DEWI MAUT JILID 096

 

“Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa,” kata Bun Houw dengan lantang dan berani, “akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan orang-orang lain?”

“Hemmm, kalau begitu robah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang penakut dan pengecut!” Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.

“Bocah she Bun yang sombong!” Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah maju. “Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kau perkenalkan dulu siapa adanya tiga orang muda yang kau ajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-murid Cin-ling-pai?”

Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, 
“Ketahuilah, manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami sekeluarga telah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam kalian.”

Semua orang terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.

“Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian lekas berlutut dan menyerah daripada terpaksa kami membunuh kalian!” Kwi Beng juga membentak dengan suara nyaring.

Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua orang muda ini adalah putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah. 

Akan tetapi, tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang benar-benar amat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu berahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!

Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sutenya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah empat orang muda itu.

“Bagus!” katanya mengejek. “Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga orang temanmu ini?”

“Siapakah engkau?” Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik. “Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!”

“Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan keluar, maka kau sampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan kehendakmu.”

Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, 

“Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk minta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa.”

“Ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!” 

Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada para anak buahnya.

Sambil bersorak riuh, anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga Merah maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat orang muda itu. 

Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dulu untuk menilai siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan. 

Akan tetapi, karena sudah maklum dari pelaporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun Houw, maka seperti telah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw!

Bun Houw sendiri maklum dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, bahwa tiga orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka diapun malah merasa lega bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka diapun cepat meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan kanannya. Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. 

Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhunya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang betapa lihainyapun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian.

Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan dua senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya. 

Kwi Beng dan Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan saling membela, telah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau terbang yang mereka lempar dengan kegapahan seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to mereka.

Melihat ini, tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu melihat tiga orang muda itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum bahwa di antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling lihai, maka diapun lalu meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena kedua ujung lengan baju hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga tidak kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama bahayanya dengan senjata tajam manapun juga. 

Melihat gerakan orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di antara mereka segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, akan tetapi atas isyarat Gu Lo It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula membantu sehingga Tio Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang amat lihai.

Sementara itu, Ciok Lee Kim dan Bu Sit girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya, mereka ini paling lunak dan kedua orang ini segera terjun ke dalam medan pertempuran, dan otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang di tangan Kwi Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai saputangan suteranya menandingi Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah!

Dengan cara memecah-mecah, pertandingan dibagi menjadi empat dan memang Liok-te Sin-mo dan kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu tinggi, juga pandai bersiasat. 

Andaikata pertempuran itu dilakukan dengan pengeroyokan umum, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan adanya Bun Houw yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka fihak para pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah mereka yang dirobohkan empat orang muda itu. 

Akan tetapi, setelah dipecah-pecah dan setiap orang muda dikepung oleh fihak lawan yang disesuaikan, tentu saja mereka berempat menjadi repot juga! Terutama sekali Kwi Beng dan Kwi Eng! Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa dikeroyokpun mereka berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu. Apalagi kini mereka dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua orang lihai itu!

“Awas! Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!” 

Pesan Ciok Lee Kim kepada lima orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan sambaran kedua ujung saputangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok pemuda itu dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan tidak ada kesempatan menyerang sama sekali.

“Hati-hati jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!” 

Bu Sit tertawa-tawa memesan lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di tangannya yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di tangan Kwi Eng. 

Dara ini menjadi semakin marah sekali, mukanya merah dan matanya berapi-api mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk rayu, pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul.

Bun Houw sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw, masih ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang menyerangnya dari lingkungan luar. 

Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar. Gerakannya tangkas dan cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga orang tokoh tua itu terkejut dan kagum bukan main. Sekarang, setelah pemuda itu dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti ketika di Lembah Bunga Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid Ciok Lee Kim, maka baru ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya pemuda ini. 

Mereka terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda ini. Mereka tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai dan mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu tidak berselisih jauh dengan tingkat mereka sendiri. 

Akan tetapi sekarang, seorang pemuda Cin-ling-pai memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat sehingga Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka, diam-diam merasa sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini kalau pertandingan itu dilakukan satu lawan satu! Beberapa kali lengannya tergetar kalau ujung lengan bajunya bertemu dengan jari-jari tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sin-kang pemuda itu luar biasa kuatnya, mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! 

Hal ini dianggapnya luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau dia tidak mengalaminya sendiri! Maka dengan hati penuh penasaran, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mengeluarkan kepandaian mereka sehingga betapapun lihainya Bun Houw, dia menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa khawatir akan keselamatan teman-temannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga terdesak oleh para pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga amat repot dan terancam bahaya.

Memang Tio Sun juga mendapatkan tanding yang berat dalam dari orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andaikata Liok-te Sin-mo Gu Lo It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan mampu mengalahkan lawannya. 

Memang hebat bukan main pertandingan antara Tio Sun dan Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio Sun juga mewarisi tenaga mujijat yang amat kuat dari ayahnya. 

Berkali-kali pecut baja di tangan pemuda ini bertemu dengan ujung lengan baju yang dipasangi potongan baja dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar dan kedua orang itu terbuyung ke belakang. 

Para pengeroyoknya, seperti juga para pengeroyok yang membantu tiga orang kakek mengepung Bun Houw, tidak lagi berani menyerang terlalu dekat karena pedang dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan tangan-tangan maut yang amat mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh Tio Sun dan Bun Houw, maka mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar memecah-belah perhatian para muda yang perkasa itu.




SELANJUTNYA 

Komentar