DEWI MAUT JILID 059
Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan!
Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, akan tetapi di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Setelah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas mmejakeja, tidak ada yang menambah pasangan.
Waktu ini tentu saja dipergunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa kalau biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang penting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
“Berhenti semua... dadu dibuka...!”
Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima!
Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak. Dia sudah yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lain sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi ketika dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!
“Sem... sem... bilan menang...!”
Bandar berseru dengan suara gemetar dan mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia sudah menggetarkan tangannya, menggunakan lwee-kang untuk membuat dadu itu rebah, akan tetapi sekali ini dadu-dadu itu “membangkang”!
Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan bandar kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri dan muka kemerahan.
Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa diantara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak daripada yang mereka terima sekali ini.
Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada saat dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya dan matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lwee-kangnya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula!
Biarpun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan peluh dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandang matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik.
Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapapun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, dan kini memperhatikan sekali.
“Dadu dibuka...!”
Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu dan tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, maka kini dia mengerahkan lwee-kangnya.
Akan tetapi, kedua butir dadu ini sama sekali tidak berkutik! Dia masih mengerahkan lwee-kang sambil memandang ke arah Bun Houw. Dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, dan tangan kiri pemuda itu menekan meja. Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang “main-main” dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan empat.
Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, kini makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan.
Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot lengan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan membayangkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak.
“Yang tidak berjudi harap keluar!” bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw. “Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!”
Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata,
“Mengapa di luar tidak dipasang peringatan seperti aku? Aku datang hendak melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?”
“Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?” bentak seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
“Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa menggunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!”
Bun Houw mengejek dan memperlihatkan lagak jagoan, seolah-olah dia sudah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang “jagoan”.
“Eh, si keparat, kau menantang?” bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan dan kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar
Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu, sedikitpun tidak berkutik dan biarpun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, namun pemuda itu tidak dapat berkisar sedikitpun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik sebuah arca dari baja yang amat berat dan kokoh!
Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah orang-orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar namun pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan mereka.
“Kau ingin mampus?” bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw.
Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-rerhuk tulangnya!
Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu.
Bun Houw tersenyum ketika melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi daripada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya.
Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di belakang meja-meja judi yang besar dan kuat.
Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguhpun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
“Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku datang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, akan tetapi kalian menyambutku dengan kekerasan.”
Tentu saja mereka semua tidak memperdulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu tadi dan melihat betapa pemuda ini telah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw terpaksa membela diri menggunakan kelincahannya meloncat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang kini menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya.
Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan dapat merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya. Dia ingin menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, kalau perlu masuk menjadi anak buahnya.
Dan untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul itu hanya untuk memancing perhatian, dan diapun tidak melukai mereka dengan hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah.
Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan bunyi senjata yang bertemu dengan meja, lantai dan senjata-senjata yang beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya.
Bun Houw sejak tadi maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang di punggung orang itu, sikapnya yang angkuh dan sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun.
Maka dia mengurangi kecepatan geraknya walaupun dia masih dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
“Kalian orang-orang tak mengenal maksud baik orang lain!” Bun Houw pura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
“Sudah kukatakan, aku datang untuk bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?”
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Biarpun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya itu yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi melukai dan merobohkannya.
Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercayai kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa kalau dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang mengira bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya.
Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan dan dengan langkah lebar dia menghampiri Bun Houw. Mereka saling berhadapan dan Liok Sun bertanya,
“Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Benarkah itu?”
“Ah, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?” Bun Houw merendah.
“Orang muda, engkau seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sebenarnya apakah yang kau kehendaki?” Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.
“Apakah saya berhadapan dengan Liok loya sendiri?”
Komentar