DEWI MAUT JILID 095

Ngo-sian-chung (Kampung Lima Dewa) adalah sebuah dusun kuno yang terletak di lembah muara sungai Huang-ho. Di dusun itu, di dekat sungai, terdapat bukit kecil di mana orang dapat melihat adanya lima buah batu gunung besar yang berjajar dan jika dilihat dari kejauhan mirip lima orang sedang duduk bercakap-cakap. Karena itulah mungkin maka dusun itu disebut Dusun Lima Dewa.

Akan tetapi, belasan tahun yang lalu ketika seorang datuk kaum sesat datang dan menetap di dusun itu, lambat-laun para penghuni dusun pindah ke lain tempat dan akhirnya dusun itu seolah-olah menjadi “milik pribadi” datuk kaum sesat itu yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. 

Dia ini sebetulnya adalah seorang yang berilmu tinggi peranakah Mongol, ayahnya seorang Han akan tetapi ibunya seorang wanita Mongol. Ayahnya adalah seorang petualang yang berkepandaian tinggi dan ketika bertualang di daerah Mongol ayahnya itu menikah dengan puteri kepala Suku Bangsa Mongol. Oleh karena itu, biarpun dia memakai nama keturunan ayahnya dan mempunyai nama Han, akan tetapi wajahnya yang tampan itu mirip orang Mongol dan dia tidak begitu suka kepada Bangsa Han, bangsa ayahnya sendiri, dan lebih setia kepada Bangsa Mongol yang dianggapnya bangsa paling besar dan mulia di dunia.

Phang Tui Lok menerima ilmunya dari seorang sakti, dan dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong, seorang datuk kaum sesat yang pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal di dunia persilatan. 

Seperti kita ketahui, di dalam cerita Petualang Asmara, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, dan oleh karena ini maka Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menaruh dendam kepada Cin-ling-pai dan semenjak dia tinggal di Ngo-sian-chung, dia selalu mencari kesempatan untuk membalas sakit hatinya itu. Namun, dia bukanlah seorang bodoh dan ceroboh. Dia maklum betapa lihainya ketua Cin-ling-pai, maka dia selalu mencari kesempatan yang baik dan menyusun kekuatan.

Setelah dia dapat mengumpulkan harta dan menjadi “majikan” dusun Ngo-sian-chung itu, mulailah dia mengumpulkan teman-teman yang dia tahu juga merupakan musuh-musuh dari ketua Cin-ling-pai sehingga akhirnya dia berhasil menarik empat orang lihai lainnya dan bahkan mengangkat saudara dengan mereka ini dan mereka menggunakan julukan Lima Bayangan Dewa, sesuai dengan Ngo-sian-chung yang menjadi sarang atau pusat pertemuan mereka. 

Setelah merasa kuat, maka Pat-pi Lo-sian mengajak empat orang saudara angkatnya itu untuk menyerbu Cin-ling-pai dan seperti telah dituturkan di bagian depan cerita ini, mereka berhasil membunuh Cap-it Ho-han murid-murid kepala Cin-ling-pai dan Phang Tui Lok sendiri sebagai saudara tertua dan yang terpandai, berhasil merampas pedang Siang-bhok-kiam.

Setelah berhasil menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai itu, Lima Bayangan Dewa maklum bahwa tentu fihak Cin-ling-pai tidak akan tinggal diam, maka merekapun lalu mengumpulkan teman-teman segolongan untuk bersiap-siap menghadapi musuh besar mereka. 

Bahkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sendiri lalu membujuk dua di antara Lima Bayangan Dewa, yaitu Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tadinya tinggal di pantai timur, dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang tadinya di selatan untuk tinggal di Ngo-sian-chung. Selain mengumpulkan tokoh-tokoh besar golongan sesat yang juga memusuhi Cin-ling-pai, juga Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang masih terhitung keluarga para bangsawan Mongol, diam-diam menghubungi seorang pembesar istana yang pada waktu itu sedang berkuasa besar, yaitu seorang pembesar thaikam (pembesar kebiri) yang berpengaruh di istana kaisar. 

Kini dusun Ngo-sian-chung tidaklah seramai dahulu lagi, sebagian besar penghuni aseli dusun itu, yang sudah tinggal di situ selama beberapa keturunan, telah pergi dari situ dan pindah ke dusun lain semenjak Lima Bayangan Dewa menguasai dusun itu. 

Mereka ini, orang-orang dusun yang lemah, tidak mau terlibat dengan urusan orang-orang kang-ouw yang mengandalkan kepandaian dan kekerasan untuk melewati hidup. Mereka yang masih tinggal di situ adalah orang-orang yang memperoleh keuntungan dengan adanya Lima Bayangan Dewa dan bekerja menjadi kaki tangan mereka

Pada pagi hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Hoow, Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Setelah mereka pada malam hari itu gagal mencari dan mengejar pembunuh rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak untuk kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-chung. 

Karena Ngo-sian-chung memang sudah dekat, berada di lembah muara sungai Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.

Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang amat berbahaya. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan biarpun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi seolah-olah tempat itu aman dan kosong, seolah-olah tidak terdapat bahaya sama sekali, namun sesungguhnya kedatangan mereka sudah sejak malam tadi diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini. empat orang itu memang dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, telah menanti segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba itu!

Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlalu ceroboh. 

“Lima Bayangan Dewa yang telah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu selalu telah siap menghadapi lawan,” katanya kepada Bun Houw. “Kalau kita masuk secara berterang, bukankah hal itu amat berbahaya? Mereka sudah tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka.”

“Tio-twako,” Bun Houw menjawab malam tadi. “Mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat, ketika mereka menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka memancing para suheng dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan tetapi, kedatanganku adalah untuk menuntut balas, maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini.”

“Ah, Houw-koko mengapa berkata demikian?” Kwi Beng membantah. “Kita adalah keturunan pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan apa-apa bagi kita.”

Tio Sun menarik napas panjang. 
“Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun itu.”

Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.

Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia bersama orang ketiga, yaitu Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan mereka. 

Oleh karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dan baru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi! 

Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai daripada mereka ini, masih terdapat anak buah Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya ditambah lagi beberapa orang pembantu dan kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga Merah.

Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah memimpin barisan pendam yang telah siap dengan anak panah dan senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian dia bersama para temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar. Akan tetapi ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun Houw! 

Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda ini, dan biarpun mereka telah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh sama sekali! 

Tiga orang muda lain yang ikut datang bersama Bun Houw, tidak mereka kenal akan tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa ini agaknya adalah murid-murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh karena itu, Ciok Lee Kim lalu menahan suhengnya dan menyentuh lengan Liok-te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.

“Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu harus dipaksa mengaku.”

“Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai terjebak oleh Cin-ling-pai.” Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.

Sebetulnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung niat lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan merasa sayang sekali kalau pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya. 

Demikian pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet, begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapapun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang demikian cantiknya!

Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sutenya ini, akan tetapi karena memang usul mereka itu tepat dan diapun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan lalu diaturlah siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.

Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.

“Awas dan siap, kita harus saling melindungi!” 

Bun Houw berbisik dan tiga orang temannya mengangguk lalu mereka berdiri saling membelakangi, menghadap empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.

Kini tampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang dan anak panah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah, muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.

Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di empat penjuru, 

“Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tidak berkepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!”

Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, 
“Heh-heh-hi-hi-hik! Jadi engkau belum mampus?” Ciok Lee Kim meloncat keluar.

“Dan engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan dapat lolos dari tanganku, pemuda sombong!” 

Bu Sit juga menyusul sucinya, meloncat keluar dengan sikap sombong karena dia yakin bahwa dengan bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah. Biarpun dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu. 

Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.

Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan seorang di antara Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin berhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan secara serentak.




SELANJUTNYA 

Komentar