DEWI MAUT JILID 023
Dengan diantar pandang mata subonya berangkatlah In Hong meninggalkan pulau, menumpang perahu yang didayung oleh anggauta-anggauta Giok-hong-pang. Ada rasa rindu di hati Bi Kiok kepada dunia, untuk merantau seperti dahulu, namun teringat akan sakit hatinya, dia membalikkan tubuhnya dan kembali ke dalam gedung, memasuki kamarnya.
Sementara itu, In Hong melambaikan tangannya kepada para anggauta Giok-hong-pang yang mengantarnya sampai ke seberang telaga. Setelah memasuki hutan, barulah In Hong merasa betapa dia berjalan seorang diri dan mulailah dia merasakan kegembiraan dan ketegangan, seolah-olah dengan hutan yang dimasukinya itu dia memulai suatu kehidupan baru dan dia segera melupakan semua kehidupan di pulau tengah Telaga Kwi-ouw yang makin membosankan hatinya itu.
Kota Tai-lin di tepi Sungai Kuning itu cukup ramai, sungguhpun kota itu jauh dari kota-kota lain dan kota terdekat dengan Tai-lin adalah kota besar Tai-goan yang letaknya di utara dan masih ada seratus li jauhnya.
Keramaiannya adalah karena terletak di tepi Sungai Huang-ho itulah karena sungai ini merupakan alat perhubungan yang amat ramai, selain untuk mengangkat barang-barang dagangan juga karena daerah ini kaya dengan ikan.
Pada pagi hari itu, di sebuah restoran besar, satu-satunya restoran di kota Tai-lin, sudah penuh tamu yang makan pagi sambil bercakap-cakap. Keadaan di restoran itu atau di seluruh kota Tai-lin kelihatannya tenang dan tenteram saja, dan di antara para tamu itu yang terdiri dari penduduk Tai-lin dan juga para pedagang, tidak mengira sama sekali bahwa di antara mereka terdapat orang-orang yang sesungguhnya bukan tamu-tamu biasa, melainkan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam), yaitu orang-orang dari kalangan Hok-lim (kaum penjahat) yang mulai berani bermunculan di kota-kota untuk mencari mangsa.
Memang hanya golongan hitam saja yang tahu akan perubahan besar di dunia kang-ouw yang telah terjadi di saat itu. Berita tentang dirampasnya Siang-bhok-kiam, pusaka atau lambang kebesaran Cin-ling-pai yang ditakuti semua penjahat, juga tentang tewasnya Cap-it Ho-han seperti dikabarkan, tewas oleh datuk-datuk baru di dunia kaum sesat, merupakan suatu kemenangan golongan hitam.
Hal ini tidak saja disambut dengan gembira oleh kaum penjahat karena merasa bahwa dunia mereka kini lebih kuat daripada golongan putih, akan tetapi juga membesarkan hati mereka dan mereka merasa lebih leluasa untuk melakukan pekerjaan mereka secara lebih terbuka karena bukankah kini fihak kaum sesat lebih kuat?
Seperti memperoleh dorongan semangat baru, kaum penjahat di sekitar kota Tai-lin kini juga mulai beraksi, dan tidaklah mengherankan apabila di antara para tamu di restoran itu terdapat beberapa orang golongan hitam yang ikut makan pagi tanpa diketahui orang lain.
Di dalam dunia kaum sesat, hanya penjahat-penjahat kecil sajalah yang bersikap kasar dan berlagak jagoan, akan tetapi penjahat-penjahat yang lebih tinggi tingkatnya, tidak ada yang mengenalnya karena mereka itu kadang-kadang menyamar,sebagai pedagang, sebagai pelajar dan orang-orang yang tergolong tinggi derajatnya.
Penjahat-penjahat yang seperti ini tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti yang dilakukan penjahat rendahan, seperti tidak membayar makanan di restoran atau sewa kamar di hotel, mencopet dan mencuri barang-barang yang tidak begitu berharga, dan sebagainya. Mereka ini tidak serakah akan barang-barang kecil, akan tetapi menanti saatnya dan sekali pukul harus memperoleh hasil yang cukup banyak.
Tiba-tiba semua tamu di restoran itu menghentikan percakapan mereka dan semua mata memandang keluar ketika seorang dara muda memasuki pintu depan restoran itu. Mata para tamu itu terbelalak, mulut mereka ternganga, dan mereka tidak menyembunyikan rasa kagum mereka ketika melihat dara itu melangkah memasuki restoran.
Hal ini memang tidak mengherankan karena dara itu memang cantik bukan main. Wajahnya yang bulat telur berkulit putih halus tanpa bedak, kedua pipinya kemerahan tanpa yanci dan bibirnya merah tanpa gincu. Wajah itu agak berkeringat, dan rumbutnya agak kusut dengan anak rambut berjuntai di atas dahi yang agak basah oleh keringat akan tetapi kekusutan rambut dan wajah berkeringat itu malah menambah keaslian wajah yang cantik jelita itu.
Hanya sayangnya, mata yang tajam dan mulut yang manis itu kelihatan membayangkan hati yang dingin dan tidak acuh terhadap sekelilingnya. Rambutnya digelung ke atas, panjang sekali rambut itu sehingga gelungnya juga menjulang tinggi di atas kepala, dihias sebuah perhiasan dari batu kemala yang indah berbentuk seekor burung hong. Sebatang pedang dengan ronce-ronce merah tergantung di punggungnya, menambah angker dan gagah wajah yang dingin itu.
Tubuhnya tinggi semampai dengan lekuk lengkung kematangan seorang dara. Pakaiannya sederhana namun bersih dan tangan kanannya memegang sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian namun juga kelihatan agak berat sungguhpun dara itu membawanya dengan mudah.
Ketika dia melangkah masuk mencari sebuah meja kosong, lenggangnya yang seenaknya itu membayangkan tubuh yang lemah gemulai, pinggulnya bergerak menari-nari dan lenggang yang tidak dibuat-buat melainkan sewajarnya itu demikian indah seperti sebuah tarian yang terlatih.
Bagi beberapa orang yang mengerti ilmu silat dan yang duduk di tempat itu, akan maklum bahwa memang demikianlah langkah seorang wanita yang “berisi”, yaitu di balik keluwesan dan kelemasan tubuhnya itu bersembunyi tenaga yang hebat, yang membuat dia dapat bergerak dan melangkah seenaknya dengan wajar namun penuh keagungan dan gaya.
Melihat dara ini melakukan perjalanan seorang diri dan membawa-bawa pedang, semua orang dapat menduga bahwa dara ini tentulah seorang dara kang-ouw yang melakukan perjalanan seorang diri mengandalkan pedang dan kepandaiannya, dan sikap pendiam dan dingin, terutama pedang panjang yang kini dilepaskan dari punggung dan diletakkan di atas meja bersama buntalannya itu membuat orang-orang tidak berani memandang secara langsung.
Dara ini bukan lain adalah Yap In Hong! Telah hampir dua pekan dia melakukan perantauannya dan tiba di kota itu, kota besar pertama kali yang dimasukinya sejak meninggalkan Kwi-ouw. Dia lelah sekali karena telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung dan masuk keluar hutan, dan sudah dua hari dua malam dia hanya makan hasil buruan di hutan dan buah-buah yang dapat dia temukan di dalam hutan, bersama air jernih saja.
Kini dia memasuki restoran dan sudah bangkit seleranya, sudah berbunyi perutnya ketika hidungnya mencium bau bumbu masakan yang mengepul keluar dari dalam dapur.
Seorang pelayan tua terbungkuk-bungkuk menghampiri In Hong.
“Nona hendak makan dan minum apakah?” tanyanya sambil mengerling ke arah pedang di atas meja.
“Nasi putih, mi bakso dan daging ayam rebus dengan saus tomat. Minumnya teh wangi yang hangat saja.”
Pelayan itu mengangguk-angguk dan karena merasa heran mendengar seorang wanita kang-ouw tidak memesan arak, dia bertanya hati-hati,
“Tidak pakai arak, nona?”
In Hong memang tidak begitu doyan arak yang keras.
“Apakah ada anggur yang tidak keras?” tanyanya.
Pelayan itu menggeleng kepala.
“Hanya ada arak yang wangi dan tua, arak kami terkenal sekali, nona!”
“Tidak, aku tidak suka. Eh, kalau ada tolong aku minta disediakan satu panci air hangat untuk cuci muka, paman.”
“Baik, baik...”
Pelayan itu pergi dengan hati senang. Sikap dara kang-ouw itu tidak seperti wanita-wanita kang-ouw lainnya yang angkuh dan kasar, bahkan ketika minta air hangat memakai kata “tolong”. Hatinya senang dan setelah dia menyampaikan pesanan In Hong ke bagian dapur, dia sendiri membawa sepanci air hangat untuk nona itu.
In Hong menaruh air itu di atas bangku, kemudian mencuci mukanya, menggosok-gosok mukanya dengan keras untuk menghilangkan debu dari muka dan lehernya, juga kedua tangannya. Setelah itu dia lalu menggosok leher, muka dan tangan itu dengan saputangan bersih sampai kering. Kini mukanya makin berseri, kedua pipinya makin merah sehingga kagumlah semua orang yang duduk tak jauh dari tempat itu.
In Hong duduk kembali dan mengerling ke kiri. Dia tahu bahwa sejak tadi, ada seorang laki-laki tua yang bertopi hitam, yang mengikuti gerak-geriknya dengan sikap mencurigakan.
Melihat orang-orang lain memandangnya dengan kagum, dia tidak menganggap aneh biarpun hatinya muak menyaksikan sikap laki-laki itu karena semenjak dia merantau, hampir setiap kali berjumpa dengan pria dia selalu melihat pandang mata seperti itu, akan tetapi laki-laki tua bertopi itu lebih memperhatikan buntalannya! Dan itulah yang mencurigakan hatinya.
Laki-laki tua itu sedang makan mi dengan sumpitnya. Cepat sekali sumpitnya bergerak menjepit mi dan mendorongnya ke mulut. In Hong menelan ludah. Makin lapar rasa perutnya melihat orang makan selahap itu. Kecepatan jari tangan kanan mempermainkan sepasang sumpit itu menarik hatinya. Cepat sekali dan amat kuat, pikirnya. Berbeda dengan gerak tangan orang-orang lain. Tentu bukan orang biasa, pikirnya pula dengan hati makin curiga.
Akan tetapi dia duduk tenang saja, tidak menoleh ke kanan atau kiri, tidak membalas pandang mata banyak pria yang ditujukan kepadanya dengan kagum.
Biarpun baru setengah bulan dia melakukan perjalanan, dia sudah melihat banyak tentang kehidupan di luar lingkungan Giok-hong-pang dan diam-diam dia menjadi makin tidak suka melihat kenyataan tentang kekuasaan kaum pria terhadap wanita.
Dia melihat wanita-wanita sebagai kaum lemah yang diperbudak pria, yang bersikap mengalah, manja, dan minta dilindungi. Di mana-mana dia melihat gejala ini, dan melihat sikap pria yang selalu ingin menang, yang memandang wanita seperti benda permainan belaka. Hampir semua pria yang dijumpainya memandang kepadanya dengan mata buas, tidak terkecuali, baik yang sudah beristeri maupun yang belum. Pandang mata yang haus dan kurang ajar, yang seolah-olah hendak menelanjangi dan menggerayangi tubuhnya.
Pantas kalau subo dan para bibi di Giok-hong-pang membenci pria, pikirnya. Dan mulailah dia melihat betapa perbuatan para bibi di Kwi-ouw terhadap pria-pria Kwi-eng-pang yang menjadi budak itu sebagai pembalasan dendam dari mereka terhadap kaum pria!
Betapapun juga, dia bukanlah seekor binatang buas yang haus darah pria seperti mereka itu, pikirnya. Dia belum pernah disakiti hatinya oleh pria, maka biarpun dia tidak senang, namun dia tidak mempunyai perasaan benci terhadap pria pada umumnya seperti mereka. Tidak semua pria sejahat itu, pikirnya pula. Buktinya, sikap kakak kandungnya yang jenaka dan baik, dan subonya yang terkenal pembenci pria itu ternyata masih cinta kepada kakak kandungnya!
Makanan yang dipesannya datang diantar oleh pelayan tadi yang mempersilakannya dengan sikap hormat.
“Silakan, nona.”
“Terima kasih, paman. Engkau baik sekali,” jawab In Hong, karena sikap itu dia menganggap si pelayan jauh lebih baik daripada semua pria yang berada di situ.
Pelayan itu girang dan mengangkat pergi panci air hangat yang tadi dipakai mencuci muka In Hong. Dara itupun mulai makan. Bukan main lezatnya makan di waktu perut sudah lapar sekali dan selera sudah penuh keinginan sejak tadi.
Dia tidak perduli betapa banyak mata mengincarnya, seolah-olah gerakan mulutnya ketika makan amat menarik hati mereka. Begitupun juga, dia merasa tidak enak dan ditutupi mulutnya dengan mangkok nasi dan ketika mengunyah makanan dia tidak membuka mulutnya.
Mi bakso itu enak, terutama baksonya yang pulen dan gurih, daging ayam rebus saus tomat itupun lezat, empuk dan manis sausnya sedang baunya harum dan sedap karena dicampur arak sedikit.
Setelah selesai makan, In Hong memanggil pelayan, membayar harga makanan dengan menambah persen untuk pelayan itu. Diambilnya uang perak dari dalam pundi-pundi uangnya yang terisi perak dan emas, bekal yang diberikan oleh subonya. Pelayan itu melongo ketika melihat demikian banyaknya emas dan perak dalam pundi-pundi, dan dia berkata perlahan.
“Aihh, nona membawa uang begitu banyak, harap hati-hati di jalan.”
In Hong tersenyum dan orang-orang yang kebetulan melihatnya menjadi terpesona. Nona itu memiliki senyum yang bukan main manisnya, dan lenyaplah semua sifat dingin itu begitu dia tersenyum, seolah-olah awan-awan hitam yang lenyap oleh sinar matahari yang cerah dan yang muncul tiba-tiba. Sayang bahwa nona itu jarang tersenyum!
Komentar