DEWI MAUT JILID 057
Kota Kiang-shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan. Ingin mencari wanita-wanita pelacur yang paling terkenal cantik dan pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah sampai paling tinggi. Kiang-shi tempatnya!
Ingin mengadu peruntungan dengan perjudian, sehingga dalam waktu semalam saja, seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan seorang biasa mungkin saja, biarpun agak langka, mendadak menjadi jutawan. Di Kiang-shi pula tempatnya!
Seorang seniman jalanan yang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara dua potong bambu yang dijepit di antara jari-jari tangannya sehingga menimbulkan suara “trak-tak-trak-tak-tak!” bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung mengharapkan sedekah orang.
Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan uang kecil sepotong.
Seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan malam hari ini, menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan di mana toko-toko berjajar-jajar dengan penuh segala macam barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira.
Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu dia tiba di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya untuk mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama dan julukan mereka akan tetapi tidak diketahuinya dimana tempat tinggal mereka itu.
Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andaikata ada yang mengetahui tempat tinggal merekapun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya.
Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggauta kaum sesat sehingga dia akan dianggap “orang dalam” dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.
Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar dimana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu.
Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan. Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang inipun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lain, yang hanya menghafal sehingga syair yang diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan.
“Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak
Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!”
Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Diapun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton.
Penyanyi ini bernyanyi terus, lebih bersemangat sekarang. Syairnya lebih bebas, tidak merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya.
“Isteri anda di rumah cerewet
dan marah?
jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil
di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis
dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!”
Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Dia sendiri belum dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau Bun Houw pun ikut tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa, suasana di tempat itu memang menggembirakan.
Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, dimana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.
“Anda ingin menjadi jutawan?
Pergilah ke Hok-po-koan!
Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap?
Dalam semalam
Menjadi jembel kelaparan!”
Kembali semua orang tertawa, dan dia menaruh perhatian ketika penyanyi itu melanjutkan nyanyiannya setelah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton dan pendengarnya.
“Akan tetapi hati-hatilah
jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!”
Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang biasa saja dan kini setelah nyanyiannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain tempat lagi.
“Twako, perlahan dulu...”
Bun Houw menegurnya dari belakang. Orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega dan dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu.
“Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum arak dan mengobrol...”
“Ah, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang...”
“Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman.”
“Aku? Seniman? Ha-ha, jangan mengejek, hiante.”
“Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah kepadaku sehingga menolak tawaran dan ajakanku?”
“Ah mana aku berani! Baiklah, dan terima kasih, hiante.”
Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, dan arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang itu berkata,
“Aih, dasar perutku yang bernasib baik malam ini, bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku ingin bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?”
“Tentu saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini,” kata Bun Houw, bersungguh-sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.
“Ahhh, kalau saja semua orang berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku seorang seniman. Apalagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuap nasi dengan menjual suara...”
“Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sepandai-pandainya orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang amat berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong dan tinggi hati dan tidak ada yang lebih bodoh daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri bersih.”
“Hayaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiante! Aku hanya penyanyi yang menjual suara...”
“Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya seninya? Senimanpun manusia biasa yang membutuhkan makanan, pakaian dan rumah!”
“Hiante, kalau begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian itu?”
“Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu adalah orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu.
Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkah oleh hujan tadi bukan? Nah, karya senipun demikian. Yang jelas, jika mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentu dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni bahkan merusak.”
Penyanyi itu bangkit berdiri dan menjura kepada Bun Houw.
“Sungguh hebat! Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau telah mengangkat aku dari jurang dimana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan perikehidupan manusia di Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan kunyatakan dalam nyanyianku. Kau dengar saja nanti!” Dia bersemangat sekali nampaknya.
“Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan, twako?” Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya.
“Heh? Apa maksudmu?” orang itu bertanya.
Bun Houw tersenyum.
“Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan dalam nyanyianmu. Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-po-koan itu, twako?”
“Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi...”
“Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu, twako.”
“Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku.”
Komentar