DEWI MAUT JILID 050

Dengan pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi, Kun Liong duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat menekan kedukaannya yang amat hebat, wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan gairah hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak yang menjadi putih!

Duka maupun suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini, yang menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang telah terjadi, yang merupakan fakta dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapapun juga. Apakah peristiwa itu mandatangkan duka maupun suka, tergantung sepenuhnya kepada penanggapan manusia terhadap fakta itu. 

Jika pikiran yang menangapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang kesemuanya itu berpusat pada diri pribadi. 

Menenggelamkan diri ke dalam gelombang suka duka yang diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat, sama sekali tidak ada gunanya. Di dalam hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita dukakan. 

Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tidak akan lebih buruk daripada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada kita. 

Dan biasanya, sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka semacam ini, yang sesungguhnya mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta terhadap si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan tidak akan berobah oleh tangis air mata darah kita! Betapapun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan. 

Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian dan memiliki batin yang kuat. Akan tetapi malapetaka yang menimpa dirinya terlalu hebat baginya. isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang tercinta melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Maka pukulan batin itu membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat. 

Pada saat itu, dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan dulu sebelum menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena betapapun juga, dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh isterinya. 

Dan andaikata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang menjadi sebabnya karena sepanjang pengetahuannya, isterinya tidak ada hubungan dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu. 

“Yap Kun Liong, apa yang kau lakukan di sini?” 

Pertanyaan yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung getaran amat kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri membalikkan tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari Tibet yang menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolah-olah merobek lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

“Gak-hu... gak-hu... ahhh... Hong Ing... isteriku...!” 

Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pendekar ini saking sedihnya sudah terguling dan roboh pingsan lagi! 

“Huh, cengeng dan lemah...!” 

Kok Beng Lama bersungut-sungut, dengan langkah lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detak jantung dan pernapasan dan dia kaget juga memperoleh kenyataan bahwa mantunya itu ternyata mengalami tekanan batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan punggung dan Kun Liong siuman kembali. 

“Bocah lemah, hayo katakan kenapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah, menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kau tangisi ini?” Kakek itu menuding ke arah gundukan tanah yang masih baru itu. 

“Gak-hu (ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing...” 

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke atas.
“Hahh...? Apa kau bilang? Hong Ing...?” 

“Dia... dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi...” Kun Liong berlutut dan menutupi mukanya. 

“Dan kau sudah membalas kematiannya? Sudah kau tangkap pembunuhnya?” 

“Saya... saya belum tahu siapa dia...” 

“Bodoh! Cengeng! Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang telah terjadi atas diri anakku, Hong Ing!” 

Suara kakek raksasa itu seperti petir menyambar-nyambar, nyaring dan menggetarkan jantung sehingga mengejutkan Kun Liong yang maklum betapa marah hati ayah mertuanya ini. 

“Saya sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya,” dia bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, “ketika saya pulang, saya mendapatkan isteri saya... telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan di rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling¬pai, Cia Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua orang pelayan, terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahian antara isteri saya dan Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai juga dipukul pingsan... Ketika mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada dan... dan Hong Ing sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang...” 

“Dan engkau menangis di sini? Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi isterimu!” 

“Gak-hu...!” 

“Desss...!” 

Tubuh Kun Liong mencelat den bergulingan di atas tanah terkena tendangan ayah mertuanya itu. 

“Keparat engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya menangis saja di depan kuburan seperti anak kecil, dan pembunuhnya kau biarkan saja! Hemmm, manusia lemah macam engkau ini pantasnya kubunuh sekalian!” 

Kok Beng Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya dibunuh orang dan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung disitu tanpa membalas kematian itu, sudah meloncat dekat dan mengirim pukulan ke arah kepala Kun Liong. 

Kalau dibiarkan saja pukulan ini dan mengenai kepala Kun Liong, tak dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa isterinya. Betapa akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya menangkis 

Kembali dia terpental dan bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Bang Lama tergetar juga. 
“Tahan dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalas kematian isteri saya yang tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya berada di sini...” 

“Cukup, apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu pergi mengambil Cia Giok Keng dan minta pengadilan kepada ketua Cin-ling-pai!” 

Kok Bang Lama lalu memegang pergelangan tangan Kun Liong dan menyeret pendekar itu pulang ke rumahnya. Kun Liong menahan air matanya ketika dia menoleh dan meninggalkan kuburan isterinya, kemudian terpaksa diapun harus mengerahkan ilmu berlari cepat karena mertuanya itu berlari cepat sekali. 

Giam Tun dan Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong, menjadi terkejut dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa mereka untuk ikut pergi dan pada saat itu juga, hampir tidak memberi waktu kepada mereka untuk berganti pakaian dan membawa bekal. 

Kun Liong juga segera membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada hari itu juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan Tapie-san. 

Di dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng Lama menceritakan lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing itu. 

Karena melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng Lama menjadi tidak sabar dan seringkali dia mengomel. 

Pendeta tua ini semenjak ditinggal pergi muridnya, Cia Bun Houw, yang dipanggil pulang oleh ayahnya ke Cin-ling-san merasa kesepian sekali di Tibet. Dia merasa gelisah dan disiksa oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri. 

Kesunyian timbul apabila kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah dari sesuatu atau seseorang itu. Memang beratlah akibatnya apabila kita terikat yang sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar melepaskan diri atau berjauhan dengan yang telah mengikat kita. 

Terpisah dari seseorang yang mengikat kita membuat kita merasa kesenangan dan derita dari kesepian ini memang amat hebat, tak tertahankan oleh seorang sakti seperti Kok Beng Lama sekalipun! 

Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat hatinya, yang kini pergi, membayangkan waktu Bun Houw masih berada di dekatnya. membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda itu masih menjadi muridnya dan dekat dengan dia. 

Kenangan dan bayangan akan semua ini membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia merasa tidak kerasan lagi berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung den pergi ke timur, tidak kuat melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia di Leng-kok, tempat tinggal Yap Kun Liong, mantunya. 

Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri.

Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek dan dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi nama Lie Ciauw Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.

Selama belasan tahun berumah-tangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak terdapat di Tapie-san dan seringkali mengirimkan kayu-kayu balok melalui Sungai Huai ke kota-kota lain. 

Kehidupan keluarga Lie ini tenteram dan cukup, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han. Di tempat ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang telah bersikap keras dan dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. 

Maka sepulangnya dari kota itu, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong dan menegur adik pendekar ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada dan terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing.

Ketika Kun Liong, Kok Bang Lama, dan dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng dan suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang untuk menegurnya yang pernah marah-marah kepada isterinya, bahkan telah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran antara mereka. 

Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. 

“Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!”


  • SELANJUTNYA 

Komentar