DEWI MAUT JILID 010

 Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidak kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga bahwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.

“Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!” kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! 

Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi melainkan terbang!

“Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!” 

Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu. 

Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara “ceplokk!”.

Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok seperti seekor cecak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.

“Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!” 

Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.

Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. 
“Aihhh... anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!” Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyaksiken ulah semua tamunya yang aneh-anch itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, 

“Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba, selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?”





Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, 
“Kami barempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!”

Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci cukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng. 

Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam! 

Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! 

Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangan melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih terkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. 

Kakek bertopi dan berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya. 

Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombonkannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!

Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. 

Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa).

Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.

Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah pemimpin mereka dan kehadiran mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati!

Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua percaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.

“Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!”

Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. 

Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat sombongnya. 

Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.

Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. 

Sikap ketujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.

Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas. 

Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng.

Ketika tujuh orang pendekar Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong! 

Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang? Melihat mereka barempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, 

“Suheng, agaknya kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!”

Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia tahu bahwa sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu para pengundang mereka.

Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka amat tenang.

“Omitohud...ha-ha-ha-ha!” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. “Ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!”

Mendengar kata-kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak, 

“Petani dan pendekar sama saja, keduanya mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!”


  • SELANJUTNYA 

Komentar