DEWI MAUT JILID 061

Bun Houw mengerutkan alisnya.
“Apakah dia lihai sekali, twako?” 

Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan “majikannya” yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.

“Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu.”

Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. 

“Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu...”

“Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi.”

“Akan tetapi kabamya twako mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pemah mendengar bahwa twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa.”

Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. 
“Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?”

“Siapa yang tidak mendengamya, twako? Seluruh dunia kang-ouw geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka.”

Liok Sun tertawa. 
“Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante.”

Bun Houw menjadi bingung. Bukan maksudnya seujung rambutpun untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Akan tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besamya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapapun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apalagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.

“Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu dan kalau boleh aku mengetahui agar jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?”

Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berobah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.

“Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sesungguhnya, baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguhpun aku tidak pemah berhati kejam kepada siapapun yang tidak bersalah dan aku dahulu adalah seorang perampok tunggal yang telah mengundurkan diri dan bertobat, lalu menjadi pedagang hasil bumi.” Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.

Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, malapetaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok. 

Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitamya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bemama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! 

Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bemama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biarpun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un. 

“Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja.” Liok Sun melanjutkan penuturannya. “Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena akupun maklum, bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya menerima hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sesungguhnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku...”

“Eh...? Apa maksudmu, twako?” tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.

“Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!”

“Ah, jadi dia merampas isteri dan anakmu?”

Liok Sun mengangguk. 
“Mula-mula kusangka demikian. Di utara, aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam dan baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. 

Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka...” 

Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.

“Hemm, memang patut dihajar dia!” kata Bun Houw.

Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, pada suatu pagi, beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tidak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. 

Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.

Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar, Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. 

Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu, Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk, 

Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia telah berpesan kepada Liok Sun agar “majikannya” itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.

Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela.

Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika menjadi pucat wajahnya dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding di sudut kamar.

“Kanda... Sun Bian Ek...!” Tubuh wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. “Kau... kau... masih hidup...?”

Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, 

“Perempuan hina, andaikata sudah matipun aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!”

Mata itu makin terbelalak, mukanya makin pucat. 
“Tidak... ahh, jangan kau salah sangka...!” Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. “Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu...”

“Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau telah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?”

“Tidak... tidak... itu fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya malapetaka di malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku jika aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek...malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku...aku terpaksa...melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?”

Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang telah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.

“Dimana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia...”

Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengah sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggeleng kepala berkali-kali dan berkata, 

“Jangan... tidak... jangan...!”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, 

“Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!”

“Keparat, perempuan hina...!” 

Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali. Segala keraguan akan kesalahan isterinya setelah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini. 

Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan dan roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.

“Ibu...!” 

Seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun, berlari masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari samping dan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis. 

“Cringg... aduhhh...!” 

Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya lalu menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.

Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.

“Plakkk...!” 

Perwira itu terhuyung dan goloknya terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguhpun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu. 

Karena tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dahulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga “majikannya” itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.

“Keparat busuk kau...!” 

Liok Sun membentak ketika melihat Phang Un terhuyung, biarpun tangan kiri memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali. Phang Un masih terkejut oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. 

Dia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menampamya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengenai sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.

Pada saat itu, datanglah belasan orang perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata, 

“Liok-twako, hayo kita pergi...!”

Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, diapun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw merobohkan lagi beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam.

Peristiwa itu membuat Liok Sun makin percaya kepada Bun Houw. Diapun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin seorang di antara Lima Bayangan Dewa. 

Dan memang anggapannya ini tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim. Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa girang sekali. 

Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya. Maka berangkatlah mereka dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena diapun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali.


  • SELANJUTNYA 

Komentar