DEWI MAUT JILID 058
“Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja, bukan ingin menjadi jutawan, apalagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam nyanyianmu tadi.”
Orang itu tertawa.
“Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar nyanyianmu tentang sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan kepadaku.”
“Ah, itukah?” Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, “Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi.”
Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.
“Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dulu pernah ada tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila.”
Bun Houw mengangguk-angguk.
“Dan tentang Lima Bayangan itu?” dia bertanya sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.
“Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan karena Lima Bayangan...”
“Dewa? Lima Bayangan Dewa kau maksudkan?”
“Ehhh...?” Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. “Kau... tahu?”
Bun Houw menggeleng kepala.
“Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kau sebut-sebut mereka dalam nyanyianmu?”
“Aku hanya sering mendengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua orang, termasuk aku, tidak percaya, maka untuk mengejek kesombongannya itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku.”
Bun Houw memandang tajam.
“Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan Dewa?”
Orang itu menggeleng.
“Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima Bayangan Dewa?”
Orang itu mengangguk.
“Demikian yang dikatakan orang.”
“Terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah seorang seniman tulen dan jangan perdulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap saja mereka itu anjing-anjing menggonggong.”
“Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan...”
“Kalau begitu mereka itupun hanya sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang menggonggong belaka dan anjing apapun, gonggongannya tetap sama!”
Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu, langsung mencari keterangan tentang tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka dimana adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan merupakan sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini lalu pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki tempat judi, apalagi berjudi.
Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakannya masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi ruangan dan peluh mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan.
Bun Houw yang selama hidupnya baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan jelas nampak keadaan yang tidak kelihatan oleh mata orang-orang yang sudah biasa berada di situ.
Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas di wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi. Tawa riang, kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang terpancar dari mata mereka, keputusasaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam maya yang membayangkan kecerdikan dam kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semuanya ini seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw.
“Kongcu ingin bermain apa?”
Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
“Aku... mau melihat-lihat dulu,” jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar dimana diadakan permainan dadu.
Biarpun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya adalah seorang pegawai po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jari tangannya yang panjang dan cekatan.
Bandar ini memegang sebuah mangkok dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai dengan enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.
“Hayo pasang... pasang... pasang...!”
Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.
Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Setelah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring,
“Pemasangan berhenti... dadu diputar...!”
“Kratak-kratak-kratakkk...!”
Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri lalu dikocok, sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan dan cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
“Boleh tambah pasangan...!” Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.
Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka.
“Berhenti semua... dadu dibuka...!”
Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja dimana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.
“Tujuh menang... ganjil menang...!”
Bandar berteriak dan terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biarpun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh ada ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya.
Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang amat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok itu dibuka cepat sekali, akan tetapi dengan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangan di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu.
Kalau tidak terjadi keanehan itu, tentu yang menang adalah angka enam dan empat, berarti angka sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak daripada yang berpasang pada ganjil!
Biarpun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lwee-kang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya!
Kini para pembantu bandar sudah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu untuk menaruh pasangan mereka. Terdapat suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul, di tempat seperti itu terdapat setannya.
Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, melainkan juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal penting, akan tetapi yang jelas “setan-setan” di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian.
Mereka yang kalah menjadi makin serakah karena ingin mengejar kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian.
Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit. Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya, mereka menjadi makin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih.
Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa!
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yang menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan.
Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga.
Di dalam setiap pengejaran keinginan, kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antara bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!
Komentar