DEWI MAUT JILID 079
Tiba-tiba dia berhenti di tengah-tengah dendangnya dan mukanya terasa panas. Dia menengok ke kanan kiri, menarik napas lega karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang, mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.
Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang? Belum pernah dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi, sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu.
Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu, secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga. Mengapa begini?
Mengapa setelah melihat pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat dan berlari cepat ke arah kuil, memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat.
Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan, menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil menatap wajah pemuda itu.
Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah sedikit pada pipi dan bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya tinggal memulihkan tenaga saja.
Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.
Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian. Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua pundaknya terasa nyeri.
Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh selidik.
Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut dimana terdapat panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia teringat.
“Kau...eh, nona...apakah yang telah terjadi dengan diriku? Dimana aku sekarang ini berada...?”
Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat betapa dia yang tadinya ditawan dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut.
Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong menjawab lirih,
“Di dalam sebuah kuil rusak...”
Lalu dia menunduk dan merapikan bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk konde burung hong kumala di rambutnya.
Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua ini berada di tengah hutan.
“Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah Bunga Merah?”
In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu, sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini murid Hui-giakang Ciok Lee Kim? Akan tetapi tidak mungkin, karena jelas bahwa dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!
“Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya, hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku dikait dengan besi kaitan...”
Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia memiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai.
“Nona, apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari Lembah Bunga Merah?” Dia memandang tajam penuh selidik.
In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri, perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh? Dia hanya mengangguk dan menunduk lagi.
“Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?” pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan, hampir tidak percaya.
Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak buah Lembah Bunga Merah?
Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!
Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak terlalu aneh.
Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan, bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh!
Gadis ini pulakah yang menyembuhkannya? Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar, membelakanginya.
“Kalau begitu... aku telah kau tolong, nona. Kau telah menyelamatkan nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku harus mengatakan terima kasihku?”
Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu, tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.
“Mengapa bingung-bingung?” In Hong menjawab tanpa menoleh. “Sudah saja jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu...”
Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati mulia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin? Jangan-jangan ada maksud tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!
“Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari tahanan itu, nona?”
In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan leher. Manisnya sukar dilukiskan!
“Apa yang dapat diceritakan? Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini.”
Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.
“Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?”
In Hong mengangguk.
“Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat.”
Bun Houw terbelalak. Kakek dan nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri dari mereka. Bukan main!
Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku dan sembarangan.
“Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona.”
Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan berkata.
“Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih.”
“Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang...” Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya, “tidak ada bekas-bekasnya lagi! Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang hitam itu, nona?”
“Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara dimana tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan ternyata kau sembuh.”
“Dan nona meninggalkan aku disini ketika pergi mencari obat?”
“Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai.”
“Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!” Kembali Bun Houw menjura dengan terheran-heran dan kagum sekali.
“Sudahlah, capek aku kalau terus-menerus membalas penghormatanmu!”
In Hong mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian girang hatinya.
Sungguh hebat... sunguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini muda... bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?”
“Hemm, pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau seorang she Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku mengenalmu sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku...”
“Aih, mengapa begitu, nona?” Bun Houw bertanya dengan heran lagi, dan diam-diam diapun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau namanya dikenal orang, apalagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa, sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia. “Habis, bagaimana aku harus mengingatmu, harus memanggilmu, kalau aku tidak tahu namamu, nona?”
In Hong tersenyum.
“Jangan mengingat, jangan memanggil...”
Melihat sikap yang dingin, kata-kata yang singkat ini, Bun Houw menjadi khawatir sekali kalau-kalau penolongnya itu marah. Maka dia lalu membelokkan percakapan dan dia bertanya,
“Aku sudah tidak mempunyai harapan ketika ditusuk jarum beracun itu, akan tetapi buktinya aku sembuh, sungguh hebat obat itu, bagaimana macamnya dan bagaimana pula cara kerjanya ketika engkau mengobatiku, nona?”
Komentar