DEWI MAUT JILID 049
“Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam.
“Apa... apa maksudmu...?” Dia bertanya bingung dan melihat kakek itu kini menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat dan mulut berkemak-kemik, dia bertanya lagi, “Apa... yang kau lakukan itu...?”
Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak dalam perangkap kakek lihai itu.
“Tio Sun... berlututlah... engkau pemuda pilihan roh-roh halus... berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!”
Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak menolongnya, tiba-tiba menjerit,
“Jangaaannn...!”
Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu.
“Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka...” Suara ketua yang berkepala gundul itu penuh getaran. “Engkau mengerti...?”
Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan,
“Aku mengerti...”
Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu.
“Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti.” katanya kepada anak buahnya.
Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua masakan dan minuman di atas meja.
Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan menari-nari!
Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus dan terdengar suara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu.
Dan yang lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengerikan di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sian-jin!
“Siancai... siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!”
Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir.
Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar akan keadaannya, di-“keroyok” oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir telanjang.
“Aihhhh...!”
Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjengkang ke kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ.
Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu. Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin, mengeluarkan seruan keras sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di tangannya.
“Plakk... krekkk... desssss!”
Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin terlempar ke belakang.
“Si keparat laknat!”
Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.
“Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur kesesatan, kembali ke jalan kebenaran,” kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.
Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor srigala terluka.
“Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!”
Tio Sun mengeluarkan seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang.
Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru,
“Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!”
“Darrr...!”
Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua.
“Lociainpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih...”
Dara remaja itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.
Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seolah-olah semua iblis dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.
Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat dan robohlah empat orang anggota Jeng-hwa¬pang. Semua orang terkejut memandang dan kiranya Tio Sun yang sudah menghadang di depan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan mengamuklah pemuda itu.
Kini setelah dia tidak berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk.
Tangan kirinyapun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan kirinya mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lwee-kang yang amat kuat.
Baru tampak, bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Setelah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang.
“Keparat keji hendak lari kemana kalian?” Pemuda itu hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara halus mencegahnya,
“Cukup, sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!”
Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi menuntun Mei Lan dan sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.
Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat berlutut dan berseru ke arah menghilangnya kakek itu,
“Teecu mohon tanya nama locianpwe yang mulia!”
Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban halus.
“Aihh... apa artinya nama? Jangan khawatir, sicu, gadis ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu...”
“Ahhh...!”
Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ. Pernah dia mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu dan sampai kini tidak ada orang tahu dimana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati, adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, dan kakek itu adalah bekas ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang lalu!
Pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih hijau dan belum ada nama dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia diperkenankan oleh ayahnya yang menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima The Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san ketika mereka melihat tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han telah tewas oleh mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa.
Tio Hok Gwan ikut merasa berduka dan marah, akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia lalu pulang ke rumahnya dan mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu Cin-ling-pai dan mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat itu.
Tio Sun adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap dan bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit seperti mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan wajahnya yang biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus akan tetapi tegas dan terbuka.
Setelah dapat menenteramkan hatinya yang terguncang karena kagum mendengar bahwa kakek yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun Hoat Tosu, Tio Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu.
Kakek gundul yang seperti iblis itu, Jeng-hwa Sian-jin telah tewas karena ilmu sihirnya yang membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi telah membuat dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua. Teringatlah dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran apakah roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus itu dan diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang tidak enak dilihat dari perbuatan mereka sendiri.
Tio Sun lalu menyalakan api dan membakar bangunan-bangunan di perkampungan penuh kemaksiatan ini sehingga api berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga belas orang Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ.
Pada keesokan harinya, Tio Sun mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya kepala-kepala dusun itu dan diceritakannya tentang penduduk yang terpikat menjadi anggota perkumpulan pemuja iblis itu.
Dianjurkan kepada kepala-kepala dusun itu untuk memperingatkan penduduknya agar jangan sampai mudah terpikat lagi oleh orang-orang jahat yang berlindung di belakang perkumpulan-perkumpulan kebatinan yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan dan ketahyulan para penduduk dusun.
Setelah pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar, dua orang kepala dusun menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah menjadi anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman kalau berani melanjutkan upacara sembahyangan yang menyesatkan itu.
Tio Sun lalu melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw dan mencari-cari dimana adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.
Komentar