikian pula. Apalagi dia, seorang dara remaja yang sedang dewasa, bagaikan bunga sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan. 

Yalima sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apalagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita. 

Tidak disuka berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, apalagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan “kosong” seperti itu, muncullah Kwee Tiong dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, merupakan curahan hujan bagi pohon yang kehausan!

Mula-mula hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Yalima mulai bergembira hatinya karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau. Dan Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah pertahanan Yalima, runtuhlah sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang hendak dipertahankannya. 

Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! 

Sebaliknya, getaran sayang Kwee Tiong terasa oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang. Kwee Tiong maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! 

Akan tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta berahi belaka, dia berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima akhirnya runtuh dan menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang menggelora. Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan agar Yalima menjadi isterinya!

Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tak mengenal mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, karena nafsu berahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar makin membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. 

Demikian pula halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima. Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali ada kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka telah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangan, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu berahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua.

Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu kelainan pada dirinya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang bodoh ini akan perobahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya kekasihnya, ia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia telah mengandung!

Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!

Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka? Siapakah yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Atau keadaan? Pergaulan? Pendidikan?

Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! 

Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang telah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku. Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan contoh-contoh dan pola-pola yang telah dibangun oleh “peradaban” sejak ribuan tahun. Peradaban yang sesungguhnya tidak beradab! 

Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya! Kesopanan dipandang dari pakaian dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. 

Padahal kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula, kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!

Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau dilakukan setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu. 

Biarpun sudah disyahkan oleh hukum pernikahan, biarpun sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi belaka, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka “pertolongan” macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.





SELANJUTNYA;

Komentar