DEWI MAUT JILID 090
Sampai hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati Tio Sun telah merasa gelisah sekali. Tak lama kemudian, datang seorang anggauta atau anak buah keluarga itu berlarian dengan terengah-engah dia menceritakan betapa Kwi Eng dan Kwi Beng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!
“Celaka...!”
Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan perajurit keamanan kota datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.
“Tio-taihiap, larilah... kalau tidak taihiap tentu akan ditangkap pula!” kata orang yang datang pertama tadi.
Tio Sun maklum bahwa tidak mungkin dia melawan perajurit-perajurit pemerintah. Dia putera bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tidak mungkin bagi dia untuk melawan perajurit pemerintah, sungguhpun sekali ini para perajurit itu dipergunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.
“Kalau begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!”
Tio Sun menyambar lengan orang itu dan membawanya lari lewat pintu belakang setelah mengambil buntalan pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biarpun dia mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang ketika para perajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung seisinya.
Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng? Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.
“Kita difitnah, Beng-ko dan kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang mewakili pemerintah.”
Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan, sedangkan kantong terisi uang itu entah kemana larinya!
Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudah dipaksa berlutut di depannya itu.
“Kalian ini keturunan orang-orang asing berani membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi para nelayan di Pulau Hiu dan merampok harta benda mereka.”
Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah, akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja, seperti menghadapi dua orang penjahat!
“Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apalagi merampok harta mereka,” jawab Kwi Beng.
“Brakkk!” Tikoan menggebrak mejanya. “Kau masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa disana?”
“Tidak! Itu hanya fitnah semata!” Kwi Eng menjawab dengan suara lantang. “Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa.”
“Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutar balikkan kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram.”
“Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!” Kwi Beng berseru.
Ciang-tikoan mengangkat tangannya.
“Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!”
“Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!” Kwi Eng membantah.
“Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini harus diadili di kota raja sebagai pemberontak-pemberontak!”
“Taijin...!” Kwi Beng berteriak marah.
“Kau akan memberontak pula di sini?” pembesar itu mengangkat tangan dan para perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh itu.
“Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak,” Kwi Eng berkata dengan suara halus. “Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan taijin ini kami tidak akan melupakan.” Dengan halus Kwi Eng membujuk dan menjanjikan “balas jasa” yang besar.
Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut jantan itu.
“Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian ini, peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai tawanan pemberontak ke kota raja.”
“Penasaran! Tidak adil...!”
Kwi Beng meloncat berdiri akan tetapi belasan orang pengawal sudah meringkusnya kembali.
“Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan,” kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar dari ruangan itu.
“Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!” Ciang-taijin memerintah pasukannya.
Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang muda itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng.
Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang.
Tokugawa adalah “tangan kanannya” secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal menyuruh para bajak itu, tanggung beres!
Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan, dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya. Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya.
Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera menangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu.
Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya “nelayan-nelayan tak berdosa” di Pulau Hiu.
Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari para pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk “memberi hadiah” atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang.
Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja!
Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang dikuasai Kerejaan Beng-tiauw seperti itu, penuh dengan para pembesar yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, dimana pusat pemerintahan di tangan kaisar juga mengalami kekacauan dan kelemahan.
Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang gagah perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian timumya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah kota raja yang terbesar dan termegah di dunia.
Kerajaan Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah pemerintahan yang adil.
Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar diwariskan kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar inipun meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja.
Kembali kedudukan kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian Tek Ong, seorang kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja.
Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perobahan kaisar berarti terjadi pula perobahan politik dan wibawa.
Apalagi karena kaisar yang tetakhir ini, Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita istana.
Ketika Kaisar Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin, seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol.
Demikianlah, karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya sangat lemah.
Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk “menempel” para pembesar di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin.
Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin orang perajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan tentang “dosa-dosa” dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar.
Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka.
Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh, paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang.
“Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil...” Kwi Beng menyatakan penyesalannya.
“Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi... aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja.”
Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu!
Komentar