DEWI MAUT JILID 008

 Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah ini merupakan daerah pegunungan dan dari Puncak Cin-ling-san dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya di sebelah selatan dan barat, yaitu di selatan Pegunungan Ta-pa-san dan di sebelah barat Pegunungan Beng-san yang besar. Jauh di timur tampak puncak Gu-niu-san bersambung di antara mega-mega.


Seperti di semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi dimana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia dimana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, di Cin-ling-san pun pemandangan alam amat megah dan indahnya.

Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan amat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang amat terkenal di waktu itu sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga amat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai.


Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, namun ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan.

Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang. 

Di waktu itu, tidak ada seorangpun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh atau berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, sepak-terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan menentang kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan.

Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini selain memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mujijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi-i-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. 

Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun dapat dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, sedangkan Thi-khi-i-beng sampai seat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong. 

Isteri ketua inipun bukan orang sembarangan. Wanita yang sekarang telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu di waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal banyak macam ilmu silat dan terutama sekali hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Adapun yang kedua adalah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.






Pada waktu itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di rumah. Suami isteri ini sedang pergi ke Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang mempunyai hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini (baca Petualang Asmara). 

Kunjungan mereka ini, selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang amat penting, yaitu soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Hou, yang masih berada di Tibet, dan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!

Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama.

Biarpun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggauta Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat. 

Ada pula beberapa puluh orang anggauta yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Dan di manapun mereka berada, apapun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguhpun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana.


Pagi hari itu, baru saja matahari muncul mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi, para anggauta Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya. 

Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antarg sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa sudah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan samadhi di puncak bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. 

Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka telah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-arca mati.

Pagi itu hawa udara amat dinginnya di puncak bukit, dingin sejuk menyusup tulang. Namun, tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tandanya pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. 

Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu. Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak akan tetapi setelah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau mulut mereka.


Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada dalam latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.

Tujuh orang laki-laki ini memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka. 

Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka merupakan pemuda-pemuda dusun di pcgunungan itu sampai sekarang menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai. 

Pakaian mereka seperti pakaian petani, dan memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Mereka hidup bertani sampai sekarang, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang sudah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga merekapun sederhana, sebagian pula ada yang membujang. 

Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang “berisi” sungguhpun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana.

Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan.

“Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!”


Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggauta badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha.

“Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!” kembali terdengar teriakan.

Seorang diantara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekar dan membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, 

“Sute (adik seperguruan) sekalian, mari kita lihat apa yang terjadi di bawah.”

Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup membujang, tidak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, 

“Kami sedang turun...” 

Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka.

Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya, 

“Apakah yang terjadi?”

“Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!” Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. “Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelal kain putih...!”

Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.
“Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?”

“Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan,” kata orang yang melapor itu.

“Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga,” kata yang ke dua.

Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. 

Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, dimana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.

“Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya.” Seorang di antara Cap-it Ho-han berkata.

Sun Kiang mengangguk. 
“Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang.” 

Setelah berkata demikian, Sun Kiang menggenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik, sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah.


  • SELANJUTNYA 

Komentar