DEWI MAUT JILID 043

“Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?” 


In Hong membentak dengan suara penuh kemarahan kepada nenek itu. Mereka berdiri saling berhadapan di luar kota Leng-kok pada pagi hari itu, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung.

Malam tadi, Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong dan Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong dengan maksud membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai. 

Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing, bekas muridnya, mereka berpencar setelah berjanji akan bertemu di luar kota dimana terdapat kuil itu pada keesokan harinya.

Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia menegur dengan suara ketus.

“Heh-heh-heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justeru mau bertanya kepadamu mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan mengapa engkau membunuh dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?”

“Nenek iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah kepadaku!”

“Eh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang dan melihat dari atas genteng betapa bekas muridku itu telah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada, lalu aku mencari-carimu.”

“Hemm, mengapa pula aku membunuhnya? Akupun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku harus membunuh?” 

“Huh, dan kau kira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?”

“Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain.”

“Dan kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekcok dulu lalu kau membunuhnya dengan darah dingin. Kau kira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, ‘Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi kalau bukan engkau yang dia maksudkan?”

“Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku!”

“Yap In Hong, engkau berani menghinaku!”

Kedua orang itu sudah saling melotot dan pada saat itu Yalima melangkah maju dan berkata, 

“Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang penting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan enci dengan diapun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia bukan?”

Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. 
“Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, mengapa kita seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkaupun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya.”

“Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Kita berpisah di sini saja.”

“Eh-eh? Apakah engkau marah setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu?”

“Bukan urusanku!”

“Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga langsung engkau dapat memutuskan ikatan jodoh dan sekalian memaksanya mengawini muridku ini. Aku mengenal seorang sahabat baikku di lereng gunung itu, seorang tokoh besar, marilah kita mengunjungi karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?”

Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, 

“Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko.”

In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!
“Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?” katanya.

“Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian so-somu (kakak iparmu) dan kaupun tidak berduka, bukan? Sudah, tidak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak.”

Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk oleh nenek itu. Diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subonya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.

Gunung yang mereka tuju itu adalah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang merupakan batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger dan kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya seperti batu kumala.

Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sian-kouw yang dalam usaba ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. 

Memang Toat-beng-kauw Bu Sit sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biarpun ketika itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka biarpun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya. 

Kini, tempat itu dipilih oleh beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biarpun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.

Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang berilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu. 

Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang telah tewas ketika bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong (baca cerita Petualang Asmara) sehingga diapun merasa tidak suka kepada keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, maka setelah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera mengajukan diri.

In Hong memandang tajam penuh selidik ketika kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Sinkouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.

In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapapun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus seperti monyet dan yang pandang matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu.

“Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!” demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. “Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kau lihat, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus putih seperti kulitmu itu, sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan kepandaiannyapun hebat! Dan ini, seperti diperkenalkan tadi, adalah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini biarpun masih muda, akan tetapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suhengnya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa.”

Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang sudah menggegerkan dunia persilatan karena telah berani mengacau Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam?

Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, 
“Nona Yap, sungguhpun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, nona memiliki kepandaian yang amat hebat,” mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima!

“Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!” Go-bi Sin-kouw terkekeh, “Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok.”

“Aihhh...!” 

Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran.

“Biarpun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa.” In Hong cepat berkata. “Sejak kecil tidak pernah ada hubungan.”

Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian hebat sekali dan merupakan “orang dekat” dengan Cin-ling-pai!

“Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?” Tiba-tiba Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.

Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. 
“Cantik jelita dan hebat, ya? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet.”

“Wah, sungguh beruntung engkau mempunyai murid secantik ini!” 

Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya! 

In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tidak menyenangkan itu, akan tetapi begitu bertemu dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam! 

Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, kiranya mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.

Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw dan empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. 

Agaknya memang sengaja In Hong ditinggalkan, karena setelah makan malam. Yalima diperintah oleh subonya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan dan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguhpun di udara nampak awan hitam berkelompok.

“Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biarpun dia mengaku tidak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia itu adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu sengaja menjadi mata-mata Cin-ling-pai!” Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.


  • SELANJUTNYA 

Komentar