DEWI MAUT JILID 029

 
“Adik In Hong...!”

In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak nampak seorangpun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut. Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang amat jauh, namun suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di pinggir telinganya! 

Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.

Tak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam wajah yang cantik jelita itu.

“Yap In Hong, adikku, adik kandungku...”

In Hong mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya disitu, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.

“Sejak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang ketika menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu.”

“Engkau... engkau mau apakah?” 

Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu. Hatinya berdebar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora di dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, akan tetapi juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.

“In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan setelah kita bertemu bagaimana engkau bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tidak ada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu.”


“Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan sejak kecilpun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita berpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapapun juga.”

“In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san.”






Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan mengira bahwa adiknya sebagai seorang gadis muda tentu akan menjadi merah mukanya karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya dan memandang dengan heran. 

Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak perduli, kelihatannya agak termenung seperti orang terkejut. Dan memang bukan urusan perjodohan itulah yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan, berarti bahwa ketika ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu dan mencuri Siang-bhok-kiam.


Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar tentang peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi malapetaka yang menggegerkan.

“In Hong, karena itu sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku dan kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subomu kepadaku maka aku selama ini tidak mau mempergunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin mempergunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu.”

“Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan suboku, mana mungkin aku akan menyakiti hatinya dengan berbaik kepadamu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali.” Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.

“In Hong...!” Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. “Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku sudah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!”

“Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, koko?” jawab In Hong dengan nada mengejek.

Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal. Kini, baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk “menebus dosa” atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya.


Dia lupa bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya itu seperti halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tidak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.

Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. 
“Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti akupun tidak akan mencampuri urusanmu.”

In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, 

“Ayah dan ibu, anakmu ini sejak dahulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adikpun tidak mampu. Ampunilah aku...”

Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Ketika dia mengenangkan adiknya, hatinya perih. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh ketika In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andaikata adiknya menjadi mantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik. 

Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apabila dia teringat kepada In Hong.

Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. 

Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu! Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan telah dirundingkan masak-masak, telah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? 

Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... eh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekalipun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu.

“Lihat saja kalian nanti!” gerutunya. “Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!” 

Dengan hati panas dia melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu.

  • SELANJUTNYA 

Komentar