DEWI MAUT JILID 080
“Aku menerima sembilan butir pel hitam dari Yok-mo. Ketika kau menelan pel pertama sampai keenam, setiap kali menelan pel hitam itu kau muntah darah hitam yang berbau busuk, akan tetapi mulai dengan pel ketujuh engkau tidak muntah lagi.”
“Aihh... sungguh menjijikkan... akan tetapi mengapa lantai ini bersih?”
“Aku sudah membersihkannya setiap kali kau muntah...”
“Ahhh...! Dan nona merawatku, menjagaku, memberi obat, menyuapkan bubur selama tiga hari tiga malam... dan...”
Serasa hampir meledak jantung di dalam dada In Hong melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keharuan, penuh rasa syukur dan terima kasih.
“Sudahlan, pakaianmu kotor, mari... mari... kucucikan... dan kau dapat mandi di sumber air di dalam hutan...”
Mata yang sudah terbelalak itu makin terbelalak berisi penuh dengan sinar keharuan, kekaguman dan kini bercampur dengan keheranan.
“Apa? Nona... nona hendak... mencucikan pakaianku...? Ah, tidak...”
“Mengapa tidak?” Sikap In Hong biasa saja. “Aku seorang wanita, sudah biasa mencuci pakaian...”
“Tidak, tidak boleh nona begitu merendahkan diri. Dimana sumber air itu? Aku akan membersihkan tubuh dan pakaian ini...”
In Hong menudingkan telunjuknya dan Bun Houw cepat bangkit dan melangkah lebar ke dalam hutan. Pundaknya masih terasa nyeri sedikit apabila terlalu keras dia menggerakkan kedua lengannya. Setelah tiba di sumber air, dia menanggalkan pakaiannya, membersihkan tubuhnya dan tubuhnya terasa segar kembali. Dia merendam tubuh di dalam air, lalu mengumpulkan hawa murni, menggunakan sin-kangnya untuk melancarkan jalan darah dan dengan kekuatan sin-kangnya dia dapat melindungi tulang-tulang pundaknya.
Untung bahwa di dalam sakunya masih terdapat obat lukanya yang mujarab pemberian ayahnya, maka dia membuka balutan pundaknya, lalu memberi obat luka setelah mencucinya bersih, membalutnya kembali setelah dia mandi sampai bersih.
Kemudian dia mencuci pakaiannya, memeras airnya dengan kekuatan besar sehingga sebentar saja pakaian itu hampir kering karena semua air dapat diperasnya keluar. Dia menjemur pakaian ini di atas batu dan sambil menanti keringnya pakaian itu, dia kembali bersamadhi mengumpulkan hawa murni.
Tak lama kemudian, pulih kembali tenaganya dan ketika dia menggerakkan kedua lengan, rasa nyeri di pundak hanya tinggal sedikit. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main.Kurang lebih dua jam kemudian, dia kembali ke kuil dengan baju bersih dan pakaian bersih pula, juga sudah kering. Baru saja nampak dinding kuil itu, hidungnya sudah mencium bau sedap yang membuat perutnya makin terasa lapar.
Dia mempercepat langkahnya dan... di depan kuil itu, di bawah pohon, nampak dara itu sedang memanggang seekor ayam hutan yang gemuk sekali, sedangkan dari panci bekas tempat air itu nampak nasi mengepul panas. Bun Houw berdiri memandang, menelan ludahnya dua kali.
“Kau sudah selesai?” In Hong menengok dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Gadis itu menunduk dan di lehernya menjalar warna merah terus ke kepalanya, kemudian terdengar suaranya tanpa dia mengangkat muka. “Aku berhasil menangkap seekor ayam...”
Bun Houw tidak menjawab, hanya memandang dara itu, hatinya diliputi keheranan besar. Sungguh amat sukar untuk mengerti watak dan sifat wanita cantik ini pikirnya. Masih begitu muda, tentu lebih muda darinya, namun sudah memiliki kepandaian yang amat hebat, sungguhpun dia belum menyaksikan sendiri. Dari caranya menolong dia dari Lembah Bunga Merah saja sudah dapat diduga bahwa kepandaiannya tentu hebat sekali.
Kadang-kadang wanita ini demikian dingin dan tak acuh, sehingga agaknya sama sekali tidak mau saling berkenalan, tidak mau memperkenalkan nama dan tidak pula menanyakan namanya, padahal wanita ini sudah mempertaruhkan nyawa untuk monolongnya, bahkan selama tiga hari tiga malam merawatnya sedemikian rupa!
Akan tetapi ada saat-saat tertentu wanita itu kelihatan begitu lemah lembut, seperti sekarang ini, sama sekali tidak patut menjadi seorang wanita kang-ouw yang perkasa dan aneh sekali.
“Kau tentu lapar sekali...”
Bun Houw sadar dari lamunannya, sadar betapa sejak tadi dia hanya berdiri bengong memandang dara itu yang sedang memanggang daging ayam.
“Oh, lapar...? Lapar sekali...! Dan panggang ayam itu begitu sedap!”
“Kalau begitu, mari kita makan. Ayam ini lebih enak dimakan panas-panas sebagai teman nasi. Sayang tidak ada arak...”
“Ah, itu sudah cukup, nona. Airpun cukup menyegarkan,” jawab Bun Houw yang lalu duduk di dekat dara itu.
Mereka lalu makan nasi dan panggang daging ayam, tidak menggunakan sumpit karena memang tidak ada, hanya menggunakan lima batang sumpit alam alias lima jari tangan kanan. Nasinya mengepul panas, daging ayam panggang juga masih mengepul panas, empuk dan gurih, ditambah kesunyian di pagi indah itu, hadirnya mereka berdua, perut lapar, semua ini membuat nasi dan daging ayam menjadi lezat bukan main.
Dalam waktu pendek saja habislah semua nasi dan daging ayam, memasuki perut mereka, tidak ada ketinggalan sebutirpun nasi dan secuilpun daging. Bun Houw menjilati jari-jari tangannya yang terkena gajih panggang ayam dan In Hong memandang sambil menahan senyum.
Satu di antara kelemahan wanita, adalah, di samping ingin dipuji-puji tentang kecantikannya, juga ingin dtpuji-puji tentang kelezatan hasil masakannya! Kini, melihat Bun Houw menjilati jari-jari tangannya, In Hong merasa mendapat pujian yang jauh lebih mengesankan daripada kata-kata.
“Kau belum kenyang? Masih kurang?” tanyanya lirih, tersenyum dan tampak deretan gigi mutiara.
Bun Houw tertawa.
“Makan sesedap ini, agaknya aku takkan mengenal kenyang. Akan tetapi sementara ini cukuplah, dan terima kasih.” Dia lalu minum air tawar dengan segarnya.
“Beras yang ditinggalkan oleh para murid Bu-tong-pai tinggal itu, aku belum sempat pergi membeli ke dusun.”
Kembali Bun Houw tersenyum. Percakapan antara mereka itu seolah-olah percakapan dua orang sahabat lama yang hidup bersama di suatu tempat. Setelah mencuci tangan dan mulut, dia lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Nona, setelah apa yang kau lakukan semua untukku, setelah engkau menyelamatkan nyawaku dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri...”
“Cukup, aku tidak mau bicara tentang itu...” In Hong memotong.
Bun Houw menunduk. Melihat wajah nona ini ketika itu, dia menduga bahwa di samping semua keanehannya, dara ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Sebaliknya, melihat pemuda itu menunduk dan tidak berani bicara lagi, In Hong merasa kasihan dan sadar bahwa dia terlalu keras. Betapapun juga, tidak aneh kalau pemuda ini amat berterima kasih kepadanya dan ingin membicarakan tentang pertolongan itu.
Akan tetapi justeru dia tidak mau membicarakannya, karena pertolongannya itu memang terasa aneh olehnya sendiri, mengapa dia begitu bersusah payah untuk pemuda ini. Kejanggalan ini membuat dia merasa malu sendiri sehingga dia tidak ingin lagi membicarakannya. Akan tetapi melihat pemuda itu bingung dan kecewa, dia lalu ingin membicarakan lain daripada pertolongan itu sendiri.
“Mengapa engkau begitu nekat, menentang lima orang yang berkepandaian tinggi itu sehingga engkau ditawan dan disiksa?” tiba-tiba In Hong bertanya.
Bun Houw memandang dan hatinya merasa gembira lagi. Kiranya dara ini bukan marah atau bersikap dingin, hanya agaknya tidak mau menyinggung tentang pertolongan itu, Betapa rendah hati, tidak ingin menonjolkan jasa, pikirnya. Dia belum mengenal dara ini, sungguhpun dia sudah percaya sepenuhnya, namun tidak baik kalau dia memperkenalkan diri dan menceritakan urusan pribadinya. Maka dia lalu menarik napas panjang dan menjawab,
“Yang menjadi gara-gara adalah lenyapnya tiga orang murid Bu-tong-pai yang kau tolong itu. Ketika mereka ditawan dan hendak dibunuh, Liok-twako mencegah dan memperingatkan mereka agar tidak menanam permusuhan dengan Bu-tong-pai...”
“Siapa itu Liok-twako?”
“Dia adalah Kiam-mo Liok Sun, dia... eh, majikanku...”
“Yang datang bersamamu? Aku hanya mendengar bahwa engkau orang she Bun adalah pengawal pribadinya.”
“Karena mencegah itulah, setelah tiga orang murid Bu-tong-pai melarikan diri, Liok-twako dicurigai dan akhirnya dibunuh. Sebagai... eh, pengawalnya, tentu aku melawan dan aku lalu ditawan dan disiksa.”
“Orang she Liok itu dibunuh, akan tetapi mengapa engkau ditawan dan disiksa pula? Apa yang mereka kehendaki?”
“Mereka memaksa aku mengaku siapa yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai dan apa maksud kedatangan Liok-twako di Lembah Bunga Merah.”
“Ataukah karena perempuan-perempuan hina itu hendak memaksamu melayani bujuk rayu mereka?”
Bun Houw memandang dengah mata terbelalak,
“Kau... kau tahu pula akan hal itu?”
“Aku tahu penolakanmu terhadap murid-murid Ciok Lee Kim yang tak tahu malu, juga terhadap nenek cabul itu sendiri, dan mungkin karena itulah aku membebaskanmu dari tahanan.”
“Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu telah tewas di tanganku, sayang bahwa aku tidak sempat membunuh gurunya. Akan tetapi, aku akan mencari mereka! Aku akan mencari Ciok Lee Kim dan teman-temannya, terutama sekali dia sendiri dan Bu Sit, dua orang yang menyiksaku. Kalau bertemu, mereka harus tewas di tanganku!”
Bun Houw teringat akan penyiksaan itu dan timbul kemarahannya, otomatis tangannya meraba pinggang dan tampak sinar kilat berkelebat ketika dia tahu-tahu telah melolos pedangnya, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Pedang ini dia dapat dari gurunya, sebatang pedang pusaka yang terbuat dari baja murni, tipis sekali sehingga dapat digulung dan dibuat menjadi sabuk pinggang maka senjata ini tidak ketahuan dan tidak terampas oleh musuh-musuhnya.
“Aihhh, pedang yang bagus!” In Hong berseru memuji. “Boleh aku melihatnya?”
Bun Houw menyerahkan pedangnya. In Hong menerima dan menggerak-gerakkan pedang sampai berbunyi berdesing dan berobah menjadi kilat. Dia memuji lagi, lalu menimang-nimang pedang dan memeriksanya. Ketika melihat ukiran gambar burung hong dekat gagang pedang, dia memuji lagi.
“Sama benar dengan ini...!”
Dia melolos hiasan rambutnya yang berupa burung hong kumala, lalu membandingkan burung hong kumala itu dengan lukisan burung hong pada pedang Hong-cu-kiam.
“Apanya yang sama, nona?”
Bun Houw tentu saja bingung dan tidak mengerti. Bagaimana sebatang pedang dipersamakan dengan sebuah hiasan rambut wanita?
“Burung hongnya yang sama. Indah sekali pedangmu ini...!”
In Hong menggerakkan pedang itu dan Bun Houw menjadi kagum. Memang benar dugaannya. Dara ini bukan sembarang ahli silat. Dari cara dia menggerakkan pedang saja sudah dapat dikenal sebagai seorang ahli pedang yang lihai.
“Sing-sing-wirrrrr... crakk!”
Sebatang pohon sebesar paha manusia yang berdiri dalam jarak jauh, roboh hanya tersambar hawa pedang yang digerakkan dengan sin-kang yang amat kuat.
“Bukan main...! Engkau lihai sekali, nona...!”
Bun Houw memuji karena dia maklum bahwa seorang yang memiliki sin-kang amat kuat saja mampu merobohkan pohon hanya dengan sinar pedang.
In Hong menimang-nimang pedang itu, meraba-raba mata pedang yang amat tajam.
“Hemm... pedang ini yang lihai...”
Komentar