DEWI MAUT JILID 012

Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.

“Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!”

Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju dan celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandang ke arah Gu Lo It.

“Kau... kau...!” Tangannya mencengkeram ke atas meja. “Kroookkkk...!” 

Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang dan tewaslah orang kelima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi.

“Cuatt-cuatt-cuattt...!” 

Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali dan bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. 

Roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan perlawanan apapun!

“Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!” 

Coa Seng Ki membentak marah dan mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok dan orang keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.

“Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!” 

Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu.

Para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka melempar baki dan kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah. 

Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran.






Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.

Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! 

Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! 

Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.

“Siluman betina, mampuslah!” 

Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak melihat kematian tiga orang suhengnya secara mengerikan dan menjadi korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk ke arah mata kanan lawannya.

“Singgg... wuuutttt...!” 

Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu saputangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu.

“Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang tidak kena!” 

Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke belakang. Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperoleh karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, kalau meloncat seperti terbang saja. 

Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang saputangan merah yang lebar itu, yang dimainkan seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.

Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu gin-kang maupun tenaga sin-kang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong. 

Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai saputangan merah di tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja, kadang-kadang melurus seperti tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk, dapat dipergunakan ujungnya sebagai alat penotok. 

Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya kalau bertemu dengan saputangan yang lunak, dan beberapa kali ujung saputangan sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh.

“Ah, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau kau malam ini menemani dan menghiburku?”

Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah, dia maklum bahwa lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki, sudah sejak tadi dia roboh, maka sambil menggereng keras dia mainkan pedangnya makin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan jurus-jurusnya yang paling ampuh. 

Namun kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal, bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.

Apalagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga orang suhengnya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja maklumlah dia bahwa tiga orang suhengnya itu, seperti tiga orang suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali. 

Enam orang suhengnya telah tewas semua! Malapetaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpipun tidak! Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya! 

Coa Seng Ki menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hai-giakang Ciok Lee Kim, akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan saputangan merahnya.

“Omitohud...! Si Genit mengapa main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!” 

Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasa menyebut Si Kelabang Terbang itu Si Genit, berseru melihat nenek itu mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat membunuhnya.

“Hi-hik, Hok Hosiang, aku sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!” 

Nenek itu menjawab sambil mengelak dari sebuah tusukan, kemudian menggunakan jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan dengan nekat menyerang terus.

“Memang dia tidak perlu dibunuh!” Tiba-tiba Gu Lo It berkata. “Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!”

“Aih, sayang...!” 

Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani membantah perintah Si Iblis Bumi. Tiba-tiba dua helai saputangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat dan sekali ujung saputangan menotok pergelangan tangan, pedang itupun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas. Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan saputangannya yang merampas pedang dan pedang itu meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, 

“Hok Hosiang, kau terimalah pedangnya!”

“Omitohud, kau main-main saja!” dengan ujung lengan baju yang besar, Hok Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan “crappp!” pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang.

Melihat betapa pedangnya sendiri menancap dada subengnya, Coa Seng Ki menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil berteriak keras dia menubruk ke arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah menyambutnya dengan dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.

“Plakkk!!” Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It.

“Dukk!” Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.

“Huakkkkk!!” 

Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.

“Desss!! Krek-krekk!” 

Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang terlempar ke arah Ciok Lee Kim.

“He-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!” 

Nenek genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar dan lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng Ki sehingga robek-robek kulit mukanya dan berdarah. Dia terbanting roboh dan tak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores dan berdarah, pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!

Empat orang itu tertawa bergelak lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan menggigil den berkumpul di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil berkata, 

“Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!”

Sambil tertawa-tawa puas, empat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar saja mereka menghilang di dalam kegelapan malam. Lama setelah empat orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan mereka terkejut dan ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu. 

Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai di dekat puncak gunung.



  • SELANJUTNYA 

Komentar