DEWI MAUT JILID 044
“Heh-heh, kau kira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!”
“Ahhh...!”
Semua orang tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.
Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kandungnya itu.
Mereka mendengarkan penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela.
“Betapapun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka.”
Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot.
“Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?”
“Ah, Giok-hong-pang...?” Hek I Sian-kouw bertanya.
Go-bi Sin-kouw mengangguk.
“Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia melihat kematian kakak iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!”
“Huhh...?”
Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.
“Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan diri!” Hwa Hwa Cinjin berkata. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?”
Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut.
“Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?”
Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu.
“Atas nama Lima bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?”
Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.
“Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini.”
“Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita,” kata Toat-beng-kauw Bu Sit.
Nenek itu menggeleng kepala.
“Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku kemana saja hanya karena aku berjanji akan mempertemukan dia dengan pecarnya.”
Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri.
“Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!” Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.
“Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih.”
Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa.
Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi Sin-kouw menyerahkan muridnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!
Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata,
“Terima kasih, terima kasih, terima kasih!”
Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.
Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.
Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu.
“In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?”
Yalima berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.
In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.
“Tanyalah, mengapa aku harus marah?”
“Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?”
In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikan Copet dan yang kedua dengan Yalima.
“Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku.”
Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.
“Akan tetapi engkau agaknya...amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci? Aku sungguh tidak mengerti.”
Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Hou! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan curiga.
“Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!”
“Eh, aku tidak mengerti, enci.”
“Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Kalau dia sudah tahu babwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!”
Yalima masih bingung.
“Seharuanya dia bersikap bagaimana, enci?”
“Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!”
Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi,
“Enci, apakah engkau cemburu?”
In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu.
“Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?”
“Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko...”
“Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain...”
“Seperti yang lain siapa, enci?”
In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta Giok-hong-pang.
“Seperti siapa, enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?”
“Hushh!” In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu. “Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati.”
“Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin...” Dara itu memandang penuh kekhawatiran.
“Hemm, kau rasa bagaimana?”
In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.
“Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah...”
In Hong tersenyum lebar.
“Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima.”
“Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci.”
“Eh?? Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!”
“Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?”
“Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat.”
“Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci.”
“Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu.”
Komentar