DEWI MAUT JILID 048

Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka!

Kalau pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah yang akan saling mengenal? Biarkan para “roh” yang menguasai mereka dan memilih pasangan masing-masing! 

Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pesta gila ini, karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan beberapa kali saja sepuas hati mereka. 

Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam pesta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya.

Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas. 

Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu.

Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. 

Kini semua orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan. 

Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! 

Suasana menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.

Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga menurunkan lengang mereka kini kembali merighadap dan memandang kakek gundul itu.

“Anak-anakku semua...!” 

Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. 

“Pada malam hari ini kita semua patut bergembira karena malam ini para dewa dan roh-roh halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua roh-roh halus yang mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah murni kepada kita.”

Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan mata mengandung kegelisahan.

“Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir.” 

Jeng-hwa Sian-jin yang entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan kekhawatiran ini, berkata pula. 

“Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia.”

“Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan...” Terdengar suara seorang wanita di antara mereka itu.

“Saya juga takut...” 

Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang semua menyatakan ngeri dan takut.

Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. 
“Apa artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum mengerti? Tidak ada yang membunuh atau dibunuh...anak dara ini hanya menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk kemurahan roh-roh halus itu!”

Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat.

“Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta malam ini.”

Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. 

Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahan-lahan mulai terangkat dari atas lantai!

Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya dipasangi sebatang pensil bulu.

Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun mulai bergoyang-goyang!

Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang yang telah mati. 

Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau teman-teman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya!

Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan roh! Kacau-balau disitu, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila.

“Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati hidangan!” 

Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. 
“Penjahat-penjahat keji, bebaskan gadis itu!”

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan.

“Berhenti!” 

Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling meja tadi dalam keadaan tidak sadar.

“Siapakah engkau berani mengotori tempat upacara kami yang suci?” 

Bentak kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu.

“Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!”

“Tangkap dia!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton, kini berteriak marah.

Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh berturut-turut dan tubuh mereja terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan dimana Mei Lan rebah terlentang.

“Bocah lancang...!” Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang maju.

Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik, lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.

“Dukkkk!” 

Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh si kakek rambut putih. 

Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing dengan sikap mengancam. 

Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti orang-orang yang tidak waras lagi otaknya.

“Tahan... jangan bunuh dia...!” 

Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan menghadapi pemuda itu.

Sejenak kedua orang itu saling pandang dan jelas bahwa wajah kakek itu membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.

“Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang berani mengganggu upacara suci kami?” tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.

“Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!”


  • SELANJUTNYA 

Komentar