DEWI MAUT JILID 009

Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.

Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah.

LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA

“Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apa maunya?” Sun Kiang berkata sambil mengerutkan alisnya.

“Kurang ajar! Surat ini tantangan bagi kita!” kata seorang sutenya.

“Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!” kata yang lain.

Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. 
“Mari kita masuk ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kau perintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan harus diperkuat apalagi di waktu malam di sekitar menara.”

Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam dimana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.

“Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendirl kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh.”

“Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!” Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. “Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong.”

“Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!” Sun Kiang menegur sutenya.





Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. 
“Maafkan saya, suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas.”

Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, 

“Kita tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak.”

Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapapun juga.

Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. 
“Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud dari undangan mereka.”

“Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!” Coa Seng Ki membantah.

“Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang.”

“Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?” Coa Seng Ki membantah.

“Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri.”

Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. 
“Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita.”

Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. 

Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. 

Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjata pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang. 

Ketua Cin-ling-pai ini mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing-masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok sedangkan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.

Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. 

Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagangan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.

Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah.



Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.

Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan bahwa tingkat atas itu telah “diborong” dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.

“Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?” bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu.



Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.

“Loya...maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini...” Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. “...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han...”

Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.



“Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu,” kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran. 

Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. 

Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.

Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. 

Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok, bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. 

Pendeknya, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangannya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!

Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu, terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian.

Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.


  • SELANJUTNYA 

Komentar