DEWI MAUT JILID 094
“Aihhh... apa kau gila...?”
Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat oleh serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita! Ketika Bun Houw tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut dan cepat dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang sudah mengancam kepala Kwi Eng.
“Dukkkk...! Aihhhh...!”
Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya tertangkis dan dia terhuyung ke belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan lenyap ditelan kegelapan malam. Bun Houw tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan melihat caranya bergerak dan menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia yakin siapa adanya wanita yang menyerang Kwi Eng tadi.
Melihat Kwi Eng terhuyung, cepat dia menyambar, mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang menjadi khawatir sekali.
Bun Houw dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya lega ketika memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya mengalami tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan yang merah, tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan tetapi dia dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali.
“Keparat, dia entah orang gila entah setan!” dia memaki sambil meraba leher dan pipinya yang terasa panas.
“Eng-moi, apakah yang terjadi?” Kakaknya bertanya, kelihatan marah melihat adiknya dipukuli orang.
“Aku sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru memanggang daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak jauh dari sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih sibuk bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana...” Dia menuding ke arah gerombolan pohon tak jauh dan yang gelap, “aku membuang isi perut itu dan tiba-tiba saja lenganku disambar orang dan aku dibawa lari seperti terbang cepatnya!”
“Siapa dia? Bagaimana orangnya?”
Tio Sun bertanya dan Bun Houw hanya mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga siapa orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga mengapa terjadi hal itu.
“Aku tidak dapat melihat mukanya karena gelap, akan tetapi yang jelas dia adalah seorang wanita, agaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapapun aku meronta, aku tidak dapat melepaskan diri, malah dia lalu menampariku dan berbisik penuh ancaman. Tentu saja aku melawan, akan tetapi gerakannya lihai bukan main sehingga betapapun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar beberapa kali,”
Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya.
“Dan... kalau saja Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul mati, aku merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan kepandaiannya begitu hebat!” Kwi Eng bergidik.
“Bagaimana kau tahu kepandaiannya amat hebat?” kakaknya mendesak.
“Kau tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku diam-diam mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian ibu, terbuat dari baja tulen seperti pedang, diselaputi emas luarnya. Aku menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya dan kau lihatlah ini...” Dara itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah menjadi dua!
“Ihhhh...!”
Kwi Beng berteriak ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya patah, benar-benar mengerikan sekali.
“Adik Kwi Eng, kau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman. Bisikan apakah yang dikatakan kepadamu?” Tiba-tiba Tio Sun bertanya.
Kwi Beng dan Bun Houw juga memandang dan Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan lalu mengerling dan menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk.
“Aku sendiripun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh iblis betina itu.” Kwi Eng akhirnya berkata lirih. “Suaranya halus dan bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani kau mendekati dia? Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!”
“Ehhhh...! Gila!” Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri.
“Hemmm, siapakah yang dimaksudkannya itu?”
Tio Sun juga berkata sambil mengerling ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya. Mendengar penuturan ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia merasa heran, terkejut, bingung dan penasaran. Tentu dara bernama Hong itu! Akan tetapi mengapa demikian? Mengapa Hong bersikap seperti itu? Apa artinya semua itu? Cemburu? Ah, mengapa cemburu?
“Houw-koko, apakah kau mengenal iblis itu?”
Tiba-tiba Kwi Eng bertanya kepada Bun Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya.
“Aku tidak tahu...” dia menggeleng ragu. “Aku tidak melihat suatu sebab yang membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang gila, atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa...”
“Atau mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik Kwi Eng,” kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan bingung. “Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita makan dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu kalau-kalau dia muncul kembali.”
Kwi Eng melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tidak berani terlalu jauh dari teman-temannya. Setelah mereka makan daging dan cukup kenyang, Bun Houw yang masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama Hong itu yang melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh seperti dia sukar diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan untuk mencari penginapan di dalam dusun di luar hutan saja.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor. Maksud Bun Houw mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan “iblis” tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng.
Ketika dia menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan betapa kuatnya tenaga lengan iblis betina itu dan kalau mereka tinggal di dalam hutan yang terbuka, sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng.
Benar saja, tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun kecil seperti itu tidak terdapat rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga mempunyai banyak uang bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan hidup bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua orang pelayan.
Keluarga she Ma ini ternyata ramah sekali dan dengan gembira mereka menyambut empat orang tamu mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk dan minuman, memaksa mereka berempat makan walaupun mereka menyatakan bahwa mereka sudah makan di hutan.
Memang kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di dalam kota. Orang-orang kota biasanya terlalu mementingkan diri sendiri, hidup memisahkan diri, dan saling tidak mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali nampak keakraban dan kegotong-royongan. Berbeda dengan kehidupan di dusun di mana mereka lebih saling bergaul dengan akrab, senasib sependeritaan dan selalu bersikap ramah apabila kedatangan tamu.
Demikian pula, keluarga she Ma ini, ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat bermalam di situ malam itu, mereka gembira sekali, apalagi ketika melihat bahwa Kwi Eng adalah seorang dara yang demikian cantik jelita dan mempunyai kecantikan yang khas, sedangkan tiga orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi Beng.
Diam-diam timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah lama mereka itu ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan mereka. Sebagai petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka menganggap pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-mantu mereka.
Kini muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan, tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan sang ibu segera memberi nasihat kepada dua orang puterinya untuk keluar dan ikut pula melayani para tamu makan minum dan bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja tidak lupa mereka itu berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu, terutama Kwi Beng dan Bun Houw.
Kwi Eng yang dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa geli dan juga kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok mata ketika perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw sedangkan adiknya dengan sikap memikat melayani Kwi Beng.
Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya menahan ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya dilayani oleh perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi semerbak itu.
Karena keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak enak untuk menolak dan biarpun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan ayam hutan tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk menyenangkan hati keluarga tuan rumah.
Demikian pula setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya bercakap-cakap di ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini, dua orang anak gadis keluarga itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada Bun Houw dan Kwi Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-malu, dan baru mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan dari keluarga itu untuk mengaso.
Kwi Eng memperoleh kamar sendiri, sedangkan tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di dalam sebuah kamar besar sederhana di bagian belakang rumah itu. Menjelang tengah malam, semua orang terkejut ketika mendengar jerit melengking yang mengerikan.
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat meloncat keluar dari kamar mereka, dan bertemu dengan Kwi Eng yang juga sudah meloncat keluar kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar dua orang gadis puteri tuan ruinah.
Tentu saja mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Ma telah rebah tak bernyawa lagi di atas pembaringannya dan di dahinya terdapat tanda tiga buah jari tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh orang yang memiliki kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami isteri Ma dan anaknya yang kedua menangis makin riuh rendah.
Tanpa diminta, Tio Sun dan tiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke kamar itu di mana semua keluarga masih menangis.
“Apakah sesungguhnya yang telah terjadi?” Tio Sun bertanya kepada tuan rumah. “Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?”
Sambil menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga tidak tahu, akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama mereka itu dibunuh oleh seorang wanita!
“Seorang wanita?” Bun Houw bertanya dengan suara terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis Ma yang muda dan yang masih menangis itu, “Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa yang membunuh encimu?”
“Saya...saya terbangun oleh suara dalam kamar kami...” gadis itu bercerita dengan air mata bercucuran. “Lampu kami bernyala kecil... dan... dan saya melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya mendengar suara wanita itu berkata kepada enci...” Dia melihat lagi terisak-isak.
Ibunya memeluknya dan berkata,
“Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas...”
“Saya...mendengar jelas, wanita itu...bayangan itu berkata, “Kau berani menggoda pemuda itu, kau harus mati!” Enci menjerit dan bayangan itu berkelebat lenyap... seperti iblis.. melalui jendela. Saya menghampiri enci dan... dan...” gadis itu menangis lagi sesenggukan.
Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak, sedangkan Bun Houw yang merasa jantungnya berdebar dan tengkuknya meremang menundukkan mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah? Benarkah wanita iblis itu adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan kini membunuh puteri tuan rumah ini?
Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong dan penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini? Agaknya tidak mungkin salah lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu tinggi sehingga Kwi Eng sendiripun tidak berdaya? Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Mengapa? Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat sikap puteri tuan rumah manis kepadanya? Cemburu? Begitu kejamnya? Dia bergidik.
Tio Sun menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun Houw mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar dari kamar itu bersama tiga orang temannya.
Setelah tiba di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw dengan tajam lalu berkata,
“Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya dengan penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau dapat menduga siapa yang melakukannya?”
Melihat mereka bertiga memandang penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan menjawab,
“Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar wanita yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berobah menjadi iblis betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di balik semua ini”
Bun Houw tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang nona Hong yang amat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu? Terus terang saja, di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang melakukan ancaman terhadap Kwi Eng dan pembunuhan malam ini, karena betapapun juga, dia tahu bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras, tidak dapat memberi ampun kepada musuhnya.
Akan tetapi mengapa menyatakan cemburu secana demikian ganas? Dan benarkah perbuatan itu dilakukan karena cemburu? Apakah nona Hong yang penuh rahasia itu jatuh cinta kepadanya? Semua pertanyaan ini mengaduk otaknya dan karena belum terdapat bukti-bukti nyata, biarpun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau merusak nama gadis penolongnya itu.
Betapapun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara cantik jelita itu telah membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik. Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya? Betapa kejamnya. Seperti iblis betina saja! Dia menjadi makin penasaran dan ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu untuk ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak membasmi anak buah Lembah Bunga Merah.
Seorang gadis yang cantik jelita, berilmu tinggi dan amat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she Ma yang tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja? Sungguh keterlaluan!
Bun Houw merasa tersiksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah nona Hong yang membunuhnya? Seorang dara seperti bidadari, seperti seorang dari kahyangan! Mengapa begitu kejam? Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang bertugas mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong!
Dapat dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada In Hong dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona itu yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah mati.
Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu seorang ibils betina yang kejam. Tangannya sudah merogoh kantong menyentuh burung hong kumala yang diterimanya dari nona itu.
Saking gemas dan bencinya hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi dia ingat bahwa belum ada bukti nyata bahwa nona itulah yang melakukan semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan menyelidiki dan membongkar rahasia ini!
Karena hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang temannya agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh itu, Bun Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan malam itu juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak pembunuh, namun semua usaha mereka sia-sia belaka.
Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat oleh serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita! Ketika Bun Houw tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut dan cepat dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang sudah mengancam kepala Kwi Eng.
“Dukkkk...! Aihhhh...!”
Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya tertangkis dan dia terhuyung ke belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan lenyap ditelan kegelapan malam. Bun Houw tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan melihat caranya bergerak dan menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia yakin siapa adanya wanita yang menyerang Kwi Eng tadi.
Melihat Kwi Eng terhuyung, cepat dia menyambar, mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang menjadi khawatir sekali.
Bun Houw dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya lega ketika memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya mengalami tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan yang merah, tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan tetapi dia dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali.
“Keparat, dia entah orang gila entah setan!” dia memaki sambil meraba leher dan pipinya yang terasa panas.
“Eng-moi, apakah yang terjadi?” Kakaknya bertanya, kelihatan marah melihat adiknya dipukuli orang.
“Aku sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru memanggang daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak jauh dari sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih sibuk bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana...” Dia menuding ke arah gerombolan pohon tak jauh dan yang gelap, “aku membuang isi perut itu dan tiba-tiba saja lenganku disambar orang dan aku dibawa lari seperti terbang cepatnya!”
“Siapa dia? Bagaimana orangnya?”
Tio Sun bertanya dan Bun Houw hanya mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga siapa orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga mengapa terjadi hal itu.
“Aku tidak dapat melihat mukanya karena gelap, akan tetapi yang jelas dia adalah seorang wanita, agaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapapun aku meronta, aku tidak dapat melepaskan diri, malah dia lalu menampariku dan berbisik penuh ancaman. Tentu saja aku melawan, akan tetapi gerakannya lihai bukan main sehingga betapapun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar beberapa kali,”
Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya.
“Dan... kalau saja Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul mati, aku merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan kepandaiannya begitu hebat!” Kwi Eng bergidik.
“Bagaimana kau tahu kepandaiannya amat hebat?” kakaknya mendesak.
“Kau tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku diam-diam mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian ibu, terbuat dari baja tulen seperti pedang, diselaputi emas luarnya. Aku menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya dan kau lihatlah ini...” Dara itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah menjadi dua!
“Ihhhh...!”
Kwi Beng berteriak ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya patah, benar-benar mengerikan sekali.
“Adik Kwi Eng, kau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman. Bisikan apakah yang dikatakan kepadamu?” Tiba-tiba Tio Sun bertanya.
Kwi Beng dan Bun Houw juga memandang dan Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan lalu mengerling dan menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk.
“Aku sendiripun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh iblis betina itu.” Kwi Eng akhirnya berkata lirih. “Suaranya halus dan bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani kau mendekati dia? Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!”
“Ehhhh...! Gila!” Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri.
“Hemmm, siapakah yang dimaksudkannya itu?”
Tio Sun juga berkata sambil mengerling ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya. Mendengar penuturan ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia merasa heran, terkejut, bingung dan penasaran. Tentu dara bernama Hong itu! Akan tetapi mengapa demikian? Mengapa Hong bersikap seperti itu? Apa artinya semua itu? Cemburu? Ah, mengapa cemburu?
“Houw-koko, apakah kau mengenal iblis itu?”
Tiba-tiba Kwi Eng bertanya kepada Bun Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya.
“Aku tidak tahu...” dia menggeleng ragu. “Aku tidak melihat suatu sebab yang membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang gila, atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa...”
“Atau mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik Kwi Eng,” kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan bingung. “Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita makan dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu kalau-kalau dia muncul kembali.”
Kwi Eng melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tidak berani terlalu jauh dari teman-temannya. Setelah mereka makan daging dan cukup kenyang, Bun Houw yang masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama Hong itu yang melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh seperti dia sukar diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan untuk mencari penginapan di dalam dusun di luar hutan saja.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor. Maksud Bun Houw mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan “iblis” tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng.
Ketika dia menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan betapa kuatnya tenaga lengan iblis betina itu dan kalau mereka tinggal di dalam hutan yang terbuka, sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng.
Benar saja, tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun kecil seperti itu tidak terdapat rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga mempunyai banyak uang bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan hidup bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua orang pelayan.
Keluarga she Ma ini ternyata ramah sekali dan dengan gembira mereka menyambut empat orang tamu mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk dan minuman, memaksa mereka berempat makan walaupun mereka menyatakan bahwa mereka sudah makan di hutan.
Memang kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di dalam kota. Orang-orang kota biasanya terlalu mementingkan diri sendiri, hidup memisahkan diri, dan saling tidak mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali nampak keakraban dan kegotong-royongan. Berbeda dengan kehidupan di dusun di mana mereka lebih saling bergaul dengan akrab, senasib sependeritaan dan selalu bersikap ramah apabila kedatangan tamu.
Demikian pula, keluarga she Ma ini, ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat bermalam di situ malam itu, mereka gembira sekali, apalagi ketika melihat bahwa Kwi Eng adalah seorang dara yang demikian cantik jelita dan mempunyai kecantikan yang khas, sedangkan tiga orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi Beng.
Diam-diam timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah lama mereka itu ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan mereka. Sebagai petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka menganggap pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-mantu mereka.
Kini muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan, tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan sang ibu segera memberi nasihat kepada dua orang puterinya untuk keluar dan ikut pula melayani para tamu makan minum dan bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja tidak lupa mereka itu berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu, terutama Kwi Beng dan Bun Houw.
Kwi Eng yang dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa geli dan juga kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok mata ketika perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw sedangkan adiknya dengan sikap memikat melayani Kwi Beng.
Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya menahan ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya dilayani oleh perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi semerbak itu.
Karena keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak enak untuk menolak dan biarpun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan ayam hutan tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk menyenangkan hati keluarga tuan rumah.
Demikian pula setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya bercakap-cakap di ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini, dua orang anak gadis keluarga itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada Bun Houw dan Kwi Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-malu, dan baru mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan dari keluarga itu untuk mengaso.
Kwi Eng memperoleh kamar sendiri, sedangkan tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di dalam sebuah kamar besar sederhana di bagian belakang rumah itu. Menjelang tengah malam, semua orang terkejut ketika mendengar jerit melengking yang mengerikan.
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat meloncat keluar dari kamar mereka, dan bertemu dengan Kwi Eng yang juga sudah meloncat keluar kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar dua orang gadis puteri tuan ruinah.
Tentu saja mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Ma telah rebah tak bernyawa lagi di atas pembaringannya dan di dahinya terdapat tanda tiga buah jari tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh orang yang memiliki kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami isteri Ma dan anaknya yang kedua menangis makin riuh rendah.
Tanpa diminta, Tio Sun dan tiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke kamar itu di mana semua keluarga masih menangis.
“Apakah sesungguhnya yang telah terjadi?” Tio Sun bertanya kepada tuan rumah. “Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?”
Sambil menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga tidak tahu, akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama mereka itu dibunuh oleh seorang wanita!
“Seorang wanita?” Bun Houw bertanya dengan suara terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis Ma yang muda dan yang masih menangis itu, “Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa yang membunuh encimu?”
“Saya...saya terbangun oleh suara dalam kamar kami...” gadis itu bercerita dengan air mata bercucuran. “Lampu kami bernyala kecil... dan... dan saya melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya mendengar suara wanita itu berkata kepada enci...” Dia melihat lagi terisak-isak.
Ibunya memeluknya dan berkata,
“Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas...”
“Saya...mendengar jelas, wanita itu...bayangan itu berkata, “Kau berani menggoda pemuda itu, kau harus mati!” Enci menjerit dan bayangan itu berkelebat lenyap... seperti iblis.. melalui jendela. Saya menghampiri enci dan... dan...” gadis itu menangis lagi sesenggukan.
Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak, sedangkan Bun Houw yang merasa jantungnya berdebar dan tengkuknya meremang menundukkan mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah? Benarkah wanita iblis itu adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan kini membunuh puteri tuan rumah ini?
Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong dan penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini? Agaknya tidak mungkin salah lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu tinggi sehingga Kwi Eng sendiripun tidak berdaya? Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Mengapa? Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat sikap puteri tuan rumah manis kepadanya? Cemburu? Begitu kejamnya? Dia bergidik.
Tio Sun menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun Houw mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar dari kamar itu bersama tiga orang temannya.
Setelah tiba di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw dengan tajam lalu berkata,
“Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya dengan penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau dapat menduga siapa yang melakukannya?”
Melihat mereka bertiga memandang penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan menjawab,
“Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar wanita yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berobah menjadi iblis betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di balik semua ini”
Bun Houw tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang nona Hong yang amat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu? Terus terang saja, di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang melakukan ancaman terhadap Kwi Eng dan pembunuhan malam ini, karena betapapun juga, dia tahu bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras, tidak dapat memberi ampun kepada musuhnya.
Akan tetapi mengapa menyatakan cemburu secana demikian ganas? Dan benarkah perbuatan itu dilakukan karena cemburu? Apakah nona Hong yang penuh rahasia itu jatuh cinta kepadanya? Semua pertanyaan ini mengaduk otaknya dan karena belum terdapat bukti-bukti nyata, biarpun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau merusak nama gadis penolongnya itu.
Betapapun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara cantik jelita itu telah membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik. Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya? Betapa kejamnya. Seperti iblis betina saja! Dia menjadi makin penasaran dan ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu untuk ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak membasmi anak buah Lembah Bunga Merah.
Seorang gadis yang cantik jelita, berilmu tinggi dan amat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she Ma yang tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja? Sungguh keterlaluan!
Bun Houw merasa tersiksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah nona Hong yang membunuhnya? Seorang dara seperti bidadari, seperti seorang dari kahyangan! Mengapa begitu kejam? Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang bertugas mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong!
Dapat dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada In Hong dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona itu yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah mati.
Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu seorang ibils betina yang kejam. Tangannya sudah merogoh kantong menyentuh burung hong kumala yang diterimanya dari nona itu.
Saking gemas dan bencinya hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi dia ingat bahwa belum ada bukti nyata bahwa nona itulah yang melakukan semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan menyelidiki dan membongkar rahasia ini!
Karena hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang temannya agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh itu, Bun Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan malam itu juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak pembunuh, namun semua usaha mereka sia-sia belaka.
Komentar