DEWI MAUT JILID 089
Kini mulailah Tio Sun dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan girang dia melihat betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu. Hal ini tidak mengherankan karena Tokugawa telah berusia lima puluh tahun lebih, menggerakkan samurainya dengan kedua tangan dan dengan sepenuh tenaga, ditambah lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja ketangkasan dan daya tahannya tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang jagoan samurai di negerinya.
Diapun maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak boleh dipandang ringan saja. Dahulu pernah dia memandang ringan kepada Souw Li Hwa dan dia kalah, hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap hati-hati. Setelah mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bagi lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, bahkan gerakan lawan makin lama makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu menggunakan siasat. Dia sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya.
Betapapun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah ayahnya, seperti seekor burung yang baru keluar dari sarang. Biarpun dia telah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi girang sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!
“Heiiiiittttt...!” Pedangnya meluncur seperti kilat.
“Cring-cringgg... ciuuuutttt...!”
Samurai itu menangkis dua kali dan tiba-tiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku ke arah Tio Sun.
“Aduhhh...!”
Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu menancap di pundak kirinya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat dan kini Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan samurainya.
Pada saat itu Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan pedang itu menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu, kedua tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun!
Cengkeramannya itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin melepaskan kedua lengannya dari cengkeraman itu, maka diam-diam dia lalu mengerahkan sin-kangnya untuk memberatkan tubuhnya.
Tokupwa tertawa bergelak. Jagoan samurai ini maklum bahwa bagi ahli silat, yang berbahaya adalah kedua tangannya, maka kini dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak berdaya.
Dia sama sekali tidak berani melepaskan lengan lawan, karena maklum bahwa begitu terlepas, tangan itu akan dapat mengirim pukulan maut dengan cepat sekali dan hal ini amat membahayakan dirinya. Maka setelah kini berhasil menangkap lengan lawan, dia tertawa,
“Ha-ha-ha, hayo, kau lepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus kubanting!”
Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka sama sekali tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu ternyata tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tak dapat digerakkan.
Kwi Beng dan Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menggunakan kakinya untuk menendang. Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan lawannya itu menggerakkan kaki menendangnya.
Akan tetapi Tio Sun berpendapat lain. Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat mengatasi ilmu silat kepala bajak ini, akan tetapi yang amat diandalkan oleh lawannya dan tidak dapat diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh. Maka dia tidak mau mengangkat kaki menendang, karena dia menduga bahwa pada saat dia menendang, maka kekuatan bawah tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat dan dibanting oleh lawan yang bertenaga gajah ini. Dan dugaannya memang benar, Tokugawa juga menanti-nanti saat itu.
Karena dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya bahkan kelihatan seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa, kemudian tiba-tiba mengeluarkan suara dari perut dan kedua lengannya bergerak, otot-otot sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.
“Haaaaaiiiiikkkkk... hyaaaaatttt...!”
Dia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh pemuda itu untuk dilemparkannya atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikitpun kedua kaki Tio Sun tidak terangkat!
Pemuda ini adalah putera tunggal, juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih diri dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru tenaga seorang Tokugawa, biar kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh orang kaki tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun!
Tentu saja Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan samurai yang terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang mampu menandingi tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan ini, seorang pemuda yang masih amat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda yang belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya!
Saking marahnya, dia mengerahkan seluruh tenaga dalam dan tenaga otot, perutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka.
“Auggghhhh... haaaiiiikkkkk... prott!”
Kwi Eng sebagai seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, tidak mampu menahan kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot itu keluar dari pantat Tokugawa!
“Hi-hi-hik, tak tahu malu...!”
Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya, menjepitnya dengan ibu jari dan telunjukiya.
Pada saat itu, Tio Sun nengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa dia telah mengerahkan Ban-kin-keng (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tiba-tiba saja tubuh Tokugawa terangkat ke atas dan sekali Tio Sun menggerakkan kedua lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak itu terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya itu.
Sebelum Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi suara ledakan,
“Tar-tar...!”
Dan tubuh itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar pecut baja, yaitu joan-pian yang merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun sebagai ikat pinggang!
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak mereka menyerbu ke depan didahului oleh tembakah-tembakan dari pistol beberapa orang anak buah bajak.
“Tio-twako, awas pistol...!”
Kwi Eng menjerit, akan tetapi Tio Sun yang sudah bersikap waspada, cepat meloncat ke belakang, kemudian bertiarap di dekat Kwi Eng dan Kwi Beng yang merupakan seorang jagoan tembak, menyambar sepucuk pistol dari tangan seorang anak buahnya, lalu bersama para anak buahnya yang memegang pistol dia lalu maju.
Terjadilah tembak-menembak, akan tetapi hanya sebentar saja karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah kehabisan peluru tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali senjata api mereka dan sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia sendiri bersama kakaknya dan Tio Sun sudah meloncat ke depan dan mengamuklah tiga orang muda ini dengan hebatnya.
Perang tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para bajak yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.
“Nona, tidak perlu mereka dikejar. Niat kita hanya menyelamatkan kakakmu dan hal itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa telah tewas.”
Kwi Beng membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas sarang gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang tewas atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan.
Dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik kembar itu setelah tiba di dalam gedung mereka, menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh pemuda sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga girang mendengar bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima Besar The Hoo, guru dari ibunya sendiri.
“Tio-twako hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan dapat bertemu dengan Eng-moi dan menolongku?” Kwi Beng bertanya.
Tio Sun menarik napas panjang.
“Sebetulnya aku sedang memikul tugas yang amat penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang amat dihormati dan disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakukan penyelidikan dan membantu Cin-ling-pai.”
Kwi Beng dan Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali.
“Apakah twako maksudkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” tanya Kwi Beng.
Tio Sun tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini telah mendengar akan nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak mendengar nama besar ketua Cin-ling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan pada masa itu?
“Jadi ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?”
“Mengenal sih belum,” jawab Kwi Eng. “Akan tetapi ibu sering kali bercerita kepada kami tentang pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan, dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami mengenal nama-nama besar itu sungguhpun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru sekarang secara kebetulan kami dapat bertemu dan berkenalan dengan twako.”
“Apakah yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai? Malapetaka apa yang dapat menimpa ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu memiliki kepandaian yang amat tinggi?” tanya Kwi Beng.
“Peristiwa itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam yang agaknya menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai.”
Tio Sun mulai dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya.
Dua orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan hati diliputi penuh rasa penasaran karena cara Lima Bayangan Dewa yang mengganggu Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.
“Dengan menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak mempunyai niat yang baik,” kata Kwi Beng.
“Pembesar busuk!” Kwi Eng memaki. “Sungguh dia berani menghina kita setelah ayah ibu tidak ada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan Yen-tai dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang hadiah dari ayah?”
Tio Sun merasa khawatir sekali.
“Kalau sekiranya dia mempunyai niat buruk, lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya.”
“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” Kwi Beng berkata. “Kalau tidak datang tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang untuk mendengar apa yang akan dikatakannya.”
“Dan aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu,” kata Kwi Eng.
Mereka lalu mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas, kemudian minta kepada Tio Sun agar menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama kemudian berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar pandang mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun.
Komentar