DEWI MAUT JILID 024

“Terima kasih, paman. Jangan khawatir.”

Sambil berkata demikian, In Hong menyambar pedangnya dan menggantungkannya di punggung lagi, mengikatkan kain pengikat pedang di depan dada, di antara sepasang buah dadanya sehingga talian itu membuat pakaiannya makin mengetat dan tonjolan dadanya makin tampak membusung. Kemudian dia memanggul buntalan pakaiannya dan hendak pergi dari situ ketika telinganya yang berpendengaran tajam itu menangkap bisikan halus dari arah kanan, 

“...Giok-hong-pang...”

In Hong bertanya kepada pelayan itu dengan suara cukup keras sambil menoleh ke kanan, sekaligus pandang matanya menyapu ke arah orang yang menyebut nama perkumpulan subonya itu, 

“Paman, berapa jauhnya perjalanan dari sini ke kota Tai-goan?”


“Wah, masih jauh sekali, nona. Ke utara lalu membelok ke timur, lebih dari seratus li jauhnya. Apakah nona membutuhkan seekor kuda?”

“Tidak, paman. Aku akan berjalan kaki saja.” 

In Hong kini sudah melihat dengan jelas bahwa dua orang yang tadi membisikkan nama perkumpulan subonya adalah dua orang laki-laki muda, yang seorang berkumis dan berjenggot pendek, tinggi besar dan matanya lebar, yang kedua masih muda, memakai topi, mukanya kurus dan tampan agak pucat. Setelah melihat jelas, In Hong bersikap seperti tidak ada apa-apa, kemudian dia keluar dari restoran itu dan melanjutkan perjalanannya.

Hatinya lega setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja di atas jalan yang sunyi dan di kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan rawa kering. Sampai belasan hari dia melakukan perjalanan dan tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang didengung-dengungkan oleh para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam, terutama kaum prianya. Buktinya, dia tidak pernah mengalami gangguan! Dan kalau sebagian besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini tidaklah begitu sengsara bagi wanita!


Jalan itu memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong tertarik ke depan. Pandang matanya yang tajam dan terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangen orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin sekali bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa berkeliaran di hutan-hutan.

Akan tetapi ketika dia tiba di tempat dimana tadi dia melihat bayangan orang berkelebat, tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan tepat seperti sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik batang pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri. 

Kecurigaannya baru timbul ketika dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di restoran yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong masih tetap tenang dan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya memandang mereka bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik.

“Maafkan kami, lihiap!” 






Tiba-tiba orang muda yang bertopi dan bermuka kurus pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan temannya juga menjura dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya.

“Kalian mau apa?” tanya In Hong dengan suara datar dan dingin.


“Maafkan kami berdua, akan tetapi semenjak kami bertemu dengan lihiap di dalam restoran di kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami bertanya apakah lihiap seorang anggauta Giok-hong-pang yang amat terkenal di Telaga Kwi-ouw?”

In Hong memandang dengan lirikan merendahkan, lalu menjawab datar, 
“Benar, aku adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?”

Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi. 
“Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani bertanya. Kiranya lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang. Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan dengan telah berpindahnya Siong-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan.”

In Hong pernah mendengarkan penuturan subonya tentang dua golongan, yaitu golongan putih dan hitam dan subonya secara samar mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh jadi digolongkan golongan hitam. Menurut subonya, golongan putih terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan paling pandai. Sedangkan golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. 

Oleh karena itu, subonya juga tidak pernah melakukan hubungan dengan golongan manapun juga. Akan tetapi dia pernah mendengar subonya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak.

“Kalian siapakah?”

Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar dan berkata, 

“Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan itu.”

Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, 
“Harap lihiap jangan khawatir dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap.”

Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya agar tidak khawatir dan takut, harga dirinya memberontak. Dia khawatir? Dia takut?


“Hemmm...!” Dia menggeram lirih. “Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan!”

Jawaban inipun jelas merupakan tantangan, namun dua orang itu seolah-olah tidak mengerti dan dengan girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.

“Biar kubawakan buntalanmu, nona,” si muka pucat berkata.

“Tidak perlu, aku bawa sendiri,” jawab In Hong. 

Si muka pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengan keramahan pelayan restoran yang wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu dibuat-buat dan pandang mata pemuda inipun tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar.

“Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah kalau membawa barang berat.” 

Setelah berkata demikian, si muka kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan besar itu.

In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu menjadi kagum juga.
Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah tiba di tengah hutan besar dimana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri sembunyi di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Kedatangan mereka disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari orang-orang kasar.

“Ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!” Orang yang bertahi lalat di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.

“Twa-suheng, nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah disini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng,” kata si muka pucat.

“Ahh, begitukah? Seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan masuk, nona,” kata si tahi lalat.

In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk dan mengikuti empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar dimana dia dipersilakan duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.

“Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan.” In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.

“Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita bicara dulu dan silakan menikmati hidangan seadanya,” kata si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. “Kami mendengar bahwa Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan membasmi Kwi-eng-pang. Benarkah? Kami kenal baik dangan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana dia sekarang?”

“Dia telah tewas,” In Hong menjawab pendek.

“Ahhh...!” Si tahi lalat berseru. “Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas, tentu kepandaian subomu itu hebat bukan main!”

In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak.

“Aku tadi mendengar tentang Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?” 

Akhimya dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu.

“Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendengar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-hannya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha, ingin aku menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!” Si tahi lalat berkata dangan nada girang bukan main.

In Hong tidak pernah mendengar dari subonya tentang Cap-it Ho-han, dia hanya mendengar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subonya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali.

“Siapakah Lima Bayangen Dewa?” tanyanya.

“Kami sendiripun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Setelah ada datuk-datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa? Ha-ha-ha, kaum kang-ouw tentu akan geger sekarang.”

In Hong bangkit berdiri. 
“Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Eh, eh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa beruntung sekali dengan pertemuan ini yang harus dirayakan malam nanti,” si hidung besar bertahi lalat berkata.

“Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?” kata si muka pucat dengan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurangajaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.

Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang laki-laki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat seperti seekor babi yang akan disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di depan Fen-ho Su-liong.

“Siapa dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?” 

Si tahi lalat membentak marah. Sementara itu, melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian.


  • SELANJUTNYA 

Komentar