DEWI MAUT JILID 007

 Bi Kiok lalu menyuruh para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar dimana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan agar semua keluarga anggauta Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggauta Giok-hong-pang.


Kiang Ti dan para anggautanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat daripada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li! 

Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang telah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggauta Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!

Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. 

Dia mengerti bahwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di depannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya. 

Suasana sunyi, tak seorangpun berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.

“Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?” 

Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengangkat muka.

“Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!”

Yo Bi Kiok tersenyum. 
“Engkau dan empat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia telah menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian.”

Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya ketika dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tidak sepadan dibandingkan derigan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata. Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!

“Aku sudah melakukan itu, habis engkau mau apa?” tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapapun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya setelah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga.

“Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba...” seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.

“Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas...”

“Kami hanya diperintah oleh pangcu kami...”

Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan pandang mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.

“Pengecut hina dan busuk!” 

Tiba-tiba Bi Kiok membentak, tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus!

Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka pucat, akan tetapi hatinya puas karena diapun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.

“Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kau temuilah Lui Hwa di sana!” 

Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. 

Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya, tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong. Cepat sekali gerakannya sehingga yang nampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. 

Dan dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang mati setelah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang!

Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggauta Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main.

“Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggauta Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!” 

Suara ini halus, namun mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani berkutik, apalagi maju ke depan wanita luar biasa itu.

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua telah dia bunuh sebagai hukuman, akan tetapi menurut Lui Hwa, empat orang anak buahnya yang lain itu direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggauta Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. 

Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini, dari nenek dan kakek sampai anak-anak menundukkan muka dan kelihataan ketakutan dan berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis, berusia paling banyak tiga puluh tahun. 

Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!

“Heii, kau ke sinilah!” Bi Kiok menggapai dengan tangannya. Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan, akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, “Jangan takut karena mulai saat ini, engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorangpun akan berani mengganggumu!”

Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, 
“Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat.” 

Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.

“Siapa namamu?”

“Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu.”

“Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?”

Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu bercerita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, adalah wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain, yang berada di situ. 

Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya.

“Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu...” Dia menangis lagi.

Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. 
“Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggauta Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu.”

Kiat Bwee mengangguk. 
“Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri.”

“Nah, kau tunjuklah mereka seorang demi seorang.” Bi Kiok lalu menunjuk tiga orang pembantunya. “Kalian melaksanakan hukumannya!”

Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk dan mencabut pedang masing-masing, lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampaknya gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan tiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo dari orang-orang Kwi-eng-pang itu.

“Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!” 

Kiat Bwee menudingkan telunjuknya dan setiap kali dia menuding, tampak sinar pedang berkelebat, disusul suara jerit mengerikan dan robohlah laki-laki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam keadaan mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggauta kelamin para pria itu. 

Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruangan itu penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! 

Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat penudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!

Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok lalu mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. 

Ruangan yang menjadi tempat pembantaian manusia itu dibersihkan oleh para anggauta Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggauta Kwi-eng-pang. 

Mulai saat itu, sisa anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggauta Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi daripada yang laki-laki. 

Mulai saat itu, Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu menjadi sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah dan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggauta melainkan budak-budak yang setiap hari bekerja keras di ladang, mencari ikan dan lain pekerjaan yang berat. 

Tidak ada seorangpun yang berani melawan, apalagi melarikan diri, karena mereka maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka.

Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah katapun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apapun membayang di dalam sinar matanya, seolah-olah dia tidak perduli akan semua yang dilakukan oleh gurunya. 

Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperhatikan kecantikan yang demikian mempesonakan kehalusan yang demikian mengharukan memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi?

Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiripun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya tentang pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tidak senang kepada pria. 

Apalagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggauta Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan timbul di hatinya melihat mereka semua dibunuh seperti itu. 

Betapapun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan. Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tidak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. 

Bahkan ketika dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu!

Setelah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Kwi-ouw, mereka hidup dengan tenteram dan senang di tempat yang indah ini. Makin tekun pula para anggauta Giok-hong-pang mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang merupakan perkumpulan yang amat kuat, dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.

In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan keadaan hidup para anggauta Giok-hong-pang. Melihat betapa kaum Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggauta Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan dirinya, untuk pemuasan nafsu berahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan. 

Gurunya, yang juga tahu akan hal ini tidak melarang! Biarpun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggauta Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak!

Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggauta Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang menggunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. 

Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau. Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang sudah dewasa itu untuk tinggal selamanya di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.

Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak wajar lagi, menjadi tidak bersih lagi, dan pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatangkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apabila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.

Hubungan yang bagaimana dekatpun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apabila di situ terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. 

Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau sahabat akan merupakan sikap yang palsu apabila sikap itu timbul karena suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal bertentangan dan mendatangkan duka.


  • SELANJUTNYA 

Komentar