DEWI MAUT JILID 060

"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?” 

Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, nada suaranya mengejek.

“Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya.”

“Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?”

“Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan dan kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan.”

Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. 
“Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apalagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini.”

Bun Houw maklum bahwa orang telah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.

“Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau...”

“Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku...”

“Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau...”

“Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Kalau engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum karena telah merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu.”

Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata, 

“Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya.”

Dengan tersenyum Liok Sun melangkah dan duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. 

Dengan sikap terpaksa Bun Houw duduk di atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.

“Hanya ada dua kemungkinan yang keluar,” kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, “Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda.”

Bun Houw menengok ke kanan kiri. Semua di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seolah-olah sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab, 

“Aku memilih genap!”

“Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu yang tak dapat dibagi dua adalah ganjil!” kata Liok Sun.

“Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!” Bun Houw berkata pula.

“Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!” 

Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya. Pandang mata Bun Houw dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, genap. 

Akan tetapi tiba-tiba sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sin-kang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!

Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biarpun Liok Sun jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sin-kang melawannya, dengan mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. 

Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka diapun lalu menggerakkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sin-kangnya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga sedangkan yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.

Liok Sun juga terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi diapun girang melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian kuat dan hebatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! 

Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga memperoleh kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!

“Ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!” kata Liok Sun.

Bun Houw tersenyum. 
“Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang.”

“Ehh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!”

Bun Houw menggeleng kepalanya. 
“Dalam hal ini, loya bersikap cerdik, dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apapun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang.”

“Gila! Mana bisa begitu?”

“Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor...”

“Genap!”

“Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!”

“Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!”

“Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapa yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekalipun, dapat dibagi dua?”

Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan mata terbelalak dan terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!

“Apakah bicaraku salah, Liok-loya?”

“Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah inipun masih dapat dibagi dua! Engkau menang orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku kalau engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku.”

Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya.

Dua orang itu menyeringai dan meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berkulit kehitaman, dan bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. 

Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.

Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. 

“Silakan Ji-wi maju,” katanya tenang.

Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tidak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini. 

Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!

Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan sekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan kedua lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. 

Pemuda ini menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri dan di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar. Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. 

Akan tetapi, dia tidak ingin terlalu menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia lalu melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. 

Maka amat seru dan ramailah tampaknya perkelahian itu, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman. Setelah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada dan pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini menjadi mulas perutnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.

Bukan main girangnya hati Liok Sun. Dia segera menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya ketika menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.

“Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!” katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.

“Terima kasih atas kebaikan Liok-loya...”

“Ah, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja,” kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. “Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan agar para langganan kita tidak menjadi jerih untuk bermain judi.” 

Setelah berkata demikian, dia mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.

Mulai saat itu, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! 

Sebaliknya, Bun Houw merasa terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.

“Sekarang berdagang amat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante,” katanya. “Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tidak akan dapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku karena dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu.”

  • SELANJUTNYA 

Komentar