DEWI MAUT JILID 077
“Hayo kau obati muridku, Yok-mo. Jangan sampai aku harus mengancammu seperti yang dilakukan bocah liar itu.” Kok Beng Lama berteriak.
Tanpa menjawab akan tetapi dengan mulut bersungut-sungut karena baru sekali ini selama hidupnya dia dipaksa orang untuk mengobati, Yok-mo menghampiri tubuh anak itu dan berlutut, membuka bajunya, mencium dekat dada Lie Seng dan memeriksa denyut nadinya yang lemah. Lie Seng yang sudah siuman itu masih rebah dengan lemah, hanya matanya yang lebar itu memandang dan melirik ke mana-mana.
“Hemm, tepat seperti dugaanku. Dia terkena racun yang jahat, racun kembang yang berbau harum. Racun harum dipergunakan untuk melukai seorang bocah sekecil ini! Betapa kejamnya manusia di dunia ini.”
“Memang kejam sekali iblis betina itu!” Kok Beng Lama berteriak. “Tidak mampu melawan aku, dia melukai muridku. Awas dia, kalau lain kali bertemu dengannya, akan kupukul pecah kepalanya!”
Makin tidak senang hati Yok-mo mendengar ancaman itu, dia tidak memperdulikan dan memeriksa lagi tubuh Lie Seng lalu berkata,
“Tentu saja aku sanggup menyembuhkannya, akan tetapi dia harus dirawat di sini sedikitnya dua pekan. Racun yang menjalar di tubuhnya ini halus dan lembut akan tetapi cukup mematikan dan untuk membersihkannya sama sekali membutuhkan waktu lama...”
“Pendeta Lama yang kasar, aku mampu mengobati dia dan kutanggung dalam waktu tiga hari saja dia akan sembuh!” tiba-tiba In Hong berkata.
Tadinya dia menyangka bahwa anak itu tentu terluka oleh Siang-tok-swa, ketika dia mendengar teriakan pendeta Lama itu bahwa yang melukai anak itu adalah seorang iblis betina, dia menjadi yakin bahwa tentu gurunya yang melakukan itu.
Agaknya gurunya bentrok dengan pendeta ini dan dia tidak akan merasa heran kalau gurunya sampai kewalahan menghadapi pendeta Lama yang memang amat hebat ilmu kepandaiannya ini. Di dunia ini, yang pandai mempergunakan Siang-tok-swa hanyalah dia dan gurunya, maka siapa lagi kalau bukan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang melukai seorang anak itu?
Dia sendiri merasa penasaran mengapa gurunya mau melukai seorang anak sekecil itu dengan Siang-tok-swa. Perbuatan ini pasti tidak akan dia lakukan, karena hal itu dianggapnya terlalu keji dan curang.
Siang-tok-swa adalah pasir beracun yang hanya patut dipergunakan kalau menghadapi pengeroyokan banyak orang atau bertemu dengan lawan tangguh. Akan tetapi sama sekall tidak pantas kalau dipergunakan untuk melukai seorang bocah yang masih begitu kecil dan tentu belum tahu apa-apa!
Rasa penasaran inilah yang membuat hatinya tergerak untuk mengobati anak itu dengan obat penawar Siang-tok-swa yang selalu dibawanya bersama pasir beracun itu sendiri. Akan tetapi dia memang seorang dara yang cerdik, tentu saja dia tidak mau mengobati begitu saja!
Kok Beng Lama dan Yok-mo keduanya terkejut mendengar ini. Kok Beng Lama terkejut bercampur girang, sedangkan Yok-mo terkejut dan marah.
“Bocah sombong engkau! Aku saja baru akan dapat menyembuhkannya dalam waktu dua pekan atau... baiklah, kuperpendek menjadi sepuluh hari!”
“Dan aku tetap dapat menyembuhkannya dalam waktu tiga hari.”
“Akan kukeluarkan semua ilmuku... hemm, aku sanggup menyembuhkannya dalam waktu sepekan! Aku akan bohong kalau mengatakan kurang dari sepekan!” Yok-mo kembali berseru, penasaran.
“Dan aku ulangi lagi, paling lama tiga hari obatku pasti akan menyembuhkannya, paling lama tiga hari, mungkin kurang dari tiga hari.”
Kok Beng Lama menghampiri In Hong.
“Nona, benarkah itu? Kau sanggup mengobatinya secepat itu?”
In Hong mengangguk.
“Kalau kau pandai mengobati muridku, kenapa kau sendiri datang minta bantuan kepada Yok-mo?”
“Luka yang diderita oleh... sahabatku dan luka yang diderita muridmu tidak sama, Lama. Dan aku kebetulan mempunyai obat yang paling mujarab untuk mengobati luka muridmu yang terkena racun itu. Racun itu tentu disebabkan oleh Siang-tok-swa, bukan?”
Yok-mo terkejut. Tidak memeriksa sudah mengerti, sungguh hebat dan tepat sekali.
“Benar, luka itu oleh senjata rahasia pasir yang mengandung racun harum,” katanya.
“Kalau begitu, nona yang baik, kau obatilah muridku ini dan aku akan berterima kasih sekali kepadamu!” kata Kok Beng Lama.
“Ucapan terima kasih hanya merupakan kata-kata kosong belaka, apa gunanya bagiku, Lama? Sudah sepantasnya kalau orang memberi juga meminta, karena itu, aku mau memberi obat kepada muridmu dengan jaminan bahwa paling lama tiga hari dia pasti sembuh, sebaliknya akupun ingin meminta sesuatu darimu.”
Kok Bang Lama tertawa.
“Ha-ha-ha, baru sekali ini aku bertemu dengan bocah secerdik engkau. Baiklah, kau mau minta apa?”
“Karena engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka aku minta diberi ilmu yang dapat mengalahkan semua ilmuku, termasuk ilmu pedangku.”
Sepasang mata yang lebar dan besar itu terbelalak.
“Wahhh... ilmu silatku banyak sekali macamnya, aku sendiri sampai tidak hafal lagi. Yang mana yang kau minta?”
“Yang mana saja, asal bisa menangkan semua ilmuku. Kau tadi menggunakan kedua lengan kosong untuk menghadapi pedangku, nah, aku mau kau ajarkan ilmu sin-kang itu kepadaku.”
“Ha-ha-ha, menggunakan tangan kosong menghadapi senjata hanyalah mampu dilakukan orang yang memiliki Thian-te Sin-ciang. Kau mau minta sin-kang istimewa yang khas hanya dimiliki olehku ini?”
“Tidak perduli apa namanya dan bagaimana macamnya, pokoknya aku ingin menukar obatku dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang itu. Kalau kau mau, boleh. Kalau tidak, aku mau pergi sekarang. Sahabatku sudah menunggu dan nyawanya tinggal dua hari lagi.”
Sambil berkata demikian, dengan lagak “jual malah” In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
“Eeiiitttt... nanti dulu...!”
Sekali berkelebat Kok Beng Lama sudah mencelat dan melampaui tubuh In Hong, tahu-tahu sudah berdiri menghadang, membuat dara itu menjadi makin kagum. Pantas gurunya tidak mampu menandingi hwesio Lama ini, memang amat luar biasa kepandaiannya.
“Kau mau atau tidak?” In Hong berkata.
“Kau kira mudah saja mempelajari Thian-te Sin-ciang? Untuk memperoleh ilmu ini kau harus berlatih sedikitnya lima tahun!”
“Tidak perduli, pendeknya aku ingin memiliki ilmu itu, sekarang juga. Dan jangan kau mencoba untuk menipuku, Lama, karena aku cukup tahu bahwa menurunkan sin-kang kepada seseorang, sang guru dapat pula menyalurkan hawa murni kepada si murid dan dengan cara demikian akan dapatlah ilmu itu dikuasai secara langsung.”
“Wah, kau minta yang bukan-bukan!”
“Kenapa yang bukan-bukan? Dengan memberikan itu kepadaku, engkau tidak akan kehilangan apa-apa dan tenaga yang hilang oleh penyaluran itupun akan mudah terisi kembali.”
“Ha-ha, agaknya engkau cukup tahu akan segala hal ihwal pengoperan tenaga sin-kang, nona. Akan tetapi engkau tentu tahu pula bahwa ilmu simpanan seseorang hanya bisa diberikan kepada seorang muridnya.”
“Aku tidak akan menjadi muridmu dan engkau bukan guruku. Tidak ada hubungan guru dan murid antara kita, bahkan saling mengenal namapun tidak. Kita hanya saling menukar sesuatu yang berharga. Bagaimana, mau tidak kau menukar Thian-te Sin-ciang dengan obat untuk muridmu?”
Andaikata Kok Beng Lama masih waras pikirannya, tentu dia akan memikirkan hal ini lebih mendalam dan tidak akan memberikan ilmunya begitu saja. Akan tetapi dia dalam keadaan bingung, maka dia lalu menghela nafas.
“Baiklah, baiklah... nah, kau obati muridku dan aku akan memberi Thian-te Sin-ciang kepadamu.”
“Tidak, engkau serahkan dulu ilmu itu, baru aku obati muridmu.”
“Hemm, kenapa begitu?”
“Pendeta Lama, di antara engkau dan aku, sudah jelas bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi. Kalau aku obati dulu muridmu dan engkau ingkar janji, aku tidak akan bisa apa-apa terhadapmu. Sebaliknya, kalau kau berikan dulu ilmu itu, kemudian aku tentu tidak mungkin berani ingkar janji terhadapmu karena engkau akan dapat dengan mudah mengalahkan aku. Nah, ini sudah adil, bukan? Dan lagi, setelah kau memberikan ilmu Thian-te Sin-ciang kepadaku, aku akan menyerahkan obat kepadumu lalu pergi karena aku sudah meninggalkan sahabatku yang terluka itu selama satu hari satu malam. Nyawanya tinggal dua hari lagi umurnya, maka aku harus cepat pergi.”
“Wah-wah, kau memang cerdik dan banyak akal bulusmu. Mana bisa kau mau menipu aku? Bagaimana kalau obat yang kau berikan itu palsu dan ternyata tidak bisa menolong muridku dalam tiga hari?”
“Habis, hadirnya Yok-mo ini untuk apa? Dialah saksi yang paling berharga. Dia akan tahu apakah obatku itu betul mujarab atau tidak setelah kuobatkan kepada muridmu.”
Yok-mo yang sejak tadi mendengarkan perbantahan itu, ingin cepat-cepat terbebas dari dua orang muda dan tua yang sama-sama tidak disenanginya itu. Dia mengangguk.
“Benar, kalau obat itu palsu dan tidak mujarab, aku tentu akan segera tahu. Akupun ingin melihat apakah dia tidak membohongi orang-orang tua.”
“Kalau aku bohong, apa sukarnya bagi Lama ini untuk membunuhku?” In Hong membantah.
Kok Beng Lama merasa kalah bicara. Dia mengangguk-angguk lalu duduk bersila.
“Kau kesinilah dan duduk bersila di depanku,” dia berkata dengan nada memerintah.
In Hong girang sekali dan cepat dia duduk bersila di depan kakek itu. Si kakek menarik napas panjang. Duduk berhadapan demikian dekatnya dengan dara muda yang cantik jelita ini membuat dia teringat akan puterinya dan tiba-tiba dia menangis!
Tentu saja In Hong menjadi terkejut dan mengangkat muka. Melihat kakek itu menangis terisak-isak dan air matanya bercucuran, In Hong bergidik dan merasa serem. Tentu ada suatu hal yang amat hebat menimpa diri kakek sakti ini yang membuat terguncang batinnya dan membuat kakek setua itu dapat menangis mengguguk seperti ini.
Karena gemblengan paksaan, In Hong menjadi scorang dara yang berhati dingin, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki watak yang lincah, halus dan perasa seperti mendiang ibunya. Maka kini menghadapi keadaan kakek tua renta itu, tak dapat dicegah lagi air matanyapun bercucuran!
Hal ini amat menguntungkan In Hong. Kok Beng Lama yang sudah agak sinting itu, merasa seolah-olah berhadapan dengan puterinya. Dia merangkul dan mengeluh.
“Anakku... ah, anakku...” Dan In Hong balas merangkul. Sejenak mereka saling berpelukan sambil menangis.
“Gila...! Gendeng orang-orang kang-ouw ini...” Yok-mo yang menonton pertunjukan aneh itu menggeleng-geleng kepala berkali-kali.
“Harap...harap kauberikan ilmu itu kepadaku...” In Hong berbisik, hatinya masih terharu sekali.
Hal ini adalah kakek itu tadi menyebutnya “anakku” yang tentu saja mengingatkan dia bahwa dia telah tidak berayah ibu lagi, bahkan dia belum pernah melihat atau tidak ingat lagi bagaimana wajah ayahnya dan ibunya. Maka, mendengar kakek ini menganggap dia sebagai anaknya, tentu saja mengingatkan dia kepada ayahnya menimbulkan keharuan.
“Terimalah, anakku... terimalah... kau buka seluruh jalan darahmu, buka pusarmu dan jangan melawan aku... aku akan memasukkan Thian-te Sin-kang kepadamu yang menjadi dasar Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang...”
In Hong bersila dan “membuka” semua jalan darah dan pusarnya. Tiba-tiba kedua telapak tangan yang amat lebar dari pendeta itu menyentuh ubun-ubun kepalanya dan pusarnya. Terasa olehnya hawa yang hangat dan amat kuat mamasuki tubuhnya, berputaran di seluruh tubuh untuk kemudian berkumpul di pusar, bercampur dengan hawa sakti miliknya sendiri. Tubuhnya tergetar, kemudian menggigil dan berkelojotan. Hampir dia tidak kuat menahan, kemudian terdengar bisikan suara kakek itu,
“Perlahan-lahan kerahkan tenaga dari pusar, kuasai tenaga yang meliar itu sampai berputaran di pusar, pusatkan kekuatan dan seluruh perhatianmu...”
Dengan membuta In Hong mentaati perintah ini, dan dia terus mendengarkan perintah kakek itu yang merupakan petunjuk dan teori pengendalian tenaga Thian-te Sin-kang. Hampir tiga jam mereka duduk bersila berhadapan dan akhirnya In Hong dapat menguasai tenaga sakti mujijat yang liar itu. Keadaan itu hampir sama dengan menaklukkan seekor kuda liar. Mula-mula kuda itu meronta dan melawan, meloncat dan hendak membedal, akan tetapi setelah akhirnya dapat dijinakkan, menjadi penurut dan bergerak ke mana saja menurut kemauan yang menguasainya.
Setelah membuka matanya dan wajahnya masih pucat sekali, In Hong dengan penuh perhatian mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang teori Thian-te Sin-ciang. Cukup ruwet teori ilmu silat ini, akan tetapi sebagai seorang gadis yang cerdas dapat menerima dan menghafal teori itu dalam waktu dua jam. Tentu saja teori itu membutuhkan latihan, akan tetapi dengan dasar tenaga sin-kang Thian-te Sin-kang yang telah dikuasainya, dia akan dapat melatih ilmu itu dengan cepat.
Kok Beng Lama bangkit berdiri dengan tubuh agak lemas dan mukanya pucat. Dia telah menggunakan banyak tenaga, bahkan kehilangan banyak sin-kang, namun hatinya puas karena anak perempuan yang seperti anaknya ini dapat menerima ilmu demikian cepatnya.
“Sudah cukup... kau telah menguasai Thian-te Sin-ciang asal kau rajin berlatih...”
Hati In Hong masih diliputi keharuan. Dia tadi merasa betapa kakek itu menurunkan ilmu kepandaiannya penuh kasih sayang seperti kepada anaknya sendiri. Dan, memang demikianlah keadaannya. Andaikata tidak ada kasih sayang ini, kiranya tidak mudah untuk menerima penyaluran tenaga mujijat seperti Thian-te Sin-kang tadi. Maka kini In Hong menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada locianpwe.”
“Hushh, ingat. Kita bukan guru dan murid, bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang bukan tidak saling mengenal. Hayo cepat kau obati muridku.”
In Hong tidak berani bersikap kasar lagi. Dia mengangguk, lalu mengeluarkan obat penawar Siang-tok-swa, menghampiri Lie Seng dan memeriksa. Diam-diam dia menyesal sekali atas perbuatan gurunya yang terlalu kejam. Anak ini terkena Siang-tok-swa di dada, muka dan perutnya!
Cepat dia menaruhkan obat bubuk yang dicampur air dan diborehkan ke tempat-tempat yang terluka dan menghitam itu, kemudian dia memasak sebungkus obat lalu obat itu diminumkannya kepada Lie Seng. Diam-dam dara inipun kagum bukan main karena sejak tadi dia tidak mendengar anak itu mengeluh sedikitpun! Benar-benar seorang bocah yang luar biasa dan sudah patut menjadi murid seorang sakti seperti pendeta Lama itu.
Sejam kemudian, hari sudah mulai sore dan Yok-mo memeriksa keadaan Lie Sang. Dia mengangguk-angguk.
“Lama, kau percayalah. Obat boreh dan obat minum itu benar-benar manjur sekali dan agaknya memang khusus dibuat untuk mengobati luka karena Siang-tok-swa. Muridmu sudah hampir sembuh dan dalam waktu dua hari saja kurasa dia sudah akan terbebas dari pengaruh racun.”
Kok Bang Lama tertawa girang sekali.
“Ha-ha-ha, tidak percuma kalau begitu aku menyerahkan ilmu kepadamu, nona. Ha-ha-ha!”
In Hong lalu menyerahkan obat untuk Lie Seng kepada Yok-mo, kemudian dia berpamit setelah menjura kepada Yok-mo dengan ucapan terima kasih, kemudian memberi hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata,
“Biarpun teecu bukan murid locianpwe, namun teecu berjanji bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang tidak akan teecu pergunakan secara sembarangan dan akan merupakan ilmu simpanan teecu. Sekali lagi teecu menghaturkan terima kasih.”
“Ha-ha-ha, kalau kau pergunakan dengan sembarangan, apa sukarnya bagiku untuk mencarimu dan mencabutnya kembali berikut nyawamu? Ha-ha-ha!”
In Hong menjura lalu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap dari tempat itu. Yok-mo bengong dan menggeleng-geleng kepala.
“Nona itu dahsyat bukan main, sinar dingin di wajahnya menunjukkan dendam kebencian yang mendalam. Kini ditambah ilmu pemberianmu, Lama, sama dengan memberi sayap kepada seekor harimau.”
Akan tetapi Kok Beng Lama tidak memperhatikan ucapan itu. Hatinya terlampau girang melihat Lie Seng tertolong karena dia telah menganggap bocah itu sebagai muridnya. Memang Kok Beng Lama telah berobah sekali dibandingkan dengan wataknya sebelum dia mengalami pukulan batin yang hebat. Dulu tidak mudah bagi siapapun untuk menjadi murid kakek sakti ini.
Akan tetapi kini, begitu bertemu dengan Lie Seng, tanpa tanya-tanya dulu apakah bocah itu mau atau tidak menjadi muridnya, tanpa menyelidiki lebih dulu siapa bocah itu dan anak siapa, dia sudah begitu saja menganggap bocah itu sebagai muridnya! Dan tanpa menanyakan nama In Hong, sama sekali tidak mengenalnya, dia sudah begitu saja menyerahkan ilmu yang merupakan satu di antara ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan ampuh!
Komentar