DEWI MAUT JILID 030

Sukar dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.


Cia Keng Hong menggigit bibirnya dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, lalu menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apalagi ketika mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali.


“Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekalipun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!” 

Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju. Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang pernah namanya menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!

Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya akan penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.


“Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat...” Pembicara itu menghapus air matanya. “Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberitahukan nama-nama mereka.”

“Lekas sebutkan nama-nama mereka!” 

Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama dan julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu dan dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.

“Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,” Cia Keng Hong berkata marah. “Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?”

Mendengar dicurinya Siang-bhok-kiam, tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Akan tetapi isterinya berkata, 

”Biarpun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Lebih dari itu malah, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi.”






Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu.
”Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw.”


Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu dan tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, 

“Tidak kusangka, di dalam usia tua aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh...jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tidak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai matipun aku selalu akan membela kebenaran dan menentang kejahatan!” 

Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.

Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan. 

Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sutenya mendengar penuturan tentang matinya tujuh orang sutenya dan lenyapnya pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!

“Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak bisa mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian para suheng itu!”


Bun Houw berkata sambil menahan air matanya. Dia tidak dapat mengusap air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu sampai menangis.

Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara keren lalu berkata, 
“Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukanlah perkumpulan orang-orang cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tidak perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu mati sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan matipun tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan mari kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam dan menghukum Lima Bayangan Dewa.”

Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek yang usianya masing-masing sudah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan menghukum musuh-musuhnya.

Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw membantah keras. 

“Ayah dan ibu sudah tua, dan biarpun urusan ini adalah urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua? Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah menjadi pelajaran bahwa apabila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi.”

Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Betapapun juga, mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang setelah pergi selama lima tahun dan biarpun kepandaiannya mungkin sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang begitu sajapun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.


“Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!” Tiba-tiba Cia Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.

Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong lalu berkata kepada Bun Houw, 

“Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku bersungguh-sungguh!”

Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa banyak cakap dia sudah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya akan kepandaiannya. Kalau dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan membolehkannya pergi melakukan tugas berbahaya itu.

Cepat dia lalu mengencangkan pakaian, meloncat ke tengah ruangan itu, berdiri tegak sambil berkata, 

“Aku sudah siap, ayah!”

Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. 

“Awas serangan...!” 

Langsung dia lalu menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat, menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan main Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, kedua telapak tangan pendekar tua itu mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).

“Haiiittt...!” 

Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya. 

Terdengarlah suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung. Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini dan dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini.


Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah menjadi satu itu. Kwee Kin Ta dan para sutenya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi merekapun dapat melihat betapa ketua mereka mengerahkan tenaga dan kepandaian, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya!

Tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya setelah mengeluarkan suara keras dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mujijat ini, akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sukar dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang dan karena itu dia mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun dan mencampurinya dengan ilmu yang dia peroleh dari gurunya selama lima tahun ini di Tibet. 

Kedua tangannya menggetar-getar mengeluarkan tenaga mujijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama dapat menahan segala senjata pusaka!

Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasa betapa dari kedua tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari kedua tangan puteranya itu!

Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang amat dinginnya.

Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong mampu mengalahkan puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapapun usianya yang sudah enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.

“Hyyyyaaaaattt...!” 

Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua ini terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)! 

Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku hati-hati dan cepat mengelak dan membalas dengan serangan terhadap ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang terhadap ibunya, dia khawatir ibunya takkan kuat bertahan dan akan menderita luka. 

Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya dan inilah agaknya yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju mengeroyok apabila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan puteranya.

Pertandingan menjadi makin seru dan kini bahkan Kwee Kin Ta dan adik-adiknya sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini terkejut dan kagum bukan main. Diam-diam mereka harus mengakui bahwa dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah jauh sekali dan menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah mengimbangi kepandaian ayahnya!


  • SELANJUTNYA 

Komentar