DEWI MAUT JILID 078

Keripik pisang tulip harum

“Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!” pemuda murid Bu-tong-pai itu  berseru dengan suara lega. “Aku khawatir dia sudah dalam sekarat...”

In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. 

Dua orang murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air, kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka dengan paksa.

Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana pengaruh obat yang didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis, kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.

Tiba-tiba terdengar suara berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada. 

Tiba-tiba pemuda itu muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk!

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat betapa tekun dan penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur sekali.

“Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang,” kata In Hong setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu tidak begitu menghitam lagi.

Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda yang menjadi suheng mereka memandang kagum.

“Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami. Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin. Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap, kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang telah menyelamatkan nyawa kami.”

In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!

“Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi.”

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang. Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, akan tetapi berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubungan dengan manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini! 

Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka membalas dendam.

Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. 

Sampai dua hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini napasnya sudah teratur sehat dan detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. 

Tentu saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.

Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari dan siang telah terganti senja hampir gelap, namun dia masih juga belum bangun. 

Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya digandeng oleh Bun Houw dan dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri, demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal akan garis dan lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. 

Dia menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu mengeluh, In Hong terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kanan, ke arah pemuda yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja pamuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.

“Kenapa kau tidak membunuhku? Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kau siksa dan kau bujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!” 

Pemuda itu memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam ruangan kuil itu sudah mulai gelap.

In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengira-ngira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel hitam kesembilan, pel yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan hati, bahkan menggelikan.

Tanpa menwab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan menghampiri Bun Houw.

Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai, menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw yang dirangkul itu meronta. 

“Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau perempuan hina...!” 

Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

“Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh sama sekali. Buka mulutmu, telan pel ini dan minum air ini.”

Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. 

“Perempumn hina, percuma saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!” 

Bun Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Ai-kwi dan Ai-kiauw.

Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tahu benar bahwa pemuda ini salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu, makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki berani memaki dia secara demikian menghina! 

Akan tetapi kini dia tahu betul bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.

“Orang she Bun, engkau salah kira...” Dia berkata lirih. “Engkau sudah bukan tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam.”

Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar. Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap, dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di sebuah ruangan kuil yang rusak.

“Kau... kau... siapakah...? Kau... bukan... seorang di antara mereka...?”

Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap. Dia menggeleng kepalanya. 

“Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok ini...” katanya lirih.

Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali. Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu, biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. 

Dia lalu membuka bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia kembali ke atas lantai.

Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw. Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di bawah penerangan api unggun yang kemerahan. 

Sepasang mata yang memandang penuh keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.

In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw, tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. 

Dia bersila dan mengumpulkan hawa murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih perlahan-lahan sehingga “kuda liar” yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.

Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan, menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya, lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor.


  • SELANJUTNYA 

Komentar