DEWI MAUT JILID 011
“Sute...!” Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu pedas.
Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjura ke arah mereka sambil berkata,
“Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang...”
Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau,
“Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han.”
“Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu,” jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.
“Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!”
Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang mata dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka.
Akan tetapi Sun Kiang dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.
“Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu.”
Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.
Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu.
“Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini.” Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para pelayan, “Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!”
Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di depan sebelas orang itu.
“Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!”
Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya.
Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hanya ingin mengenal mereka saja!
Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu.
Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan.
Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini dan minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik.
Diam-diam para pelayan itupun muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.
“Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!”
Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.
Sun Kiang membungkuk.
“Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian).”
“Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!”
Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.
Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri dan teman-temannya,
“Saya adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting.”
Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.
“Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan.”
Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam.
“Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?”
Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala.
“Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi.”
“Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!”
Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.
Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang.
“Hemmm...”
Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.
Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oleh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang.
Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo den memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan bingung.
Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang dan nampak betapa Gu Lo It menggetarkan kedua lengannya dan tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan!
Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini.
“Uhhhhh...!”
Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.
Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat dia menahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya!
Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru dapat mengimbangi.
Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!
Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu.
Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja.
Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!
“Uhhhh... hukkkk...!”
Komentar